Jumat pekan lalu, 22 Desember 2017, menjadi hari yang sibuk dan mengesankan bagiku. Saat pagi aku mendapat amanat untuk berbagi pengalaman sebagai penulis cerpen dalam sesi Bincang Para Penulis yang merupakan hari ketiga acara Festival Sastra Museum Dewantara 2017 di Museum Dewantara Kirti Griya (MDKG) Tamansiswa Yogyakarta. Bersama denganku terdapat dua penulis senior dari Balai Bahasa Yogyakarta dan seorang guru Bahasa Indonesia berprestasi yang produktif dalam menulis cerita. Kami semua yang hadir lantas dijamu panitia dengan nasi sop ayam seraya menikmati alunan lagu Bunda dari Aya (salah satu peserta pelatihan) dan pembacaan cerkak (cerita cekak) dari peserta lainnya. Para pembicara mendapatkan sertifikat beserta buah tangan berupa mug dan gantungan kunci yang dihiasi ajaran Ki Hadjar Dewantara.
Malam harinya aku mendampingi anak-anak vokal AFC (Art for Children) asuhan Pak Sigit Eko Riyanto yang tampil bersama Teater Nincha mementaskan operet anak inklusi bertajuk Bhumi : Setangkai Mawar untuk Ibu di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta. Operet tersebut disutradarai oleh Mas Broto Wijayanto, salah satu tokoh muda berprestasi dalam bidang kebudayaan di Yogyakarta yang sudah kerap mendapat penghargaan dari banyak pihak. Oh ya, Dwipa Hanggana Prabawa (penata musik) dan Theresia Wulandari (penata gerak) juga turut terlibat dalam pementasan tersebut.
Pentas yang diinisiasi oleh salah satu UKM di Fakultas Psikologi UGM tersebut sekaligus menjadi acara penggalangan dana bagi Panti Asuhan Bina Siwi yang terletak di Pajangan Bantul. Mereka yang diasuh di sana adalah saudara-saudara kita yang difabel. Sebelum operet dipentaskan, mereka sempat unjuk kebolehan memainkan alat musik di depan penonton. Sementara itu, pemeran utama operet adalah Udana, seorang bocah tuna rungu, yang mampu bermain dan bekerja sama dengan baik bersama teman-temannya yang bisa mendengar dan berbicara biasa. Pak Tedjo Badut dan anak buahnya ikut memeriahkan panggung pertunjukan malam itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar