Di
teras rumah. Sendiri belaka aku terjaga pada malam senyap, cukup ditemani
secangkir kopi dan sebungkus rokok kretek yang masih utuh. Istriku telah
mengajak masuk, tapi masih belum sudi kupejamkan mata. Sejumlah hal ingin
kurenungkan tanpa kawan. Entah mengapa lelaki tua yang sudah bolak-balik
dirawat di rumah sakit dan terkadang merokok ini masih diperkenankan-Nya berada
di atas buana. Justru perempuan muda yang belum sampai tiga puluh usianya itu
telah kembali ke haribaan Ilahi.
Sekian
jam silam, jasad putri bungsuku dikebumikan. Sungguh sebuah kejutan, tanpa ada
cerita menderita sakit apa, serta-merta Kenanga Juliana putriku pergi jauh
tanpa permisi. Tak bakal kutatap lagi paras indah salah satu perempuan
kesayanganku di muka bumi. Pikiranku pun menerawang ke waktu lalu, tepatnya
saat istriku melahirkan anak keenam kami. Kenanga anak perempuan keduaku di
antara keempat anak lelakiku. Ada enam orang anakku seluruhnya. Kehadirannya
istimewa lantaran tak kuduga, sesudah lima belas tahun berumah tangga, Tuhan
masih berkenan menghadirkan warga baru di keluarga kami.
Kenanga
beruntung dilahirkan kala kondisi perekonomian rumah tangga kami mulai mapan.
Kelima kakaknya pernah mengalami hidup pas-pasan karena posisiku di kantor
belum bagus. Aku dan istriku jadi sedikit berbeda memperlakukan Kenanga
ketimbang kakak-kakaknya. Sedari ia masih bocah, kami begitu memanjakannya,
membiarkannya melakukan semua hal yang ia sukai, dan selalu memenuhi segala
permintaannya. Selama sekian tahun kami tetap menganggapnya sebagai bidadari
kecil yang lucu dan lugu.
***
Maka
menjadi kejutan luar biasa, kala belum genap enam belas usianya, Kenanga kerap
mengeluh mual, bahkan sampai muntah-muntah segala, dan ternyata putri bungsuku
telah berbadan dua. Aku tak bisa percaya begitu saja mendengarkan apa kata
istriku yang menangis tersedu-sedu, mengadu kepadaku yang baru pulang bekerja
malam itu. Istriku sudah memeriksakan Kenanga ke dokter petang harinya.
“Mama,
apakah ini bukan kesalahan dokter mendiagnosa sakitnya Kenanga?” ujarku yang
belum sudi menerima kenyataan.
“Semua
bukti jelas menyatakan putri kita hamil, Papa.”
“Sudah berapa lama usia kandungannya?”
”Kata dokter,
sudah sekitar sembilan minggu.”
Rasa lelahku bertambah berlipat ganda. Ingin kumarahi
putri bungsuku yang tak mampu menjaga dirinya, ingin pula kumaki istriku yang
tak bisa menjaga tindak-tanduk anak perempuannya. Namun, aku paham bakal
percuma jika sampai kulakukan. Semua yang terjadi hanya dapat disesali. Tak boleh
terlampau lama aku bermuram durja dan menyalahkan diri belaka. Mesti dapat
kujaga benakku agar tetap jernih berpikir menghadapi problema yang ada, seberat
apa pun itu.
”Ma, tolong panggil Kenanga kemari. Papa mau bicara.”
”Tolong, Papa jangan marahi dia. Kenanga sangat terpukul
dengan kehamilannya.”
”Papa tidak akan memarahinya dan tahu mesti berkata apa nanti.”
Sekian menit kemudian, Kenanga masuk ke dalam kamarku
dengan tubuh lemas dipapah ibunya. Ia
melangkah gontai menghampiri posisi dudukku, lalu bersimpuh di kakiku dengan
air mata berlinang.
”Maafkan Kenanga, Pa. Ini memang salah Kenanga,” kata
putriku terisak-isak.
”Iya, iya... Papa sudah memaafkanmu, Nak. Sekarang kita
bicarakan apa yang mesti kita lakukan selanjutnya.”
”Iya, Papa,” sahut Kenanga sambil mengusap air matanya
dan kemudian beranjak duduk di samping ibunya.
”Nak, dengarkan Papa. Laki-laki yang menghamili kamu
mesti bertanggung jawab. Dia harus segera menikah denganmu,” ujarku mencoba
tegas, padahal hatiku hancur sejatinya.
”Tapi, Kenanga kan masih sekolah? Kenanga belum mau
menikah,” sahut Kenanga dengan nada merajuk.
”Itulah konsekuensi perbuatan kalian. Mungkin inilah
saatnya kau menjadi dewasa dan belajar bertanggung jawab, Kenanga.”
Tak sampai dua minggu kemudian, Kenanga resmi menikah
dengan lelaki yang telah lebih dahulu merenggut keperawanannya. Menantuku itu
mahasiswa tahun pertama di sebuah perguruan tinggi swasta, kakak kelas Kenanga
di SMA. Syukurlah, ia bersedia bertanggung jawab menjadi suami bidadari kecilku
yang telah beranjak dewasa. Kenanga terpaksa menikah mendahului kakak
perempuannya dan sepasang kakak lelakinya. Aku berusaha bisa tersenyum bahagia
di hari pernikahan Kenanga, kendati hati kecilku belum siap menerima perubahan
status putri bungsuku. Namun, aku beruntung bisa sering bertemu dengannya.
Kenanga dan suaminya memilih tinggal di rumah kami setelah menikah.
Sejak menjadi istri dan calon ibu, Kenanga lambat laun
berubah. Sifat kekanak-kanakannya mulai terkikis, berganti sikap dewasa. Ia
sangat bersedih karena terpaksa tidak melanjutkan sekolahnya yang masih kelas
II SMA, tapi putriku berusaha bijaksana.
”Seperti Papa bilang dulu, inilah konsekuensi perbuatan
Kenanga sendiri. Memang kini terasa pahit, tapi rasa manis itu pasti hadir
nanti,” ucap Kenanga dengan suara bergetar. Terasa bergejolak dadaku menyimak
kata-katanya. Aku seperti tak percaya mendengarkannya.
”Ya, Nak. Percayalah bahwa masih ada masa depan yang
lebih apik bagimu kelak, bagaimanapun situasi dan kondisimu kini. Kau mesti
sabar menjalaninya. Bersyukurlah, kau masih berkesempatan memperbaiki
kesalahanmu.”
”Kenanga mau tetap optimis menyambut hari esok. Tolong,
dukung dan doakan Kenanga selalu ya, Pa,” ujar putriku tersenyum sambil menahan
haru.
”Pastilah, Papa akan selalu mendoakan dan mendukungmu,
Nak,” sahutku dengan mata berkaca-kaca. Kurangkul hangat Kenanga yang duduk di
sampingku dan kukecup lembut keningnya.
***
Anak pertama Kenanga telah hadir ke dunia, artinya
bertambah satu lagi cucuku. Putri bungsuku yang baru enam belas tahun sekian
bulan usianya telah resmi menjadi seorang ibu. Seakan baru kemarin aku bahagia
menyambut kelahiran Kenanga, membuainya dalam dekapan, memandangnya belajar
berjalan, dan masih banyak lagi kenangan indah tentangnya dahulu kala. Lantas
sudah tiba begitu saja, giliran bidadari kecilku yang menggendong bayi
laki-laki yang telah sekitar sembilan bulan dikandungnya. Bersukacitalah kami
menyambut kedatangan warga baru keluarga kami. Kenanga bersungguh-sungguh ingin
menjadi ibu sempurna bagi anaknya. Ia rajin bertanya kepada ibunya dan membaca
hal ihwal pengasuhan anak sebaik-baiknya. Ia pun tak segan melakukan sejumlah
hal baru dalam hidupnya.
Aku tahu, kehidupan rumah tangga Kenanga tidak selalu
mulus berlangsung. Kadang terdengar putriku bertengkar dengan suaminya, tapi
untunglah tak pernah lama. Mereka senantiasa berusaha setia dengan komitmen
yang ada, apalagi sejak kehadiran si kecil dalam hidiup mereka. Kumaklumi
kondisi Kenanga dan suaminya, lantaran mereka menikah di usia dini, sementara
suami Kenanga belum bekerja. Keperluan hidup mereka masih ditanggung oleh kami.
Namun, putriku tak ingin sekadar berpangku tangan dengan menerima bantuan
semata.
”Pa, apa yang bisa kulakukan untuk bisa mendapat
penghasilan sendiri, ya?” tanya Kenanga pada sebuah Minggu pagi.
”Bisakah kau ingat,
apa saja yang pernah kau sukai dulu?”
”Seingatku, waktu bocah aku suka melukis. Apa aku bisa
jadi pelukis?”
”Cobalah melukis lagi dan nikmati saja dulu. Tak usah kau
pikir itu akan mendatangkan uang atau tidak,” saranku.
Ia mengangguk setuju dengan mata berbinar-binar. Ada satu perubahan lagi pada Kenanga, ia tak lagi
menyebutkan namanya sebagai kata ganti orang pertama. Putri bungsuku memang
kian dewasa. Kenanga melukis kembali seperti pada masa bocahnya, saat ia pernah
memenangkan sejumlah lomba, tapi ia berhenti melakukannya kala beranjak remaja.
Nyatanya, ia memang menemukan kenikmatan baru dengan melukis. Tak hanya
menggoreskan kuas di atas kertas, Kenanga mencoba melukis di atas kanvas.
Kuminta teman lamaku yang menjadi pelukis profesional membimbingnya agar mampu
lebih terarah dalam berkarya.
Lukisan karya Kenanga sudah semakin banyak dan dipasang
menghiasi dinding rumah kami. Suatu hari, temanku yang pelukis itu membawa
rekannya yang bekerja sebagai kurator pameran seni rupa. Ia bersedia
merekomendasikan lukisan karya Kenanga untuk diikutsertakan dalam pameran karya
sejumlah perupa muda yang akan segera berlangsung. Yang mengejutkan, sebuah
lukisan karya putriku yang dipamerkan ternyata laku dibeli. Sejak saat itulah, Kenanga
mantap menjadi pelukis. Sementara sang suami yang telah lulus kuliahnya, lantas
bekerja di sebuah perusahaan jasa. Kenanga melahirkan anak keduanya pada tahun
keenam usia pernikahannya. Aku
beserta istriku meminta Kenanga tetap tinggal bersama kami, lantaran semua anak
kami akhirnya sudah menikah dan meninggalkan rumah.
***
Tanpa terasa, sepuluh tahun sudah Kenanga melepas masa
lajangnya. Profesinya sebagai pelukis dan karier suaminya yang bagus membuat segala
keperluan keluarga tercukupi. Mereka akhirnya mampu memiliki tempat tinggal
hasil kerja keras mereka sendiri. Kenanga sesungguhnya sudah lama ingin tinggal
di rumah impiannya, tapi ia terus menundanya demi aku dan ibunya. Apalagi telah
kumasuki masa pensiun serta tak bisa banyak beraktivitas lagi. Bahkan kondisi
kesehatanku yang kerap menurun membuatku berkali-kali diopname.
”Papa dan
Mama tak perlu bersedih. Rumah kami kan relatif dekat, jadi kami pasti bakal
sering kemari,” hibur Kenanga ketika berpamitan untuk hijrah ke rumah
impiannya. Aku dan istriku terharu melepas kepergian Kenanga sekeluarga.
Tinggallah kami berdua menempati rumah yang pernah begitu riuh rendah selama
puluhan tahun.
Baru sekitar
sebulan Kenanga dan keluarganya meninggalkan tempat tinggal kami. Seperti janjinya, tak hanya sekali dalam setiap pekannya,
Kenanga mengajak suami dan kedua anaknya mengunjungi kami. Kepergian putri
bungsuku pun tak terlampau menyedihkan. Namun, pada suatu pagi, kami begitu
dikejutkan oleh sebuah telepon dari suami Kenanga.
”Papa,
sekarang saya ada di rumah sakit. Kenanga masuk unit gawat darurat setengah jam
lalu.”
”Apa yang
terjadi pada Kenanga? Istrimu sakit
apa, Nak?” tanyaku cemas sekali.
”Sejak tadi malam, ia mengeluh tak enak badan. Setelah
mengantar anak-anak ke sekolah, saya segera membawa Kenanga ke rumah sakit.
Sebetulnya ia sempat bilang ingin ke rumah Papa, tapi kondisinya yang melemah
membuat saya mengubah arah.”
”Kau yang
sabar ya, Nak. Papa dan Mama akan segera ke sana sekarang juga.”
Aku dan
istriku lekas beranjak menuju rumah sakit. Tak lupa, istriku menghubungi semua
kakak Kenanga supaya segera datang melihat kondisi terakhir adik mereka.
Sungguh aku terperanjat menyaksikan kondisi anakku di ruang unit gawat darurat.
Ia bergeming tanpa daya, sementara dokter dan para asistennya terus mencoba
melakukan berbagai hal demi menyadarkannya kembali. Aku dan istriku saling
berpegangan tangan, mencoba menguatkan diri seraya berdoa, mohon yang terbaik
bagi putri bungsu kami. Betapa terkejutnya seluruh kakak Kenanga mengetahui keadaan adik kesayangan mereka.
Kami semua mengenalnya sebagai perempuan yang tak pernah bermasalah dengan kesehatan.
Tiada yang tak bersedih menyaksikan apa yang ada.
”Kita tak tahu pasti yang akan terjadi pada Kenanga
nanti. Kita hanya bisa berdoa kini,” kataku berusaha tegar melihat istri dan
anak-anakku mulai menangis sesenggukan di depan tubuh Kenanga. Dokter meminta
kami masuk ke ruang unit gawat darurat, karena denyut jantung putri bungsuku
semakin pelan, lebih lambat lagi, dan akhirnya benar-benar berhenti...
Maka pecahlah suara tangisan dari sebuah ruangan di rumah
sakit, demi melepas kepergian perempuan muda kesayangan kami. Kenanga meninggal dunia akibat terkena serangan jantung,
kata dokter yang menanganinya. Untuk
sementara aku terpaku belaka menatap wajah pucat putriku.
”Kenanga
Juliana putriku, ada saja kejutanmu buat Papa. Sekarang, tiba-tiba kau pergi
selamanya, tanpa kata perpisahan. Selamat jalan, bidadari kecilku,” ucapku
dengan dukacita terdalam yang pernah kurasakan.
***
Kering sudah air mataku kini. Habis sudah sebuah malam
untukku mengenang perjalanan hidup putri bungsuku tercinta, cukup ditemani tiga
cangkir kopi dan dua batang rokok kretek. Sayup-sayup mulai terdengar suara
azan Subuh berkumandang dari berbagai arah. Akan segera kuambil air wudhu,
lantas sehabis menunaikan kewajiban nanti, ingin secara khusus kutitipkan salam
kasih sayangku buat bidadari kecilku lewat Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang. Aku percaya, ia sudah tersenyum bahagia dalam belaian kasih
sayang-Nya.
#Cerpen ini dimuat di litera.co.id sejak 25 September 2017.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar