Ada perubahan yang terjadi pada 2017 ketika dalam sejumlah buku yang kumiliki ada tanda tangan penulis buku-buku tersebut. Kesempatan pertama kuperoleh di Bentara Budaya Yogyakarta pada 4 April. Malam itu kubeli kumpulan cerpen terbaru Indra Tranggono (Menebang Pohon Silisilah) dan Yuditeha (Balada Bidadari) sekaligus mendapat tanda tangan mereka. Selanjutnya, Sapardi Djoko Damono menorehkan tanda tangannya dalam novel Hujan Bulan Juni di Gramedia Sudirman pada 26 Agustus. Terakhir, Agus Noor menandatangani Lelucon Para Koruptor di Kafe Basabasi pada Desember.
Cuma sayangnya aku tidak mendapat tanda tangan Iman Budhi Santosa dan Sinta Ridwan ketika mereka berada tak jauh dariku sehabis kubeli Profesi Wong Cilik dan Perempuan Berkepang Kenangan. Rada kecewa, tapi tak apalah. Aku mendapat banyak ilmu dan wawasan baru ketika menyimak Pak Iman dalam acara pembahasan bukunya di Rumah Maiyah. Demikian pula saat aku melihat Sinta bercerita soal buku puisinya bersama penyair lainnya di acara Tahun Baru di JBS. Meskipun akhirnya yang kubeli lebih dulu adalah buku kumpulan cerpennya, bukan buku puisinya. Aku lebih tertarik menyimak cerpennya, selain karena aku juga penulis cerpen, juga lantaran sampul Perempuan Berkepang Kenangan berwarna biru, warna favoritku yang senada dengan warna jaket yang kukenakan sore itu.
Minggu, 31 Desember 2017
Selasa, 26 Desember 2017
Pada Sebuah Jumat
Jumat pekan lalu, 22 Desember 2017, menjadi hari yang sibuk dan mengesankan bagiku. Saat pagi aku mendapat amanat untuk berbagi pengalaman sebagai penulis cerpen dalam sesi Bincang Para Penulis yang merupakan hari ketiga acara Festival Sastra Museum Dewantara 2017 di Museum Dewantara Kirti Griya (MDKG) Tamansiswa Yogyakarta. Bersama denganku terdapat dua penulis senior dari Balai Bahasa Yogyakarta dan seorang guru Bahasa Indonesia berprestasi yang produktif dalam menulis cerita. Kami semua yang hadir lantas dijamu panitia dengan nasi sop ayam seraya menikmati alunan lagu Bunda dari Aya (salah satu peserta pelatihan) dan pembacaan cerkak (cerita cekak) dari peserta lainnya. Para pembicara mendapatkan sertifikat beserta buah tangan berupa mug dan gantungan kunci yang dihiasi ajaran Ki Hadjar Dewantara.
Malam harinya aku mendampingi anak-anak vokal AFC (Art for Children) asuhan Pak Sigit Eko Riyanto yang tampil bersama Teater Nincha mementaskan operet anak inklusi bertajuk Bhumi : Setangkai Mawar untuk Ibu di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta. Operet tersebut disutradarai oleh Mas Broto Wijayanto, salah satu tokoh muda berprestasi dalam bidang kebudayaan di Yogyakarta yang sudah kerap mendapat penghargaan dari banyak pihak. Oh ya, Dwipa Hanggana Prabawa (penata musik) dan Theresia Wulandari (penata gerak) juga turut terlibat dalam pementasan tersebut.
Pentas yang diinisiasi oleh salah satu UKM di Fakultas Psikologi UGM tersebut sekaligus menjadi acara penggalangan dana bagi Panti Asuhan Bina Siwi yang terletak di Pajangan Bantul. Mereka yang diasuh di sana adalah saudara-saudara kita yang difabel. Sebelum operet dipentaskan, mereka sempat unjuk kebolehan memainkan alat musik di depan penonton. Sementara itu, pemeran utama operet adalah Udana, seorang bocah tuna rungu, yang mampu bermain dan bekerja sama dengan baik bersama teman-temannya yang bisa mendengar dan berbicara biasa. Pak Tedjo Badut dan anak buahnya ikut memeriahkan panggung pertunjukan malam itu.
Malam harinya aku mendampingi anak-anak vokal AFC (Art for Children) asuhan Pak Sigit Eko Riyanto yang tampil bersama Teater Nincha mementaskan operet anak inklusi bertajuk Bhumi : Setangkai Mawar untuk Ibu di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta. Operet tersebut disutradarai oleh Mas Broto Wijayanto, salah satu tokoh muda berprestasi dalam bidang kebudayaan di Yogyakarta yang sudah kerap mendapat penghargaan dari banyak pihak. Oh ya, Dwipa Hanggana Prabawa (penata musik) dan Theresia Wulandari (penata gerak) juga turut terlibat dalam pementasan tersebut.
Pentas yang diinisiasi oleh salah satu UKM di Fakultas Psikologi UGM tersebut sekaligus menjadi acara penggalangan dana bagi Panti Asuhan Bina Siwi yang terletak di Pajangan Bantul. Mereka yang diasuh di sana adalah saudara-saudara kita yang difabel. Sebelum operet dipentaskan, mereka sempat unjuk kebolehan memainkan alat musik di depan penonton. Sementara itu, pemeran utama operet adalah Udana, seorang bocah tuna rungu, yang mampu bermain dan bekerja sama dengan baik bersama teman-temannya yang bisa mendengar dan berbicara biasa. Pak Tedjo Badut dan anak buahnya ikut memeriahkan panggung pertunjukan malam itu.
Senin, 25 Desember 2017
Spiritualisme Pekerja Tradisional
Dengan memahami kembali spiritualisme para pekerja tradisional di Jawa sama halnya mewujudkan filosofi 'sangkan paraning dumadi' : dari mana, mau ke mana, dan sudah sampai di mana saat ini.
(Iman Budhi Santosa dalam buku "Profesi Wong Cilik")
(Iman Budhi Santosa dalam buku "Profesi Wong Cilik")
Kamis, 14 Desember 2017
Sejarah Ditulis Banyak Orang
(Kuntowijoyo)
Senin, 11 Desember 2017
Menulis Tak Pernah Usai
Pada akhirnya, menulis adalah proses belajar yang tak pernah usai. Dan itu jugalah yang membuat menulis begitu memikat.
(DEE)
Sabtu, 09 Desember 2017
Pengetahuan Mengandung Jiwa
Tuhanku
berilah kami pengetahuan
yang mengandung jiwa
Mu
anugerahilah hasrat
yang tanpa nafsu
serta cinta
yang tak gampang tergoda
(Emha Ainun Nadjib)
berilah kami pengetahuan
yang mengandung jiwa
Mu
anugerahilah hasrat
yang tanpa nafsu
serta cinta
yang tak gampang tergoda
(Emha Ainun Nadjib)
Jumat, 01 Desember 2017
Swara Hujan
"Apakah yang kautangkap dari swara hujan, dari
daun-daun bugenvil basah yang teratur mengetuk
jendela? Apakah yang kautangkap dari abu tanah,
dari ricik air yang turun di selokan?"
Ia membayangkan hubungan gaib antara tanah dan
hujan, membayangkan rahasia daun basah serta
ketukan yang berulang.
(Sapardi Djoko Damono dalam puisi "Hujan Dalam Komposisi, I")
daun-daun bugenvil basah yang teratur mengetuk
jendela? Apakah yang kautangkap dari abu tanah,
dari ricik air yang turun di selokan?"
Ia membayangkan hubungan gaib antara tanah dan
hujan, membayangkan rahasia daun basah serta
ketukan yang berulang.
(Sapardi Djoko Damono dalam puisi "Hujan Dalam Komposisi, I")
Rabu, 29 November 2017
Rabu, 22 November 2017
Impresi Tentang Dia
Mas Adji merupakan kakak sepupuku. Ibuku adik kandung ibunda Mas Adji. Tentu kami telah saling
mengenal sejak sama-sama bocah. Usia kami boleh dikata sepantaran ketika sudah
dewasa, lantaran usianya hanya lima tahun di atasku. Cuma dahulu kesannya dia
jauh lebih tua ketimbang diriku. Banyak hal yang terkoneksi dengan baik saban
kami bercakap-cakap. Yang mengesankanku sedari kanak-kanak, Mas Adji adalah
sosok yang menyenangkan dan menjadi salah satu sepupu favoritku sampai sekarang.
Ia piawai bercerita, gemar sekali
bernyanyi, dan cakap bermain gitar. Bahkan Mas Adji pula yang pertama mengajariku
bermain gitar, salah satu hobiku di waktu senggang hingga kini.
Dalam keluarga besar kami, Mas
Adji mungkin satu dari sedikit orang yang menempuh hal berbeda dalam bekerja.
Kebanyakan dari kami memperoleh penghasilan tetap sebagai karyawan swasta atau
pegawai negeri, termasuk diriku salah satunya. Ada pula sebagian kecil yang
membuka usaha sendiri. Sedangkan Mas Adji memilih berkarya melalui dunia seni
yang -sejauh sepengetahuanku- pendapatannya tidak pasti. Padahal sebenarnya ia pernah
pula bekerja sebagai karyawan swasta dengan gaji menjulang, namun ia tinggalkan
begitu rupa tanpa kutahu persis alasannya.
Barangkali boleh dibilang Mas
Adji itu seniman multibakat. Memang namanya lebih dikenal sebagai dramawan. Ia
mendirikan sekaligus memimpin sebuah kelompok teater yang cukup terpandang di
Jakarta. Namun, ia sesungguhnya merupakan pencipta lagu yang andal, cerpenis,
penyair, dan aktor yang lumayan disegani pula oleh mereka yang mengakrabinya. Aku
merupakan penggemar sejati karya-karyanya yang beraneka warna, baik itu pentas
teaternya, lagunya, maupun karya tulisnya. Belakangan kudengar ia kerap berkeliling
dari daerah ke daerah di seluruh penjuru Nusantara untuk berbagi ilmu serta
pengalamannya selama puluhan tahun menjalani proses kreatif.
Satu hal yang khas dari Mas Adji
adalah penampilannya yang begitu sederhana. Ia biasanya cukup mengenakan kemeja
polos berwarna kalem dan celana jeans, dengan alas kaki sandal jepit berharga
murah. Sebuah tas ransel selalu menyertai derap langkahnya ke mana saja. Mas Adji
juga suka sekali berjalan kaki maupun naik angkutan umum. Bahkan pernah suatu
ketika, ia naik pesawat terbang, bus antarkota, sampai becak, lalu berjalan
kaki hanya dalam beberapa jam di hari yang sama. Masih kuingat jelas sewaktu
Mas Adji menceritakan peristiwa hari itu dengan kocaknya.
***
”Hidup itu kalau kita bisa
menjalaninya tanpa beban, pasti bakal terasa lebih ringan dan menyenangkan,
kok,” kata Mas Adji ketika kami berjumpa dalam sebuah acara keluarga.
”Saya percaya, Mas Adji bisa
melakukannya, tapi apa saya juga bisa? Sepertinya saya lebih sering sedih dan
kecewa selama ini, Mas,” sahutku.
“Bukalah hati dan pikiranmu,
percaya diri saja kamu bisa.”
“Saya cobalah, Mas. Eh, kadang
sebenarnya saya iri dengan Mas Adji, lho.”
“Apa sih yang aku punya,
sampai kamu bisa iri begitu?”
“Mas Adji itu sepertinya bisa
selalu santai, apa pun yang terjadi. Saya bahkan belum pernah melihat Mas Adji marah.”
“Hahaha, kebetulan saja kamu
belum pernah melihat aku marah. Coba tanya teman-temanku yang sering melihat betapa galaknya Mas Adji ini,
terutama kalau kami lagi latihan menjelang pementasan. Boleh juga kamu tanya ke
Mas Adri itu.”
“Hehehe, mungkin karena kita
selalu ketemunya di acara keluarga begini ya, Mas. Suasananya memang selalu
santai dan menggembirakan, sih.”
”Apa iya, aku selalu terlihat
santai? Barangkali karena aku tidak suka hidup secara ngoyo, jadi kesannya santai begini. Jangan dikira hidupku tak ada masalahnya lho, Dik.
Mungkin cara menghadapi masalah belaka yang membedakan kita. Yang jelas, aku
yakin tiap masalah pasti ada jalan keluarnya. Istilahnya, sudah jadi satu paket
dari sananya. Makanya tak usah terlalu mengkhawatirkan segala sesuatu.”
Aku manggut-manggut seraya
merenungkan ucapan Mas Adji. Filosofi hidup sepupuku bersahaja sejatinya, namun
hal itulah yang membuat dirinya mampu senantiasa menikmati perjalanannya di
atas buana. Aku paham, Mas Adji
sesungguhnya pernah gagal dalam berumah tangga dan sempat kesulitan menemui anak
kandungnya yang diasuh mantan istrinya. Kesabarannya selama ini membuat Mas Adji
akhirnya bisa berjumpa lagi dengan buah hatinya, setelah sekitar sepuluh tahun
berpisah. Setiap aku berbincang dengannya, sejumlah hal menarik selalu
disampaikan Mas Adji. Tak pernah aku jemu, apalagi pasti keluar canda tawanya yang
membuat perjumpaan kami lebih meriah. Ia pun senantiasa mendendangkan begitu
banyak lagu diiringi dentingan gitarnya yang bisa membuat kami terbuai hingga bernyanyi
bersama.
***
Pada sebuah malam, baru saja
aku turun dari kereta rel listrik. Aku tengah melangkah menuju tempat parkir untuk
mengambil sepeda motorku, ketika ada sebuah pesan singkat dari Mas Adri -adik
kandung Mas Adji- yang isinya sungguh mengejutkanku.
“Innalillahi wa inna ilaihi roji’un.
Mas Adji telah meninggal dunia sekitar pukul 23.00 WIB di Purwakarta. Malam ini
jenazahnya diusahakan bisa segera dibawa pulang ke Jakarta.”
Tiba-tiba aku tercenung dan bingung
mau bereaksi bagaimana seusai membaca pesan singkat tersebut. Aku tak ingin
percaya begitu saja dengan kabar duka itu. Maka segera kuhubungi nomor telepon Mas Adri.
“Mas Adri, apa benar Mas Adji
meninggal?” tanyaku dengan cemas.
“Iya, benar. Mas Adji kena
serangan jantung saat berada di luar kota. Berita itu memang mengejutkan sekali
buat kita semua. Tolong,
maafkan semua kesalahan Mas Adji ya, Dik,” ujar Mas Adri lirih.
Serta-merta dadaku terasa
begitu sesak dan air mataku mengalir sendiri tanpa mampu kutahan lagi. Kendati
dalam beberapa tahun terakhir, aku cukup jarang berjumpa dengan Mas Adji, namun
berita kepergiannya yang sangat mendadak tetap membuat hati seakan teriris. Tak bakal kualami kembali dialog
sarat makna -yang serius tapi santai- antara diriku dan kakak sepupuku. Sosok Mas Adji yang menyenangkan bakal
senantiasa kurindukan esok hari. Terlampau banyak kesan apik yang
ditinggalkannya, tak hanya bagiku, tapi tentunya juga bagi sesiapa yang pernah
mengenalnya. Apa yang terjadi pada dirinya kuharap dapat menginspirasi diriku
agar selalu bersiap diri andaikata sewaktu-waktu maut hadir menjemput tanpa
permisi.
# dimuat di Harian Rakyat Sultra edisi Rabu, 22 November 2017.
Selasa, 21 November 2017
Kisah Pengakuan Gabus Rambutan (Sebuah Parodi)
Barangkali saat ini aku menjadi salah satu figur publik yang paling terkemuka di negeri ini. Nama panjangku yaitu Gabus Ponimin Selamat Rambutan atau biasa disingkat dengan Gabus Ponsel Rambutan atau cukup Gabus Rambutan. Sepak terjangku selama sekian bulan terakhir sungguh mampu membuat geger Republik Dagelanku tercinta. Tentu saja semua orang sudah mengerti perjalanan liburanku bersama keluarga yang akhirnya terbongkar jua. Nah, di sini akan kusingkapkan hal-hal yang selama ini menjadi spekulasi khalayak ramai, yaitu tentang apa yang sejatinya kulakukan selain menonton para petenis cantik dan seksi itu beraksi.
Memang benar perkiraan kalian bahwa aku menemui tokoh politik kondang bernama Abupintar Merapi, seorang tokoh nasional yang kekayaan maupun kekuasaannya luar biasa sekali. Terus terang, aku belum ada apa-apanya ketimbang tokoh tersebut. Setelah kubantu sejumlah perusahaannya supaya membayar pajak tidak sebesar ketentuan yang ada, lalu kudapatkan imbalan yang sangat besar dari hal itu, tapi juga membuatku mesti berurusan dengan masalah hukum, ternyata beliau menawariku untuk berkolaborasi lagi. Pertama, aku ditawari Pak Abupintar untuk masuk ke dalam Tim Sukses untuk Kampanye Pencalonan Presiden yang akan diikutinya empat tahun mendatang. Aku bakal dijadikan sebagai Kepala Unit Penggalangan Dana dan Penjalinan Kemitraan. Jelas sekali beliau sudah memahami bahwa itulah keahlian utamaku, mengumpulkan uang sebanyak mungkin dari beragam sumber dan juga menjadi teman siapa saja asal kita bisa tahu sama tahu.
Tawaran yang lebih menarik sudah menantiku andaikata Pak Abupintar sukses menjadi presiden Republik Dagelan. Paling tidak aku bakal menjadi Staf Khusus Presiden Bidang Penggalangan Dana dan Penjalinan Kemitraan, sesuatu yang hanya merupakan lanjutan tugasku dalam tim sukses saat kampanye. Dengan hak prerogatifnya, presiden tentu berhak untuk membuat lembaga apa pun, termasuk membentuk staf khusus yang sesuai dengan kecakapanku. Selain itu sebenarnya Pak Abupintar juga telah memikirkan posisi alternatif bagiku. Aku harus mengakui idenya memang gila, tapi jika beliau sudah jadi presiden, apa yang tak mungkin diwujudkan? Rencananya beliau akan mengangkatku menjadi Ketua KPK versi baru yang kepanjangannya adalah Kelompok Pelestari Korupsi untuk menggantikan KPK versi lama alias Komisi Pemberantas Korupsi yang akan dibubarkan. Jika hal itu mendapatkan resistensi, sama sekali tak masalah. Toh, aparat penegak hukum mulai dari polisi, pengacara, jaksa, maupun hakim sudah banyak yang menjadi kawan karibku selama ini. Sekiranya Presiden Abupintar Merapi memerintahkan para pemrotes diatasi, ya tinggal dituntaskan saja oleh seluruh aparat penegak hukum itu. Apa sih susahnya?
Rasa-rasanya tak perlu lagi aku berpikir panjang untuk menerima peluang emas yang sudah tersedia. Yang jelas, beliau tidak mempermasalahkan jika sebagai anggota tim kampanyenya, aku mesti bekerja dari balik jeruji besi. Eh, siapa tahu Pak Abupintar benar-benar jadi presiden, aku pasti akan langsung dibebaskan, namaku direhabilitasi, dan sebuah jabatan bergengsi di pemerintahan sudah menungguku.
Baiklah, setelah kubongkar apa yang menjadi rencana brilian seorang tokoh politik yang berambisi menjadi presiden masa depan, aku hanya akan bicara santai saja. Mungkin kalian bisa menduga bahwa aku adalah penggemar tokoh Superman. Ya, betul sekali, aku memang benar-benar penyuka tokoh superhero hasil kreasi Joe Shuster dan Jerry Siegel itu. Oleh karena itu aku terinspirasi oleh Superman yang biasa menyamar sebagai Clark Kent, yang khas sekali dengan kaca matanya dan rambutnya yang agak tebal disisir rapi. Tapi berbeda dengan Superman yang penyamarannya sebagai Clark Kent nyaris tidak pernah ketahuan (mungkin karena warga Metropolis sebenarnya sangat bodoh), ternyata ada orang yang mengenaliku ketika dalam masa penyamaran. Oh ya, tak lupa aku berterima kasih kepada pihak-pihak yang telah memiripkan fotoku (saat menyamar) dengan Afgan, penyanyi muda tampan idola remaja, sementara sebelumnya wajahku kerap dibilang mirip Tukul Arwana, presenter komedi terkenal itu. Hehehe...
Yogyakarta, 21 November 2010 (pernah dimuat di Kompasiana)
Senin, 20 November 2017
Sabtu, 18 November 2017
Seniman dan Ruang Kebahagiaan
Seniman memiliki ruangnya sendiri untuk mendapatkan kebahagiaan.
Karya, kepuasan batin, rasa lega yang muncul dari ekspresi seni.
(Chrisye)
Karya, kepuasan batin, rasa lega yang muncul dari ekspresi seni.
(Chrisye)
Jumat, 17 November 2017
Siang Terang, Malam Hujan
Kendati akhirnya hujan kembali turun deras kala petang hingga malam, tapi sempat ada suasana berbeda pada Jumat (17/11) hari ini. Setelah dalam sekian hari terakhir nyaris saban siang hujan membasahi tanah Yogyakarta, maka dalam beberapa jam tadi matahari sempat terang bersinar ditemani langit biru beserta mega yang berarak tenang. Burung-burung kecil tampak lagi berkicau riang, kupu-kupu dengan beragam warna terlihat terbang kian kemari dengan sukacita jua.
Suasana di masjid Tamtama ketika Jumatan pun terasa menyejukkan. Khatib pengganti menyampaikan nasihat yang baik dengan pembawaan yang tenang.
"Bersedekah tidak harus dengan harta, tapi bisa juga dengan ilmu maupun doa."
"Kita mesti berbuat baik kepada umat manusia pada umumnya. Menjalin hubungan baik dengan banyak orang akan mewujudkan sinergi yang positif."
"Khotbah Jumatan cukup yang ringkas saja, tapi yang penting bermanfaat." Begitulah sekelumit hal yang disampaikan oleh beliau.
Malam hujan turun, sedangkan ada acara di luar rumah yang mesti didatangi. Maka kunikmati saja basahnya dengan tetap mensyukuri karunia-Nya. Hujan ternyata sama sekali tidak mengurangi intensitas kendaraan yang memenuhi jalan-jalan di kota. Apalagi ketika pintu perlintasan kereta api di bawah jembatan Lempuyangan ditutup selama beberapa menit demi memberi kesempatan kepada tiga rangkaian kereta api untuk melaju.
Suasana di masjid Tamtama ketika Jumatan pun terasa menyejukkan. Khatib pengganti menyampaikan nasihat yang baik dengan pembawaan yang tenang.
"Bersedekah tidak harus dengan harta, tapi bisa juga dengan ilmu maupun doa."
"Kita mesti berbuat baik kepada umat manusia pada umumnya. Menjalin hubungan baik dengan banyak orang akan mewujudkan sinergi yang positif."
"Khotbah Jumatan cukup yang ringkas saja, tapi yang penting bermanfaat." Begitulah sekelumit hal yang disampaikan oleh beliau.
Malam hujan turun, sedangkan ada acara di luar rumah yang mesti didatangi. Maka kunikmati saja basahnya dengan tetap mensyukuri karunia-Nya. Hujan ternyata sama sekali tidak mengurangi intensitas kendaraan yang memenuhi jalan-jalan di kota. Apalagi ketika pintu perlintasan kereta api di bawah jembatan Lempuyangan ditutup selama beberapa menit demi memberi kesempatan kepada tiga rangkaian kereta api untuk melaju.
Rabu, 15 November 2017
Kevin Lilliana Miss International 2017
Kevin Lilliana dari Indonesia terpilih sebagai pemenang Miss International 2017, salah satu kontes kecantikan tingkat internasional yang edisi tahun ini berlangsung di Tokyo Dome City Hall, Jepang pada Selasa (14/11/2017). Yang menarik, sebelum dinyatakan sebagai pemenang, Kevin -bersama tujuh finalis lainnya- diberi kesempatan untuk berpidato dan gadis asal Bandung itu berbicara tentang Bhinneka Tunggal Ika.
Berikut pidato lengkap Kevin Lilliana saat malam final Miss International 2017 :
"Bhinneka Tunggal Ika adalah filosofi dari negara saya. Berbeda-beda tapi tetap satu jua. Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki keragaman budaya, bahasa, dan kepercayaan. Itulah sebabnya saya sangat percaya dengan bersatu dalam keberagaman. Dunia ini sendiri adalah tempat yang indah, karena adanya keberagaman bukan keseragaman. Jika saya menjadi Miss International, saya akan sebarkan nilai positif ini, yaitu untuk menerima dan menghargai perbedaan yang ada, karena saya tahu setiap negara memiliki budaya, karakter, dan identitas masing-masing. Oleh karena itu, ayo kita buat solusi terbaik dengan mempelajari, memahami, dan menghargai satu sama lain."
Berikut pidato lengkap Kevin Lilliana saat malam final Miss International 2017 :
"Bhinneka Tunggal Ika adalah filosofi dari negara saya. Berbeda-beda tapi tetap satu jua. Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki keragaman budaya, bahasa, dan kepercayaan. Itulah sebabnya saya sangat percaya dengan bersatu dalam keberagaman. Dunia ini sendiri adalah tempat yang indah, karena adanya keberagaman bukan keseragaman. Jika saya menjadi Miss International, saya akan sebarkan nilai positif ini, yaitu untuk menerima dan menghargai perbedaan yang ada, karena saya tahu setiap negara memiliki budaya, karakter, dan identitas masing-masing. Oleh karena itu, ayo kita buat solusi terbaik dengan mempelajari, memahami, dan menghargai satu sama lain."
Senin, 13 November 2017
Hujan Senin Siang
Tempo hari pernah tersurat "alunan gemericik hujan memecah sunyinya malam" yang menjadi bagian dari lirik lagu nan syahdu, tapi hari ini yang ada "alunan gemerojok hujan menambah semarak siang" belaka barangkali.
(kala hujan senin siang hingga jelang petang)
(kala hujan senin siang hingga jelang petang)
Sabtu, 11 November 2017
Inspirasi
Inspirasi akan memilih inangnya. Seperti jodoh, ketika bertemu dan pas, terjadilah perkawinan dan muncullah entitas baru.
(DEE/Dewi Lestari)
Minggu, 05 November 2017
Keadilan adalah Kemakmuran Sejati
Keadilan adalah kemakmuran yang sejati. Kemakmuran yang berdiri sendiri akan selalu melanggar keadilan dan sibuk mengembangkan ilmu dan metode untuk mengamuflase ketidakadilan supaya tampak sebagai keadilan. (Emha Ainun Nadjib)
Sabtu, 04 November 2017
Menuliskan Tanda Zaman
Menuliskan tanda-tanda zaman adalah menuliskan kegelisahan kebudayaan di tengah tengah pelbagai himpitan yang mau meniadakannya. Hanya manusia yang mau resah dan tidak mau mapan mampu menuliskannya.
(Sindhunata dalam buku "Manusia & Pengharapan : Segelas Beras untuk Berdua")
(Sindhunata dalam buku "Manusia & Pengharapan : Segelas Beras untuk Berdua")
Selasa, 31 Oktober 2017
Hakikat Cerpen
Memakai atau tidak memakai formula, perlu diingat bahwa pada hakikatnya cerpen adalah strukturalisasi adalah karya sastra adalah fiksi adalah “Dunia yang Mungkin”; bukan fakta, jurnalisme, karya ilmiah atau esai filsafat.
(Kuntowijoyo dalam esai "Perihal Cerpen : Strukturalisasi Pengalaman, Imajinasi, dan Nilai")
(Kuntowijoyo dalam esai "Perihal Cerpen : Strukturalisasi Pengalaman, Imajinasi, dan Nilai")
Sabtu, 28 Oktober 2017
Selasa, 24 Oktober 2017
Operet AFC "Anak Indonesia Anak Pancasila" di TBY
Pergelaran Operet Art for Children (AFC) "Anak Indonesia Anak Pancasila" yang dipentaskan di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta pada 17 Oktober 2017. Video dibuat oleh Aris Wijaya.
Minggu, 22 Oktober 2017
Seusai Perang Besar
Mereka sedang menanggung duka yang dalam nian, sebuah rasa yang belum pernah ada sebelumnya. Para perempuan meratapi ayah, saudara lelaki, suami, maupun anak lelakinya yang telah pergi dan mustahil kembali pulang. Pasar-pasar pun hilang kumandangnya. Tiada orang yang melakukan jual-beli di sana. Sawah ladang ditelantarkan begitu saja tanpa ada yang menggarapnya. Seakan-akan semua orang larut dalam kesedihan dan tak berdaya melakukan apa-apa. Kehidupan laksana berhenti untuk sejenak masa. Namun, suasana mulai berubah kala terdengar kabar Pandawa akan segera datang. Sang bayu yang berembus terasa rada menyejukkan, harapan pun mulai mengemuka. Dengan kesadaran sendiri, masyarakat Hastinapura berduyun-duyun meninggalkan tempat tinggalnya dan berdiri di tepi jalan yang akan dilewati oleh rombongan.
“Siapakah mereka yang kita tunggu, Ibu?”
“Mereka adalah Pandawa, pemimpin sejati Hastinapura yang sudah lama kita tunggu kehadirannya.”
“Di mana mereka selama ini? Mengapa baru datang hari ini?”
“Begitu panjang riwayat mereka selama ini, Nak. Lain kali Ibu akan menceritakannya padamu. Semoga Ibu masih mengingatnya nanti. Sebentar lagi mereka akan lewat di depan kita. Berikan penghormatan terbaik kita kepada Pangeran Yudistira dan saudara-saudaranya, Nak.”
“Bolehkah aku mengabdi kepada Pandawa, Ibu?”
“Tentu saja, tapi setelah kau dewasa nanti, ya,” sahut sang ibu yang serta-merta terharu seraya membelai kepala anak bungsunya.
Baratayuda belum lama usai. Kekuasaan Kurawa di Hastinapura berakhir sudah. Seorang bocah lelaki nan lugu banyak bertanya kepada ibunya ketika melihat kedatangan rombongan Pandawa memasuki ibu kota Hastinapura dari padang Kurusetra. Ayah si bocah adalah seorang prajurit yang tewas di medan laga. Paman dan kakak lelakinya pun padam nyawa di sana. Sang ibu tak sanggup membendung air matanya yang mengalir sendiri kala mengenang mereka yang telah tiada.
Kendati begitu berduka, rakyat Hastinapura sungguh berharap Pandawa bisa membawa perubahan bagi kehidupan mereka yang selama ini sengsara dan terhina di bawah Kurawa yang dipimpin Duryudana. Terjadinya Baratayuda telah menambah kadar penderitaan mereka. Maka mereka menginginkan kerelaan hati Destarata menyerahkan takhtanya kepada Yudistira. Mereka tak mengerti bahwa sempat terjadi insiden di dalam istana ketika Destarata nyaris membunuh keponakannya sendiri, Bima, yang telah menghabisi anak-anaknya dengan cara yang keji dalam pertempuran di Kurusetra. Namun, akhirnya Destarata ikhlas melepas kekuasaannya yang diserahkan kepada anak tertua Pandu, adiknya yang sudah lama tiada.
Setelah dinobatkan sebagai raja Hastinapura, Yudistira dengan didampingi adik-adiknya maupun Prabu Kresna kembali mendatangi Kurusetra untuk menemui Bisma Dewabrata, kakek mereka yang terbaring tanpa daya ditopang ribuan anak panah. Dewata memberinya kesempatan menentukan waktu kematiannya sendiri, tapi Resi Bisma masih ingin memberi wejangan kepada Pandawa sebelum menutup mata selamanya.
“Hamba mohon doa restu dari Eyang Bisma agar hati hamba senantiasa tabah menjalankan kewajiban,” ujar Prabu Yudistira di depan kakeknya.
“Eyang tak akan berhenti mendoakan kalian agar senantiasa mendapatkan perlindungan Yang Mahakuasa. Namun, doa tidak akan ada artinya jika yang didoakan justru melanggar hukum yang ditetapkan Tuhan. Yang penting bagi keselamatan manusia di alam lahir dan nirwana nanti adalah perbuatan kita sendiri,” kata Resi Bisma.
Pandawa dan Prabu Kresna mendengarkan dengan saksama petuah sang kakek.
“Waspadalah cucuku, kau sebagai raja jangan hanya memandang orang-orang berderajat tinggi, kaum bangsawan, dan mereka yang kaya raya. Kau mesti melihat kehidupan mereka yang berada di bawah. Di negeri mana saja di seluruh dunia, yang terbanyak penduduknya adalah rakyat jelata.”
“Maju mundurnya suatu negeri dinilai dari kehidupan rakyatnya, bukan dari kemewahan yang memerintah. Kekuasaan rakyat itu laksana air danau yang tenang, tapi sewaktu-waktu dapat menghancurkan lembah-lembah yang subur. Apabila tanggulnya kurang kokoh, air danau itu akan mendobraknya dengan kekuatan yang dahsyat.”
Yudistira sebagai raja baru Hastinapura sungguh menghayati nasihat lelaki tua yang senantiasa dihormatinya tersebut, kendati beliau berada di pihak Kurawa ketika Baratayuda lantaran kecintaannya yang luar biasa kepada Hastinapura, tanah tumpah darahnya.
“Kejujuran dan keluhuran budi lebih berharga ketimbang emas berlian yang menggunung. Harta kekayaan bagaimanapun banyaknya tidak akan mampu membawamu ke alam nirwana. Hanya itulah yang dapat Eyang wariskan, cucu-cucuku tercinta.”
Resi Bisma pun mengembuskan napas terakhirnya. Pandawa sempat terluka hatinya, tapi mereka telah memperoleh wasiat dari sang kakek yang akan menjadi bekal bernilai tinggi bagi Yudistira maupun keempat saudaranya dalam memimpin negeri yang keadaannya sungguh memprihatinkan seusai perang besar. Sebuah pertempuran yang mesti terjadi untuk mengakhiri kekuasaan yang tidak adil dan bertindak semena-mena terhadap rakyatnya sendiri. Prabu Yudistira berusaha benar mengejawantahkan pesan-pesan Resi Bisma. Nasihat dari Prabu Kresna, Ibu Kunti, dan para sesepuh lainnya tentu akan selalu menjadi pedoman yang baik pula baginya dalam memimpin Hastinapura.
Rakyat bersedia bekerja keras membangun kembali negerinya yang porakporanda di bawah rajanya nan bijaksana. Senyuman masyarakat di negeri itu lambat laun mulai bersemi kembali. Mereka bersukacita melihat sang pemimpin sejati menjalankan kekuasaannya dengan adil dan beradab. Segala hal yang menjadi kebutuhan mereka lambat laun terpenuhi dengan baik. Si bocah lugu dan ibunya pun bersemangat kembali dalam menjalani kehidupan. Sang ibu merestui sepenuhnya hasrat anaknya untuk mengabdi kepada Pandawa di masa mendatang.
# dimuat di Bali Post Minggu, 15 Oktober 2017.
# dimuat di Bali Post Minggu, 15 Oktober 2017.
Kamis, 19 Oktober 2017
"Anak Indonesia Anak Pancasila" Dipentaskan AFC di TBY
Pergelaran operet "Anak Indonesia Anak Pancasila" persembahan dari Art for Children (AFC) telah dimainkan dengan apik pada Selasa, 17 Oktober 2017, malam lalu. Pertunjukan kolaborasi anak-anak dari kelas musik, vokal, tari, dan teater tersebut berlangsung di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta sekaligus menjadi penutup rangkaian Pekan Seni AFC 2017. Kehadiran penonton yang memenuhi gedung menjadi kejutan menggembirakan bagi kami yang terlibat dalam pementasan malam itu. Sebelum lakon utama dimainkan, anak-anak vokal kelas Minggu membawakan tiga lagu karya Pak Sigit Eko Riyanto, yaitu : Pesawat Kertas, Riang-Riang, dan Anak Indonesia Anak Pancasila, dengan diiringi suara piano belaka.
Operet dibuka dengan monolog empat anak teater yang berperan sebagai makhluk planet/alien dengan kostumnya yang menarik. Setelah itu anak-anak tari dan anak-anak vokal berbagi panggung dengan anak-anak musik yang mengiringi semua lagu secara orkestra di bawah dirigen Dwipa Hanggana Prabawa. Lagu-lagu daerah Nusantara dari Aceh hingga Papua mendominasi pertunjukan. Bungong Jeumpa, Medley Ondel-Ondel dan Sang Bango, Lir-Ilir, Medley Jaranan dan Janger, dan Rek Ayo Rek dibawakan para penari, dari yang masih anak-anak PAUD/TK hingga yang sudah remaja. Sigulempong, Manuk Dadali, Medley Gundul Pacul-Suwe Ora Jamu-Cublak Suweng, Ampar-Ampar Pisang, Yamko Rambe Yamko, dan Rasa Sayange dibawakan anak vokal kelas Jumat dengan koreografi yang dinamis. Setelah adegan terakhir anak-anak teater, dua lagu bertema nasionalisme karya Pak Sigit dinyanyikan anak vokal, yaitu : Dwi Warna dan Garuda Muda. Jingle AFC karya Dwipa Hanggana Prabawa dan Dewi Kurniawati dinyanyikan oleh seluruh anak yang tampil menutup pertunjukan malam itu.
Operet dibuka dengan monolog empat anak teater yang berperan sebagai makhluk planet/alien dengan kostumnya yang menarik. Setelah itu anak-anak tari dan anak-anak vokal berbagi panggung dengan anak-anak musik yang mengiringi semua lagu secara orkestra di bawah dirigen Dwipa Hanggana Prabawa. Lagu-lagu daerah Nusantara dari Aceh hingga Papua mendominasi pertunjukan. Bungong Jeumpa, Medley Ondel-Ondel dan Sang Bango, Lir-Ilir, Medley Jaranan dan Janger, dan Rek Ayo Rek dibawakan para penari, dari yang masih anak-anak PAUD/TK hingga yang sudah remaja. Sigulempong, Manuk Dadali, Medley Gundul Pacul-Suwe Ora Jamu-Cublak Suweng, Ampar-Ampar Pisang, Yamko Rambe Yamko, dan Rasa Sayange dibawakan anak vokal kelas Jumat dengan koreografi yang dinamis. Setelah adegan terakhir anak-anak teater, dua lagu bertema nasionalisme karya Pak Sigit dinyanyikan anak vokal, yaitu : Dwi Warna dan Garuda Muda. Jingle AFC karya Dwipa Hanggana Prabawa dan Dewi Kurniawati dinyanyikan oleh seluruh anak yang tampil menutup pertunjukan malam itu.
Selasa, 17 Oktober 2017
Rabu, 11 Oktober 2017
Sabtu, 07 Oktober 2017
Jumat, 06 Oktober 2017
Senin, 02 Oktober 2017
Cinta dan Mencintai
Cinta itu suatu keadaan di dalam jiwa manusia. Suatu situasi yang bergulung-gulung di batas kedalaman jiwamu. Sedangkan mencintai adalah keputusan sosial. Mencintai adalah perilaku, langkah perbuatan kepada yang bukan dirimu. Engkau bisa mencintai, meskipun tanpa cinta. Karena perbuatan mencintai bisa engkau ambil energinya dari nilai-nilai sosialitas bermacam-macam. Bisa kasih sayang kemanusiaan, bisa kenikmatan bebrayan, bisa toleransi, empati, simpati, partisipasi atau apa pun. (Emha Ainun Nadjib)
Jumat, 29 September 2017
Belajar Berani dan Sabar
Kita tidak akan belajar berani dan sabar jika di dunia ini hanya ada kegembiraan.
(Helen Keller - penulis Amerika)
(Helen Keller - penulis Amerika)
Kamis, 28 September 2017
Rabu, 27 September 2017
Kenangan tentang Kenanga
Di
teras rumah. Sendiri belaka aku terjaga pada malam senyap, cukup ditemani
secangkir kopi dan sebungkus rokok kretek yang masih utuh. Istriku telah
mengajak masuk, tapi masih belum sudi kupejamkan mata. Sejumlah hal ingin
kurenungkan tanpa kawan. Entah mengapa lelaki tua yang sudah bolak-balik
dirawat di rumah sakit dan terkadang merokok ini masih diperkenankan-Nya berada
di atas buana. Justru perempuan muda yang belum sampai tiga puluh usianya itu
telah kembali ke haribaan Ilahi.
Sekian
jam silam, jasad putri bungsuku dikebumikan. Sungguh sebuah kejutan, tanpa ada
cerita menderita sakit apa, serta-merta Kenanga Juliana putriku pergi jauh
tanpa permisi. Tak bakal kutatap lagi paras indah salah satu perempuan
kesayanganku di muka bumi. Pikiranku pun menerawang ke waktu lalu, tepatnya
saat istriku melahirkan anak keenam kami. Kenanga anak perempuan keduaku di
antara keempat anak lelakiku. Ada enam orang anakku seluruhnya. Kehadirannya
istimewa lantaran tak kuduga, sesudah lima belas tahun berumah tangga, Tuhan
masih berkenan menghadirkan warga baru di keluarga kami.
Kenanga
beruntung dilahirkan kala kondisi perekonomian rumah tangga kami mulai mapan.
Kelima kakaknya pernah mengalami hidup pas-pasan karena posisiku di kantor
belum bagus. Aku dan istriku jadi sedikit berbeda memperlakukan Kenanga
ketimbang kakak-kakaknya. Sedari ia masih bocah, kami begitu memanjakannya,
membiarkannya melakukan semua hal yang ia sukai, dan selalu memenuhi segala
permintaannya. Selama sekian tahun kami tetap menganggapnya sebagai bidadari
kecil yang lucu dan lugu.
***
Maka
menjadi kejutan luar biasa, kala belum genap enam belas usianya, Kenanga kerap
mengeluh mual, bahkan sampai muntah-muntah segala, dan ternyata putri bungsuku
telah berbadan dua. Aku tak bisa percaya begitu saja mendengarkan apa kata
istriku yang menangis tersedu-sedu, mengadu kepadaku yang baru pulang bekerja
malam itu. Istriku sudah memeriksakan Kenanga ke dokter petang harinya.
“Mama,
apakah ini bukan kesalahan dokter mendiagnosa sakitnya Kenanga?” ujarku yang
belum sudi menerima kenyataan.
“Semua
bukti jelas menyatakan putri kita hamil, Papa.”
“Sudah berapa lama usia kandungannya?”
”Kata dokter,
sudah sekitar sembilan minggu.”
Rasa lelahku bertambah berlipat ganda. Ingin kumarahi
putri bungsuku yang tak mampu menjaga dirinya, ingin pula kumaki istriku yang
tak bisa menjaga tindak-tanduk anak perempuannya. Namun, aku paham bakal
percuma jika sampai kulakukan. Semua yang terjadi hanya dapat disesali. Tak boleh
terlampau lama aku bermuram durja dan menyalahkan diri belaka. Mesti dapat
kujaga benakku agar tetap jernih berpikir menghadapi problema yang ada, seberat
apa pun itu.
”Ma, tolong panggil Kenanga kemari. Papa mau bicara.”
”Tolong, Papa jangan marahi dia. Kenanga sangat terpukul
dengan kehamilannya.”
”Papa tidak akan memarahinya dan tahu mesti berkata apa nanti.”
Sekian menit kemudian, Kenanga masuk ke dalam kamarku
dengan tubuh lemas dipapah ibunya. Ia
melangkah gontai menghampiri posisi dudukku, lalu bersimpuh di kakiku dengan
air mata berlinang.
”Maafkan Kenanga, Pa. Ini memang salah Kenanga,” kata
putriku terisak-isak.
”Iya, iya... Papa sudah memaafkanmu, Nak. Sekarang kita
bicarakan apa yang mesti kita lakukan selanjutnya.”
”Iya, Papa,” sahut Kenanga sambil mengusap air matanya
dan kemudian beranjak duduk di samping ibunya.
”Nak, dengarkan Papa. Laki-laki yang menghamili kamu
mesti bertanggung jawab. Dia harus segera menikah denganmu,” ujarku mencoba
tegas, padahal hatiku hancur sejatinya.
”Tapi, Kenanga kan masih sekolah? Kenanga belum mau
menikah,” sahut Kenanga dengan nada merajuk.
”Itulah konsekuensi perbuatan kalian. Mungkin inilah
saatnya kau menjadi dewasa dan belajar bertanggung jawab, Kenanga.”
Tak sampai dua minggu kemudian, Kenanga resmi menikah
dengan lelaki yang telah lebih dahulu merenggut keperawanannya. Menantuku itu
mahasiswa tahun pertama di sebuah perguruan tinggi swasta, kakak kelas Kenanga
di SMA. Syukurlah, ia bersedia bertanggung jawab menjadi suami bidadari kecilku
yang telah beranjak dewasa. Kenanga terpaksa menikah mendahului kakak
perempuannya dan sepasang kakak lelakinya. Aku berusaha bisa tersenyum bahagia
di hari pernikahan Kenanga, kendati hati kecilku belum siap menerima perubahan
status putri bungsuku. Namun, aku beruntung bisa sering bertemu dengannya.
Kenanga dan suaminya memilih tinggal di rumah kami setelah menikah.
Sejak menjadi istri dan calon ibu, Kenanga lambat laun
berubah. Sifat kekanak-kanakannya mulai terkikis, berganti sikap dewasa. Ia
sangat bersedih karena terpaksa tidak melanjutkan sekolahnya yang masih kelas
II SMA, tapi putriku berusaha bijaksana.
”Seperti Papa bilang dulu, inilah konsekuensi perbuatan
Kenanga sendiri. Memang kini terasa pahit, tapi rasa manis itu pasti hadir
nanti,” ucap Kenanga dengan suara bergetar. Terasa bergejolak dadaku menyimak
kata-katanya. Aku seperti tak percaya mendengarkannya.
”Ya, Nak. Percayalah bahwa masih ada masa depan yang
lebih apik bagimu kelak, bagaimanapun situasi dan kondisimu kini. Kau mesti
sabar menjalaninya. Bersyukurlah, kau masih berkesempatan memperbaiki
kesalahanmu.”
”Kenanga mau tetap optimis menyambut hari esok. Tolong,
dukung dan doakan Kenanga selalu ya, Pa,” ujar putriku tersenyum sambil menahan
haru.
”Pastilah, Papa akan selalu mendoakan dan mendukungmu,
Nak,” sahutku dengan mata berkaca-kaca. Kurangkul hangat Kenanga yang duduk di
sampingku dan kukecup lembut keningnya.
***
Anak pertama Kenanga telah hadir ke dunia, artinya
bertambah satu lagi cucuku. Putri bungsuku yang baru enam belas tahun sekian
bulan usianya telah resmi menjadi seorang ibu. Seakan baru kemarin aku bahagia
menyambut kelahiran Kenanga, membuainya dalam dekapan, memandangnya belajar
berjalan, dan masih banyak lagi kenangan indah tentangnya dahulu kala. Lantas
sudah tiba begitu saja, giliran bidadari kecilku yang menggendong bayi
laki-laki yang telah sekitar sembilan bulan dikandungnya. Bersukacitalah kami
menyambut kedatangan warga baru keluarga kami. Kenanga bersungguh-sungguh ingin
menjadi ibu sempurna bagi anaknya. Ia rajin bertanya kepada ibunya dan membaca
hal ihwal pengasuhan anak sebaik-baiknya. Ia pun tak segan melakukan sejumlah
hal baru dalam hidupnya.
Aku tahu, kehidupan rumah tangga Kenanga tidak selalu
mulus berlangsung. Kadang terdengar putriku bertengkar dengan suaminya, tapi
untunglah tak pernah lama. Mereka senantiasa berusaha setia dengan komitmen
yang ada, apalagi sejak kehadiran si kecil dalam hidiup mereka. Kumaklumi
kondisi Kenanga dan suaminya, lantaran mereka menikah di usia dini, sementara
suami Kenanga belum bekerja. Keperluan hidup mereka masih ditanggung oleh kami.
Namun, putriku tak ingin sekadar berpangku tangan dengan menerima bantuan
semata.
”Pa, apa yang bisa kulakukan untuk bisa mendapat
penghasilan sendiri, ya?” tanya Kenanga pada sebuah Minggu pagi.
”Bisakah kau ingat,
apa saja yang pernah kau sukai dulu?”
”Seingatku, waktu bocah aku suka melukis. Apa aku bisa
jadi pelukis?”
”Cobalah melukis lagi dan nikmati saja dulu. Tak usah kau
pikir itu akan mendatangkan uang atau tidak,” saranku.
Ia mengangguk setuju dengan mata berbinar-binar. Ada satu perubahan lagi pada Kenanga, ia tak lagi
menyebutkan namanya sebagai kata ganti orang pertama. Putri bungsuku memang
kian dewasa. Kenanga melukis kembali seperti pada masa bocahnya, saat ia pernah
memenangkan sejumlah lomba, tapi ia berhenti melakukannya kala beranjak remaja.
Nyatanya, ia memang menemukan kenikmatan baru dengan melukis. Tak hanya
menggoreskan kuas di atas kertas, Kenanga mencoba melukis di atas kanvas.
Kuminta teman lamaku yang menjadi pelukis profesional membimbingnya agar mampu
lebih terarah dalam berkarya.
Lukisan karya Kenanga sudah semakin banyak dan dipasang
menghiasi dinding rumah kami. Suatu hari, temanku yang pelukis itu membawa
rekannya yang bekerja sebagai kurator pameran seni rupa. Ia bersedia
merekomendasikan lukisan karya Kenanga untuk diikutsertakan dalam pameran karya
sejumlah perupa muda yang akan segera berlangsung. Yang mengejutkan, sebuah
lukisan karya putriku yang dipamerkan ternyata laku dibeli. Sejak saat itulah, Kenanga
mantap menjadi pelukis. Sementara sang suami yang telah lulus kuliahnya, lantas
bekerja di sebuah perusahaan jasa. Kenanga melahirkan anak keduanya pada tahun
keenam usia pernikahannya. Aku
beserta istriku meminta Kenanga tetap tinggal bersama kami, lantaran semua anak
kami akhirnya sudah menikah dan meninggalkan rumah.
***
Tanpa terasa, sepuluh tahun sudah Kenanga melepas masa
lajangnya. Profesinya sebagai pelukis dan karier suaminya yang bagus membuat segala
keperluan keluarga tercukupi. Mereka akhirnya mampu memiliki tempat tinggal
hasil kerja keras mereka sendiri. Kenanga sesungguhnya sudah lama ingin tinggal
di rumah impiannya, tapi ia terus menundanya demi aku dan ibunya. Apalagi telah
kumasuki masa pensiun serta tak bisa banyak beraktivitas lagi. Bahkan kondisi
kesehatanku yang kerap menurun membuatku berkali-kali diopname.
”Papa dan
Mama tak perlu bersedih. Rumah kami kan relatif dekat, jadi kami pasti bakal
sering kemari,” hibur Kenanga ketika berpamitan untuk hijrah ke rumah
impiannya. Aku dan istriku terharu melepas kepergian Kenanga sekeluarga.
Tinggallah kami berdua menempati rumah yang pernah begitu riuh rendah selama
puluhan tahun.
Baru sekitar
sebulan Kenanga dan keluarganya meninggalkan tempat tinggal kami. Seperti janjinya, tak hanya sekali dalam setiap pekannya,
Kenanga mengajak suami dan kedua anaknya mengunjungi kami. Kepergian putri
bungsuku pun tak terlampau menyedihkan. Namun, pada suatu pagi, kami begitu
dikejutkan oleh sebuah telepon dari suami Kenanga.
”Papa,
sekarang saya ada di rumah sakit. Kenanga masuk unit gawat darurat setengah jam
lalu.”
”Apa yang
terjadi pada Kenanga? Istrimu sakit
apa, Nak?” tanyaku cemas sekali.
”Sejak tadi malam, ia mengeluh tak enak badan. Setelah
mengantar anak-anak ke sekolah, saya segera membawa Kenanga ke rumah sakit.
Sebetulnya ia sempat bilang ingin ke rumah Papa, tapi kondisinya yang melemah
membuat saya mengubah arah.”
”Kau yang
sabar ya, Nak. Papa dan Mama akan segera ke sana sekarang juga.”
Aku dan
istriku lekas beranjak menuju rumah sakit. Tak lupa, istriku menghubungi semua
kakak Kenanga supaya segera datang melihat kondisi terakhir adik mereka.
Sungguh aku terperanjat menyaksikan kondisi anakku di ruang unit gawat darurat.
Ia bergeming tanpa daya, sementara dokter dan para asistennya terus mencoba
melakukan berbagai hal demi menyadarkannya kembali. Aku dan istriku saling
berpegangan tangan, mencoba menguatkan diri seraya berdoa, mohon yang terbaik
bagi putri bungsu kami. Betapa terkejutnya seluruh kakak Kenanga mengetahui keadaan adik kesayangan mereka.
Kami semua mengenalnya sebagai perempuan yang tak pernah bermasalah dengan kesehatan.
Tiada yang tak bersedih menyaksikan apa yang ada.
”Kita tak tahu pasti yang akan terjadi pada Kenanga
nanti. Kita hanya bisa berdoa kini,” kataku berusaha tegar melihat istri dan
anak-anakku mulai menangis sesenggukan di depan tubuh Kenanga. Dokter meminta
kami masuk ke ruang unit gawat darurat, karena denyut jantung putri bungsuku
semakin pelan, lebih lambat lagi, dan akhirnya benar-benar berhenti...
Maka pecahlah suara tangisan dari sebuah ruangan di rumah
sakit, demi melepas kepergian perempuan muda kesayangan kami. Kenanga meninggal dunia akibat terkena serangan jantung,
kata dokter yang menanganinya. Untuk
sementara aku terpaku belaka menatap wajah pucat putriku.
”Kenanga
Juliana putriku, ada saja kejutanmu buat Papa. Sekarang, tiba-tiba kau pergi
selamanya, tanpa kata perpisahan. Selamat jalan, bidadari kecilku,” ucapku
dengan dukacita terdalam yang pernah kurasakan.
***
Kering sudah air mataku kini. Habis sudah sebuah malam
untukku mengenang perjalanan hidup putri bungsuku tercinta, cukup ditemani tiga
cangkir kopi dan dua batang rokok kretek. Sayup-sayup mulai terdengar suara
azan Subuh berkumandang dari berbagai arah. Akan segera kuambil air wudhu,
lantas sehabis menunaikan kewajiban nanti, ingin secara khusus kutitipkan salam
kasih sayangku buat bidadari kecilku lewat Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang. Aku percaya, ia sudah tersenyum bahagia dalam belaian kasih
sayang-Nya.
#Cerpen ini dimuat di litera.co.id sejak 25 September 2017.
Selasa, 26 September 2017
Menulis di Internet
Internet telah mengubah status kita sebagai manusia: kita tidak lagi hanya menjadi citizen tetapi juga sekaligus menjadi netizen – gabungan dari citizen dan internet. Sebagai netizen kita tidak perlu memiliki KTP atau Paspor, dan bisa dengan leluasa berselancar ke sana ke mari mencari apa pun kepada netizen lain atau berkelompok menciptakan komunitas yang tidak terbatas ciri dan jenisnya.
Menulis di internet berarti siap menghadapi siapa saja dari mana saja, yang dibekali pengetahuan, kecerdasan, dan perangai yang berbeda-beda pula.
(Sapardi Djoko Damono dalam esai "Tentang Kritik Sastra")
Menulis di internet berarti siap menghadapi siapa saja dari mana saja, yang dibekali pengetahuan, kecerdasan, dan perangai yang berbeda-beda pula.
(Sapardi Djoko Damono dalam esai "Tentang Kritik Sastra")
Minggu, 24 September 2017
Menulis adalah Memberi Tanda Kehidupan
Menulis adalah mencipta, membuat sesuatu menjadi ada dari ketiadaan. Menulis adalah memberdayakan potensi manusia. Menulis adalah sebuah pertanggungjawaban untuk melanjutkan apa yang sudah dicapai oleh kebudayaan manusia, Menulis adalah memberi tanda pada kehidupan. (Hasan Aspahani)
Sabtu, 23 September 2017
Kamis, 21 September 2017
Kematian Jalan Menuju Pengadilan
Kematian adalah jalan menuju pengadilan. Siapa mau diadili? Seorang yang hidup lurus selama tinggal di dunia, juga tidak senang diadili, saya yakin itu.
(Danarto dalam cerpen "Jantung Hati")
(Danarto dalam cerpen "Jantung Hati")
Selasa, 19 September 2017
Seraut Wajah
Seraut wajah penuh tanda tanya
Tentang misteri hidup manusia
Di antara kebisuan kata kata
Mencari makna abadi dunia
Tiada keputusan menyimpulkan fakta
Demi perdamaian setiap bangsa
Di antara puing kehancuran dunia
Ciptakan harmoni antara kita
Ilmu tiada meraih makna
Tanpa kesadaran semesta
Akal tergesa tuk mengerti
Hanya dalam batas insani
Sampai akhir jaman kan tiba
Semua arti tabir terbuka
Keyakinan diteguhkan fakta
Berjuta wajah takkan bertanya
(Krakatau - musik : Indra Lesmana, lirik : Pra B Dharma)
Tentang misteri hidup manusia
Di antara kebisuan kata kata
Mencari makna abadi dunia
Tiada keputusan menyimpulkan fakta
Demi perdamaian setiap bangsa
Di antara puing kehancuran dunia
Ciptakan harmoni antara kita
Ilmu tiada meraih makna
Tanpa kesadaran semesta
Akal tergesa tuk mengerti
Hanya dalam batas insani
Sampai akhir jaman kan tiba
Semua arti tabir terbuka
Keyakinan diteguhkan fakta
Berjuta wajah takkan bertanya
(Krakatau - musik : Indra Lesmana, lirik : Pra B Dharma)
Senin, 18 September 2017
Kenikmatan dalam Doa
Sungguh, sumber kenikmatan yang terdapat di dalam doa adalah Cinta Ilahi yang tak kunjung henti membawa roh terbang ke rumahnya. (Jalaluddin Rumi)
Sabtu, 16 September 2017
Teknologi dan Hasilnya pada Manusia
Teknologi berkembang sangat pesat. Salah satu hasilnya, manusia kehilangan dirinya, manusia menjadi luntur kemanusiaannya, manusia menurun kemampuan bekerjanya.
(Emha Ainun Nadjib)
(Emha Ainun Nadjib)
Kamis, 14 September 2017
Pikir Jernih dan Tenang Hati
Tetap mampu berpikir jernih dan menjaga ketenangan hati manakala hujan masalah mengguyurmu adalah wujud anugerah yang mesti kau syukuri, jangan kau biarkan mereka pergi.
Langganan:
Postingan (Atom)