Cerpen Luhur Satya Pambudi dimuat di
Kedaulatan Rakyat Minggu, 23 Oktober 2016.
Mengantisipasi sekiranya mesti antre menunggu giliran, ketimbang sebatas bergeming sembari melihat lalu-lalang kendaraan, maka kubawa sebuah buku yang bisa kubaca untuk mengisi waktu. Bisa saja sebenarnya kumanfaatkan telepon seluler untuk berselancar ke mana-mana, selayaknya yang dilakukan kebanyakan orang belakangan ini, namun sengaja kubatasi diri untuk tidak terlalu tergantung pada piranti teknologi. Lagi pula aku masih bisa menikmati sensasi membaca dengan membuka-buka lembaran kertas buku, koran, ataupun majalah. Kebiasaan membaca tulisan yang berkualitas lambat laun tentu bisa memperbaiki caraku berpikir dan menyikapi segala sesuatu. Rupanya terdapat sejumlah buku di kamarku, yang pernah kubeli dengan harga murah dalam sebuah pameran sekian tahun silam, yang belum tuntas kubaca. Salah satunya kuambil dan kumasukkan ke dalam tasku. Begitu sampai di tempat tujuan, ternyata ada yang sedang dicukur rambutnya, maka duduklah aku di amben dari bambu. Aku pun mengeluarkan buku dari tasku. Baru saja kubaca satu paragraf, seorang lelaki datang. Ia duduk di sampingku dan membuka percakapan denganku.
“Maaf,
buku apa yang sedang Anda baca?”
“Oh,
ini karya Kahlil Gibran.”
“Ah,
rupanya Anda penggemar sastra? Memangnya kuliah di mana?”
“Dulu,
di sebuah universitas negeri.”
“Masih
kuliah atau sudah lulus?”
“Tidak
selesai.”
“Lalu
apa yang Anda kerjakan selama ini?”
“Saya
bekerja serabutan saja.”
Sesuatu
yang sejatinya tidak kusukai adalah jika ada orang yang menanyakan hal-hal yang
sangat pribadi tentang diriku, apalagi orang itu baru pertama kali kutemui.
Namun aku berusaha sabar menjawab sedapat mungkin apa pun pertanyaannya
untukku. Tentu demi sopan santun jua, mengingat ia jelas jauh lebih tua
ketimbang aku. Mungkin seumuran paman atau kakak tertuaku.
“Kenapa
kok dulu sampai tidak selesai kuliah?” tanya orang itu, yang sepertinya
penasaran ingin lebih mengenal siapa aku.
“Alasan
pribadi yang tidak bisa saya sampaikan,” sahutku seraya berharap ia tak bertanya-tanya
lagi. Asaku menjadi nyata ketika sang tukang cukur memanggilku karena pelanggan
sebelum aku telah tampil dengan potongan rambut terbarunya. Aku pun beranjak
masuk dengan perasaan lega karena tak perlu menanggapi perkataan yang sudah mulai
membuat hatiku tak nyaman.
***
Sebenarnya
diajak berbincang ketika menunggu giliran di tempat itu pernah kualami pula
sekitar sembilan bulan silam. Namun suasananya berbeda karena lelaki yang
mengajakku bicara bukanlah orang asing bagiku. Beliau pernah beberapa kali
memberi ceramah di masjid kampungku. Lelaki tua itu salah satu guru favoritku
lantaran pembawaannya yang humoris. Pengurus masjid kami suka mengundangnya
karena beliau tidak bersedia dibayar dengan amplop berisi uang. Pulang dengan
membawa kotak berisi makanan kecil sudah cukup membuatnya bersukacita. Sekiranya
beliau tidak mengenalku, tentu bukanlah problema berarti bagiku. Tapi ketika
kukatakan bahwa aku kerap menyimak nasihatnya di masjid kampungku, rona
wajahnya tampak berseri-seri.
Biarpun
suaranya terdengar lirih di antara kebisingan suara kendaraan bermotor yang
mondar-mandir tepat di hadapan kami, kucoba mencatat sepercik nasihatnya. Kendati
apa yang disampaikannya sudah kupahami, tapi tiada salahnya kuingat lagi.
“Menjalani hidup itu
santai sajalah, Nak. Yang penting berpasrah diri pada Allah serta tak pernah
alpa selalu berterima kasih pada-Nya.”
Tersenyum belaka aku
menanggapinya. Tentu aku sepakat dengan hal itu.
“Memiliki istri itu tak
perlu terlalu ayu, tapi mungkin lebih baik jika dia bekerja dan memiliki
penghasilan sendiri.”
Aku memang berharap
demikian, ucapku dalam hati. Entah dia bekerja sebagai pegawai, karyawati,
guru, seniwati, atau malah memiliki usaha mandiri. Perbincangan kami terhenti
karena giliran rambutku dicukur sudah tiba. Beliau sebenarnya mempersilakan aku
berkunjung ke rumahnya –yang tak jauh dari situ- untuk membahas apa saja.
Barangkali ada baiknya tawaran tersebut kuterima, siapa tahu bakal lebih nyaman
hatiku dan tertata pikiranku setelah memperoleh sejumlah pelajaran berharga
dari sang lelaki tua yang sarat pengalaman dalam menempuh lelikuan kehidupan.
Kuharap bisa terjadi dialog yang berkesan nanti, tapi hingga hari ini aku belum
pernah menjumpainya lagi.
Yogyakarta,
17 Oktober 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar