Mereka sedang menanggung duka yang dalam nian, sebuah rasa yang belum pernah ada sebelumnya. Para perempuan meratapi ayah, saudara lelaki, suami, maupun anak lelakinya yang telah pergi dan mustahil kembali pulang. Pasar-pasar pun hilang kumandangnya. Tiada orang yang melakukan jual-beli di sana. Sawah ladang ditelantarkan begitu saja tanpa ada yang menggarapnya. Seakan-akan semua orang larut dalam kesedihan dan tak berdaya melakukan apa-apa. Kehidupan laksana berhenti untuk sejenak masa. Namun, suasana mulai berubah kala terdengar kabar Pandawa akan segera datang. Sang bayu yang berembus terasa rada menyejukkan, harapan pun mulai mengemuka. Dengan kesadaran sendiri, masyarakat Hastinapura berduyun-duyun meninggalkan tempat tinggalnya dan berdiri di tepi jalan yang akan dilewati oleh rombongan.
“Siapakah mereka yang kita tunggu, Ibu?”
“Mereka adalah Pandawa, pemimpin sejati Hastinapura yang sudah lama kita tunggu kehadirannya.”
“Di mana mereka selama ini? Mengapa baru datang hari ini?”
“Begitu panjang riwayat mereka selama ini, Nak. Lain kali Ibu akan menceritakannya padamu. Semoga Ibu masih mengingatnya nanti. Sebentar lagi mereka akan lewat di depan kita. Berikan penghormatan terbaik kita kepada Pangeran Yudistira dan saudara-saudaranya, Nak.”
“Bolehkah aku mengabdi kepada Pandawa, Ibu?”
“Tentu saja, tapi setelah kau dewasa nanti, ya,” sahut sang ibu yang serta-merta terharu seraya membelai kepala anak bungsunya.
Baratayuda belum lama usai. Kekuasaan Kurawa di Hastinapura berakhir sudah. Seorang bocah lelaki nan lugu banyak bertanya kepada ibunya ketika melihat kedatangan rombongan Pandawa memasuki ibu kota Hastinapura dari padang Kurusetra. Ayah si bocah adalah seorang prajurit yang tewas di medan laga. Paman dan kakak lelakinya pun padam nyawa di sana. Sang ibu tak sanggup membendung air matanya yang mengalir sendiri kala mengenang mereka yang telah tiada.
Kendati begitu berduka, rakyat Hastinapura sungguh berharap Pandawa bisa membawa perubahan bagi kehidupan mereka yang selama ini sengsara dan terhina di bawah Kurawa yang dipimpin Duryudana. Terjadinya Baratayuda telah menambah kadar penderitaan mereka. Maka mereka menginginkan kerelaan hati Destarata menyerahkan takhtanya kepada Yudistira. Mereka tak mengerti bahwa sempat terjadi insiden di dalam istana ketika Destarata nyaris membunuh keponakannya sendiri, Bima, yang telah menghabisi anak-anaknya dengan cara yang keji dalam pertempuran di Kurusetra. Namun, akhirnya Destarata ikhlas melepas kekuasaannya yang diserahkan kepada anak tertua Pandu, adiknya yang sudah lama tiada.
Setelah dinobatkan sebagai raja Hastinapura, Yudistira dengan didampingi adik-adiknya maupun Prabu Kresna kembali mendatangi Kurusetra untuk menemui Bisma Dewabrata, kakek mereka yang terbaring tanpa daya ditopang ribuan anak panah. Dewata memberinya kesempatan menentukan waktu kematiannya sendiri, tapi Resi Bisma masih ingin memberi wejangan kepada Pandawa sebelum menutup mata selamanya.
“Hamba mohon doa restu dari Eyang Bisma agar hati hamba senantiasa tabah menjalankan kewajiban,” ujar Prabu Yudistira di depan kakeknya.
“Eyang tak akan berhenti mendoakan kalian agar senantiasa mendapatkan perlindungan Yang Mahakuasa. Namun, doa tidak akan ada artinya jika yang didoakan justru melanggar hukum yang ditetapkan Tuhan. Yang penting bagi keselamatan manusia di alam lahir dan nirwana nanti adalah perbuatan kita sendiri,” kata Resi Bisma.
Pandawa dan Prabu Kresna mendengarkan dengan saksama petuah sang kakek.
“Waspadalah cucuku, kau sebagai raja jangan hanya memandang orang-orang berderajat tinggi, kaum bangsawan, dan mereka yang kaya raya. Kau mesti melihat kehidupan mereka yang berada di bawah. Di negeri mana saja di seluruh dunia, yang terbanyak penduduknya adalah rakyat jelata.”
“Maju mundurnya suatu negeri dinilai dari kehidupan rakyatnya, bukan dari kemewahan yang memerintah. Kekuasaan rakyat itu laksana air danau yang tenang, tapi sewaktu-waktu dapat menghancurkan lembah-lembah yang subur. Apabila tanggulnya kurang kokoh, air danau itu akan mendobraknya dengan kekuatan yang dahsyat.”
Yudistira sebagai raja baru Hastinapura sungguh menghayati nasihat lelaki tua yang senantiasa dihormatinya tersebut, kendati beliau berada di pihak Kurawa ketika Baratayuda lantaran kecintaannya yang luar biasa kepada Hastinapura, tanah tumpah darahnya.
“Kejujuran dan keluhuran budi lebih berharga ketimbang emas berlian yang menggunung. Harta kekayaan bagaimanapun banyaknya tidak akan mampu membawamu ke alam nirwana. Hanya itulah yang dapat Eyang wariskan, cucu-cucuku tercinta.”
Resi Bisma pun mengembuskan napas terakhirnya. Pandawa sempat terluka hatinya, tapi mereka telah memperoleh wasiat dari sang kakek yang akan menjadi bekal bernilai tinggi bagi Yudistira maupun keempat saudaranya dalam memimpin negeri yang keadaannya sungguh memprihatinkan seusai perang besar. Sebuah pertempuran yang mesti terjadi untuk mengakhiri kekuasaan yang tidak adil dan bertindak semena-mena terhadap rakyatnya sendiri. Prabu Yudistira berusaha benar mengejawantahkan pesan-pesan Resi Bisma. Nasihat dari Prabu Kresna, Ibu Kunti, dan para sesepuh lainnya tentu akan selalu menjadi pedoman yang baik pula baginya dalam memimpin Hastinapura.
Rakyat bersedia bekerja keras membangun kembali negerinya yang porakporanda di bawah rajanya nan bijaksana. Senyuman masyarakat di negeri itu lambat laun mulai bersemi kembali. Mereka bersukacita melihat sang pemimpin sejati menjalankan kekuasaannya dengan adil dan beradab. Segala hal yang menjadi kebutuhan mereka lambat laun terpenuhi dengan baik. Si bocah lugu dan ibunya pun bersemangat kembali dalam menjalani kehidupan. Sang ibu merestui sepenuhnya hasrat anaknya untuk mengabdi kepada Pandawa di masa mendatang.
# dimuat di Bali Post Minggu, 15 Oktober 2017.
# dimuat di Bali Post Minggu, 15 Oktober 2017.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar