Sabtu, 29 Januari 2022

Sebuah Risalah Vaksinasi Dimuat di KR

 



Sebatas berbagi pengalaman menjalani vaksinasi di masa pandemi, sekalian mengenang Ibu serta mengingat masa kecilku. Ternyata cerpen itu beruntung dimuat di Kedaulatan Rakyat edisi Jumat, 28 Januari 2022. Karya tulis pertama di tahun baru.

Kamis, 27 Januari 2022

Waktu Kadang Cepat Melesat

Maka sejak saat itu, menjadi kenanganlah segala hal tentang Ibunda. Hanya mampu kurasakan rindu, tanpa tahu bila waktunya dapat bertemu lagi dengan dirinya. Kadangkala sosok mungilnya belaka hadir dalam bunga tidurku, tanpa kami bisa berkata-kata.

Saat itu sudah 15 tahun berlalu. Cerpen Menjelang Kepergian Ibunda pun dimuat enam tahun silam. Waktu terkadang terasa cepat melesat.

(LSP)

Rabu, 26 Januari 2022

Sejarah Manusia Diolah


Sejarah manusia diolah dengan pendayagunaan akal dan nurani. Zaman berlangsung dengan upaya manusia untuk berijtihad secara dinamis, belajar dari pengalaman dan kejadian-kejadian. Dinamika pembelajaran membuat manusia mestinya menjadi lebih dewasa, lebih matang, lebih menep, dan punya ilmu keseimbangan dalam diri serta penyeimbangan secara sosial.

(Emha Ainun Nadjib dalam buku Apa yang Benar, Bukan Siapa yang Benar) 

Minggu, 23 Januari 2022

Mbah Jon Kangen Mati

 

Entah sudah berapa banyak orang saja, yang akrab dikenalnya, telah meninggalkan lelaki tua itu untuk selamanya. Mereka adalah orang-orang yang dicintainya. Ada istri pertama dan keduanya, anak pertama dan ketiganya, adik-adiknya, sejumlah keponakannya, juga mayoritas sahabatnya. Menurut perkiraannya sendiri, usianya sudah sembilan puluh enam tahun. Jelas sebuah usia yang sangat lanjut. Dan sudah semestinya orang akan bersyukur sekali dikaruniai kesempatan hidup di dunia yang begitu panjang. Namun tidak demikian yang terjadi pada lelaki tua bernama Karjono atau yang akrab dipanggil oleh khalayak dengan nama Mbah Jon.

“Aku sebetulnya sudah bosan hidup. Rasanya, aku sudah mendapatkan semuanya di dunia ini. Lha, orang-orang yang kukenal juga sudah terus berkurang. Termasuk mbah kakungmu saja sudah ndak ada lagi toh?” cetus Mbah Jon kepada Anto, salah satu cicitnya yang sebentar lagi menikah.
“Wah, Mbah Buyut Kakung itu harusnya ya bangga, dong! Saya yang cicitnya Mbah saja sebentar lagi menikah dan masih bisa dimenangi sama Mbah Buyut. Saya jelas senang dan bangga sekali, walaupun Mbah Kakung saya sendiri malah sudah lama wafat. Kita semua mesti bersyukur masih ada Mbah Buyut Kakung yang panjang umur dan sehat begini.”
“Ya, bukannya aku terus ndak bersyukur. Cuma aku kok rasanya sudah tambah kangen pengen merasakan mati toh?” kata Mbah Jon menerawang.
Anto hanya bisa diam, mencoba mengerti, namun ia tak kunjung memahami hasrat hati kakek buyutnya.

***
“Nuwun sewu, Mbah Jon ini kok lucu ya? Di mana-mana orang itu punya cita-cita panjang umur dan sehat terus, Mbah. Lha, panjenengan sudah diparingi itu semua, kok malah inginnya mati saja?” ujar Pak Jarwo, Ketua RT tempat Mbah Jon tinggal.
Kepada setiap orang yang sempat diajaknya bicara, Mbah Jon memang selalu mengungkapkan kerinduannya terhadap kematian. Termasuk saat ia melayat salah seorang tetangganya yang meninggal, lantas bertemu dengan Pak Jarwo maupun warga lainnya.

“Iya, Mbah Jon. Saya juga pengen banget bisa seperti Mbah yang sudah 90-an tahun umurnya, tapi masih bugar dan gagah begini,” tambah Pak Didin, tetangga Mbah Jon yang lain.
“Yah, kadang-kadang orang cuma bisa melihat yang lain, terus komentarnya, kok enak ya bisa begitu? Padahal kalau sudah dirasakan sendiri, ya ndak mesti senikmat yang dibayangkan sebelumnya,” sahut Mbah Jon sendu.
“Iya juga sih, Mbah. Tapi berapa banyak orang yang sudah tua dan sakit-sakitan? Pasti jumlahnya tidak sedikit. Seperti juga Eyang Roes ini, lebih dari lima tahun beliau hanya bisa berbaring sejak kena stroke, baru akhirnya dikersakke Gusti Allah meninggal sekarang,” ujar Pak Jarwo.
“Itulah, Pak RT. Saya terus terang malah iri sama Pak Roes. Lha, waktunya untuk saya itu terus kapan? Saya itu bakal seneng banget kalau bisa mati secepatnya.”
“Sudahlah, wong memang belum waktunya Mbah Jon meninggal dan masih bisa merasakan hidup di dunia. Jadi, nikmati dan santai sajalah, Mbah,” hibur Pak Didin.

Begitu dalam keinginan Mbah Jon untuk sampai pada peristiwa kematiannya sendiri, bahkan mungkin sudah menjadi semacam obsesi. Namun tentunya masih ada alasan yang tak selalu bisa kita pahami, andaikata Tuhan memang masih menghendakinya bernapas di atas buana. Mbah Jon justru merasa sudah tak mempunyai cukup alasan untuk hidup lebih lama. Semua hal yang bersifat kebendaan toh telah diperolehnya, sementara sudah tiada lagi hasratnya memiliki apa-apa di muka bumi. Yang pokok baginya, ia sudah ingin sekali merasakan mati, lantas bisa kembali bertemu dengan orang-orang tercintanya. Merekalah yang menjadi tujuan kerinduan dan pengobar semangat hidup Mbah Jon di dunia selama ini.

***
Betapa terobsesinya Mbah Jon untuk mendekatkan dirinya dengan kematian, hingga suatu kali ia membuat sebuah kehebohan. Malam itu kampung tempat tinggalnya geger, ketika anak cucu Mbah Jon tidak menemukan dirinya di seluruh penjuru tempat tinggalnya. Mbah Jon hilang dari rumahnya! Warga pun segera dikumpulkan oleh Ketua RT.

“Terus terang kami khawatir jika Mbah Kakung mengambil jalan pintas. Beliau itu soalnya sudah ingin sekali meninggal. Apa bapak-bapak bisa menduga, kira-kira Mbah Kakung ada di mana?” tanya Banu, salah satu cucu Mbah Jon di depan warga.
“Apa kita coba saja mulai mencarinya dari kuburan? Siapa tahu Mbah Jon ada di sana?” usul Pak Jarwo.
“Ide yang bagus, Pak RT! Kuburan kan tempat tinggalnya orang mati, mungkin sekali Mbah Jon ada di sana!” seru seorang warga yang disambut suara-suara setuju.

Maka beberapa anggota keluarga Mbah Jon beserta sejumlah warga beranjak menuju makam terdekat. Ternyata dugaan itu benar adanya. Mereka menemukannya tengah pulas terlelap di keranda yang terletak di sebuah sudut kuburan. Anak cucu Mbah Jon membangunkannya, lantas mengajaknya pulang untuk tidur di rumah saja. Dengan berat hati, lelaki tua tersebut menuruti apa kata mereka.

“Mbah Jon itu kok ada-ada saja ya? Padahal di luar negeri itu ada terapi baru, tidur di tempat semacam keranda itu justru untuk kesehatan. Katanya tidur di situ lebih tenang dan malah bisa memperpanjang umur. Begitu yang kemarin sempat saya lihat di televisi,” ungkap Pak Nadir, salah satu warga saat melihat proses pemulangan Mbah Jon.

“Wah, Mbah Jon pasti tidak tahu hal itu. Jangan-jangan, beliau malah umurnya tambah panjang setelah tidur di keranda,” komentar Pak Didin yang disambut senyuman orang-orang yang mendengarnya.

Sejak peristiwa malam itu, keluarga Mbah Jon berusaha benar menjaganya untuk tidak sampai melakukan hal-hal aneh lainnya, karena keberadaannya masih sangat berharga dalam keluarga. Hingga suatu hari ada tetangga Mbah Jon yang kesripahan lagi. Ruli, anak perempuan Pak Didin yang baru berusia tiga puluh tahun meninggal dunia terkena serangan jantung.

“Walah, bahagianya ya Nak Ruli ini. Masih muda sekali sudah merasakan mati,” celetuk Mbah Jon saat datang melayat.
“Sst, Mbah Kakung jangan ngendika seperti itu toh! Pak Didin dan keluarganya pasti sedih sekali dengan kematian Ruli,” ujar Banu yang mengantar kakeknya.
“Le, aku itu cuma bicara sendiri kok. Aku nanti pasti juga bakal ngomong ikut bela sungkawa sama Pak Didin dan keluarganya,” sahut Mbah Jon rada tersinggung.

***
Sepulangnya ke rumah, Mbah Jon kembali kepikiran dengan niatnya ingin segera mati. Sepertinya ia tidak sudi lagi untuk terus menanti, sudah habislah kesabarannya selama ini. Orang-orang tercintanya yang telah tiada seakan terus merayunya untuk segera bergabung dengan mereka di alam sana. Mbah Jon pun mantap memutuskan mengakhiri hidup dengan menggantung tubuhnya pada sebuah pohon besar di halaman belakang rumahnya. Dengan kondisi fisik yang masih baik, ia bisa mempersiapkan segala sesuatunya seorang diri. Hal itu dilakukannya menjelang siang, ketika orang-orang serumahnya tengah sibuk dan tidak ada yang sempat memerhatikan dirinya. Maka terwujudlah kerinduan Mbah Jon pada kematian dengan suatu jalan pintas. Sebuah obsesi pun akhirnya telah tuntas.

TAMAT

# Cerpen ini pernah dimuat di Radar Surabaya Minggu, 20 Januari 2013.

Sabtu, 22 Januari 2022

Kalau Orang Hidupnya Serius Terus

Kalau ada orang yang hidupnya serius terus, tidak ada waktu santai -tidak pernah sesekali rekreasi, main, atau guyon- berarti dia tidak sejati sebagai manusia. Ia kehilangan fitrahnya.

(Fahruddin Faiz dalam  buku Menjadi Manusia Menjadi Hamba) 

Kamis, 20 Januari 2022

Tak Nyaman Tanpa Percaya Diri


Seseorang tidak akan bisa merasa nyaman tanpa kepercayaan pada dirinya sendiri.

(Mark Twain)

Senin, 17 Januari 2022

Nyaris Sepi Dikisahkan

Bagaimana rakyat jelata membangun desa/kampung (permukiman) secara nyata jarang dicatat dan diungkapkan. Bagaimana rakyat menemukan rebung hingga dapat diolah menjadi sayur, menemukan daun sembukan sebagai obat sakit perut atau daun dadap serep untuk obat sakit panas, nyaris sepi dikisahkan.

(Iman Budhi Santosa dalam Prolog : Spiritualisme Kerja Wong Cilik)

Sabtu, 15 Januari 2022

Agar Manusia Memahami


 "Allah menciptakan dunia ini agar melalui objek-objeknya yang terlihat, manusia bisa memahami ajaran-ajaran spiritualnya serta kebijaksanaannya yang amat mengagumkan. Itulah yang kumaksud dengan tindakan."

(Paulo Coelho dalam Sang Alkemis)

Senin, 10 Januari 2022

Catatan Kecil Awal 2022


Pandemi covid-19 masih belum berakhir pada tahun 2021. Vaksinasi sudah dilaksanakan dan saya sendiri sudah mendapatkannya. Sempat ada periode buruk terjadi, ketika setiap harinya jumlah mereka yang dinyatakan positif terinfeksi covid-19 dan bahkan mereka yang tutup usia, terbilang besar angkanya. Salah satu kakak saya pun sempat dinyatakan positif, tapi syukurlah masih dalam fase ringan dan akhirnya dinyatakan sembuh. Beberapa kerabat, teman, dan kenalan pun sempat mengalaminya. Ada pula yang hingga padam nyawa. Namun, lambat laun hal-hal baik mulai kembali bersama kita hingga akhir tahun.

Alhamdulillah, diri ini masih bisa mengalami tahun baru lagi. Saudara-saudara terdekat masih utuh biarpun sempat terusik kesehatannya. Kesulitan finansial cukup mendominasi karena tiadanya pekerjaan dan penghasilan tetap selama pandemi. Namun, beruntunglah masih ada tujuh buah cerpen yang dimuat serta menghasilkan rezeki. Masih bisa pula menuntaskan 10 cerpen anyar dan pergi ke toko buku demi mendapatkan 10 buku baru dalam setahun. Terima kasih tentu saja tak terlupa untuk orang-orang baik yang memberi bantuan dalam pelbagai rupa hingga diri ini tetap bertahan dalam kesabaran dan dalam segala keterbatasan. Ternyata masih ada pula sejumlah kegembiraan di antara banyak kedukaan maupun kekecewaan. Semoga semakin banyak hal apik becik terjadi pada tahun 2022. Aamiin...

(LSP)

Mengutip salah satu puisi Joko Pinurbo dalam buku Surat Kopi : 

Aku belum lupa cara berbahagia
Dompet boleh padam 
Rezeki tetap menyala



Minggu, 09 Januari 2022

Sugeng Tindak Eyang Moeradi



Seminggu yang lalu mengantar kepergian belahan jiwa sahabat kami. Menyaksikan betapa banyak yang kehilangan dan mendoakan seseorang yang baik, perhatian dengan siapa saja, dan selalu berusaha mempersembahkan yang terbaik dalam setiap langkah kehidupannya. 

Hari ini kembali kami kehilangan sosok seseorang yang baik, sesepuh warga di kampung, yang menjadi 'eyang' bagi anak-anak di lingkungan kami. Beliau lah eyang Muradi kakung. Eyang Muradi kakung dan putri tinggal di ujung kompleks perumahan. Sejak kami tinggal di Jogja, beliau sekeluarga sudah terlebih dahulu menempati kompleks perumahan. Saya dan adik sebaya dengan dua putera beliau. Setiap bapak ibu 'kagungan kersa', eyang Muradi kakung putri selalu mendampingi. Ibu suwargi kompak menggiatkan kampung dan tindak haji berdua dengan eyang Muradi putri. 

Setelah saya menikah, selalu ada masa saat anak-anak kami dimomong oleh eyang Muradi kakung. Anak cucu tetangga pun dekat dengan beliau. Saat anak cucu tetangga masih bayi, eyang ikut mendorong kereta keliling kompleks. Saat mereka berusia balita, eyang mengajak main lempar bola atau jalan-jalan. Saat anak-anak sudah sekolah, eyang menyiapkan raket dan kok untuk bermain bulutangkis di lapangan kosong yang sekarang sudah menjadi bangunan. 

Eyang Muradi kakung juga rajin sekali. Saat masih sehat, setiap pagi menyusuri jalan dan membersihkan sampah dengan sapunya, mengelilingi kampung sambil menyapa para tetangga yang sedang bersih-bersih rumah atau pulang dari pasar. Tak lupa beliau membawa permen untuk dibagikan pada tetangga yang ditemui saat menyusuri jalan. 

Hari ini eyang Muradi kakung kondur untuk selamanya. Berbagai kenangan tentang kebaikan eyang Muradi kakung pun muncul di memori eyang Muradi putri dan putra wayah, keluarga, para tetangga, juga siapa saja yang mengenal beliau. 

Sugeng tindak, Eyang Muradi ... Semoga husnul khotimah ... 

Semoga eyang Muradi putri dan putra wayah ikhlas dan sabar melepas kepergian eyang Muradi kakung. Maturnuwun atas segala kebaikan Eyang. 

Innalillahi wa innailaihi roji'un ...

(Hapsari Satya Lestari)

Senin, 03 Januari 2022

Penulis Fiksi Mencoba Memahami Kehidupan

Seorang penulis fiksi mencoba memahami kehidupan dengan menciptakan sebuah model. Orang menyebutnya juga sebuah dunia alternatif. Model atau dunia alternatif itu ia ciptakan agar ia dapat dengan leluasa mengembangkan kemungkinan-kemungkinan pola pemahaman tentang kehidupan. Maka tokoh-tokoh diadakan, berbagai situasi dikembangkan.

(Umar Kayam dalam Dunia Alternatif Danarto - Sebuah Pengantar kumpulan cerpen "Berhala")

Sabtu, 01 Januari 2022

Tiga Kuda dan Ratu Nefertiti

 

Tiga ekor kuda nan gagah tampak berlarian di padang rumput dengan langit  merah di kejauhan. Seekor kuda putih paling muka, sedangkan sepasang kuda coklat menyertainya di sebelah kanan kirinya. Barangkali si kuda putih pemimpin dua ekor kuda lainnya. Di depan mereka terdapat bunga berona merah jambu, sementara di belakang terlihat padang rumput lapang dengan sebuah pohon di samping kanan. 

Aku tak mengerti siapa nama seniman yang membuat karya seni tersebut. Namun, siapa saja yang pernah memasuki rumah kami pasti akan melihat pemandangan yang terhampar dalam permadani itu, terpajang elegan di dinding ruang tamu.

Awalnya, lukisan dalam permadani tersebut dipasang di dinding sebelah utara, tapi aku lantas memindahkannya ke sisi selatan sehabis rumah kami direnovasi akibat gempa yang melanda Yogyakarta sekian tahun silam. Tiada maksud tertentu selain ingin berganti suasana belaka niatku. 

Permadani berukuran 150 cm x 120 cm itu dibeli oleh Om Dono pamanku di Arab Saudi pada akhir tahun 80-an. Aku masih bocah berseragam putih merah ketika pamanku membawanya kemari sekaligus menjadikannya hiasan dinding rumah kami. Om Dono dahulu pernah bekerja di sebuah perusahaan pengeboran minyak bumi di Arab Saudi sekitar dua tahun lamanya. Ia bahkan berkesempatan menunaikan ibadah haji di sela-sela pekerjaannya.

Sekarang Om Dono menjadi satu-satunya adik kandung ibuku yang tersisa. Satu hal yang kusukai dari beliau adalah kemurahan hatinya dan kisah-kisah humor yang tiada habisnya diungkapkan saban kali kami berjumpa. Selain Om Dono hanya ada kakak perempuan ibuku yang bisa kutemui lewat piranti tekonologi belaka, lantaran beliau tinggal jauh di Prancis sana bersama suami, sepasang anak, dan sejumlah cucunya. Beliau masih sehat dan hidup bahagia di masa lanjut usianya.

Menjelang tutup usianya nenekku, aku bersama empat orang pamanku menunggui beliau pada masa terakhirnya. Peristiwa itu terjadi 14 tahun silam. Kini keempat pamanku sudah padam nyawa semuanya : Om Dipo, Om Gatot, Om Bekti, dan Om Ragil. Waktu itu Om Dono masih berada di luar kota untuk menjalani pekerjaannya dan baru bisa datang sesaat sehabis jasad nenekku dikebumikan. Kuharap Om Dono masih tetap sehat, merasakan kebahagiaan, dan mampu menikmati kehidupan bersama istri, anak-anak, dan cucunya yang baru seorang.




***

Tepat di sebelah gambar pemandangan tiga ekor kuda, terpajang gambar Ratu Nefertiti berwarna coklat tampak samping dalam pigura berukuran 30 cm x 40 cm. Gambar permaisuri Raja Firaun itu merupakan hadiah dari sahabat Om Dipo, adik Om Dono yang telah tutup usia. 

Sekian tahun silam sahabat pamanku baru pulang dari Mesir dan ternyata secara khusus memberi buah tangan untuk kami. Sesungguhnya perempuan tersebut tidak sekadar sahabat Om Dipo, tapi pernah menjadi kekasih paman di masa remajanya. Ia pernah beberapa kali mendatangi rumah kami, baik ketika masih lajang maupun setelah akhirnya menikah dengan lelaki lain. 

Perempuan tersebut bahkan sempat menginap di rumah kami membawa putra pertamanya yang masih berusia beberapa bulan. Seorang lelaki berkumis dan berambut gondrong, yang waktu itu sudah dikenal sebagai budayawan, pernah datang menemuinya di rumah kami. Peristiwa pertemuan sepasang sahabat itu telah berlangsung sekitar 25 tahun silam.

Suatu ketika aku jatuh hati pada seorang gadis yang ternyata putri sahabatnya. Awalnya kukenal gadis itu sebagai teman Om Dipo. Dari dirinya aku mendapat sejumlah kisah rahasia tentang mantan kekasih paman tersebut. Namun, aku dan gadis itu akhirnya sebatas berteman biasa dalam masa yang tak terlalu lama. Padahal aku sempat memiliki asa memilikinya sebagai kekasih terakhirku. Ya, sudahlah.

“Ibumu perempuan yang bermanfaat bagi banyak orang. Beliau orang baik. Saya menjadi saksi untuk hal itu,” kata sahabat Om Dipo kepadaku tak lama sehabis ibuku wafat, lewat sebuah pesan singkat. Waktu itu kami masih saling menyimpan nomor telepon dan bahkan terkadang saling menyapa. Sungguh aku menghargai simpati yang diberikannya untukku dan saudara-saudaraku. Terakhir kali kami bertatap muka tatkala Om Dipo tutup usia sekian tahun silam.

Sayang sekali, ia lantas menjadi tokoh kontroversial ketika riuh rendah pemilihan presiden tempo hari. Terus terang, kami yang dahulu mengenalnya sebagai pribadi ramah dan menyenangkan hanya bisa bertanya-tanya secara retorika. Ia laksana menjelma figur yang sungguh berbeda. Kebetulan aku tak lagi menyimpan nomor teleponnya pula. Namun, pigura bergambar Ratu Nefertiti buah tangannya dari Mesir masih tetap terpajang anggun di ruang tamu rumah kami.


# Cerpen ini dimuat di Minggu Pagi Nomor 38 Tahun 73 Minggu IV Desember 2021.