Senin, 31 Oktober 2016

Riwayat Karya

Setiap karya memiliki riwayat tersendiri. Cerpen "Berbincang Menunggu Giliran" yang baru ditulis 17 Oktober 2016 dini hari dan langsung dikirim menjelang pagi tiba, ternyata dimuat di Kedaulatan Rakyat edisi Minggu, 23 Oktober 2016. Sesuatu yang begitu saya syukuri pastinya. Membuat cerpen baru menjadi hal yang jarang saya lakukan lagi akhir-akhir ini. Maka dalam sebulan terakhir, saya kembali mempelajari buku-buku yang menjadi pedoman saya dalam menulis sejak 2006 dahulu. Hasilnya memang tidak langsung menjadikan saya produktif seperti tempo hari, tapi setidaknya mulai ada karya baru yang bisa tercipta lagi. Tetap sabar saja menjalani proses kreatif dengan segala lelikuannya.

Senin, 24 Oktober 2016

Berbincang Menunggu Giliran

Cerpen Luhur Satya Pambudi dimuat di Kedaulatan Rakyat Minggu, 23 Oktober 2016.

Mengantisipasi sekiranya mesti antre menunggu giliran, ketimbang sebatas bergeming sembari melihat lalu-lalang kendaraan, maka kubawa sebuah buku yang bisa kubaca untuk mengisi waktu. Bisa saja sebenarnya kumanfaatkan telepon seluler untuk berselancar ke mana-mana, selayaknya yang dilakukan kebanyakan orang belakangan ini, namun sengaja kubatasi diri untuk tidak terlalu tergantung pada piranti teknologi. Lagi pula aku masih bisa menikmati sensasi membaca dengan membuka-buka lembaran kertas buku, koran, ataupun majalah. Kebiasaan membaca tulisan yang berkualitas lambat laun tentu bisa memperbaiki caraku berpikir dan menyikapi segala sesuatu. Rupanya terdapat sejumlah buku di kamarku, yang pernah kubeli dengan harga murah dalam sebuah pameran sekian tahun silam, yang belum tuntas kubaca. Salah satunya kuambil dan kumasukkan ke dalam tasku. Begitu sampai di tempat tujuan, ternyata ada yang sedang dicukur rambutnya, maka duduklah aku di amben dari bambu. Aku pun mengeluarkan buku dari tasku. Baru saja kubaca satu paragraf, seorang lelaki datang. Ia duduk di sampingku dan membuka percakapan denganku.
          “Maaf, buku apa yang sedang Anda baca?”
          “Oh, ini karya Kahlil Gibran.”
          “Ah, rupanya Anda penggemar sastra? Memangnya kuliah di mana?”
          “Dulu, di sebuah universitas negeri.”
          “Masih kuliah atau sudah lulus?”
          “Tidak selesai.”
          “Lalu apa yang Anda kerjakan selama ini?”
          “Saya bekerja serabutan saja.”
          Sesuatu yang sejatinya tidak kusukai adalah jika ada orang yang menanyakan hal-hal yang sangat pribadi tentang diriku, apalagi orang itu baru pertama kali kutemui. Namun aku berusaha sabar menjawab sedapat mungkin apa pun pertanyaannya untukku. Tentu demi sopan santun jua, mengingat ia jelas jauh lebih tua ketimbang aku. Mungkin seumuran paman atau kakak tertuaku.
          “Kenapa kok dulu sampai tidak selesai kuliah?” tanya orang itu, yang sepertinya penasaran ingin lebih mengenal siapa aku.
          “Alasan pribadi yang tidak bisa saya sampaikan,” sahutku seraya berharap ia tak bertanya-tanya lagi. Asaku menjadi nyata ketika sang tukang cukur memanggilku karena pelanggan sebelum aku telah tampil dengan potongan rambut terbarunya. Aku pun beranjak masuk dengan perasaan lega karena tak perlu menanggapi perkataan yang sudah mulai membuat hatiku tak nyaman.

***
          Sebenarnya diajak berbincang ketika menunggu giliran di tempat itu pernah kualami pula sekitar sembilan bulan silam. Namun suasananya berbeda karena lelaki yang mengajakku bicara bukanlah orang asing bagiku. Beliau pernah beberapa kali memberi ceramah di masjid kampungku. Lelaki tua itu salah satu guru favoritku lantaran pembawaannya yang humoris. Pengurus masjid kami suka mengundangnya karena beliau tidak bersedia dibayar dengan amplop berisi uang. Pulang dengan membawa kotak berisi makanan kecil sudah cukup membuatnya bersukacita. Sekiranya beliau tidak mengenalku, tentu bukanlah problema berarti bagiku. Tapi ketika kukatakan bahwa aku kerap menyimak nasihatnya di masjid kampungku, rona wajahnya tampak berseri-seri.
          Biarpun suaranya terdengar lirih di antara kebisingan suara kendaraan bermotor yang mondar-mandir tepat di hadapan kami, kucoba mencatat sepercik nasihatnya. Kendati apa yang disampaikannya sudah kupahami, tapi tiada salahnya kuingat lagi.
“Menjalani hidup itu santai sajalah, Nak. Yang penting berpasrah diri pada Allah serta tak pernah alpa selalu berterima kasih pada-Nya.”
Tersenyum belaka aku menanggapinya. Tentu aku sepakat dengan hal itu.
“Memiliki istri itu tak perlu terlalu ayu, tapi mungkin lebih baik jika dia bekerja dan memiliki penghasilan sendiri.”
Aku memang berharap demikian, ucapku dalam hati. Entah dia bekerja sebagai pegawai, karyawati, guru, seniwati, atau malah memiliki usaha mandiri. Perbincangan kami terhenti karena giliran rambutku dicukur sudah tiba. Beliau sebenarnya mempersilakan aku berkunjung ke rumahnya –yang tak jauh dari situ- untuk membahas apa saja. Barangkali ada baiknya tawaran tersebut kuterima, siapa tahu bakal lebih nyaman hatiku dan tertata pikiranku setelah memperoleh sejumlah pelajaran berharga dari sang lelaki tua yang sarat pengalaman dalam menempuh lelikuan kehidupan. Kuharap bisa terjadi dialog yang berkesan nanti, tapi hingga hari ini aku belum pernah menjumpainya lagi.

Yogyakarta, 17 Oktober 2016

Kamis, 20 Oktober 2016

Tak Usah Kritisi yang Tak Paham


Tak usah kau kritisi hal yang tak bisa kau pahami.
(Bob Dylan adalah peraih Hadiah Nobel Sastra 2016, musisi pertama yang mendapatkannya)

Rabu, 19 Oktober 2016

Menulis Mencari Tahu

Kalau mau belajar, ya menulis. Karena dengan menulis kamu akan tahu apa yang tidak kamu ketahui dan juga tahu apa yang telah kamu ketahui. Dan dalam proses menulis itu, kamu akan mencari tahu apa-apa yang belum kamu ketahui. (Cak Nun)

Senin, 17 Oktober 2016

Menulis Itu Menghubungkan Berbagai Hal

Saya tidak dapat menganggap diri tahu bagaimana menulis itu sebaiknya dilakukan, atau tahu apakah kritik yang bijak memang bermaksud memperbaiki tulisan saya. Yang paling dapat saya lakukan adalah menghubungkan berbagai hal yang berkaitan dengan usaha-usaha saya sendiri.
(Bertrand Russel - filsuf Inggris, penerima Hadiah Nobel Sastra 1950)

Sabtu, 15 Oktober 2016

Sebersit Catatan Sederhana - Tentang Penulis

Sepanjang yang kutahu, sejumlah teman penulis sudah memiliki profesi lain yang mampu membuat hati senantiasa tenteram karena keperluan hidup sehari-harinya telah tercukupi dengan baik. Ada yang menjadi manajer di sebuah restoran cepat saji bermerek internasional. Ada yang bekerja sebagai arsitek, merancang pembangunan rumah mewah dan gedung bertingkat. Ada yang merupakan pemimpin redaksi sebuah media cetak terkemuka di kotanya. Ada pula yang masih berstatus mahasiswa dan tinggal di tempat kos, namun berasal dari keluarga kaya yang tinggal di luar Jawa sana. Menulis cerita pendek atau puisi barangkali menjadi semacam ruang katarsis di antara aneka kesibukan mereka yang membuat penat dan kadang menjemukan. Ketika karya mereka akhirnya kerap dimuat di banyak media cetak, honor hanya menjadi sesuatu yang tidak secara signifikan menambah pendapatan, karena setiap bulannya penghasilan dari pekerjaan utama mereka sudah relatif besar. Bisa jadi jika honornya tidak ditransfer ke rekening tabungan mereka pun sama sekali tak masalah. 
Tentu berbeda denganku yang belum mempunyai penghasilan yang memadai sekadar untuk kebutuhan primer. Pekerjaan tetapku ala kadarnya mendatangkan rezeki, selebihnya kadang membantu teman di sana-sini. Menulis cerpen merupakan salah satu upayaku untuk menjemput rezeki yang lebih apik. Namun tak kusesali sama sekali hal itu, toh masih banyak yang masih dapat kusyukuri dari semua yang kumiliki. Dengan baju yang tak pernah baru, telepon seluler yang sudah enam tahun belum pernah diganti, dan sepeda motor yang sudah lebih lima belas tahun mendampingi langkahku, rasa-rasanya penampilanku sudah terbilang sangat bersahaja ketimbang semua temanku yang pernah kujumpai. Apalagi jika mengingat bahwa setiap kali berinternet aku masih menggunakan jasa warung internet, sementara ada yang setiap kali ke kafe selalu membawa serta netbook-nya atau paling tidak masih bisa online ketika berada di rumah. 
Maka menjadi kejutan tersendiri bagiku ketika pertama kali bertemu dengan seseorang yang karyanya pernah berkali-kali dimuat di sejumlah koran nasional itu. Bahkan salah satu cerpennya termasuk ke dalam sebuah buku cerpen pilihan koran terkemuka. Sehabis kubaca cerpen-cerpen karyanya di koran dengan bahasa langitnya yang indah, maupun komentar-komentar kritisnya atas cerpen teman-temannya di facebook, terwujudlah sebuah sosok yang baru bersemayam dalam otakku semata tentang dirinya. Seorang laki-laki yang begitu serius, angkuh, tidak peduli perasaan orang, dan tampaknya bukan tipe orang yang ingin kukenal. Apa yang ada kemudian di depan mataku ternyata sangat jauh tak sama dengan angan-anganku. Dia hanyalah pemuda yang sangat rendah hati dengan penampilan yang bersahaja sekali. Ketika kulihat dia menggunakan telepon selulernya, sepertinya sama lawasnya dengan milikku. Dan bahkan kendaraannya malah lebih sederhana ketimbang punyaku. Dia hanya naik sepeda onthel yang kuyakin tidak baru dan jika dijual lagi harganya pun pasti murah. 
Usianya memang jauh lebih muda dariku, namun rasanya kami masih pantas dibilang seumuran, karena dia tampak lebih dewasa ketimbang usianya. Tapi ketika kami bercakap ngalor-ngidul, memang ada hal-hal yang menunjukkan bahwa aku layak lebih dulu hadir di muka bumi ini. ”Saya menulis cerpen hanya untuk mencari uang. Itulah motivasi terbesar saya sesungguhnya. Yang jelas, tiada sama sekali niat mau jadi orang terkenal yang senang bila sering dipuji-puji orang lain,” katanya dengan percaya diri. Mungkin karena kesederhanaan hidupnya yang luar biasa, maka layak saja jika dia mendapatkan itu semua dalam waktu singkat. Aku mungkin masih terlalu banyak merasakan kenikmatan, kurang rekasa hidupnya, dan tidak pernah merasakan penderitaan seperti halnya dia. 

Yogyakarta, awal Juli 2010

# pernah dimuat di www.kompasiana.com pada 15 Juli 2010.

Kamis, 13 Oktober 2016

Apa yang Diharapkan Pembaca

Saya tidak tahu apa yang diharapkan pembaca. Saya pikir, penulis harus menulis apa yang tidak diharapkan pembaca. Masalahnya bukan untuk meminta apa yang mereka perlukan, melainkan untuk mereka. (Umberto Eco)

Rabu, 12 Oktober 2016

Lalu Angin

Lalu angin ?
Apa katamu tentang angin
yang tak henti-henti berkisar
di antara siang dan malam ?
Tidak. Angin hanya diam. Tapi
siang dan malam begitu cepat bertukar tempat
sehingga angin, kita selalu saja alpa
menerjemahkannya.


(Ags. Arya Dipayana)

Di Arena Perjamuan

"Jangan pernah menang sendiri!" sengit gula pasir kepada garam
yang mengasinkan segalanya. "Kau selalu ingin menguasai.
Apakah waktu tidak pernah mengajarmu berbagi?!" Garam -- yang
mendadak diliputi rasa bersalah itu - mencoba menahan diri.

Di arena perjamuan, seorang tamu tertegun setelah
suapan pertama. Dia meraih gelas dan meneguknya. "Gila!
Apa yang dilamunkan Juru Masak itu?" Ia menggerutu.

(Ags. Arya Dipayana)

Senin, 10 Oktober 2016

Sudut Pandang Selena

Cerpen Luhur Satya Pambudi (Radar Surabaya, 9 Oktober 2016)

Selena sejenak menerawang kembali ke masa bocahnya. Sang empunya wajah ayu tersenyum-senyum sendiri membayangkan apa yang terjadi dahulu. Usianya masih sembilan tahun waktu pertama kali melihat lelaki itu. Sepertinya belum ada perasaan apa-apa karena dia masih bocah nan lugu. Setahun berikutnya, Selena menyadari perubahan yang terjadi. Anehnya, dia mulai terkesan pada pemuda yang lebih tua belasan tahun ketimbang dirinya dan pernah menjadi teman sepermainan pamannya saat bocah. Selena diam-diam mengagumi lelaki yang dikenalnya sebagai Satrio atau Mas Rio. Biasanya dia bertemu dengan Satrio di dekat rumah kakeknya. Di situ, saban tahunnya pernah ada acara yang diadakan dalam rangka Hari Anak Nasional yang selalu melibatkan anak cucu warga setempat. Selena maupun adiknya selalu datang ke rumah kakeknya setiap acara itu diselenggarakan, meski mereka tinggal bersama kedua orangtuanya. Satrio senantiasa aktif sebagai panitia yang mengurus beberapa lomba dan biasanya mengiringi anak-anak bernyanyi dengan kibordnya. Selena sendiri tercatat pernah memenangkan lomba lukis maupun beberapa lomba lainnya. Hal itu menjadi kenangan manis bagi sang gadis.

***
            Sekian tahun berlalu, Selena baru bertemu muka lagi dengan Satrio. Gadis berusia delapan belas tahun itu kini berparas rupawan, berkulit kuning langsat, dengan tinggi tubuh yang cukup menjulang. Ke mana saja dia melangkah biasanya mengundang perhatian orang. Apalagi Selena merupakan gadis yang ramah dan sopan pula. Perjumpaan Selena dengan Satrio terjadi di rumah kakek Selena yang malam itu menjadi tempat pertemuan RT. Riang hati Selena melihat Satrio kembali sesudah bertahun-tahun mereka tak pernah saling memandang. Sebelumnya, mereka hanya sempat berkomunikasi melalui jejaring sosial. Setahu Selena, Satrio masih melajang di usianya yang mungkin sudah sekitar tiga puluhan.
Semula Selena sebatas tersenyum sendiri menyaksikan wajah simpatik Satrio di antara tamu undangan. Namun ketika dia dan lelaki itu saling bertatapan, mereka pun spontan tersenyum bersamaan. Selena malah sempat berjalan mendekati tempat Satrio duduk karena dia memang bertugas membantu neneknya menyajikan hidangan. Senyuman mereka berdua kian lebar ketika posisi mereka tak lagi jauh jaraknya. Memandangi lelaki itu seakan mengingatkan Selena kembali pada masa silam. Bagaikan dilihatnya sosok Satrio yang pernah menarik perhatiannya sekian tahun berselang. 
            ”Selena sekarang sudah lulus SMA, ya? Mau melanjutkan ke mana rencananya?” tanya Satrio ketika acara telah usai dan para tamu mulai meninggalkan rumah tersebut.
            ”Iya, Mas Rio. Saya inginnya sih kuliah di Arsitektur. Doakan saya ya, Mas.” Selena menjawabnya dengan wajah berseri-seri. Matanya berbinar-binar dan senyuman indah menghiasi bibir tipisnya.
            ”Iya, deh. Semoga berhasil, Selena.”
            “Makasih, Mas Rio.”
Perbincangan singkat itu ternyata meninggalkan kesan yang membekas di benak Selena. Lambat laun si cantik menumbuhkan asa, siapa tahu Satrio sudi lebih intensif mendekati dirinya. Mereka kemudian beberapa kali berkomunikasi, baik lewat jejaring sosial maupun sms. Selena memang tidak menolak ketika Satrio meminta nomor ponselnya. Ada sejumlah wujud perhatian spesial yang lantas diterimanya dari lelaki itu. Selena cukup bersukacita menerimanya. Meski selama ini sudah banyak kawan lelakinya yang memerhatikan dirinya, tapi apa yang diberikan oleh Satrio terasa tak sama. Adakalanya Selena dan Satrio bertemu kembali tanpa rencana. Namun mereka saling tersenyum belaka dari kejauhan, tidak berkata apa-apa.
Selena begitu tersanjung ketika mengetahui Satrio ternyata pernah menulis cerpen yang tokoh utamanya bernama sama dengan dirinya. Cerpen itu bahkan sempat dimuat di sebuah majalah remaja terbitan ibukota, begitu kata Satrio. Dia tersenyum senang saat membaca cerpen yang dibacanya lewat file yang dikirim Satrio via email. Dalam cerpen itu dikisahkan ada gadis bernama Selena yang memiliki seorang pemuja rahasia yang berupaya menarik perhatiannya. 
Namun lama-lama Selena merasa tidak ada langkah maju yang nyata dari lelaki itu. Bahkan Satrio belum pernah sekali pun menyatakan keinginannya untuk mengunjungi rumahnya atau mengajaknya pergi entah ke mana. Lagi pula mereka malah tinggal berjauhan sekian pekan kemudian. Selena akhirnya diterima di jurusan Arsitektur -sesuai asanya- pada sebuah universitas yang lokasinya sedikit berada di luar kotanya. Atas seizin kedua orangtuanya, dia memilih tinggal di kos-kosan yang dekat dengan kampusnya. Selena jadi berpikir, apakah sebenarnya dia sedang dijauhkan dari sosok Satrio?

***
            Masa kuliah menjadi lembaran baru dalam hidup Selena. Dia pun mulai membuka diri terhadap para lelaki yang mencoba mendekatinya. Ayah ibunya telah merestuinya memiliki kekasih, berbeda dengan saat Selena masih duduk di bangku SMA. Sebenarnya ketika masa sekolah pun ada sejumlah teman lelaki yang cukup menarik perhatian si cantik. Namun dia cuma menganggap mereka semua sebagai kawan biasa. Pantas sajalah jika begitu banyak kumbang yang berhasrat menjadi kekasih dari bunga nan indah dan wangi selayaknya Selena.
Kehidupan di kampus membuka wawasan baru dalam pemikiran dan perasaan Selena. Tentu saja, jadi lebih banyak lelaki yang menjadi penggemarnya pula. Sekian bulan menjadi mahasiswi, Selena akhirnya justru memutuskan menerima pernyataan cinta kakak kelasnya satu jurusan. Semula dia terkesan dengan kepandaian lelaki itu dalam membantunya menyelesaikan tugas dari para dosen. Nyaman hati Selena saban berada di dekat lelaki yang tubuhnya lebih tinggi ketimbang dirinya dan cakap sekali memainkan gitar itu.
Serta-merta mudah saja dilupakannya figur Mas Rio, lelaki yang pernah peduli terhadap dirinya, membuat hatinya sempat berbunga-bunga, namun tak kunjung memberi sikap yang pasti kepadanya. Terakhir dia mendengar kabar, Satrio telah merilis buku kumpulan cerpen terbarunya yang berjudul Hikayat Pemuja Rahasia, yang tokoh utamanya bernama Selena. Gadis ayu itu tersenyum simpul belaka.

Sabtu, 08 Oktober 2016

Para Penerka

bicarakan kehidupan tentang manusia
dengar para penerka saling menerka
perhatikan keributan pada sesama
semua saling mencerca, saling mencela
menghitam hati penuh kebencian bersahut-sahutan
menebar kedengkian di kehidupan
mereka berseru, menusuk jiwamu
dengan cerita, dengan berita
para pencela menaruh racun di mulutnya
para penerka bercerita dengan prasangka
prasangka buruknya
penerka banyak bicara, tak guna atau berguna
merusak pikiran kita, prasangka berbusa-busa
penerka dimana-mana bagai monster merajalela
pencela para pencela, sungguh busuklah hatinya
(lirik lagu Noah feat Iwan Fals)

Jumat, 07 Oktober 2016

Kamis, 06 Oktober 2016

Desaku (Art for Children TBY)



Lagu anak-anak "Desaku" karya R. Sigit Eko Riyanto, dinyanyikan oleh anak-anak vokal (asuhan Pak Sigit) dengan diiringi anak-anak ensembel musik (asuhan Mas Ghana dan Mbak Dewi) dalam pentas musik Pekan Seni AFC 2015 yang berlangsung pada 6 Oktober 2015 di Concert Hall TBY. Video musik dibuat dan diunggah di Youtube oleh M. Jauhar al-Hakimi.

Konsep Art for Children TBY

Konsep AFC (Art for Children) meletakkan seni bukan semata-mata sebagai ekspresi estetika, tetapi seni sebagai media pembelajaran bersama. Seni sebagai jalan untuk menemukan potensi lain yang ada pada anak. Pendekatan pembelajaran semacam itu, akan menekankan pada proses belajar melalui seni. Seni adalah cara membuka kemungkinan-kemungkinan bagi tumbuh kembangnya pribadi anak yang unik. Sesuatu yang murni ekspresi anak-anak. Oleh karena itu, tidak ada tempat bagi penyeragaman berekspresi. 
Metode pembelajaran mengedepankan partisipasi anak secara maksimal. Pembimbing bukan sebagai guru, melainkan sebagai teman bermain bersama. Dalam proses bermain bersama-sama itulah, pembimbing membuka katup-katup ekspresi kreatif anak-anak. Pembimbing memberikan dasar-dasar berolah seni sebagai cara membuka katup-katup itu. Di mana akhirnya anak-anak diantarkan pada keunikan masing-masing dalam berekspresi.
Cara-cara di atas ditempuh agar AFC tidak saja berbeda dengan sanggar-sanggar seni yang lain. Sanggar-sanggar yang semata-mata memberikan keterampilan teknis dalam berekspresi. Lebih penting dari itu, AFC memilih menyemai, memupuk, dan merawat bibit-bibit yang kelak diharapkan tumbuh menjadi tanaman yang beraneka. Demikianlah pembelajaran seni yang diangankan AFC. 

Seni vokal memiliki mekanisme dan tahapan pembelajaran yang telah digariskan. Anak-anak harus menguasai teknik pernafasan dan teknik vokal yang benar sebelum menyanyi. Anak-anak juga harus mampu melakukan interpretasi terhadap lagu agar makna lagu terjaga. Artikulasi dan pembawaan mendapatkan prioritas agar penampilan terjaga. Melalui pembelajaran semacam ini, secara tidak langsung anak-anak mengenal karakter suaranya. Memupuk empati ketika bersentuhan dengan lirik dan nada-nada yang diekspresikan.

Seni menjadi sebuah cara mengenal yang tersimpan dalam setiap anak. Termasuk dalam memupuk kepekaan dan keterampilan mengolah unsur-unsur visual. Sejak awal telah diangankan bahwa pembelajaran seni di AFC menolak penyeragaman. Seni rupa dapat di jadikan contoh tentang penolakan penyeragaman dengan cara mengenal, merespon, mengeksplorasi, dan mengkreasikan bermacam-macam media. Proses pembelajaran seni rupa menanamkan sejak dini, bahwa seni rupa memiliki lingkup yang luas.

(Nanang Arizona dalam "Art for Children : Merawat Dunia Seni Anak-Anak")

Mengenang Pentas Musik AFC 2015

Tepat setahun silam, 6 Oktober 2015, Pekan Seni Art for Children 2015 dibuka oleh Kepala Taman Budaya Yogyakarta. Anak-anak kelas seni tari mengawali acara pembukaan yang berlangsung di lobi ruang pameran TBY. Mereka dibimbing oleh Putria Dewi, Anastasia Yayuk, Theresia Wulandari, dan beberapa guru lainnya. Anak-anak kelas seni rupa memamerkan karyanya yang berupa lukisan, seni kriya, maupun seni instalasi di ruang pameran. Mereka dibimbing Yuswantoro Adi dan Dwi Winarsih yang dibantu oleh Imam. Pameran berlangsung hingga 11 Oktober 2015 dan pada hari terakhir dipentaskan pula operet kolaborasi "Bumiku Indah" karya sutradara Broto Wijayanto (pembimbing kelas teater) di Concert Hall.



Sehabis acara pembukaan, anak-anak kelas vokal dan ensembel musik unjuk gigi di Concert Hall. Mereka menyanyikan lagu-lagu karya R. Sigit Eko Riyanto (pembimbing kelas vokal), seperti Burung Kenari, Riang-Riang, Ke Sekolah, dan Liburanku. Mereka pun membawakan sejumlah lagu nasional, lagu anak-anak yang akrab di telinga, maupun lagu-lagu daerah. Dwipa Hanggana Prabawa, sebagai arranger dan dirigen orkestra mini yang tampil malam itu, dibantu oleh sejumlah musisi profesional lulusan ISI. Ayah dari putri kecil bernama Damai tersebut merupakan pembimbing kelas musik bersama sang istri, Dewi Kurniawati, dan Adi Darmawan.   



Sejumlah lagu dinyanyikan anak-anak vokal dengan iringan piano -secara bergantian- oleh Luhur Satya Pambudi dan Haryo Praptomo. Beberapa lagu lainnya dibawakan secara instrumentalia oleh anak-anak musik. Ada pula lagu yang merupakan hasil kolaborasi anak vokal dan musik. Gabriela Vibra, Cynthia Zhafira, dan Silmi Fasya menjadi solis tiga lagu dengan iringan orkestra.



Daftar lagu yang dibawakan : Jingle AFC, Masha and The Bear, Burung Kenari, Riang-Riang, Ke Sekolah, Liburanku, Desaku, Lelo Ledhung, Bungong Jeumpa, Soleram, Medley Ondel-Ondel dan Sang Kodok, Lir-Ilir, Bermain, Menyanyi dan Menari, Rek Ayo Rek, Rame-Rame, Yamko Rambe Yamko, Sekuntum Mawar, You'll Be In My Heart, Tanah Air, Indonesia Jaya, Kapan-Kapan.

Terima kasih secara khusus saya ucapkan kepada Saudara Moh. Jauhar al-Hakimi yang membuat video acara malam itu dan diunggah di Youtube dengan tajuk "Pekan Seni AFC 2015" serta membuat reportase keren yang tersaji di situs Satu Harapan.

Foto : Moh. Jauhar al-Hakimi (satuharapan.com)











Rabu, 05 Oktober 2016

Lir-Ilir (Art for Children TBY)



Lagu Jawa "Lir-Ilir", dibawakan secara instrumentalia oleh anak-anak ensembel musik Art for Children TBY, diaransemen oleh Dwipa Hanggana Prabawa, dalam pentas musik Pekan Seni AFC 2015 yang berlangsung pada 6 Oktober 2015 di Concert Hall TBY. 

Video musik dibuat dan diunggah di Youtube oleh M. Jauhar al-Hakimi.

Lelo Ledhung (Art for Children TBY Feat Cynthia Zhafira)



Lagu Jawa "Lelo Ledhung" karya Markasan, dinyanyikan oleh Cynthia Zhafira, dengan diiringi anak-anak ensembel musik Art for Children TBY, diaransemen oleh Dwipa Hanggana Prabawa, dalam pentas musik Pekan Seni AFC 2015 yang berlangsung pada 6 Oktober 2015 di Concert Hall TBY. 

Video musik dibuat dan diunggah di Youtube oleh M. Jauhar al-Hakimi.

Selasa, 04 Oktober 2016

Pikiran Bening dan Seimbang

Pikiran bening dan seimbang, tak bakal terguncang meski oleh badai teramat kencang. Sebab angin paling dahsyat yang harus ditaklukkan, terletak dalam jiwa setiap orang. (Emha Ainun Nadjib dalam cerpen "Padang Kurusetra")

Apa yang Dibela Pandawa?

Kurawa memang penguasa. Tapi apa gerangan yang hendak dibela oleh para Pandawa? Mereka tidak mewakili rakyat. Mereka hanya mewakili kebenaran : kebenaran masalah mereka sendiri. Kini kebenaran itu tak ada. Tanah ini hanyalah warisan Sang Hyang Wenang kepada rakyat.
(Emha Ainun Nadjib dalam cerpen "Padang Kurusetra")

Senin, 03 Oktober 2016

Konsentrasi Menulis

Yang kita pikirkan dalam konsentrasi menulis adalah menjaga intensitas nalar sebagai potensi rohani kita. Sebagai tulisan, dimulai dari memilih kata menjadi kalimat, harus dikawal nalar, supaya kata-kata tidak seperti kereta tanpa kuda. Kita mesti mengenal betul semua persoalan bahasa. Sekurangnya kita harus menguasai kelenturan bahasa, plastisitas bahasa, bahasa yang kreatif, bahasa yang imaginatif, pendeknya bahasa Indonesia yang pandai karena pengetahuan kita yang mendarahdaging atas semua kunci bahasa, gaya bahasa, kekayaan kosakata. (Alif Danya Munsyi)

Sabtu, 01 Oktober 2016

Menulis Itu Mengekspresikan Ide

Menulis atau mengarang sebenarnya merupakan seni mengekspresikan ide atau perasaan melalui tulisan, seperti halnya pelukis yang mengungkapkannya dalam bentuk lukisan. 
Hasil tulisan akan mencerminkan kepribadian, pikiran, dan emosi si penulis.
Penulis secara pribadi dan dengan perasaan seni memilih kata, menyusun kalimat, merangkai alinea, dan memilih tema. Setiap penulis memiliki gaya bahasa, bentuk pengungkapan, dan cara penulisan yang berbeda satu dengan yang lain. 

(Lasa Hs)