Bapak, Ibu, dan Eyang Putri yang mengantarkan Om Himawan mengunjungi rumah orangtua Tante Cemara, perempuan yang diharapkan menjadi istri pamanku. Yang penting, mereka berdua dipertemukan lebih dahulu. Andaikata mereka memiliki kecocokan, keluarga kedua belah pihak tentu siap mendukung sepenuhnya pernikahan mereka. Namun kami tak kuasa memaksa mereka berdua agar menjadi sepasang kekasih. Yang lantas terjadi, tampaknya Om Himawan maupun Tante Cemara bersedia serius saling menjajaki satu sama lain. Mereka berdua pun bertukar nomor telepon dan akan melakukan komunikasi intensif, meski kebersamaan mereka terpisah oleh jarak dua kota. Om Himawan bahkan berjanji kembali ke Yogyakarta selekasnya, supaya dapat berbicara dari hati ke hati secara empat mata dengan Tante Cemara yang telah resmi menjadi kekasihnya.
***
Sejak saat itu, hampir setiap akhir pekan Om Himawan berada di Yogyakarta untuk menemui Tante Cemara. Hubungan mereka berdua cenderung semakin akrab hari demi hari. Pamanku pun bercerita kepada kami soal riwayat cintanya yang terus berkembang dan terlihat indah.
“Saya dan Jeng Ara sudah makin mantap menuju pelaminan. Saya mohon dukungannya dari semua di sini, ya,” ujar pamanku di depan keluarga kami.
“Dik Wawan tak usah khawatir, kami justru senang
sekali jika kamu akhirnya menikah dan bahagia bersamanya,” sahut ibuku dengan
rona wajah sumringah.
“Iya, pokoknya semua di sini siap mendukung
sepenuhnya, demi kebahagiaan Om Wawan,” ucapku yang serta-merta ikut
berkomentar saja.
“Terima kasih, ya,” kata pamanku terharu.
”Lalu kapan rencanamu melamarnya?” tanya Bapak.
”Insya
Allah, dua minggu mendatang saya akan membawa Ibu kemari lagi untuk
secara resmi melamar Jeng Ara.”
Maka sebulan lalu, Om Himawan jadi melamar Tante Cemara. Rombongan keluarga besar kami terdiri dari sepuluh orang. Selain keluarga Bapak yang tinggal di Yogyakarta, ada adik Eyang Putri yang hadir, demikian pula paman dan bibiku termasuk dalam rombongan. Tante Cemara tak memiliki alasan apa pun untuk menolak lamaran itu. Tanggal pernikahan memang belum ditentukan kepastiannya, karena masih akan dibicarakan oleh pihak keluarga yang lebih berkompeten. Tapi jangka waktunya direncanakan dalam dua bulan sesudah acara lamaran tersebut.
Wajah Om Himawan tampak berseri-seri sekembalinya kami dari rumah Tante Cemara pada Sabtu malam itu. Sungguh berbeda dengan saat kami berangkat dari rumah, ia terlihat pucat pasi dan tegang sekali. Namun beberapa jam kemudian, tanpa sengaja kulihat pamanku melamun sendirian di teras rumah kami kala tengah malam. Kebetulan aku terjaga karena bermaksud ke kamar mandi. Kulihat pintu ruang depan yang terbuka, lantas kuhampiri pintu tanpa suara. Om Himawan ternyata tampak berada di luar sana. Aku bergeming belaka, tak ingin kuusik pamanku yang sedang menikmati kesendiriannya. Barangkali ia tengah membayangkan masa depannya, hidup bersukacita bersama kekasihnya. Aku pun memilih kembali ke tempat peraduanku.
***
Dua minggu setelah acara lamaran pamanku, sebuah kabar sangat mengejutkan kami terima dari Jakarta. Pagi hari itu pamanku tak kunjung bangun dari tidurnya. Sekitar jam sepuluh, Om Prasetyo yang tinggal serumah dengannya berinisiatif memanggil dokter dari klinik terdekat agar melihat kondisi Om Himawan. Setelah diperiksa oleh sang dokter, ternyata jasad pamanku semata yang terbujur kaku di atas dipan. Om Himawan divonis terkena serangan jantung dan nyawanya telah pergi dari raganya.
”Apakah Jeng Ara sudah diberitahu?” tanya Bapak setelah mendapat berita duka tersebut melalui telepon.
”Belum, Mas. Kami tidak tahu bagaimana caranya
mengabarkan hal itu pada Mbak Ara. Jadi, kami minta tolong keluarga di Jogja
yang menyampaikannya, ya,” jawab Om Prasetyo penuh harap.
”Tugas yang berat, Pras. Tapi kami memang mesti
memberitahu Jeng Ara, apa pun risikonya. Semoga kami sudah sampai di Jakarta
besok pagi.”
Bapak dan Ibu bergegas mendatangi rumah orangtua Tante Cemara siang itu. Kami belum memberitahunya bahwa Om Himawan sudah tiada, lantaran tidak tega dan tak bisa membayangkan bagaimana reaksinya menerima kabar sedih tersebut. Kami hanya diharapkan segera datang ke Jakarta karena kekasih Tante Cemara dikabarkan dalam kondisi kesehatan yang kritis. Sore harinya, kami meninggalkan Yogyakarta dengan kereta api. Aku ikut mendampingi bapak ibuku maupun calon istri mendiang pamanku dalam perjalanan itu.
Semalaman aku tak bisa tidur, tapi terus saja kucoba memejamkan mata. Aku hanya berusaha agar tak sampai berbicara apa-apa dengan Tante Cemara. Tentu aku tak mau, jika sampai lepas kendali dan malah mengatakan apa yang terjadi sesungguhnya soal Om Himawan. Sepertinya Bapak maupun Ibu melakukan hal yang sama denganku.
Fajar tengah merekah ketika kami naik taksi menuju
rumah Eyang Putri, tempat jenazah Om Himawan disemayamkan. Aku duduk di sebelah
sang pengemudi. Ibuku, yang berada di samping Bapak dan Tante Cemara, akhirnya
berbicara terus terang.
”Tolong, Jeng Ara yang tegar, ya. Sebetulnya, Mas Wawan sudah meninggal siang kemarin. Kita hari ini datang ke Jakarta untuk menghadiri pemakamannya,” ucap Ibu terbata-bata seraya menahan emosinya.
Sempat hening sesaat. Pandanganku tetap tertuju ke arah jalan. Terdengarlah kemudian suara isak tangis Tante Cemara belaka. Ibu maupun Bapak berusaha menenangkan perasaannya yang jelas sangat terluka. Sementara diriku bergeming belaka. Kusimpan duka nan dalam nian, membuat sesak di dada terasa begitu dominan. Sekejap terlintas di benakku segala yang terjadi selama dua bulan berselang, termasuk ketika kulihat pamanku melamun di teras rumahku seusai ia melamar kekasihnya. Apakah hal itu sejatinya pertanda sesuatu? Entahlah. Yang jelas, betapa singkat ternyata riwayat cinta yang terjadi antara Om Himawan dan Tante Cemara pada akhirnya.
# Cerpen ini dimuat di Bangka Pos, 22 November 2015 dengan judul “Riwayat Cinta Himawan”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar