Senin, 10 Oktober 2016

Sudut Pandang Selena

Cerpen Luhur Satya Pambudi (Radar Surabaya, 9 Oktober 2016)

Selena sejenak menerawang kembali ke masa bocahnya. Sang empunya wajah ayu tersenyum-senyum sendiri membayangkan apa yang terjadi dahulu. Usianya masih sembilan tahun waktu pertama kali melihat lelaki itu. Sepertinya belum ada perasaan apa-apa karena dia masih bocah nan lugu. Setahun berikutnya, Selena menyadari perubahan yang terjadi. Anehnya, dia mulai terkesan pada pemuda yang lebih tua belasan tahun ketimbang dirinya dan pernah menjadi teman sepermainan pamannya saat bocah. Selena diam-diam mengagumi lelaki yang dikenalnya sebagai Satrio atau Mas Rio. Biasanya dia bertemu dengan Satrio di dekat rumah kakeknya. Di situ, saban tahunnya pernah ada acara yang diadakan dalam rangka Hari Anak Nasional yang selalu melibatkan anak cucu warga setempat. Selena maupun adiknya selalu datang ke rumah kakeknya setiap acara itu diselenggarakan, meski mereka tinggal bersama kedua orangtuanya. Satrio senantiasa aktif sebagai panitia yang mengurus beberapa lomba dan biasanya mengiringi anak-anak bernyanyi dengan kibordnya. Selena sendiri tercatat pernah memenangkan lomba lukis maupun beberapa lomba lainnya. Hal itu menjadi kenangan manis bagi sang gadis.

***
            Sekian tahun berlalu, Selena baru bertemu muka lagi dengan Satrio. Gadis berusia delapan belas tahun itu kini berparas rupawan, berkulit kuning langsat, dengan tinggi tubuh yang cukup menjulang. Ke mana saja dia melangkah biasanya mengundang perhatian orang. Apalagi Selena merupakan gadis yang ramah dan sopan pula. Perjumpaan Selena dengan Satrio terjadi di rumah kakek Selena yang malam itu menjadi tempat pertemuan RT. Riang hati Selena melihat Satrio kembali sesudah bertahun-tahun mereka tak pernah saling memandang. Sebelumnya, mereka hanya sempat berkomunikasi melalui jejaring sosial. Setahu Selena, Satrio masih melajang di usianya yang mungkin sudah sekitar tiga puluhan.
Semula Selena sebatas tersenyum sendiri menyaksikan wajah simpatik Satrio di antara tamu undangan. Namun ketika dia dan lelaki itu saling bertatapan, mereka pun spontan tersenyum bersamaan. Selena malah sempat berjalan mendekati tempat Satrio duduk karena dia memang bertugas membantu neneknya menyajikan hidangan. Senyuman mereka berdua kian lebar ketika posisi mereka tak lagi jauh jaraknya. Memandangi lelaki itu seakan mengingatkan Selena kembali pada masa silam. Bagaikan dilihatnya sosok Satrio yang pernah menarik perhatiannya sekian tahun berselang. 
            ”Selena sekarang sudah lulus SMA, ya? Mau melanjutkan ke mana rencananya?” tanya Satrio ketika acara telah usai dan para tamu mulai meninggalkan rumah tersebut.
            ”Iya, Mas Rio. Saya inginnya sih kuliah di Arsitektur. Doakan saya ya, Mas.” Selena menjawabnya dengan wajah berseri-seri. Matanya berbinar-binar dan senyuman indah menghiasi bibir tipisnya.
            ”Iya, deh. Semoga berhasil, Selena.”
            “Makasih, Mas Rio.”
Perbincangan singkat itu ternyata meninggalkan kesan yang membekas di benak Selena. Lambat laun si cantik menumbuhkan asa, siapa tahu Satrio sudi lebih intensif mendekati dirinya. Mereka kemudian beberapa kali berkomunikasi, baik lewat jejaring sosial maupun sms. Selena memang tidak menolak ketika Satrio meminta nomor ponselnya. Ada sejumlah wujud perhatian spesial yang lantas diterimanya dari lelaki itu. Selena cukup bersukacita menerimanya. Meski selama ini sudah banyak kawan lelakinya yang memerhatikan dirinya, tapi apa yang diberikan oleh Satrio terasa tak sama. Adakalanya Selena dan Satrio bertemu kembali tanpa rencana. Namun mereka saling tersenyum belaka dari kejauhan, tidak berkata apa-apa.
Selena begitu tersanjung ketika mengetahui Satrio ternyata pernah menulis cerpen yang tokoh utamanya bernama sama dengan dirinya. Cerpen itu bahkan sempat dimuat di sebuah majalah remaja terbitan ibukota, begitu kata Satrio. Dia tersenyum senang saat membaca cerpen yang dibacanya lewat file yang dikirim Satrio via email. Dalam cerpen itu dikisahkan ada gadis bernama Selena yang memiliki seorang pemuja rahasia yang berupaya menarik perhatiannya. 
Namun lama-lama Selena merasa tidak ada langkah maju yang nyata dari lelaki itu. Bahkan Satrio belum pernah sekali pun menyatakan keinginannya untuk mengunjungi rumahnya atau mengajaknya pergi entah ke mana. Lagi pula mereka malah tinggal berjauhan sekian pekan kemudian. Selena akhirnya diterima di jurusan Arsitektur -sesuai asanya- pada sebuah universitas yang lokasinya sedikit berada di luar kotanya. Atas seizin kedua orangtuanya, dia memilih tinggal di kos-kosan yang dekat dengan kampusnya. Selena jadi berpikir, apakah sebenarnya dia sedang dijauhkan dari sosok Satrio?

***
            Masa kuliah menjadi lembaran baru dalam hidup Selena. Dia pun mulai membuka diri terhadap para lelaki yang mencoba mendekatinya. Ayah ibunya telah merestuinya memiliki kekasih, berbeda dengan saat Selena masih duduk di bangku SMA. Sebenarnya ketika masa sekolah pun ada sejumlah teman lelaki yang cukup menarik perhatian si cantik. Namun dia cuma menganggap mereka semua sebagai kawan biasa. Pantas sajalah jika begitu banyak kumbang yang berhasrat menjadi kekasih dari bunga nan indah dan wangi selayaknya Selena.
Kehidupan di kampus membuka wawasan baru dalam pemikiran dan perasaan Selena. Tentu saja, jadi lebih banyak lelaki yang menjadi penggemarnya pula. Sekian bulan menjadi mahasiswi, Selena akhirnya justru memutuskan menerima pernyataan cinta kakak kelasnya satu jurusan. Semula dia terkesan dengan kepandaian lelaki itu dalam membantunya menyelesaikan tugas dari para dosen. Nyaman hati Selena saban berada di dekat lelaki yang tubuhnya lebih tinggi ketimbang dirinya dan cakap sekali memainkan gitar itu.
Serta-merta mudah saja dilupakannya figur Mas Rio, lelaki yang pernah peduli terhadap dirinya, membuat hatinya sempat berbunga-bunga, namun tak kunjung memberi sikap yang pasti kepadanya. Terakhir dia mendengar kabar, Satrio telah merilis buku kumpulan cerpen terbarunya yang berjudul Hikayat Pemuja Rahasia, yang tokoh utamanya bernama Selena. Gadis ayu itu tersenyum simpul belaka.

Tidak ada komentar: