Tiga ekor kuda nan gagah tampak berlarian di padang rumput dengan langit merah di kejauhan. Seekor kuda putih paling muka, sedangkan sepasang kuda coklat menyertainya di sebelah kanan kirinya. Barangkali si kuda putih pemimpin dua ekor kuda lainnya. Di depan mereka terdapat bunga berona merah jambu, sementara di belakang terlihat padang rumput lapang dengan sebuah pohon di samping kanan.
Aku tak mengerti siapa nama seniman yang membuat karya seni tersebut. Namun, siapa saja yang pernah memasuki rumah kami pasti akan melihat
pemandangan yang terhampar dalam permadani itu, terpajang elegan di
dinding ruang tamu.
Awalnya, lukisan dalam permadani tersebut dipasang di dinding sebelah utara, tapi aku lantas memindahkannya ke sisi selatan sehabis rumah kami direnovasi akibat gempa yang melanda Yogyakarta sekian tahun silam. Tiada maksud tertentu selain ingin berganti suasana belaka niatku.
Permadani berukuran 150 cm x 120 cm itu
dibeli oleh Om Dono pamanku di Arab Saudi pada akhir tahun 80-an. Aku masih bocah berseragam putih merah ketika pamanku membawanya kemari
sekaligus menjadikannya hiasan dinding rumah kami. Om Dono dahulu pernah
bekerja di sebuah perusahaan pengeboran minyak bumi di Arab Saudi sekitar dua
tahun lamanya. Ia bahkan berkesempatan menunaikan ibadah haji di sela-sela
pekerjaannya.
Sekarang Om
Dono menjadi satu-satunya adik kandung ibuku yang tersisa. Satu hal yang
kusukai dari beliau adalah kemurahan hatinya dan kisah-kisah humor yang tiada
habisnya diungkapkan saban kali kami berjumpa. Selain Om Dono hanya ada kakak
perempuan ibuku yang bisa kutemui lewat piranti tekonologi belaka, lantaran
beliau tinggal jauh di Prancis sana bersama suami, sepasang anak, dan sejumlah
cucunya. Beliau masih sehat dan hidup bahagia di masa lanjut usianya.
Menjelang
tutup usianya nenekku, aku bersama empat orang pamanku menunggui beliau pada
masa terakhirnya. Peristiwa itu terjadi 14 tahun silam. Kini keempat pamanku sudah
padam nyawa semuanya : Om Dipo, Om Gatot, Om Bekti, dan Om Ragil. Waktu itu Om
Dono masih berada di luar kota untuk menjalani pekerjaannya dan baru bisa
datang sesaat sehabis jasad nenekku dikebumikan. Kuharap Om Dono masih tetap
sehat, merasakan kebahagiaan, dan mampu menikmati kehidupan bersama istri,
anak-anak, dan cucunya yang baru seorang.
***
Tepat di sebelah gambar pemandangan tiga ekor kuda, terpajang gambar Ratu Nefertiti berwarna coklat tampak samping dalam pigura berukuran 30 cm x 40 cm. Gambar permaisuri Raja Firaun itu merupakan hadiah dari sahabat Om Dipo, adik Om Dono yang telah tutup usia.
Sekian tahun silam sahabat pamanku baru pulang dari Mesir dan ternyata secara khusus memberi buah tangan untuk kami. Sesungguhnya perempuan tersebut tidak sekadar sahabat Om Dipo, tapi pernah menjadi kekasih paman di masa remajanya. Ia pernah beberapa kali mendatangi rumah kami, baik ketika masih lajang maupun setelah akhirnya menikah dengan lelaki lain.
Perempuan tersebut
bahkan sempat menginap di rumah kami membawa putra pertamanya yang masih
berusia beberapa bulan. Seorang lelaki berkumis dan berambut gondrong, yang waktu
itu sudah dikenal sebagai budayawan, pernah datang menemuinya di rumah kami.
Peristiwa pertemuan sepasang sahabat itu telah berlangsung sekitar 25 tahun
silam.
Suatu ketika
aku jatuh hati pada seorang gadis yang ternyata putri sahabatnya. Awalnya kukenal
gadis itu sebagai teman Om Dipo. Dari dirinya aku mendapat sejumlah kisah
rahasia tentang mantan kekasih paman tersebut. Namun, aku dan gadis itu akhirnya
sebatas berteman biasa dalam masa yang tak terlalu lama. Padahal aku sempat
memiliki asa memilikinya sebagai kekasih terakhirku. Ya, sudahlah.
“Ibumu perempuan yang bermanfaat bagi banyak orang. Beliau orang baik. Saya menjadi saksi
untuk hal itu,” kata sahabat Om Dipo kepadaku tak lama sehabis ibuku wafat,
lewat sebuah pesan singkat. Waktu itu kami masih saling menyimpan nomor telepon
dan bahkan terkadang saling menyapa. Sungguh aku menghargai simpati yang
diberikannya untukku dan saudara-saudaraku. Terakhir kali kami bertatap muka tatkala
Om Dipo tutup usia sekian tahun silam.
Sayang sekali,
ia lantas menjadi tokoh kontroversial ketika riuh rendah pemilihan presiden
tempo hari. Terus terang, kami yang dahulu mengenalnya sebagai pribadi ramah
dan menyenangkan hanya bisa bertanya-tanya secara retorika. Ia laksana menjelma figur yang sungguh berbeda. Kebetulan aku tak lagi menyimpan nomor
teleponnya pula. Namun, pigura bergambar Ratu Nefertiti buah tangannya dari
Mesir masih tetap terpajang anggun di ruang tamu rumah kami.
# Cerpen ini dimuat di Minggu Pagi Nomor 38 Tahun 73 Minggu IV Desember 2021.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar