Selasa, 22 Desember 2020

Ibuku dan Eyang Putriku



Tiga belas tahun silam 

Tak terbayangkan sama sekali 

Mereka hijrah ke alam berbeda 

Hanya berselang 107 hari 

Namun kasih sayang mereka tak jua sirna 

Tetap bersemayam 

Dalam sanubari 

Terima kasih tiada tara 

Untuk Ibu dan Ibu 


Selamat Hari Ibu untuk perempuan seluruh Indonesia. 

Minggu, 20 Desember 2020

Cerpen Ketika Mobil Kami Mogok Lagi Dimuat


Cerpen Ketika Mobil Kami Mogok Lagi dimuat di https://maarifnujateng.or.id/2020/12/ketika-mobil-kami-mogok-lagi/

Kamis, 17 Desember 2020

Toleransi Antar Individu dan Kelompok Sosial

Oleh sebab itulah, di Jawa, toleransi antar individu dan kelompok sosial sangat dipandang perlu dipujikan dan dianjurkan. Sebab, kenyamanan, keserasian, dan equilibrium adalah dambaan semua orang. Keberbedaan harus diupayakan jangan sampai berubah menjadi energi destruktif yang membahayakan kehidupan.

(Iman Budhi Santosa dalam buku Kalakanji)

Senin, 14 Desember 2020

Karya Serupa Tubuh


Karya serupa tubuh hidup,

sempurna jika ruh ditiup.

Bacakan sepenuh jiwamu,

getarkan seluruh ragamu

 

(Candra Malik)

Sabtu, 12 Desember 2020

Jumat, 11 Desember 2020

Sastra Terbesar

Sastra terbesar adalah azan, sebuah puisi yang menggema, menggugah setiap orang mendekat kepada Yang Maha Indah. 

(Iman Budhi Santosa)

Kamis, 10 Desember 2020

Selamat Jalan Pak Iman Budhi Santosa

 


"Hidup perlu berbagi karena selama menempuh perjalanan di dunia ini, kita tak pernah benar-benar bisa sendiri." 

(kalimat penutup Profesi Wong Cilik) 

Kapan pun kematian tidak sia-sia 

jika si mati sempat mewariskan kebenaran 

dan kejujuran di dunia 

(puisi Pengorbanan Jatayu dalam Asam Garam Ramayana-Mahabharata) 

Untuk sementara ini hanya empat buku inilah karya beliau yang saya miliki. Namun, ternyata banyak hal bermanfaat yang menambah wawasan, pengalaman, ilmu dan pengetahuan. Demikian pula ketika menyimak ujaran beliau dalam pelbagai acara yang kerap memantik kesadaran berpikir yang baru. 

Selamat jalan menuju alam kelanggengan, Pak Iman Budhi Santosa. Terima kasih untuk semua hal yang sudah Bapak bagikan. Semoga tenang dan tenteram di alam sana dalam berkah Allah

Kamis, 26 November 2020

Tentang Tuhan

Lebih baik kita semua percaya kepada Tuhan yang masing-masing kita imani. Kalau orang menyebut saya Tuhan, saya memahaminya sebagai sesuatu yang berkaitan dengan sepak bola.

(Diego Armando Maradona, 1960-2020)

Rabu, 25 November 2020

Ruang Kosong untuk Imajinasi


Cerita, yang membuat segalanya menjadi jelas, 

hanya membuat pendengar

atau pembacanya malas.

Bila cerita adalah bunyi, kau harus

menemukan sunyi dalam bunyi itu.

Itulah gunanya imajinasi.

Karena cerita yang menarik selalu

menyediakan ruang kosong untuk imajinasi


(Agus Noor dalam Kisah-Kisah Kecil & Ganjil)


Selasa, 24 November 2020

Manusia dan Cerita


Jarak paling dekat

antara manusia dan Kebenaran adalah cerita.

Kenyataan paling dalam ditemukan

dengan mengunakan cerita.

(Anthony de Mello)

Kamis, 19 November 2020

Ada Kata 'Ramah' dalam 'Ceramah'

"Bukankah ada kata 'ramah' dalam 'ceramah'? Kenapa Anda malah marah-marah saban ceramah? Saya terkadang heran. Sebenarnya kegemaran umat kita menghina, termasuk yang kerap Anda lakukan, sedang mengamalkan ajaran Nabi yang sebelah mana? Apakah dengan semakin sering menghina dan mengungkapkan kebencian, kita menjadi umat Tuhan yang kian mulia?"

(dialog dalam sebuah cerpen yang belum dipublikasikan)

Kamis, 12 November 2020

Merapi Sedang Duwe Gawe

Manusia modern tidak punya penglihatan, pengetahuan, dan pendengaran ilmu untuk memahami secara mengakar kalimat almarhum Mbah Marijan : "Jangan pernah ucapkan Gunung Merapi meletus. Ia sedang berhajat. Duwe gawe." Mereka tidak pernah mau mengerti bahwa mereka tidak "hidup sendirian" di Yogya. Mereka tidak pernah belajar menyapa para tetangga, beragam makhluk, para Ki Ageng dan Ki Gede, para mawali dan masyayikh di hamparan antara puncak Merapi dengan balairung Laut Selatan.

(Emha Ainun Nadjib dalam Apa yang Benar, Bukan Siapa yang Benar)

Hidup Bukan Berdasarkan Selera

 


Rabu, 11 November 2020

Kebaikan Tak Akan Habis

Kebaikan tak akan pernah habis, sebanyak apa pun dibagikan.

(Agus Noor dalam Kisah-Kisah Kecil & Ganjil)

Minggu, 08 November 2020

Percaya Pakde Yono

 

Pakde Yono yang kukenal adalah lelaki yang cukup pendiam, tapi setiap berkata selalu bermakna dalam. Keseharian hidup beliau sangat bersahaja serta rendah hati sifatnya. Mereka yang belum mengenalnya barangkali tiada mengira Pakde Yono merupakan wakil direktur utama perusahaan raksasa. Sebuah rumah yang tidak terlalu besar telah ditinggalinya sejak hampir dua puluh tahun silam. Mobilnya adalah sedan buatan Jerman, yang biarpun dari mereknya berkualitas nomor wahid, tapi sudah lima belas tahun dimilikinya. Selain itu, hanya ada sebuah minibus buatan Jepang yang sudah sekian waktu tersedia di garasi rumahnya. Jika Anda sempat melihat tempat parkir di kantornya, mobil Pakde Yono tampak paling butut dan ketinggalan zaman. Mobil para bawahannya malah lebih mentereng dan kekinian.

Bude Yono pun tak kalah bersahaja ketimbang suaminya. Penampilannya bagaikan istri karyawan kelas menengah semata, tidak seperti pendamping orang nomor dua di perusahaan besar. Beliau adalah kakak kandung almarhum ayahku. Anak-anak Pakde dan Bude Yono, yaitu : Mas Daru, Mbak Diah, serta Mas Dimas, mampu mengikuti kesederhanaan orangtuanya. Mas Daru bekerja sebagai dosen, Mbak Diah bersama suaminya membuka usaha restoran dan kerajinan tangan, sementara Mas Dimas menjadi wartawan sekaligus musisi. Kendati secara finansial mereka berkecukupan, namun tak seorang pun dari mereka yang gaya hidupnya berlebihan.

Pakde Yono masih kerap terlihat makan di warung pinggir jalan. Padahal jika beliau mau, makan di restoran termahal di Jakarta saban hari pun sanggup dibayarnya. Beliau pernah berujar bahwa lidahnya lebih cocok dengan masakan khas Indonesia yang tersaji di tempat sederhana.

“Kenapa Pakde Yono tidak seperti orang kaya pada umumnya, yang lebih suka hidup bermewahan?” tanyaku kepada Pakde Yono sewaktu tengah mengunjungi rumahnya.

“Memang menurutmu Pakde Yono ini kaya, ya? Saya hanya merasa nyaman hidup seadanya begini.”

“Tapi, bukankah dulu Pakde pernah hidup susah juga? Apa ada pengaruhnya dengan gaya hidup Pakde Yono sampai sekarang?”

“Ya, Pakde memang pernah lama hidup susah. Pengaruhnya mesti saja ada. Tapi, saya tidak mau balas dendam dengan masa lalu yang kurang menyenangkan. Semua adalah proses semata yang mesti dijalani dan mesti terus disyukuri.”

”Lantas, kenapa banyak orang kaya yang suka hidup hedonis, ya?”

”Entahlah, barangkali hal itu bisa membuat mereka lebih puas menikmati hidup? Sementara Pakde dengan cara begini saja sudah nikmat sekali rasanya. Saya sudah begitu berterima kasih pada Tuhan. Lagi pula, rikuh juga mengingat masih banyak teman-teman kita yang hidupnya susah, kok malah saya hidup mewah?”

Sosok semacam Pakde Yono mungkin jarang ditemui di negeri ini. Yang jelas, aku bangga mengenal cukup akrab dan bisa belajar banyak tentang kehidupan dari beliau.

***

 Sampai pada sebuah saat, sesuatu mengejutkan terjadi. Pakde Yono dituduh telah melakukan korupsi ketika menjadi direktur keuangan sekian tahun lalu. Aku sungguh tak paham, bagaimana mungkin beliau melakukan korupsi, merampas sesuatu yang bukan haknya alias menjadi maling? Rasanya hal itu mustahil sekali! Buat apa korupsi, sedangkan keseharian hidupnya -aku tahu persis- tak perlu biaya berlimpah, apalagi hal-hal bersifat mewah. Semua anaknya pun sudah berdikari serta hidup mapan dengan pekerjaannya masing-masing.

Apakah mungkin Pakde Yono memiliki sebuah proyek rahasia yang perlu biaya luar biasa besarnya, hingga mesti korupsi? Apakah mungkin juga ada pihak yang begitu berkuasa membuat sang lelaki sederhana terpaksa melakukan hal tak masuk akal, lantas beliau dijadikan tumbal demi menutupi kebusukan mereka?

Tak kukenal secara saksama orang-orang yang telah menuduh Pakde Yono dan melaporkannya kepada aparat penegak hukum. Sekadar pernah kulihat penampilan mereka di televisi. Kesanku, mereka terlalu banyak omong kosong, tinggi hati, kurang tahu sopan santun, dan jika menilik cara berbusana maupun mobil yang dikendarainya, cara hidup mereka berlebihan. Yang jelas, mereka bukanlah figur yang ingin kuakrabi. Apakah seperti mereka itulah yang bersih, idealis, peduli kepentingan banyak orang, dan bisa dijadikan sebagai tokoh idola di negeri ini?

***

 Sejak berita dugaan korupsi yang dilakukan Pakde Yono mengemuka, demonstrasi yang menuntut beliau dihukum berlangsung di mana-mana. Tidak jarang, caci maki penghinaan ditampilkan para demonstran. Tempat beliau bekerja adalah perusahaan yang sangat ternama, sehingga kasusnya menarik perhatian khalayak ramai. Belasan pengacara terkenal dikabarkan mengantre berhasrat menjadi pembela Pakde Yono. Kebanyakan dari mereka pernah meloloskan para koruptor dari jeratan hukuman yang berat, bahkan ada yang sukses membuat si koruptor diputus bebas murni. Namun, kakak ipar ayahku itu bergeming. Beliau tidak bersedia didampingi mereka dan memilih cukup ditemani tim penasihat hukum yang merupakan teman-teman putra sulungnya.

Kerabat terdekat dan para sahabat Pakde Yono berdatangan ke tempat tinggal beliau di Jakarta untuk memberikan dukungan moral maupun spiritual. Aku yang tinggal di Bogor turut hadir pula. Banyak orang yang datang bersamaan denganku, padahal kami sama sekali tidak janjian. Rumah yang tak terlampau besar itu pun sejenak menjadi rada sesak.

“Saya sungguh menghargai dukungan saudara dan teman-teman terbaik saya yang telah hadir kemari. Terima kasih, Anda semua masih tetap mempercayai saya dalam kondisi seperti saat ini. Saya siap menghadapi tuntutan hukum apa pun. Saya yakin bahwa saya tidak mengambil apa yang bukan hak saya. Apa yang telah saya lakukan adalah semata-mata tugas serta tanggung jawab saya sebagai seorang profesional. Saya mohon doa restu dari semua, semoga kami tetap ikhlas dan tegar menghadapi cobaan ini,” ucap Pakde Yono dengan suara bergetar.

Hening begitu terasa ketika sang tuan rumah bicara. Kami semua yang berada di situ terpaku dan membisu belaka. Apalagi saat Pak Musa, salah satu sahabat Pakde Yono, kemudian memimpin doa bersama. Sempat terdengar isak tangis ketika sang ustaz memanjatkan sejumlah harapan ke hadirat Yang Mahakuasa.  

***

 “Saya dengar, Pakde Yono menolak dibela para pengacara top itu. Kenapa demikian?” tanyaku setelah sebagian besar tamu pulang.

“Iya, padahal mereka kan sudah terbukti hebat. Mereka pernah bisa membebaskan koruptor segala lho, Pakde,” tambah Evan, salah satu keponakan langsung Pakde Yono yang telah kukenal cukup baik.

“Pakde kalian ini kan bukan koruptor, jadi tidak perlu dibela pengacaranya para koruptor itu. Terus saya juga mau bayar mereka pakai duit siapa? Pasti mahal sekali membayar jasa mereka. Bukankah Pakde tidak menyimpan duit hasil korupsinya?” sahut Pakde Yono dengan tersenyum.

“Kok Pakde bisa tetap tenang, ya? Padahal di luar sana banyak yang menghujat dan menghina Pakde. Saya heran dan penasaran, apa mereka tidak pernah diajari sopan santun oleh orangtua dan gurunya?” kata Evan lagi.

“Pakde tetap percaya tidak bersalah dalam hal ini. Suatu saat nanti, waktu akan bicara dan membuktikan bahwa yang benar itu memang benar. Biarlah saya dipandang buruk di mata sesama manusia, yang penting saya selalu berusaha terlihat baik di hadapan Tuhan. Lagi pula kalian juga masih percaya bahwa Pakde orang baik, kan? Masalah sopan santun, saya kurang paham. Tapi, mungkin memang itulah salah satu kekurangan sistem pendidikan di negeri ini, Evan.”

”Jujur saja, aku sebetulnya marah sekali melihat bapakku dibegitukan. Apalagi sebagai wartawan, aku mesti turun ke lapangan dan menyaksikan sendiri bagaimana bapakku demikian direndahkan oleh mereka. Tapi, Bapak selalu berpesan supaya kami bisa sabar, ya aku manut saja,” ujar Mas Dimas menimpali ucapan Pakde Yono.

”Kata Pakde kalian ini, hidup itu memang mesti selalu ada masalah silih berganti. Yang penting, kita harus tetap tenang, sabar, dan berpikir jernih menghadapinya. Toh, Tuhan pasti akan memberikan cobaan yang sesuai dengan kemampuan kita sendiri-sendiri. Betul begitu kan, Pak?” tutur Bude Yono yang disambut anggukan dan senyuman hangat dari suami tercintanya.

***

Pakde Yono lantas mesti berkali-kali menjalani pemeriksaan di kantor kejaksaan, hingga akhirnya ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi di perusahaannya sendiri. Aparat penegak hukum merasa telah memiliki cukup bukti untuk membawa kasus tersebut ke pengadilan. Sebelum diberhentikan, beliau lebih dahulu mengajukan surat pengunduran dirinya sebagai wakil direktur utama agar kinerja perusahaan tidak terusik oleh kasusnya. Pakde Yono pun dikenai status sebagai tahanan sesuai ancaman pidananya. Mereka yang menuduh beliau korupsi bersorak gembira melihat kenyataan yang ada. Sementara itu aku sendiri hampir menangis di depan televisi ketika melihat sosok yang sangat kuhormati digelandang aparat menuju rumah tahanan.

”Bagaimana kondisi Pakde Yono? Sepertinya Pakde terlihat lebih kurus, ya?” tanyaku yang tengah menjenguk beliau sekalian menemani Bude Yono dan Mbak Diah, tiga hari setelah Pakde Yono resmi ditahan.

”Ya, maklumlah. Namanya juga tidak tinggal di rumah sendiri, tidak ditemani istri pula, pantaslah tambah kurus begini. Tapi, Pakde mencoba santai saja menghadapinya. Mungkin memang sudah saatnya bagi saya beristirahat sejenak dari hingar-bingar kesibukan duniawi. Di sini saya malah merasa bisa lebih akrab dengan Ilahi,” ujar Pakde Yono.

”Pakde tidak minta perlakuan istimewa, seperti orang-orang berduit lainnya?” tanyaku iseng karena aku kenal betul karakter beliau.

”Ketimbang buat membayar petugas, ya lebih baik duitnya dikasih ke panti asuhan, membantu mereka yang terkena bencana alam, atau dibelikan buku buat anak-anak sekolah yang tidak mampulah,” jawab Mbak Diah sebelum bapaknya membalas pertanyaanku.

”Iya, betul kata Diah. Lagi pula Pakde ini kan paling hobinya cuma baca buku. Jadi, ya tidak perlulah fasilitas, seperti televisi, karaoke, atau apalah,” sahut Pakde Yono dengan senyuman.

”Baiklah kalau begitu. Intinya, Pakde Yono harus tetap semangat dan jaga kesehatan saja, jadi nanti saat menjalani sidang selalu siap dan kuat,” ucapku sungguh-sungguh.

Pakde Yono manggut-manggut tersenyum sambil tangannya menepuk bahuku, matanya tampak berkaca-kaca. Aku lantas memeluknya sebagai pertanda dukungan moral. Kuharap keyakinan bahwa beliau tidak bersalah memang benar adanya dan terbukti dengan terang benderang dalam sidang di pengadilan, yang dapat berlangsung secara adil, transparan, jujur, dan sesuai nurani. Yang jelas, aku tetap percaya Pakde Yono sanggup menghadapi ujian berat dalam hidup yang tengah dijalaninya akhir-akhir ini.

# Cerpen ini pernah dimuat di Simalaba pada tahun 2018.

Rabu, 04 November 2020

Menanam Cerita Sederhana

Kami memutuskan menanam cerita-cerita sederhana di pekarangan rumah, dimulai dari menghancurkan pagar dan melawan rasa takut kami sendiri.

(Eko Triono dalam cerpen Menanam Cerita)

Selasa, 03 November 2020

Membunuh Sepi Itu Melelahkan

Membunuh sepi itu dahsyat dan melelahkan. Mereka banyak dan tak habis-habis. Kau bunuh satu sepi, sepuluh sepi datang kemudian.

(Felix K. Nesi  dalam cerpen Usaha Membunuh Sepi)

Sabtu, 31 Oktober 2020

Cerpen Jatuh Hati Oktober di basabasi.co



Tiada seorang pun bisa memilih akan jatuh hati pada bulan apa, sebagaimana tokoh dalam cerpen Jatuh Hati Oktober yang bisa disimak selengkapnya di 

https://basabasi.co/jatuh-hati-oktober/

Sabtu, 24 Oktober 2020

Buku Mengubah Takdir Hidup Orang

Buku mengubah takdir hidup orang-orang. Ada yang membaca kisah petualangan Sandokan, Bajak Laut dari Malaysia, dan memutuskan menjadi profesor sastra di universitas-universitas terpencil. Siddharta membuat puluhan ribu anak muda menggandrungi kebatinan, sementara Hemingway membuat mereka menggandrungi olah raga.

(Carlos Maria Dominguez dalam novel Rumah Kertas)

Rabu, 21 Oktober 2020

Di Balik Rahasia Alam

Sungguh, di balik rahasia alam terdapat hikmah abadi yang mengukir keindahan lewat bencana alam dan derita hati.

Keindahan yang muncul sesudahnya tak'kan terbayang sebelumnya.

(Kahlil Gibran)

Senin, 19 Oktober 2020

Membaca Kembali yang Lama Tersimpan


 

Ketika membeli buku baru tak lagi menjadi kebiasaan lantaran keadaan, maka membaca kembali mereka yang sekian masa tersimpan menjadi pilihan.

Sabtu, 17 Oktober 2020

Ada Hal yang Tidak Serius

Ada banyak hal yang mesti kita coba dan temukan. Tetapi ada hal-hal tertentu yang seharusnya tidak kita pikirkan dengan serius. Ada sebagian dari segala sesuatu yang secara penampakan wujud lahirnya memiliki cacat-cacat tersendiri.

(Samuel Beckett dalam cerpen Molloy)

Rabu, 14 Oktober 2020

Tak Ada Dusta yang Betul-Betul Dusta

Saya mendengar banyak hal, mendengar banyak dusta dan kebohongan. Tetapi makin lama saya hidup makin saya mengerti, bahwa sesungguhnya tak ada dusta yang betul-betul dusta. Semuanya hanya impian di malam hari.

(Isaac Bashevis Singer dalam cerpen Gimpel Si Tolol)

Senin, 12 Oktober 2020

Proses Pemurnian Kembali

"Azab" bukanlah siksaan, melainkan proses pemurnian kembali. Seperti halnya emas dalam proses pemurniannya, manusia pun membutuhkan proses pemurnian menuju kebersatuan kembali. Betapa pun deritanya, tetaplah sebuah kenikmatan manakala prosesnya adalah menuju kebersatuan dan kemanunggalan abadi

(Sujiwo Tejo & Dr. M.N. Kamba dalam buku Tuhan Maha Asyik)

Rabu, 07 Oktober 2020

Adakah Takdir Buruk?

Apa gerangan beda antara nasib dan takdir? Kalau kita mengajukan pertanyaan itu ke Rama dan Rahwana, tentu jawaban mereka berbeda. Apalagi kalau mengajukan pertanyaan tersebut ke Laksmana atau Sita. Ada nasib buruk, ada nasib baik; tetapi adakah takdir buruk?

(Sapardi Djoko Damono dalam cerpen Dongeng Rama dan Sinta)

Kadang Perlu Gelap

"Manusia harus berpihak kepada Terang dan menolak Gelap. Aku berpendapat lain. Kadang-kadang kita butuh gelap untuk lebih merasuk ke dalam misteri," sambungnya. Pemain wayang termangu.

(Bakdi Soemanto dalam cerpen Topeng)

Kamis, 01 Oktober 2020

Sejarah Bali (45.000 SM - 2020 M)


Video "Sejarah Bali" karya Lazardi Wong Jogja alias M. Lazuardi Krisantya.

Kasihan Bangsa yang Terpecah-pecah

"Kasihan bangsa yang terpecah-pecah dalam kepingan, dan setiap kepingnya merasa dirinya sebagai bangsa."

(Kahlil Gibran)

Rabu, 30 September 2020

Nabi adalah Cinta dan Kasih Sayang



 

Kutipan Cerpen Pengembara dari Aleppo

Seruling tulang keledai di kantong kulit milik Jalaluddin Rumi tiba-tiba berbunyi sendiri, tanpa ada yang meniup. Murid-muridnya tersentak. Kaget. 

(Adam Gottar Parra dalam cerpen Pengembara dari Aleppo)

Selasa, 29 September 2020

Sensasi Membuat Cerita

Rasanya bahagia sekali, bisa menikmati sensasi membuat cerita. Menjadi seorang dalang dengan kata-kata. Bermain-main dengan isi kepala. Rasanya hal seperti ini telah lama sekali tidak saya nikmati.

(Puthut EA dalam cerpen Usaha Menulis Sebuah Cerita Pendek)

Rabu, 23 September 2020

Tak Perlu Terkenal

Tak perlu serakah, tak perlu terkenal, dan tak perlu kaya jika semuanya tak memberikan keagungan jiwa. Hidup ada langgamnya. Di zaman ini kita diminta tidak ikut edan bersama mereka yang sudah edan beneran.

(Mohamad Sobary)

Minggu, 20 September 2020

Berganti Profesi

 

 
Cerpen Berganti Profesi dimuat di Harian Bhirawa pekan ini dan bisa disimak di
https://www.harianbhirawa.co.id/berganti-profesi/
 

Sabtu, 19 September 2020

Kebudayaan Tak Ubahnya Pulau Kecil

Di Indonesia, sastra, seni, dan kebudayaan tak ubahnya sebuah pulau kecil, sebuah enclave, atau sekadar zarrah di tengah gebalau zaman yang riuh rendah oleh politik, ekonomi, perebutan kekuasaan, korupsi, dan selanjutnya.

(Iman Budhi Santosa dalam majalah Sabana)


Rabu, 16 September 2020

Mendengarkan Rintihan Apa Saja

Sekali waktu kau perlu mendengarkan rintihan benda-benda atau apa saja di sekitarmu, yang tak pernah kau perhatikan. Mungkin itu sebutir kerikil, mungkin seekor kadal, atau sebatang alang-alang, atau apa saja.

(AS Laksana dalam cerpen Kisah Batu Menangis)

Pepatah Bukan Sekadar Kembang Gula Susastra

Pepatah bukan sekadar kembang gula susastra. Dibutuhkan pengalaman pahit untuk memformulasikannya. Dibutuhkan orang yang setengah mati berakit-rakit ke hulu agar tahu nikmatnya berenang santai ke tepian. Dibutuhkan orang yang tersungkur jatuh dan harus lagi tertimpa tangga. Dibutuhkan sebelanga susu hanya untuk dirusak setitik nila. Dibutuhkan seorang Hera yang mencari Herman.

(Dee dalam cerpen Mencari Herman)

Selasa, 15 September 2020

Menulis Pada Dasanya Memberi

Menulis itu pada dasarnya memberi, setelah begitu banyak yang kita terima.
Menulis itu pada dasanya mengeluarkan, setelah begitu banyak yang kita tahan.

(Bambang Trim)

Minggu, 13 September 2020

Sebuah Riwayat Cinta Singkat


Dua bulan silam, Om Himawan datang ke rumah kami bersama Eyang Putri. Paman dan nenekku tinggal di Jakarta, sementara kami berada di Yogyakarta. Eyang Kakung sudah tutup usia sekian tahun silam. Om Himawan merupakan adik kandung bapakku. Dalam usianya yang hampir empat puluh lima, ia masih melajang. Tiga orang adiknya malah lebih dahulu berkeluarga. Bahkan keponakannya, termasuk kakak perempuanku, sudah ada yang menikah pula. Seorang perempuan yang usianya tak jauh berbeda dengannya akan diperkenalkan kepada pamanku. Eyang Darsono, sahabat keluarga Eyang Kakung yang memiliki inisiatif untuk menjodohkan Om Himawan dengan keponakannya yang tinggal di Yogyakarta. Setahuku, Eyang Darsono sudah berteman karib dengan mendiang kakekku semenjak puluhan tahun silam. Hubungan beliau dengan keluarga besar kami memang terjalin dengan apik, termasuk sepeninggal Eyang Kakung. Om Himawan sendiri semula enggan dijodohkan dengan keponakan Eyang Darsono, namun ia mencoba menerimanya. Aku tak terlalu paham mengapa pamanku belum menikah, padahal ia memiliki karier pekerjaan yang cemerlang dan bahkan telah memiliki rumah sendiri. Mungkin lantaran masalah jodoh sejatinya memang rahasia Ilahi. Kendati demikian, Om Himawan memilih tinggal bersama ibu dan seorang adiknya yang telah berkeluarga. Rumah miliknya justru disewakan karena lokasinya jauh sekali dari tempatnya bekerja.

Bapak, Ibu, dan Eyang Putri yang mengantarkan Om Himawan mengunjungi rumah orangtua Tante Cemara, perempuan yang diharapkan menjadi istri pamanku. Yang penting, mereka berdua dipertemukan lebih dahulu. Andaikata mereka memiliki kecocokan, keluarga kedua belah pihak tentu siap mendukung sepenuhnya pernikahan mereka. Namun kami tak kuasa memaksa mereka berdua agar menjadi sepasang kekasih. Yang lantas terjadi, tampaknya Om Himawan maupun Tante Cemara bersedia serius saling menjajaki satu sama lain. Mereka berdua pun bertukar nomor telepon dan akan melakukan komunikasi intensif, meski kebersamaan mereka terpisah oleh jarak dua kota. Om Himawan bahkan berjanji kembali ke Yogyakarta selekasnya, supaya dapat berbicara dari hati ke hati secara empat mata dengan Tante Cemara yang telah resmi menjadi kekasihnya.

***

Sejak saat itu, hampir setiap akhir pekan Om Himawan berada di Yogyakarta untuk menemui Tante Cemara. Hubungan mereka berdua cenderung semakin akrab hari demi hari. Pamanku pun bercerita kepada kami soal riwayat cintanya yang terus berkembang dan terlihat indah.

“Saya dan Jeng Ara sudah makin mantap menuju pelaminan. Saya mohon dukungannya dari semua di sini, ya,” ujar pamanku di depan keluarga kami.
“Dik Wawan tak usah khawatir, kami justru senang sekali jika kamu akhirnya menikah dan bahagia bersamanya,” sahut ibuku dengan rona wajah sumringah.
“Iya, pokoknya semua di sini siap mendukung sepenuhnya, demi kebahagiaan Om Wawan,” ucapku yang serta-merta ikut berkomentar saja.
“Terima kasih, ya,” kata pamanku terharu.
”Lalu kapan rencanamu melamarnya?” tanya Bapak.
Insya Allah, dua minggu mendatang saya akan membawa Ibu kemari lagi untuk secara resmi melamar Jeng Ara.”

Maka sebulan lalu, Om Himawan jadi melamar Tante Cemara. Rombongan keluarga besar kami terdiri dari sepuluh orang. Selain keluarga Bapak yang tinggal di Yogyakarta, ada adik Eyang Putri yang hadir, demikian pula paman dan bibiku termasuk dalam rombongan. Tante Cemara tak memiliki alasan apa pun untuk menolak lamaran itu. Tanggal pernikahan memang belum ditentukan kepastiannya, karena masih akan dibicarakan oleh pihak keluarga yang lebih berkompeten. Tapi jangka waktunya direncanakan dalam dua bulan sesudah acara lamaran tersebut.

Wajah Om Himawan tampak berseri-seri sekembalinya kami dari rumah Tante Cemara pada Sabtu malam itu. Sungguh berbeda dengan saat kami berangkat dari rumah, ia terlihat pucat pasi dan tegang sekali. Namun beberapa jam kemudian, tanpa sengaja kulihat pamanku melamun sendirian di teras rumah kami kala tengah malam. Kebetulan aku terjaga karena bermaksud ke kamar mandi. Kulihat pintu ruang depan yang terbuka, lantas kuhampiri pintu tanpa suara. Om Himawan ternyata tampak berada di luar sana. Aku bergeming belaka, tak ingin kuusik pamanku yang sedang menikmati kesendiriannya. Barangkali ia tengah membayangkan masa depannya, hidup bersukacita bersama kekasihnya. Aku pun memilih kembali ke tempat peraduanku.

***

Dua minggu setelah acara lamaran pamanku, sebuah kabar sangat mengejutkan kami terima dari Jakarta. Pagi hari itu pamanku tak kunjung bangun dari tidurnya. Sekitar jam sepuluh, Om Prasetyo yang tinggal serumah dengannya berinisiatif memanggil dokter dari klinik terdekat agar melihat kondisi Om Himawan. Setelah diperiksa oleh sang dokter, ternyata jasad pamanku semata yang terbujur kaku di atas dipan. Om Himawan divonis terkena serangan jantung dan nyawanya telah pergi dari raganya.

”Apakah Jeng Ara sudah diberitahu?” tanya Bapak setelah mendapat berita duka tersebut melalui telepon.
”Belum, Mas. Kami tidak tahu bagaimana caranya mengabarkan hal itu pada Mbak Ara. Jadi, kami minta tolong keluarga di Jogja yang menyampaikannya, ya,” jawab Om Prasetyo penuh harap.
”Tugas yang berat, Pras. Tapi kami memang mesti memberitahu Jeng Ara, apa pun risikonya. Semoga kami sudah sampai di Jakarta besok pagi.”

Bapak dan Ibu bergegas mendatangi rumah orangtua Tante Cemara siang itu. Kami belum memberitahunya bahwa Om Himawan sudah tiada, lantaran tidak tega dan tak bisa membayangkan bagaimana reaksinya menerima kabar sedih tersebut. Kami hanya diharapkan segera datang ke Jakarta karena kekasih Tante Cemara dikabarkan dalam kondisi kesehatan yang kritis. Sore harinya, kami meninggalkan Yogyakarta dengan kereta api. Aku ikut mendampingi bapak ibuku maupun calon istri mendiang pamanku dalam perjalanan itu. 

Semalaman aku tak bisa tidur, tapi terus saja kucoba memejamkan mata. Aku hanya berusaha agar tak sampai berbicara apa-apa dengan Tante Cemara. Tentu aku tak mau, jika sampai lepas kendali dan malah mengatakan apa yang terjadi sesungguhnya soal Om Himawan. Sepertinya Bapak maupun Ibu melakukan hal yang sama denganku.
Fajar tengah merekah ketika kami naik taksi menuju rumah Eyang Putri, tempat jenazah Om Himawan disemayamkan. Aku duduk di sebelah sang pengemudi. Ibuku, yang berada di samping Bapak dan Tante Cemara, akhirnya berbicara terus terang.

”Tolong, Jeng Ara yang tegar, ya. Sebetulnya, Mas Wawan sudah meninggal siang kemarin. Kita hari ini datang ke Jakarta untuk menghadiri pemakamannya,” ucap Ibu terbata-bata seraya menahan emosinya.

Sempat hening sesaat. Pandanganku tetap tertuju ke arah jalan. Terdengarlah kemudian suara isak tangis Tante Cemara belaka. Ibu maupun Bapak berusaha menenangkan perasaannya yang jelas sangat terluka. Sementara diriku bergeming belaka. Kusimpan duka nan dalam nian, membuat sesak di dada terasa begitu dominan. Sekejap terlintas di benakku segala yang terjadi selama dua bulan berselang, termasuk ketika kulihat pamanku melamun di teras rumahku seusai ia melamar kekasihnya. Apakah hal itu sejatinya pertanda sesuatu? Entahlah. Yang jelas, betapa singkat ternyata riwayat cinta yang terjadi antara Om Himawan dan Tante Cemara pada akhirnya.

# Cerpen ini dimuat di Bangka Pos, 22 November 2015 dengan judul “Riwayat Cinta Himawan”.

Selasa, 08 September 2020

Belajar dari Alam


"Alam itu lebih agung daripada kita semua, demikian pula misteri penyakit--sebuah dimensi yang cenderung kita abaikan, bersamaan dengan gagasan mengenai kematian, karena menderita penyakit atau sekarat tampaknya sulit untuk kita pahami. Hal-hal semacam itu hanya terjadi pada orang lain, meski sebenarnya tidak juga. Alam tidak hanya penuh ancaman, tetapi juga memamerkan keindahan dan kelembutan. Dan hal semacam ini merupakan pelajaran yang tidak pernah usai." 

Membaca kembali Playing On karya Alessandro Del Piero dan Maurizio Crosetti, menemukan seberkas cahaya yang menerangi hati maupun jiwa. 

Senin, 07 September 2020

Menjadi Filsuf


"Ibrahimovic mengira ia telah mengejek Guardiola dengan sebutan Sang Filsuf, tapi jika dipikir-pikir itu sebenarnya pujian yang baik. Menjadi seorang filsuf berarti berpikir, mencari kearifan, dan mempunyai prinsip-prinsip yang memandu dan mempengaruhi setiap langkah kita. Menjadi filsuf berarti memberi makna, menemukan jalan hidup di dunia, percaya bahwa pada akhirnya, di setiap kesempatan, kebaikan akan mengalahkan kejahatan sekalipun harus sedikit menderita dalam perjalanan menuju ke sana." 

Dikutip dari buku I Think Therefore I Play karya Andrea Pirlo bersama Alessandro Alciato.