Apakah cinta bisa
diibaratkan dengan bunga; yang tumbuh, melewati waktu untuk berproses, hingga
berkembang menjadi sesuatu yang indah?
Sedari mula berjumpa, tiada terasa istimewa hati Rino
kala menatap Dinara. Ketika nyaris saban hari mereka berjumpa, barulah lelaki itu
merasakan hal tak biasa. Pesona sang gadis laksana ditebarkan khusus kepadanya.
Rino maupun Dinara acapkali saling mencuri pandang.
Ternyata beberapa orang memerhatikan bahasa tubuh mereka, hingga ada yang
menyampaikan pendapat pada sang dosen muda.
“Sepertinya Dinara suka sama Mas Rino,” ujar Ranti.
”Sudah, langsung dekati dia. Masa Mas Rino tak mau cewek
secantik Dinara?” tambah Dimas tersenyum.
”Kalian
ini bicara apa, sih? Dinara biasa saja
sikapnya terhadapku,” ucap Rino yang rada takjub dengan perhatian mahasiswanya.
“Halah,
tak usah mengelak kalau Mas Rino menyukai Dinara. Kami bisa melihatnya lho,
Mas,” kata Stella.
“Iya, lagi
pula kalian cocok misalnya betulan jadi kekasih,” ujar Ranti lagi.
Rino
semula enggan mengakuinya, tapi dirinya tak ingin bergeming lagi. Dia berniat
mengajak bicara Dinara berdua saja. Kemudian pada sebuah siang, Rino baru
keluar dari kantor hendak pulang, ketika seorang perempuan memanggil namanya.
“Mas Rino,
saya mau bicara sebentar.”
Rino
menoleh dan sekejap terkesima lantaran perempuan yang berjalan mendekatinya
adalah sosok yang mulai dirindukannya.
“Eh, Dinara. Ada apa, Dik?” tanya Rino dengan hati berdebar.
”Mas Rino, saya mau minta waktu tambahan untuk belajar
fotografi. Hmm, bisa tidak kira-kira, Mas?” kata Dinara dengan ekspresi lucu
yang disukai Rino.
”Saya
lihat jadwal dulu deh, tapi intinya saya tidak keberatan.”
”Oke, terima kasih ya, Mas. Kalau begitu, boleh saya
minta nomor ponsel Mas Rino?” ucap Dinara seraya buru-buru mengeluarkan ponsel
dari dalam tasnya.
Di saat yang sama, Rino pun mengambil ponsel di saku
celananya. Mereka berdua sempat diam terpaku, tapi kemudian Rino dan Dinara
serentak tertawa melihat ponsel di tangan masing-masing ternyata tiada beda
sama sekali!
“Kok ponsel kita bisa sama, ya?” komentar Rino.
”Iya Mas,
ini kebetulan yang menyenangkan sekali!” seru Dinara tersenyum legit.
Sejak hari
itu, komunikasi kedua insan terbuka jalannya. Selain saling mengirim pesan singkat, mereka dapat
bertemu kembali kala Rino menyanggupi memberikan pelajaran tambahan. Mereka pun
berkesempatan berbincang berdua belaka.
”Mas Rino lihat ada perubahan di diriku?” tanya Dinara
dengan manja.
“Apa ya, aku rasa tak ada. Memangnya ada perubahan apa?”
”Ini lho, potongan rambutku kan baru. Masa Mas Rino tidak
memerhatikannya?” kata Dinara setengah merajuk, sambil dua jari telunjuknya
mengarah pada raut mukanya sendiri. Rino tersenyum seraya mengucapkan maaf.
Dinara tampak kian menawan di matanya dengan penampilan barunya. Merasakan
hubungan mereka mulai hangat, Rino berhasrat mengatakan hal bersifat personal
terhadap Dinara.
”Dinara,
biasanya ada acara apa tiap malam Minggu?” tanya Rino.
”Saya cuma
di tempat kos nonton tv atau pergi bareng teman-teman.”
”Memangnya
kamu belum punya pacar?”
”Hmmm...
Belum. Memang kenapa sih, Mas?”
”Bolehkah
di malam Minggu aku mengajakmu pergi?”
”Boleh saja. Tapi,
mau diajak ke mana, Mas?”
”Yah,
sekadar jalan-jalan sambil ngobrol. Terus kita bisa makan di tempat yang enak
atau nonton pertunjukan apa begitu. Kamu mau, kan?”
Dinara tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. Matanya
tampak berbinar ceria. Berbunga-bungalah hati Rino melihat sikap sang dara.
Maka jadilah Rino datang pada Sabtu malam dan mengajak Dinara beranjak dari
tempat kosnya. Dibawanya perempuan muda itu ke tempat makan dengan menu spesial
ayam bakar.
”Saya
boleh kan, tanya ke Mas Rino?” ucap Dinara mengawali pembicaraan.
”Silakan bertanya apa saja.”
”Bagaimana
sih, perasaan Mas Rino terhadapku sesungguhnya?”
Rino cukup tersentak dengan pertanyaan Dinara. Tiba-tiba
terasa lebih cepat detak jantungnya, namun dia mencoba tenang dan disertai
senyuman dia pun menjawab,
”Hmm, jujur saja aku memang suka sama kamu, Dinara.”
”Oh ya,
Mas? Aku juga suka kok sama Mas Rino,” kata Dinara serta-merta.
Rino dan
Dinara sama-sama tersenyum dengan sukacita. Kedua insan pun merasakan malam
terindah dalam hidup mereka.
***
Apakah
cinta boleh diumpamakan dengan flora, yang jika tidak dirawat dengan kelembutan,
maka akan layu, dan bahkan bisa mati?
Hari demi hari berganti, hingga telah dua kali purnama
Rino menjalani kisah cintanya bersama Dinara. Sekilas, hubungan tersebut terlihat baik-baik saja. Namun,
sejatinya ada sebuah aral merintang. Rino dan Dinara menganut keyakinan yang
tak sama. Jika salah satunya memilih pindah pun tampaknya mustahil, andaikata
kelak mereka bersanding di pelaminan. Jadi, pantaslah jika Dimas, salah satu
teman mereka, mengira Rino tidak serius mencintai Dinara.
”Aku tak pernah main-main tiap kali mencintai perempuan,”
tegas Rino.
”Maaf, Mas. Tapi bagaimana dengan perbedaan prinsip
kalian?” tanya Dimas.
”Itulah masalah yang belum bersolusi. Cinta memang soal
hati, namun keyakinan pun adanya di hati pula, kan? Hanya mungkin mereka
berbeda ruangan. Aku memang merasa dalam dilema. Tapi, biarlah sementara ini
kami menjalaninya saja dulu. Entahlah, bagaimana kelak jadinya,” ucap Rino
sendu dengan tatapan hampa.
Rino tak ingin pacarannya kali ini terhenti lagi di
tengah jalan, tidak seperti masa silam. Telah menjadi hasratnya mempersunting
Dinara suatu hari nanti. Dia berusaha merawat dengan baik anyaman cinta yang
dijalinnya. Siapa tahu, seiring masa terdapat solusi tepat mengatasi perbedaan
itu.
Apa yang selama ini dirasakan Rino sebagai kendala
akhirnya membuahkan sesuatu. Barangkali justru itulah jawaban atas dilema
hatinya. Pada sebuah malam, Dinara mengatakan sesuatu yang mengejutkan Rino.
”Mas, sepertinya cukup sampai di sini perjalanan cinta
kita. Saatnya kita menempuh jalan sendiri-sendiri saja,” ujar Dinara lirih.
”Adakah yang salah dengan kisah asmara kita? Sudah tidak
adakah kunci jawaban untuk setiap problema yang kita hadapi?” tanya Rino.
Dinara mengajak putus dengan alasan perbedaan keyakinan,
yang membuat masa depan mereka tak jelas arah tujuannya. Rino sesungguhnya
masih mencintai gadis itu, namun dia berusaha berlapang dada. Mungkin bukanlah
Dinara pasangan jiwa sejatinya.
***
Apakah
mencari cinta sejati memang sedemikian sulitnya, sebagaimana mencari jalan ke
langit ketujuh?
Belakangan, Rino merasa Dinara menyembunyikan rahasia.
Ternyata benar demikian adanya. Sebuah fakta baru diketahuinya dan cukup
menyesakkan dada. Stella, mahasiswi
Rino sekaligus teman Dinara, yang memberikan informasi mengagetkan. Dinara
ternyata telah bertunangan ketika menjalani hubungan dengan Rino.
”Dari mana kamu tahu soal cerita itu?” tanya Rino yang
cukup gusar mendengarnya.
”Dinara sendiri yang bilang, Mas. Tolong, Mas Rino yang sabar ya menyimak ceritaku nanti,”
ujar Stella. Rino sebatas menganggukkan kepala seraya mengatur napasnya agar
hatinya tenang.
Kendati sudah resmi bertunangan, namun Dinara setengah
hati menjalaninya, lantaran dia sebatas menuruti perjodohan dari orangtuanya. Sekian lama mengenal tunangannya, si gadis tak kunjung
bisa mencintai lelaki yang berprofesi sebagai pelaut tersebut. Apalagi sangat sedikit waktu mereka untuk sekadar
berjumpa. Dinara kesal sebenarnya, namun dia tak mampu menolak hasrat ayah
ibunya. Sebagai pelampiasannya, sang dara pun mencari kekasih sendiri di kota
tempat dirinya menuntut ilmu. Celakanya, Dinara bukan hanya berpacaran dengan
Rino, melainkan juga dengan seorang mahasiswa dari kampus lain di waktu yang
sama. Begitulah kisah yang Stella dengar dari Dinara.
”Tapi, kenapa dia mesti menceritakan hal itu padamu?
Untuk apa dia melukai hatiku lagi?” Rino kembali bertanya seraya menahan
amarah.
”Dinara sedih sekali pernah membohongi Mas Rino. Dia tak
ingin hidupnya terus dibayangi kesalahan. Maka dia curhat pada saya, setelah
pekan lalu kalian putus. Dia
menyesal dan berharap Mas Rino sudi memaafkannya. Dinara sebenarnya masih
mencintaimu, Mas,” pungkas Stella sekaligus mengakhiri cerita panjangnya
tentang Dinara.
Betapa perih sanubari Rino menyadari yang sebenarnya
terjadi. Gadis yang sempat dicintainya dan seakan mencintainya tega
memperlakukannya serupa itu. Jadi, bukan lantaran perbedaan keyakinan semata
yang menjadi alasan Dinara. Namun, Rino memahami justru selayaknya dia
bersyukur mereka berpisah. Barangkali itulah jalan terbaik dari Ilahi demi
menghindarkan dirinya dari kisah yang lebih rumit. Tiada manfaatnya jua andaikata
dia malah murka terhadap mantan kekasihnya. Rino percaya, pada sebuah hari
pasti akan dijumpainya perempuan berhati mulia yang tulus dan jujur
mencintainya, yang sudi mendampingi sisa hidupnya, kendati mesti ditempuhnya
jalan baru yang mungkin masih terjal dan sarat lelikuan pula.
# Cerpen ini pernah dimuat di janang.id pada 8 Juni 2018.