Minggu, 30 Agustus 2020

Episode Cinta Seorang Lelaki


Apakah cinta bisa diibaratkan dengan bunga; yang tumbuh, melewati waktu untuk berproses, hingga berkembang menjadi sesuatu yang indah?
         
Sedari mula berjumpa, tiada terasa istimewa hati Rino kala menatap Dinara. Ketika nyaris saban hari mereka berjumpa, barulah lelaki itu merasakan hal tak biasa. Pesona sang gadis laksana ditebarkan khusus kepadanya. Rino maupun Dinara acapkali saling mencuri pandang. Ternyata beberapa orang memerhatikan bahasa tubuh mereka, hingga ada yang menyampaikan pendapat pada sang dosen muda.
          “Sepertinya Dinara suka sama Mas Rino,” ujar Ranti.
          ”Sudah, langsung dekati dia. Masa Mas Rino tak mau cewek secantik Dinara?” tambah Dimas tersenyum.
          ”Kalian ini bicara apa, sih? Dinara biasa saja sikapnya terhadapku,” ucap Rino yang rada takjub dengan perhatian mahasiswanya.
          “Halah, tak usah mengelak kalau Mas Rino menyukai Dinara. Kami bisa melihatnya lho, Mas,” kata Stella.
          “Iya, lagi pula kalian cocok misalnya betulan jadi kekasih,” ujar Ranti lagi.
          Rino semula enggan mengakuinya, tapi dirinya tak ingin bergeming lagi. Dia berniat mengajak bicara Dinara berdua saja. Kemudian pada sebuah siang, Rino baru keluar dari kantor hendak pulang, ketika seorang perempuan memanggil namanya.
          “Mas Rino, saya mau bicara sebentar.”
          Rino menoleh dan sekejap terkesima lantaran perempuan yang berjalan mendekatinya adalah sosok yang mulai dirindukannya.
          “Eh, Dinara. Ada apa, Dik?” tanya Rino dengan hati  berdebar.
          ”Mas Rino, saya mau minta waktu tambahan untuk belajar fotografi. Hmm, bisa tidak kira-kira, Mas?” kata Dinara dengan ekspresi lucu yang disukai Rino.
          ”Saya lihat jadwal dulu deh, tapi intinya saya tidak keberatan.”
          ”Oke, terima kasih ya, Mas. Kalau begitu, boleh saya minta nomor ponsel Mas Rino?” ucap Dinara seraya buru-buru mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya.
          Di saat yang sama, Rino pun mengambil ponsel di saku celananya. Mereka berdua sempat diam terpaku, tapi kemudian Rino dan Dinara serentak tertawa melihat ponsel di tangan masing-masing ternyata tiada beda sama sekali!
          “Kok ponsel kita bisa sama, ya?” komentar Rino.
          ”Iya Mas, ini kebetulan yang menyenangkan sekali!” seru Dinara tersenyum legit.
          Sejak hari itu, komunikasi kedua insan terbuka jalannya. Selain saling mengirim pesan singkat, mereka dapat bertemu kembali kala Rino menyanggupi memberikan pelajaran tambahan. Mereka pun berkesempatan berbincang berdua belaka.
”Mas Rino lihat ada perubahan di diriku?” tanya Dinara dengan manja.
“Apa ya, aku rasa tak ada. Memangnya ada perubahan apa?”
”Ini lho, potongan rambutku kan baru. Masa Mas Rino tidak memerhatikannya?” kata Dinara setengah merajuk, sambil dua jari telunjuknya mengarah pada raut mukanya sendiri. Rino tersenyum seraya mengucapkan maaf. Dinara tampak kian menawan di matanya dengan penampilan barunya. Merasakan hubungan mereka mulai hangat, Rino berhasrat mengatakan hal bersifat personal terhadap Dinara.
          ”Dinara, biasanya ada acara apa tiap malam Minggu?” tanya Rino.
          ”Saya cuma di tempat kos nonton tv atau pergi bareng teman-teman.”
          ”Memangnya kamu belum punya pacar?”
          ”Hmmm... Belum. Memang kenapa sih, Mas?”
          ”Bolehkah di malam Minggu aku mengajakmu pergi?”
          ”Boleh saja. Tapi, mau diajak ke mana, Mas?”
          ”Yah, sekadar jalan-jalan sambil ngobrol. Terus kita bisa makan di tempat yang enak atau nonton pertunjukan apa begitu. Kamu mau, kan?”
          Dinara tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. Matanya tampak berbinar ceria. Berbunga-bungalah hati Rino melihat sikap sang dara. Maka jadilah Rino datang pada Sabtu malam dan mengajak Dinara beranjak dari tempat kosnya. Dibawanya perempuan muda itu ke tempat makan dengan menu spesial ayam bakar.
          ”Saya boleh kan, tanya ke Mas Rino?” ucap Dinara mengawali pembicaraan.
          ”Silakan bertanya apa saja.”
          ”Bagaimana sih, perasaan Mas Rino terhadapku sesungguhnya?”
          Rino cukup tersentak dengan pertanyaan Dinara. Tiba-tiba terasa lebih cepat detak jantungnya, namun dia mencoba tenang dan disertai senyuman dia pun menjawab,
          ”Hmm, jujur saja aku memang suka sama kamu, Dinara.”
          ”Oh ya, Mas? Aku juga suka kok sama Mas Rino,” kata Dinara serta-merta.
          Rino dan Dinara sama-sama tersenyum dengan sukacita. Kedua insan pun merasakan malam terindah dalam hidup mereka.

***
Apakah cinta boleh diumpamakan dengan flora, yang jika tidak dirawat dengan kelembutan, maka akan layu, dan bahkan bisa mati?

Hari demi hari berganti, hingga telah dua kali purnama Rino menjalani kisah cintanya bersama Dinara. Sekilas, hubungan tersebut terlihat baik-baik saja. Namun, sejatinya ada sebuah aral merintang. Rino dan Dinara menganut keyakinan yang tak sama. Jika salah satunya memilih pindah pun tampaknya mustahil, andaikata kelak mereka bersanding di pelaminan. Jadi, pantaslah jika Dimas, salah satu teman mereka, mengira Rino tidak serius mencintai Dinara.
”Aku tak pernah main-main tiap kali mencintai perempuan,” tegas Rino.
”Maaf, Mas. Tapi bagaimana dengan perbedaan prinsip kalian?” tanya Dimas.
”Itulah masalah yang belum bersolusi. Cinta memang soal hati, namun keyakinan pun adanya di hati pula, kan? Hanya mungkin mereka berbeda ruangan. Aku memang merasa dalam dilema. Tapi, biarlah sementara ini kami menjalaninya saja dulu. Entahlah, bagaimana kelak jadinya,” ucap Rino sendu dengan tatapan hampa.
Rino tak ingin pacarannya kali ini terhenti lagi di tengah jalan, tidak seperti masa silam. Telah menjadi hasratnya mempersunting Dinara suatu hari nanti. Dia berusaha merawat dengan baik anyaman cinta yang dijalinnya. Siapa tahu, seiring masa terdapat solusi tepat mengatasi perbedaan itu.
Apa yang selama ini dirasakan Rino sebagai kendala akhirnya membuahkan sesuatu. Barangkali justru itulah jawaban atas dilema hatinya. Pada sebuah malam, Dinara mengatakan sesuatu yang mengejutkan Rino.
”Mas, sepertinya cukup sampai di sini perjalanan cinta kita. Saatnya kita menempuh jalan sendiri-sendiri saja,” ujar Dinara lirih.
”Adakah yang salah dengan kisah asmara kita? Sudah tidak adakah kunci jawaban untuk setiap problema yang kita hadapi?” tanya Rino.
Dinara mengajak putus dengan alasan perbedaan keyakinan, yang membuat masa depan mereka tak jelas arah tujuannya. Rino sesungguhnya masih mencintai gadis itu, namun dia berusaha berlapang dada. Mungkin bukanlah Dinara pasangan jiwa sejatinya.

***
Apakah mencari cinta sejati memang sedemikian sulitnya, sebagaimana mencari jalan ke langit ketujuh?

Belakangan, Rino merasa Dinara menyembunyikan rahasia. Ternyata benar demikian adanya. Sebuah fakta baru diketahuinya dan cukup menyesakkan dada. Stella, mahasiswi Rino sekaligus teman Dinara, yang memberikan informasi mengagetkan. Dinara ternyata telah bertunangan ketika menjalani hubungan dengan Rino.
”Dari mana kamu tahu soal cerita itu?” tanya Rino yang cukup gusar mendengarnya.
”Dinara sendiri yang bilang, Mas. Tolong, Mas Rino yang sabar ya menyimak ceritaku nanti,” ujar Stella. Rino sebatas menganggukkan kepala seraya mengatur napasnya agar hatinya tenang.
Kendati sudah resmi bertunangan, namun Dinara setengah hati menjalaninya, lantaran dia sebatas menuruti perjodohan dari orangtuanya. Sekian lama mengenal tunangannya, si gadis tak kunjung bisa mencintai lelaki yang berprofesi sebagai pelaut tersebut. Apalagi sangat sedikit waktu mereka untuk sekadar berjumpa. Dinara kesal sebenarnya, namun dia tak mampu menolak hasrat ayah ibunya. Sebagai pelampiasannya, sang dara pun mencari kekasih sendiri di kota tempat dirinya menuntut ilmu. Celakanya, Dinara bukan hanya berpacaran dengan Rino, melainkan juga dengan seorang mahasiswa dari kampus lain di waktu yang sama. Begitulah kisah yang Stella dengar dari Dinara.
”Tapi, kenapa dia mesti menceritakan hal itu padamu? Untuk apa dia melukai hatiku lagi?” Rino kembali bertanya seraya menahan amarah.
”Dinara sedih sekali pernah membohongi Mas Rino. Dia tak ingin hidupnya terus dibayangi kesalahan. Maka dia curhat pada saya, setelah pekan lalu kalian putus. Dia menyesal dan berharap Mas Rino sudi memaafkannya. Dinara sebenarnya masih mencintaimu, Mas,” pungkas Stella sekaligus mengakhiri cerita panjangnya tentang Dinara.
Betapa perih sanubari Rino menyadari yang sebenarnya terjadi. Gadis yang sempat dicintainya dan seakan mencintainya tega memperlakukannya serupa itu. Jadi, bukan lantaran perbedaan keyakinan semata yang menjadi alasan Dinara. Namun, Rino memahami justru selayaknya dia bersyukur mereka berpisah. Barangkali itulah jalan terbaik dari Ilahi demi menghindarkan dirinya dari kisah yang lebih rumit. Tiada manfaatnya jua andaikata dia malah murka terhadap mantan kekasihnya. Rino percaya, pada sebuah hari pasti akan dijumpainya perempuan berhati mulia yang tulus dan jujur mencintainya, yang sudi mendampingi sisa hidupnya, kendati mesti ditempuhnya jalan baru yang mungkin masih terjal dan sarat lelikuan pula.

# Cerpen ini pernah dimuat di janang.id pada 8 Juni 2018.

Tidak ada komentar: