Mas Adji merupakan kakak sepupuku. Ibuku adik kandung ibunda Mas Adji. Tentu kami telah saling
mengenal sejak sama-sama bocah. Usia kami boleh dikata sepantaran ketika sudah
dewasa, lantaran usianya hanya lima tahun di atasku. Cuma dahulu kesannya dia
jauh lebih tua ketimbang diriku. Banyak hal yang terkoneksi dengan baik saban
kami bercakap-cakap. Yang mengesankanku sedari kanak-kanak, Mas Adji adalah
sosok yang menyenangkan dan menjadi salah satu sepupu favoritku sampai sekarang.
Ia piawai bercerita, gemar sekali
bernyanyi, dan cakap bermain gitar. Bahkan Mas Adji pula yang pertama mengajariku
bermain gitar, salah satu hobiku di waktu senggang hingga kini.
Dalam keluarga besar kami, Mas
Adji mungkin satu dari sedikit orang yang menempuh hal berbeda dalam bekerja.
Kebanyakan dari kami memperoleh penghasilan tetap sebagai karyawan swasta atau
pegawai negeri, termasuk diriku salah satunya. Ada pula sebagian kecil yang
membuka usaha sendiri. Sedangkan Mas Adji memilih berkarya melalui dunia seni
yang -sejauh sepengetahuanku- pendapatannya tidak pasti. Padahal sebenarnya ia pernah
pula bekerja sebagai karyawan swasta dengan gaji menjulang, namun ia tinggalkan
begitu rupa tanpa kutahu persis alasannya.
Barangkali boleh dibilang Mas
Adji itu seniman multibakat. Memang namanya lebih dikenal sebagai dramawan. Ia
mendirikan sekaligus memimpin sebuah kelompok teater yang cukup terpandang di
Jakarta. Namun, ia sesungguhnya merupakan pencipta lagu yang andal, cerpenis,
penyair, dan aktor yang lumayan disegani pula oleh mereka yang mengakrabinya. Aku
merupakan penggemar sejati karya-karyanya yang beraneka warna, baik itu pentas
teaternya, lagunya, maupun karya tulisnya. Belakangan kudengar ia kerap berkeliling
dari daerah ke daerah di seluruh penjuru Nusantara untuk berbagi ilmu serta
pengalamannya selama puluhan tahun menjalani proses kreatif.
Satu hal yang khas dari Mas Adji
adalah penampilannya yang begitu sederhana. Ia biasanya cukup mengenakan kemeja
polos berwarna kalem dan celana jeans, dengan alas kaki sandal jepit berharga
murah. Sebuah tas ransel selalu menyertai derap langkahnya ke mana saja. Mas Adji
juga suka sekali berjalan kaki maupun naik angkutan umum. Bahkan pernah suatu
ketika, ia naik pesawat terbang, bus antarkota, sampai becak, lalu berjalan
kaki hanya dalam beberapa jam di hari yang sama. Masih kuingat jelas sewaktu
Mas Adji menceritakan peristiwa hari itu dengan kocaknya.
***
”Hidup itu kalau kita bisa
menjalaninya tanpa beban, pasti bakal terasa lebih ringan dan menyenangkan,
kok,” kata Mas Adji ketika kami berjumpa dalam sebuah acara keluarga.
”Saya percaya, Mas Adji bisa
melakukannya, tapi apa saya juga bisa? Sepertinya saya lebih sering sedih dan
kecewa selama ini, Mas,” sahutku.
“Bukalah hati dan pikiranmu,
percaya diri saja kamu bisa.”
“Saya cobalah, Mas. Eh, kadang
sebenarnya saya iri dengan Mas Adji, lho.”
“Apa sih yang aku punya,
sampai kamu bisa iri begitu?”
“Mas Adji itu sepertinya bisa
selalu santai, apa pun yang terjadi. Saya bahkan belum pernah melihat Mas Adji marah.”
“Hahaha, kebetulan saja kamu
belum pernah melihat aku marah. Coba tanya teman-temanku yang sering melihat betapa galaknya Mas Adji ini,
terutama kalau kami lagi latihan menjelang pementasan. Boleh juga kamu tanya ke
Mas Adri itu.”
“Hehehe, mungkin karena kita
selalu ketemunya di acara keluarga begini ya, Mas. Suasananya memang selalu
santai dan menggembirakan, sih.”
”Apa iya, aku selalu terlihat
santai? Barangkali karena aku tidak suka hidup secara ngoyo, jadi kesannya santai begini. Jangan dikira hidupku tak ada masalahnya lho, Dik.
Mungkin cara menghadapi masalah belaka yang membedakan kita. Yang jelas, aku
yakin tiap masalah pasti ada jalan keluarnya. Istilahnya, sudah jadi satu paket
dari sananya. Makanya tak usah terlalu mengkhawatirkan segala sesuatu.”
Aku manggut-manggut seraya
merenungkan ucapan Mas Adji. Filosofi hidup sepupuku bersahaja sejatinya, namun
hal itulah yang membuat dirinya mampu senantiasa menikmati perjalanannya di
atas buana. Aku paham, Mas Adji
sesungguhnya pernah gagal dalam berumah tangga dan sempat kesulitan menemui anak
kandungnya yang diasuh mantan istrinya. Kesabarannya selama ini membuat Mas Adji
akhirnya bisa berjumpa lagi dengan buah hatinya, setelah sekitar sepuluh tahun
berpisah. Setiap aku berbincang dengannya, sejumlah hal menarik selalu
disampaikan Mas Adji. Tak pernah aku jemu, apalagi pasti keluar canda tawanya yang
membuat perjumpaan kami lebih meriah. Ia pun senantiasa mendendangkan begitu
banyak lagu diiringi dentingan gitarnya yang bisa membuat kami terbuai hingga bernyanyi
bersama.
***
Pada sebuah malam, baru saja
aku turun dari kereta rel listrik. Aku tengah melangkah menuju tempat parkir untuk
mengambil sepeda motorku, ketika ada sebuah pesan singkat dari Mas Adri -adik
kandung Mas Adji- yang isinya sungguh mengejutkanku.
“Innalillahi wa inna ilaihi roji’un.
Mas Adji telah meninggal dunia sekitar pukul 23.00 WIB di Purwakarta. Malam ini
jenazahnya diusahakan bisa segera dibawa pulang ke Jakarta.”
Tiba-tiba aku tercenung dan bingung
mau bereaksi bagaimana seusai membaca pesan singkat tersebut. Aku tak ingin
percaya begitu saja dengan kabar duka itu. Maka segera kuhubungi nomor telepon Mas Adri.
“Mas Adri, apa benar Mas Adji
meninggal?” tanyaku dengan cemas.
“Iya, benar. Mas Adji kena
serangan jantung saat berada di luar kota. Berita itu memang mengejutkan sekali
buat kita semua. Tolong,
maafkan semua kesalahan Mas Adji ya, Dik,” ujar Mas Adri lirih.
Serta-merta dadaku terasa
begitu sesak dan air mataku mengalir sendiri tanpa mampu kutahan lagi. Kendati
dalam beberapa tahun terakhir, aku cukup jarang berjumpa dengan Mas Adji, namun
berita kepergiannya yang sangat mendadak tetap membuat hati seakan teriris. Tak bakal kualami kembali dialog
sarat makna -yang serius tapi santai- antara diriku dan kakak sepupuku. Sosok Mas Adji yang menyenangkan bakal
senantiasa kurindukan esok hari. Terlampau banyak kesan apik yang
ditinggalkannya, tak hanya bagiku, tapi tentunya juga bagi sesiapa yang pernah
mengenalnya. Apa yang terjadi pada dirinya kuharap dapat menginspirasi diriku
agar selalu bersiap diri andaikata sewaktu-waktu maut hadir menjemput tanpa
permisi.
# dimuat di Harian Rakyat Sultra edisi Rabu, 22 November 2017.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar