Pakde Yono yang kukenal adalah lelaki yang cukup
pendiam, tapi setiap berkata selalu bermakna dalam. Keseharian hidup beliau sangat
bersahaja serta rendah hati sifatnya. Mereka yang belum mengenalnya barangkali
tiada mengira Pakde Yono merupakan wakil direktur utama perusahaan raksasa. Sebuah
rumah yang tidak terlalu besar telah ditinggalinya sejak hampir dua puluh tahun
silam. Mobilnya adalah sedan
buatan Jerman, yang biarpun dari mereknya berkualitas nomor wahid, tapi sudah
lima belas tahun dimilikinya. Selain itu, hanya ada sebuah minibus buatan
Jepang yang sudah sekian waktu tersedia di garasi rumahnya. Jika
Anda sempat melihat tempat parkir di kantornya, mobil Pakde Yono tampak paling
butut dan ketinggalan zaman. Mobil para bawahannya malah lebih mentereng dan
kekinian.
Bude Yono pun tak kalah bersahaja ketimbang suaminya.
Penampilannya bagaikan istri karyawan kelas menengah semata, tidak seperti
pendamping orang nomor dua di perusahaan besar. Beliau adalah kakak kandung
almarhum ayahku. Anak-anak Pakde dan Bude Yono, yaitu : Mas Daru, Mbak Diah,
serta Mas Dimas, mampu mengikuti kesederhanaan orangtuanya. Mas Daru bekerja
sebagai dosen, Mbak Diah bersama suaminya membuka usaha restoran dan kerajinan
tangan, sementara Mas Dimas menjadi wartawan sekaligus musisi. Kendati secara
finansial mereka berkecukupan, namun tak seorang pun dari mereka yang gaya
hidupnya berlebihan.
Pakde Yono masih kerap terlihat makan di warung pinggir
jalan. Padahal jika beliau mau, makan di restoran termahal di Jakarta saban
hari pun sanggup dibayarnya. Beliau pernah berujar bahwa lidahnya lebih cocok
dengan masakan khas Indonesia yang tersaji di tempat sederhana.
“Kenapa Pakde Yono tidak seperti orang kaya pada
umumnya, yang lebih suka hidup bermewahan?” tanyaku kepada Pakde Yono sewaktu tengah
mengunjungi rumahnya.
“Memang menurutmu Pakde Yono ini kaya, ya? Saya hanya
merasa nyaman hidup seadanya begini.”
“Tapi, bukankah dulu Pakde pernah hidup susah juga? Apa
ada pengaruhnya dengan gaya hidup Pakde Yono sampai sekarang?”
“Ya, Pakde memang pernah lama hidup susah. Pengaruhnya
mesti saja ada. Tapi, saya tidak mau balas dendam dengan masa lalu yang kurang
menyenangkan. Semua adalah proses semata yang mesti dijalani dan mesti terus
disyukuri.”
”Lantas, kenapa banyak orang kaya yang suka hidup
hedonis, ya?”
”Entahlah, barangkali hal itu bisa membuat mereka lebih puas
menikmati hidup? Sementara Pakde dengan cara begini saja sudah nikmat sekali
rasanya. Saya sudah begitu berterima kasih pada Tuhan. Lagi pula, rikuh juga mengingat
masih banyak teman-teman kita yang hidupnya susah, kok malah saya hidup mewah?”
Sosok semacam Pakde Yono mungkin jarang ditemui di negeri
ini. Yang jelas, aku bangga mengenal
cukup akrab dan bisa belajar banyak tentang kehidupan dari beliau.
***
Sampai pada sebuah saat, sesuatu mengejutkan terjadi.
Pakde Yono dituduh telah melakukan korupsi ketika menjadi direktur keuangan sekian
tahun lalu. Aku sungguh tak paham, bagaimana mungkin beliau melakukan korupsi,
merampas sesuatu yang bukan haknya alias menjadi maling? Rasanya hal itu
mustahil sekali! Buat apa korupsi, sedangkan keseharian hidupnya -aku tahu
persis- tak perlu biaya berlimpah, apalagi hal-hal bersifat mewah. Semua
anaknya pun sudah berdikari serta hidup mapan dengan pekerjaannya
masing-masing.
Apakah mungkin Pakde Yono memiliki sebuah proyek rahasia
yang perlu biaya luar biasa besarnya, hingga mesti korupsi? Apakah mungkin juga
ada pihak yang begitu berkuasa membuat sang lelaki sederhana terpaksa melakukan
hal tak masuk akal, lantas beliau dijadikan tumbal demi menutupi kebusukan
mereka?
Tak kukenal secara saksama orang-orang yang telah menuduh
Pakde Yono dan melaporkannya kepada aparat penegak hukum. Sekadar pernah kulihat
penampilan mereka di televisi. Kesanku, mereka terlalu banyak omong kosong,
tinggi hati, kurang tahu sopan santun, dan jika menilik cara berbusana maupun mobil
yang dikendarainya, cara hidup mereka berlebihan. Yang jelas, mereka bukanlah
figur yang ingin kuakrabi. Apakah seperti mereka itulah yang bersih, idealis,
peduli kepentingan banyak orang, dan bisa dijadikan sebagai tokoh idola di
negeri ini?
***
Sejak berita dugaan korupsi yang dilakukan Pakde Yono
mengemuka, demonstrasi yang menuntut beliau dihukum berlangsung di mana-mana. Tidak
jarang, caci maki penghinaan ditampilkan para demonstran. Tempat beliau bekerja
adalah perusahaan yang sangat ternama, sehingga kasusnya menarik perhatian
khalayak ramai. Belasan pengacara terkenal dikabarkan mengantre berhasrat
menjadi pembela Pakde Yono. Kebanyakan dari mereka pernah meloloskan para
koruptor dari jeratan hukuman yang berat, bahkan ada yang sukses membuat si
koruptor diputus bebas murni. Namun, kakak ipar ayahku itu bergeming. Beliau
tidak bersedia didampingi mereka dan memilih cukup ditemani tim penasihat hukum
yang merupakan teman-teman putra sulungnya.
Kerabat terdekat dan para sahabat Pakde Yono berdatangan
ke tempat tinggal beliau di Jakarta untuk memberikan dukungan moral maupun
spiritual. Aku yang tinggal di Bogor turut hadir pula. Banyak orang yang datang
bersamaan denganku, padahal kami sama sekali tidak janjian. Rumah yang tak
terlampau besar itu pun sejenak menjadi rada sesak.
“Saya sungguh menghargai dukungan saudara dan teman-teman
terbaik saya yang telah hadir kemari. Terima kasih, Anda semua masih tetap
mempercayai saya dalam kondisi seperti saat ini. Saya siap menghadapi tuntutan
hukum apa pun. Saya yakin bahwa saya tidak mengambil apa yang bukan hak saya.
Apa yang telah saya lakukan adalah semata-mata tugas serta tanggung jawab saya
sebagai seorang profesional. Saya mohon doa restu dari semua, semoga kami tetap
ikhlas dan tegar menghadapi cobaan ini,” ucap Pakde Yono dengan suara bergetar.
Hening begitu terasa ketika sang tuan rumah bicara. Kami
semua yang berada di situ terpaku dan membisu belaka. Apalagi saat Pak Musa, salah satu sahabat Pakde Yono, kemudian
memimpin doa bersama. Sempat terdengar isak tangis ketika sang ustaz
memanjatkan sejumlah harapan ke hadirat Yang Mahakuasa.
***
“Saya dengar, Pakde Yono menolak dibela para pengacara
top itu. Kenapa demikian?” tanyaku setelah sebagian besar tamu pulang.
“Iya, padahal mereka kan sudah terbukti hebat. Mereka
pernah bisa membebaskan koruptor segala lho, Pakde,” tambah Evan, salah satu
keponakan langsung Pakde Yono yang telah kukenal cukup baik.
“Pakde kalian ini kan bukan koruptor, jadi tidak perlu
dibela pengacaranya para koruptor itu. Terus saya juga mau bayar mereka pakai
duit siapa? Pasti mahal sekali membayar jasa mereka. Bukankah Pakde tidak
menyimpan duit hasil korupsinya?” sahut Pakde Yono dengan tersenyum.
“Kok Pakde bisa tetap tenang, ya? Padahal di luar sana
banyak yang menghujat dan menghina Pakde. Saya heran dan penasaran, apa mereka
tidak pernah diajari sopan santun oleh orangtua dan gurunya?” kata Evan lagi.
“Pakde tetap percaya tidak bersalah dalam hal ini. Suatu saat nanti, waktu akan bicara dan membuktikan bahwa
yang benar itu memang benar. Biarlah saya dipandang buruk di mata sesama
manusia, yang penting saya selalu berusaha terlihat baik di hadapan Tuhan. Lagi
pula kalian juga masih percaya bahwa Pakde orang baik, kan? Masalah sopan santun, saya kurang paham. Tapi, mungkin
memang itulah salah satu kekurangan sistem pendidikan di negeri ini, Evan.”
”Jujur saja, aku sebetulnya marah sekali melihat bapakku
dibegitukan. Apalagi sebagai wartawan, aku mesti turun ke lapangan dan
menyaksikan sendiri bagaimana bapakku demikian direndahkan oleh mereka. Tapi,
Bapak selalu berpesan supaya kami bisa sabar, ya aku manut saja,” ujar Mas
Dimas menimpali ucapan Pakde Yono.
”Kata Pakde kalian ini, hidup itu memang mesti selalu ada
masalah silih berganti. Yang penting, kita harus tetap tenang, sabar, dan
berpikir jernih menghadapinya. Toh, Tuhan pasti akan memberikan cobaan yang
sesuai dengan kemampuan kita sendiri-sendiri. Betul begitu kan, Pak?” tutur
Bude Yono yang disambut anggukan dan senyuman hangat dari suami tercintanya.
***
Pakde Yono lantas mesti berkali-kali menjalani
pemeriksaan di kantor kejaksaan, hingga akhirnya ditetapkan sebagai tersangka
kasus korupsi di perusahaannya sendiri. Aparat penegak hukum merasa telah
memiliki cukup bukti untuk membawa kasus tersebut ke pengadilan. Sebelum
diberhentikan, beliau lebih dahulu mengajukan surat pengunduran dirinya sebagai
wakil direktur utama agar kinerja perusahaan tidak terusik oleh kasusnya. Pakde
Yono pun dikenai status sebagai tahanan sesuai ancaman pidananya. Mereka yang
menuduh beliau korupsi bersorak gembira melihat kenyataan yang ada. Sementara itu
aku sendiri hampir menangis di depan televisi ketika melihat sosok yang sangat
kuhormati digelandang aparat menuju rumah tahanan.
”Bagaimana kondisi Pakde Yono? Sepertinya Pakde terlihat
lebih kurus, ya?” tanyaku yang tengah menjenguk beliau sekalian menemani Bude
Yono dan Mbak Diah, tiga hari setelah Pakde Yono resmi ditahan.
”Ya, maklumlah. Namanya juga tidak tinggal di rumah
sendiri, tidak ditemani istri pula, pantaslah tambah kurus begini. Tapi, Pakde
mencoba santai saja menghadapinya. Mungkin memang sudah saatnya bagi saya beristirahat
sejenak dari hingar-bingar kesibukan duniawi. Di sini saya malah merasa bisa
lebih akrab dengan Ilahi,” ujar Pakde Yono.
”Pakde tidak minta perlakuan istimewa, seperti
orang-orang berduit lainnya?” tanyaku iseng karena aku kenal betul karakter
beliau.
”Ketimbang buat membayar petugas, ya lebih baik duitnya
dikasih ke panti asuhan, membantu mereka yang terkena bencana alam, atau
dibelikan buku buat anak-anak sekolah yang tidak mampulah,” jawab Mbak Diah
sebelum bapaknya membalas pertanyaanku.
”Iya, betul kata Diah. Lagi pula Pakde ini kan paling
hobinya cuma baca buku. Jadi, ya tidak perlulah fasilitas, seperti televisi,
karaoke, atau apalah,” sahut Pakde Yono dengan senyuman.
”Baiklah kalau begitu. Intinya, Pakde Yono harus tetap
semangat dan jaga kesehatan saja, jadi nanti saat menjalani sidang selalu siap
dan kuat,” ucapku sungguh-sungguh.
Pakde Yono manggut-manggut tersenyum sambil tangannya
menepuk bahuku, matanya tampak berkaca-kaca. Aku lantas memeluknya sebagai
pertanda dukungan moral. Kuharap keyakinan bahwa beliau tidak bersalah memang
benar adanya dan terbukti dengan terang benderang dalam sidang di pengadilan,
yang dapat berlangsung secara adil, transparan, jujur, dan sesuai nurani. Yang
jelas, aku tetap percaya Pakde Yono sanggup menghadapi ujian berat dalam hidup
yang tengah dijalaninya akhir-akhir ini.
# Cerpen ini pernah dimuat di Simalaba pada tahun 2018.