Rabu, 27 November 2019

Tribut untuk Joko Pinurbo Dua Pekan Lalu

Hujan masih belum rutin mengunjungi Yogyakarta hingga hari ini. Namun, Rabu malam dua pekan lalu (13/11/19), hujan sempat hadir biarpun sebentar. Hari itu Jogja berduka lantaran kehilangan salah satu tokohnya. Beberapa saat sehabis hujan reda, A Tribute to Joko Pinurbo dipentaskan di gedung sositet TBY. Butet Kartaredjasa tetap hadir membaca dua buah puisi Jokpin, padahal baru saja melepas kepergian selamanya adik tercinta. Ternyata beliau mengamalkan ajaran bapaknya, "Dalam situasi apa pun, tugas kesenian yang sudah disanggupi harus dijalankan. Seniman harus tetap menjadi manusia yang bertanggung jawab." Salut untuk Mas Butet. 

Beberapa artis membawakan karya Jokpin dengan gayanya masing-masing, termasuk sang penyair sendiri yang membaca puisi Satu Celana Berdua - yang pernah ditulisnya untuk Butet dan Djaduk Ferianto. Oppie Andaresta tampil terakhir menyanyikan sejumlah lagu yang merupakan musikalisasi puisi Joko Pinurbo, di antaranya Baju Bulan, Kepada Uang, Pacarkecilku, dan Hati Jogja. Diiringi oleh Bagus Mazasupa dkk dengan musiknya yang apik, beraneka rasa ditaburkan oleh Oppie. Ada yang syahdu, sendu, dan bahkan lucu sebagaimana puisi Jokpin. Salut dan terima kasih untuk Mbak Oppie dan semua yang mampu mewujudkan sebuah acara berkesan malam itu.

Setelah acara rampung kusalami Mas Bagus temanku di atas panggung. Sebelum pulang aku mendekati sang penyair untuk meminta tanda tangan beliau di buku Surat Kopi. Sebagai penggemar karyanya, memang baru lima buku Jokpin yang kumiliki. Hanya setidaknya ada satu di antaranya yang bertanda tangan penulisnya. Matur nuwun, Mas Jokpin.  

Sabtu, 23 November 2019

Pentas di Halaman TIM Lima Tahun Silam


Tepat lima tahun silam, 23 November 2014, anak-anak AFC (Art for Children) TBY bermain operet Cindelaras sejak petang masih terang, lantas gelap mulai merayap, dan akhirnya panggung rada bercahaya berkat nyala lampu mobil perpustakaan keliling - yang diparkir tak jauh dari lokasi pertunjukan. Sebuah pengalaman berkesan pentas di halaman TIM (Taman Ismail Marzuki) Jakarta.

Selasa, 19 November 2019

Parade Foto Operet Putri Air di TBY





Operet Putri Air pernah dipentaskan di Anjungan DIY TMII Jakarta pada Juli 2019 lalu, dengan jumlah peserta sekitar 100 orang. Ketika dipentaskan di TBY pada Minggu, 17 November 2019 lalu, jumlah pesertanya meningkat mungkin hingga tiga kali lipat. Syukurlah, pertunjukan bisa berjalan lancar dan akhirnya lebih banyak orang yang merasa bahagia. Selamat sukses dan terima kasih untuk semua.












Jumat, 15 November 2019

Pekan Seni AFC 2019


Silakan hadir bersama keluarga atau siapa saja di Taman Budaya Yogyakarta pada hari Minggu (17/11/19) mendatang untuk menyemarakkan Pekan Seni Art for Children (AFC) 2019. Anak-anak akan mempersembahkan karya seninya. Ada pembukaan pameran seni rupa di ruang seminar pada pukul 13.00. Sehabis itu ada pentas berbagai cabang seni dan operet Putri Air sebagai puncak acaranya di concert hall pada pukul 14.00. Acara tidak dipungut biaya alias gratis. 



Kamis, 14 November 2019

Memorabilia Djaduk Ferianto

Ketika masih bocah yang bersekolah di Taman Muda IP saya sudah pernah melihat beliau dan teman-temannya berlatih kesenian di pendapa Taman Siswa. Semua juga tahu beliau putra Pak Bagong. . Sekian tahun kemudian saya memiliki dua album kaset Orkes Sinten Remen. Album pertama yang berjudul Parodi Iklan sempat jadi favorit saya zaman masih bisa menyetel kaset dengan tape recorder. Album berikutnya berjudul Komedi Putar. 


Setidaknya dua kali saya menyaksikan pentas musik Kua Etnika pada 2006 dan 2008 di TBY. Saya cukup rajin mendatangi masa awal Jazz Mben Senen di BBY, salah satu acara kreasi beliau yang hingga kini sudah 10 tahun berjalan. Saya juga pernah mendatangi Ngayogjazz beberapa waktu lalu. Saat itu ada Syaharani, Tohpati Bertiga, dan Glenn Fredly.  

Hampir setiap Teater Gandrik pentas di TBY, saya selalu berusaha menyimaknya. Gundala Gawat (2013), Tangis (2015), dan Para Pensiunan : 2049 (2019) adalah judul-judul yang beliau menjadi sutradaranya. . Demikianlah sepercik catatan kecil seorang penggemar kesenian di Yogyakarta terhadap sejumlah hasil karya beliau yang tutup usia pada 13 November 2019 kemarin. 

Selamat jalan, Mas Djaduk Ferianto. Semoga hidup tenang dan damai di alam sana dalam kasih sayang Tuhan. Jejak kebaikan dan sejuta karyamu akan abadi di hati kami.

Senin, 11 November 2019

Minggu, 10 November 2019

Penulis Itu Cinta Keras Kepala

Saya percaya ketika ada yang mengatakan menjadi penulis itu bukan "profesi-karier", tetapi lebih pada cinta yang keras kepala, tetapi tak sia-sia. Ini seperti pejalan sunyi yang mesti sanggup menaklukkan kebosanannya sendiri, membuat proses menulis bukan sebagai sesuatu yang rutin, melainkan juga harus tetap disiplin. 

(Agus Noor)

Rabu, 06 November 2019

Majalah Sabana Terbit Kembali



"Lantas, mengapa kini banyak kalangan lebih suka menggunakan bahasa asing (terutama bahasa Inggris) untuk menyampaikan ide, merek dagang, reklame, identitas, serta wacana yang dibuat?" (Iman Budhi Santosa) 

"Sastra wajib hadir dan/atau dihadirkan kembali untuk membasuh, melebur, sekaligus meretas kekotoran dan kekerasan pikiran yang menyekat-sekat mengkotak-kotakkan itu supaya kembali ke hakikat "ke-menjadi-an" kita sebagai makhluk spiritual yang amat lentur dalam mendapatkan pengalaman kemanusiaan." (Umbu Landu Paranggi)  

"Dan karena cinta yang melahirkan kerinduan untuk bermesraan membuat Tuhan berinisiatif untuk menciptakan makhluk-makhluk, yang puncaknya adalah manusia. Tetapi manusia tidak sungguh-sungguh cinta kepada-Nya. Manusia lebih cinta kepada dirinya sendiri dan harta benda." (Emha Ainun Nadjib) 

Setelah sempat berhenti sekitar tiga tahun, majalah Sabana terbit kembali. Selasa (5/11/19) tadi malam menjadi momentumnya. Semua yang hadir bisa menyimak langsung kisah di balik layar penerbitan kembali Sabana dan diskusi bersama Pak Iman, Cak Nun, Pak Mustofa W. Hasyim, Latief S. Nugraha, dan lain-lain di Rumah Maiyah yang terasa hangat dalam kebersamaan. Hari ini saatnya mulai membuka lembar demi lembar Sabana No.10, Oktober 2019 untuk belajar lagi tentang lelikuan kehidupan. Selamat datang kembali Sabana, semoga bakal terus mengalir dan tidak berhenti lagi.

Senin, 04 November 2019

Ujung Tombak Budi Pekerti

Inilah harapanku : bahwa bahasa sastra seni adalah ujung tombak budi pekerti. Berbudi sekaligus berpekerti. Budi pekerti itu berwatak moral dan operasional sekaligus. Jadi dengan kesenian, seseorang tak hanya harus bisa hidup secara layak, tapi harus menjadi penggerak masyarakatnya. 
(Prie GS)