Rabu, 31 Desember 2008

Risalah Apresiasi Paruh Kedua 2008

Aktivitas kesenianku

Sempat kuiringi paduan suara anak-anak AFC di kompleks Kepatihan (23/7), lalu anak-anak dan remaja menyanyi solo di Pentas Seni Tradisi di TBY (15/8), dan di Malioboro Mall (29/12). Tapi hal itu relatif bukan hal baru bagiku. Yang terasa istimewa adalah ketika aku ikut terlibat dalam pentas gabungan AFC di acara Festival Seni Anak. Dalam operet ‘Pangeran yang Selalu Bahagia’ yang berlangsung di concert hall TBY awal November itu, tugas utamaku memang sebagaimana layaknya mengiringi anak-anak menyanyi. Namun ada tugas tambahan untukku mengiringi anak-anak menari. Lagu instrumental pengiring tarian keempat merupakan ciptaanku sendiri, sementara selebihnya merupakan lagu-lagu yang sudah lebih dahulu eksis.

Anak-anak vokal menyanyikan empat lagu karya Pak Sigit di antara sejumlah adegan yang dimainkan anak-anak teater, jadi aku mainnya juga manut Mas Broto selaku sutradara malam itu. Kusyukuri jua pentasnya berjalan mulus, penontonnya lumayan banyak, kendati aku sempat rada terbebani dengan awal yang buruk. Tapi yang penting akhirnya melegakan.

Selain itu, aku sempat main piano di sebuah acara keluarga mutinasional di awal Agustus dan mengiringi paduan suara dalam lomba internal sebuah instansi pemerintah (jadi juara ke-3) pada bulan Oktober.

Ada sembilan buah cerpen anyar kurampungkan selama enam bulan terakhir, tapi masih belum ada lagi yang dimuat di media cetak. Semoga di tahun 2009 nanti karyaku bisa lebih banyak dibaca orang karena terpajang di majalah atau koran Minggu. Amin.

Pertunjukan seni yang kuhadiri

Ada pentas musik, teater, dan tari yang sempat kusimak, yaitu : Yogyakarta Gamelan Festival 2008 (Juli), JAFF dan Pasar Seni Tradisi (Agustus), Momotaro dari Teater Gamelan Margasari Jepang (Agustus), Slamet Gundono (September), Pasar Seret 3 dari Teater Gandrik (Oktober), dan Butoh dari Jepang (Desember). Film yang sempat kutonton -tidak di layar kaca- adalah “Mereka Bilang Saya Monyet” karya Djenar Maesa Ayu di gedung sositet TBY (JAFF) bulan Agustus dan “Laskar Pelangi” karya Riri Riza-Mira Lesmana (sutradara dan produser) di sinepleks 21 Ambarrukmo Plaza Jogja bulan Oktober.

Menjadi sebuah impresi tersendiri bagiku ketika sempat kusapa Andrea Hirata dan Riri Riza, lalu kuikuti diskusi bersama Djenar dan Ayu Utami di bulan Agustus.

Buku yang kubaca

Yang kubaca hasil pinjaman : The Da Vinci Code (Dan Brown), Maryamah Karpov/Mimpi-mimpi Lintang (Andrea Hirata), dan Rahasia Meede (E.S.Ito). Yang kubeli : Seribu Kunang-kunang di Manhattan (Umar Kayam), Dia Dimana-mana (M.Quraish Shihab). Bacaan lain berupa majalah dan internet pastinya menambah wawasan pengetahuanku pula.

Rabu, 29 Oktober 2008

FESTIVAL SENI ANAK 2008 DI TAMAN BUDAYA YOGYAKARTA

Akan berlangsung kegiatan Festival Seni Anak 2008 di Taman Budaya Yogyakarta mulai 2 November 2008 sampai dengan 10 November 2008. Kegiatan berupa pergelaran beragam seni (tari, operet, teater, musik, tradisi), pemutaran film anak, pameran seni rupa dan foto anak internasional, maupun seminar nasional dan workshop kesenian. Seluruh kegiatan yang berlangsung setiap hari pukul 9.00 hingga 21.00 di TBY tidak dipungut biaya. Untuk seminar nasional, pendaftaran sudah ditutup karena sudah memenuhi kuota yang tersedia.

Kamis, 09 Oktober 2008

Memetik Hikmah dari Ki Slamet Gundono

Sepanjang Ramadhan lalu hanya ada sebuah pertunjukan seni yang kuhadiri. Jumat malam (26/9) aku di-sms Yoke sahabatku bahwa ada Slamet Gundono di Bentara Budaya Yogyakarta (BBY) saat itu. Langsung aku beranjak menuju daerah Kotabaru dan mengikuti acara bertajuk "Gusti Kang Maha Dalang, Musik Mistikal, dan Guyonan Pesantren" dengan artis Ki Slamet Gundono, dalang nyentrik asal Tegal bersama kelompok musiknya. Tampil pula Mbah Prapto, seorang penari yang sudah sepuh, tapi masih sigap gerakannya, dan Mas Miroto, seorang penari profesional dan aktor utama film “Opera Jawa” yang menjadi bagian dari pertunjukan. Selain membawakan beberapa lagu yang kadang disertai tarian, ada banyak hal yang disampaikan oleh ki dalang.

Ada sejumlah hikmah yang dapat kupetik dan sedikit yang kucatat di sini : Keindahan di dunia tidak terletak pada harta, benda, dan rupa. Keindahan dapat dirasakan pada kasih sayang Tuhan pada hamba-Nya, juga dapat dilihat pada kasih sayang serta keikhlasan ibu pada anaknya. Hanya orang yang tak pernah menyakiti orang lain yang boleh mengharapkan lailatul qadar. Memang tidak mudah untuk tidak pernah menyakiti, karena diam saja pun kadang bisa menyakiti orang lain. Idul Fitri adalah momentum luar biasa untuk dapat saling memaafkan. Entah siapa dulu yang menciptakan tradisi yang hebat tersebut, salut dan terima kasih untuknya.

Ada salah satu cerita lucu dari pesantren yang disampaikan ki dalang, yang ternyata ada hikmahnya pula. Saat itu Slamet Gundono dan teman-temannya di pesantren akan melakukan pertandingan sepakbola. Terinspirasi oleh pemain luar negeri yang merayakan gol dengan berterima kasih pada Tuhannya, Slamet pun meminta usul dari teman-teman setimnya. Ternyata ada salah satunya yang telah memiliki ide, tapi masih dirahasiakannya. Maka ketika gol tercipta, teman Slamet itu pun berlari ke pinggir lapangan, merayakan gol dengan berterima kasih pada Tuhan, dengan cara menjalankan shalat dua rakaat !
Akhirnya ada satu nasihat dari pak kiai -guru Slamet di pesantren- bahwa Islam adalah sesuatu yang tak perlu dipamer-pamerkan dan agama adalah sesuatu yang tidak untuk dipaksa-paksakan. Rasanya ada pencerahan dan kubawa hikmah pulang ke rumah dari BBY malam itu. Tak jadi masalah Yoke pulang mendahuluiku, lalu sempat kusapa Gunawan Maryanto dan Tomi Simatupang belaka seusai pertunjukan.

Sabtu, 30 Agustus 2008

Sarat Acara Seni di Yogyakarta

Bulan Agustus 2008 menjadi bulan yang begitu sarat dengan acara kesenian di Yogyakarta. Mungkin erat pula hubungannya dengan peringatan HUT RI ke-63, karena di berbagai penjuru kota pasti ada sejumlah pentas seni yang diselenggarakan oleh warga masyarakat. Sementara itu di sentra-sentra pertunjukan seni pun ada banyak acara. Ketika di TBY berlangsung acara JAFF dan Pasar Seni Tradisi, pastilah begitu banyak orang yang terlibat di situ. Bahkan aku jadi sempat bersalaman dengan Andrea Hirata (penulis tetralogi Laskar Pelangi) dan mengikuti diskusi dengan Djenar Maesa Ayu, sehabis melihat film debutnya yang menjadi salah satu peserta JAFF. Sempat juga kulihat sekilas sebuah film kartun dari Iran pada sebuah Minggu siang. Pasar Seni Tradisi yang melibatkan kelompok-kelompok seni tradisional di Jogja pun berlangsung cukup meriah. Apalagi ada pedagang makanan tradisional yang selalu menemani penonton setiap sore hingga malam. Tapi aku hanya sempat melihat sebuah pertunjukan tari dari Rewe-rewe yang dibawakan beberapa perempuan secara dinamis dan menghibur. Aku beberapa kali ada di TBY saat berlangsung acara itu, tapi aku sendiri mesti bekerja. Dan akhirnya aku sempat tampil pula di atas panggung. Kuiringi adik-adik menyanyi, dari yang masih bocah sampai yang sudah remaja, baik menyanyi solo maupun paduan suara. Syukurlah, acara yang aku ikut berpartisipasi itu berlangsung cukup baik. Selain mereka yang belajar vokal, anak-anak yang belajar menari dan teater di AFC (Art For Children) TBY pun berkesempatan tampil di panggung Jumat sore itu (15/8).

Momotaro - The Peach Boy
Sebuah pertunjukan seni menarik ditampilkan oleh Teater Gamelan Marga Sari dari Osaka Jepang dalam “Momotaro – The Peach Boy” pada Selasa malam (26/8). Melihat artis penampilnya saja sudah mengundang rasa penasaran. Lha ada kelompok teater gamelan, kok asalnya dari Jepang? Kelompok Marga Sari dipimpin oleh Prof.Shin Nakagawa yang ternyata sudah lama belajar gamelan di Indonesia. Belasan orang yang tampil di atas pentas mayoritas adalah orang Jepang. Hanya dua orang Indonesia yang terlibat dan mereka telah menikah dengan orang Jepang sesama anggota kelompok tersebut. Sangat unik melihat orang-orang Jepang berdialog dalam bahasa Indonesia dengan logat mereka dalam pertunjukan di gedung sositet TBY itu. Momotaro adalah cerita rakyat yang sudah sangat diakrabi masyarakat Jepang. Namun Marga Sari menampilkannya dengan cita rasa baru lewat pertunjukan teater yang diiringi gamelan Jawa. Menurut Prof.Shin Nakagawa, budaya gamelan telah tersebar di seluruh dunia dan pertunjukan itu merupakan respons terhadap budaya Indonesia yang sangat dihormatinya. Adakah kita orang Indonesia mampu melakukan apa yang telah dilakukan orang-orang Jepang itu?


Ngobrol bareng Ayu Utami
Aku sempat sekitar sejam mengikuti diskusi bersama Ayu Utami dan Aris Mundayat di Yayasan Umar Kayam pada Rabu malam (27/8). Pastinya lumayan bertambah wawasanku tentang banyak hal sepulangku dari situ. Sebenarnya ada pentas pembacaan novel terbaru Ayu Utami “Bilangan Fu” pada Kamis malam (28/8) oleh Landung Simatupang, sastrawan senior Jogja yang didampingi putranya Tomi Simatupang, seorang musisi profesional yang selama sekian waktu sempat berkarier di Eropa. Tapi aku melewatkan acara yang berlangsung di TBY itu karena kondisi tubuhku sedang rada menurun.

Jumat, 08 Agustus 2008

Festival Film dan Pasar Seni Tradisi di TBY



Jika tiada aral melintang, sejak hari Sabtu, 9 Agustus 2008 nanti, ada dua rangkaian kegiatan seni yang menarik berlangsung di Taman Budaya Yogyakarta (TBY). Yang pertama adalah
Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) yang akan diselenggarakan pada tanggal 9-13 Agustus 2008 di seputaran Taman Budaya Yogyakarta dan Lembaga Indonesia Perancis. Pada tahun-tahun sebelumnya, JAFF memberi perhatian pada bagaimana sinema berperan di tengah krisis akibat bencana alam dan sosial yang menyebabkan perubahan di tengah masyarakat (“Cinema in The Misdt of Crisis” –JAFF 2006), serta bagaimana sinema dapat memberi ruang pertemuan simbolik berbagai komunitas yang mengalami dislokasi sosial akibat proses perubahan (“Diaspora”- JAFF 2007). Tahun ini JAFF kembali hadir, menyoroti perubahan itu sendiri dengan mengusung tema besar METAMORFOSA. Info selengkapnya dapat diklik di www.jaff-filmfest.com/jaff-new/index.php

Acara kedua di TBY adalah Pasar Seni Tradisi, yang konsepnya mengacu pada kondisi di masyarakat kita dimana sebuah pergelaran seni tradisi selalu diminati oleh aktivitas para pedagang yang menjajakan makanan tradisional seperti : kacang, jadah tempe, jagung, gethuk, mainan tradisional, bakmi, angkringan dan lain-lain. Selain pergelaran dan makanan tradisional, pasar seni tradisi juga menampilkan talk show dan kegiatan pameran properti seni tradisi yang antara lain menampilkan pakaian, foto, pecut, jaranan, dll. Pasar Seni Tradisi akan dilaksanakan dari tanggal 9 - 15 Agustus 2008, menurut rencana akan dibuka oleh Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X.

Rabu, 23 Juli 2008

Anak-anak Pentas Berbahasa Jawa

Jumat malam lalu, 18 Juli 2008, pendapa Tamansiswa Yogyakarta kembali menjadi ajang sebuah pentas seni. Yang tampil malam itu adalah Sanggar Anak Rengganis dan Taman Kesenian Tamansiswa Yogyakarta. Dari beragam nomor pertunjukan yang dipentaskan, mayoritas berbahasa Jawa. Ada deklamasi geguritan dan drama pendek dalam bahasa Jawa, juga ada deklamasi puisi yang dibawakan secara teatrikal dan sebuah tari tradisional Sumatera. Mereka yang tampil adalah anak-anak kecil usia SD dan beberapa remaja SMP-SMA. Menjadi sangat menarik karena mereka berbahasa Jawa di atas pentas, dengan gamelan sebagai musik pengiringnya. Padahal anak-anak sekarang, di Jogja sekalipun, tidak selalu berbahasa Jawa dalam berkomunikasi, kendati hanya bicara dalam keluarganya atau bersama teman-temannya pun. Yang juga istimewa, anak-anak itu berakting secara natural, tampil percaya diri, dan sangat hafal pada naskahnya. Padahal anak-anak yang sama tampil minimal dalam dua kali kesempatan. Salutlah bagi anak-anak dan para remaja itu, juga selamat untuk para pengajar dan orang tua mereka yang pasti sangat bangga. Tema-tema yang diangkat malam itu, antara lain tentang baik-buruknya televisi, tentang pentingnya menjaga kebersihan, dan tentang hitam-putihnya negeri kita ini. Kendati situasi dan kondisi yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini cenderung membuat kita selalu berpikir negatif dan pesimis, tapi mestinya kita tetap selalu berpikir positif dan optimis, bahwa masih ada masa depan yang lebih apik nantinya. Mungkin begitulah salah satu intisari pentas malam itu.

Beberapa hari sebelumnya, dalam Festival Teater Anak yang berlangsung di kampung Pakel Mulyo, sebuah kelompok seni anak-anak dari pinggir kota Yogyakarta (termasuk Bantul/Sleman) menampilkan ketoprak singkat yang kocak dan menghibur, tentunya dalam bahasa Jawa pula. Lalu hari Minggu lalu, 20 Juli 2008, berlangsung sebuah pentas tari di TBY yang menampilkan sanggar-sanggar tari se-Yogyakarta, mayoritas pendukungnya adalah para pemuda pemudi yang tampil atraktif dan sangat dinamis. Barangkali kami di Yogyakarta bolehlah berlega hati bahwa masih banyak tunas harapan yang akan terus melestarikan dan mengembangkan seni budaya tradisi daerah kami. Semoga demikian pula yang terjadi di daerah-daerah lainnya di Indonesia. Karena sejatinya begitu banyak pelajaran berharga dan kearifan lokal yang terkandung dalam beragam jenis seni budaya tradisi kita.


Kamis, 17 Juli 2008

YGF 2008 : Warga Dunia Bersatu Lewat Gamelan

Pada 10-12 Juli 2008 lalu telah berlangsung Yogyakarta Gamelan Festival (YGF), sebuah pergelaran seni gamelan bertaraf internasional yang berlangsung untuk ke-13 kalinya di Yogyakarta. Sebagai warga Jogja, tentu aku sudah sering mendengar keberadaan ajang tersebut di tahun-tahun sebelumnya. Tapi entahlah, sepertinya dulu aku kurang tertarik untuk menyimaknya. Bahkan untuk melihat salah satu pentasnya pun seingatku belum pernah. Tapi tahun ini ternyata ada hasrat yang berbeda. Aku malah akhirnya bisa menyaksikan YGF 2008 dalam dua kali pertunjukan yang berlangsung di concert hall Taman Budaya Yogyakarta (TBY) pada Jumat (11/7) dan Sabtu (12/7) lalu. Semula memang tak menjadi rencanaku. Kebetulan Jumat sore itu, setelah rampung bertugas ada rapat kecil yang kuikuti di TBY. Pak Agus menginformasikan padaku bahwa malam itu di concert hall ada acara YGF. Aku kok terus jadi penasaran ya? Maka aku beranjak menuju tempat acara itu diselenggarakan dan sudah begitu banyak calon penonton yang hadir. Yang menarik, sebelum masuk ke gedung pertunjukan, kita bisa melihat dokumentasi YGF dalam bentuk pameran foto dan rekaman audio pentas-pentasnya dahulu. Wah, aku jadi semakin tertarik untuk mengikuti acara itu !

Pertunjukan hari Jumat diawali grup D'lima dari Taman Budaya Jawa Timur yang terdiri dari beberapa lelaki berjubah merah. Nomor-nomor yang dibawakan berirama dinamis, jadi penonton semangat mengikutinya. Ada seorang perempuan dan dua laki-laki (bajunya seperti orang mau ronda) masuk di tengah salah satu lagu dan menambah meriah pertunjukan. Selanjutnya Alex Dea dari Amerika Serikat bersama KPH 8 membawakan komposisi yang panjang dan susah untuk dinikmati. Salah satunya diciptakan untuk mengenang guru gamelan Pak Alex yang telah wafat. Memang nada kesedihannya terasa sekali dalam komposisi yang dimainkan malam itu. Ada beberapa orang kulit putih di antara orang-orang Indonesia yang tergabung dalam kelompok KPH 8. Yang juga menarik, selalu ada diskusi antara Sapto Raharjo, direktur YGF 2008 sekaligus pembawa acara, dengan wakil dari setiap kelompok yang tampil. Penampilan terakhir adalah grup Gamma Rays dari Singapura, yang selain terdiri dari pemain gamelan, juga membawa pemain drum, bass, dan kibord. Hebatnya, grup ini didominasi anak-anak muda yang multiras. Ada orang India yang memainkan suling dengan beberapa wajah oriental yang tatanan rambutnya funky dan anak muda banget, selain ada orang Melayunya pula. Semua nomor yang dibawakan secara instrumentalia memadukan suara gamelan dan band mewujudkan harmoni yang asyik disimak, termasuk dua gending klasik Jawa : Suwe Ora Jamu dan Gambang Suling. Setelah ngobrol sebentar dengan ibu pimpinan grup dari Singapura, para pengisi acara lalu melakukan jam session dengan komandannya Pak Sapto yang memainkan kendang. Entah mereka latihan dulu atau tidak, yang jelas lagu pamungkas yang dimainkan keroyokan itu terdengar enak juga dan akhirnya mengundang tepuk tangan panjang dari penonton.

Di pementasan hari berikutnya dibuka oleh gamelan plesetan, yang ternyata merupakan komposisi kontemporer dan eksperimental hasil kerja sama dosen-dosen dari California bersama salah satu muridnya dari Korea dan Sapto Raharjo. Lalu ada Vincent McDermot dari Amerika yang kelompoknya juga hasil kerja sama orang asing dan Indonesia. Bahkan Singgih Sanjaya, dirigen top Indonesia yang sering membuatkan aransemen lagu untuk Twilite Orchestra ikut tampil sebagai dirigen dan memainkan saxophone. Ada banyak pendukungnya, termasuk paduan suara dan beberapa penari yang memainkan bagian dari opera Matahari. Ada banyak kejutan saat para penari tampil, mulai dari sang Matahari yang menari bersama sang Ratu Kidul, lalu dia melepas kostum penari Jawanya dan menari erotis dengan busana minimalis. Yang paling membuat penonton riuh rendah ketika beberapa penari laki-laki serta merta melepas kain yang dipakainya, hingga sekilas mereka seperti telanjang bulat ! Wah, salut banget untuk kerja keras Mister Vincent dan rombongannya. Selanjutnya kelompok Kito Siopo yang terdiri dari orang Inggris, Jepang, dan Australia(kalau tidak salah). Komposisi yang dibawakan relatif njelimet juga. Tapi pas Sapto Raharjo ngobrol dengan mereka, malah jadi seperti nonton dagelan Mataram. Lucu banget soalnya, hehe… Kelompok LOS dari Surakarta menjadi penampil terakhir dengan nomor Majemuk. Untuk memperlihatkan kemajemukan, para personel grup yang mayoritas anak muda itu berkostum macam-macam, dari seragam SMA, pramuka, pegawai negeri, hansip, sampai baju cah dolan dan orang mau tidur. Menurut pimpinannya, dalam komposisinya itu ada sentuhan gamelan gaya Bali, Sunda, dan lain-lain yang menjadi harmoni yang menarik disimak. Bahkan bagi penonton ada kesan irama pengiring barongsainya, ketika dua pemain memainkan gong yang diletakkan di lantai. Akhirnya ada jam session lagi yang tak kalah asyiknya ketimbang malam sebelumnya.

Sejumlah pelajaran berharga kubawa pulang sehabis melihat dua kali pementasan YGF 2008. Gamelan ternyata bisa menjadi ajang bertemunya orang-orang dari beragam penjuru dunia. Memang benar pepatah yang mengatakan bahwa musik adalah bahasa dunia. Berbanggalah kita bahwa musik tradisional Indonesia ternyata bisa menyatukan warga dunia. Memang hanya segelintir orang, tapi tetap saja istimewa. Sementara banyak orang Indonesia di mana-mana sering ribut dan saling bertikai, di Yogyakarta ada orang Amerika, Inggris, Jepang, Korea, Australia, Singapura, bersama orang Indonesia yang semuanya pasti cinta damai, justru bekerja sama dan bersinergi mampu mewujudkan harmoni yang dapat dinikmati banyak orang. Dan melalui seni gamelan mereka mampu bersatu dalam berbagai keragaman dan perbedaan masing-masing.

Ada beberapa sastrawan terlihat di antara penonton, seperti Mustofa W.Hasyim dan Herlinatiens. Yang mungkin juga unik, mayoritas penonton adalah anak-anak muda. Semoga mereka tak puas hanya sebagai penonton yang apresiatif, tapi akan lebih banyak berpartisipasi memainkan dan mengembangkan gamelan pula di masa depan.


Sabtu, 12 Juli 2008

Risalah Apresiasi Paruh Pertama 2008

Pertunjukan seni yang kuhadiri

Sepanjang Januari hingga Juli 2008 sudah relatif beragam jenis pertunjukan seni yang kusaksikan di Yogyakarta, kotaku tercinta. Ada pentas Teater Garasi dengan aktor-aktor muda binaannya dalam lakon ‘Tuk’ (Januari) dan pentas Teater Tetas dari Jakarta dengan ‘Republik Anthurium’ (April). Kemudian ada pertunjukan musik ‘Vertigong Atawa Jazz Jawa’ persembahan Kuaetnika Yogyakarta (Mei). Sebenarnya aku sempat berencana nonton Tompi dkk dan sebuah grup jazz dari Belanda yang sempat main di Jogja, tapi batal saat itu. Terakhir kulihat akrobat tari kontemporer dari seniman Eropa bertajuk ‘Contigo’. Dua kali kuikuti Bincang-Bincang Sastra dan ada yang menarik juga dari acara pembacaan cerpen isti Wuryani (April). Semua acara tersebut berlangsung di Taman Budaya Yogyakarta (TBY), termasuk beberapa pameran seni rupa yang sempat kutengok. Selain itu ada beberapa pentas diadakan di Tamansiswa, seperti ‘Balada Pendidikan Nasional’ dan pembukaan sebuah sarasehan nasional (Mei) yang melibatkan kakakku Mbak Risa beserta tiga keponakanku (Iyaz, Puti, Rizky) sebagai pengisi acara. Aku sendiri hanya sempat mengiringi paduan suara anak-anak AFC (Art for Children) TBY di panggung gembira Sekaten (Maret). Tapi dalam beberapa bulan ke depan, bisa jadi aku bakal menjadi bagian dari pertunjukan seni yang lain. Yang jelas aku siap untuk turut berpartisipasi.

Buku-buku yang kubaca

Aku merasa beruntung akhirnya bisa membaca Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi, dua buku best seller dari tetralogi karya Andrea Hirata. Terima kasih buat sepupuku Elang yang telah meminjamkannya padaku. Semoga akan segera kubaca pula Edensor dan Maryamah Karpov (yang baru dirilis saat film Laskar Pelangi karya Riri Riza-Mira Lesmana diputar di bioskop). Banyak sekali hikmah dan pelajaran berharga bisa dipetik dari karya Andrea Hirata tersebut. Semoga Bang Ikal panjang umur dan terus berbagi kebaikan lewat karya-karya selanjutnya.

Aku juga berterima kasih pada Herlinatiens yang berbaik hati meminjamkan buku-bukunya. Kini aku jadi pernah membaca Sang Alkemis, Iblis dan Miss Prym (Paulo Coelho), Vita Brevis (Jostein Gaarder), dan Celana Pacarkeciku di Bawah Kibaran Sarung (Joko Pinurbo). Buku yang kubeli hanya Mutiara Penggugah Hati, Kurma : Kumpulan Cerpen Puasa-Lebaran Kompas, dan 20 Cerpen Indonesia Terbaik 2008 (Anugerah Sastra Pena Kencana). Insya Allah, semua buku yang kubaca pasti bermanfaat untuk hari-hariku ke depan, termasuk dalam aku berkarya. Amin.

Selasa, 24 Juni 2008

Melihat Akrobat dari Eropa di FKY 2008


Festival Kesenian Yogyakarta XX 2008 (FKY) telah berlangsung sejak 7 Juni 2008, tapi aku sekali saja belum menikmatinya. Padahal sudah banyak pertunjukan digelar, selain ada pasar raya yang berlangsung di Benteng Vredeburg dan Taman Budaya Yogyakarta (TBY). Sudah ada pentas beragam jenis musik maupun tari dan ada pemutaran sejumlah film dalam program Mari Menonton di Bioskop Pasar Raya FKY. Baru Jumat (20/6) pekan lalu kusempatkan melihat sebuah pertunjukan yang kurasa menarik untuk disimak. Berlokasi di amphiteater atau teater terbuka TBY, malam itu digelar sebuah pertunjukan akrobat tari kontemporer dari seniman Eropa, artis Portugal bernama João Paulo Pereira dos Santos (dan Rui Horta sebagai koreografer) dari Compagnie O Ultimo Momento.

Aku tertarik setelah membaca acara pentas hari itu ada pertunjukan tari dengan tiang dan sorenya kebetulan kulihat langsung persiapannya. Ada sebuah tiang putih tinggi menjulang dipasang di tengah panggung, sementara lantainya dipasangi terpal hitam putih. Kemudian ada suara musik kontemporer yang didominasi biola disetel keras-keras. Menjelang aku pulang sore itu, ada seorang lelaki bule -yang posturnya tak terlalu tinggi tapi atletis- memasang sebuah kamera di bagian teratas tempat duduk penonton. Dia kemudian kulihat berdiskusi dengan orang-orang Indonesia yang bertugas sebagai panitia. Begitu kulihat pertunjukan berlangsung, ternyata dialah sang artis yang tampil solo dengan akrobatnya. Jika sebelumnya aku tahu, bisa saja kutanyakan hal-hal yang akhirnya bisa memperkaya tulisan ini. Ketika aku datang malam menjelang pentas dimulai, penonton sudah terlihat begitu sarat di amphiteater TBY. Selain tempat duduknya sudah sesak, di antara tiang-tiang besi di kanan kiri panggung dan tempat duduk, sudah banyak pula orang di situ, yang tentu dengan antusias hendak menyaksikan pertunjukan.

Menjelang jam 8 malam pertunjukan berjudul ‘Contigo’ itu dimulai. João Paulo tampil dengan kostum serba hitam membalut tubuh atletisnya. Dengan tiang, kursi, bola kecil, dan tongkat, dia lantas membuat gerakan-gerakan akrobatis yang berbahaya, sekaligus indah dan asyik dilihat. Aksi-aksi João Paulo kerap membuat penonton menahan nafas, lalu bertepuk tangan dengan decak kekaguman. Aku sendiri kagum dengan keberaniannya, kelenturan, dan daya tahan tubuhnya yang luar biasa. Sama sekali tak terlihat kelelahannya sepanjang 45 menit pertunjukan. Ternyata sang artis bukan orang baru dalam dunia akrobatik internasional. Dia pernah menempuh pendidikan di sekolah sirkus Portugal dan Prancis. Di antara penonton malam itu cukup banyak terlihat orang-orang kulit putih di antara mayoritas warga negara Indonesia yang sedang berada di Yogyakarta. Setelah itu aku melihat ‘Jogja Art Fair #1’ yang memajang karya-karya seni rupa yang unik di ruang pameran TBY dan sejenak melintasi pasar raya di seputar Vredeburg.

Informasi lebih lanjut tentang FKY 2008 dapat disimak di www.festivalkesenianyogyakarta.com

Sumber Foto : http://joaquim.emf.org/vj.works_dance.htm

Senin, 09 Juni 2008

Reuni Akbar Taman Siswa di Yogyakarta - Juli 2008

Bapak-bapak/Ibu-ibu/Teman-teman Alumni Taman Siswa, pada tanggal 4 dan 5 Juli 2008 yang akan datang, akan diadakan REUNI AKBAR TAMAN SISWA Seluruh Indonesia di Pendapa Agung Taman Siswa Yogyakarta. Mohon aktif berpartisipasi demi suksesnya reuni tersebut. Gandeng para sahabat lama Anda. Ngumpulke balung pisah. Mohon berita ini disebarluaskan.

(Panitia : Ki Priyo Dwiarso – Majelis Luhur Taman Siswa)

Kamis, 29 Mei 2008

Bersua Teman Lama

(Cerpen 100 kata dalam 2 episode yang terinspirasi dari pengalaman seorang teman).

(1)

Handy penggemar durian dan ingin sekali memakannya malam itu. Sudah larut, dia tetap keluar mencarinya. Di tempat biasanya ada penjual durian, kebetulan ada yang bisa ditanyainya.

“Maaf, Mbak. Tahu nggak, jam segini masih ada yang jual durian sebelah mana?”

“Walah Mas, jam segini ya udah pada tutup to? Tadi di sebelah situ ya ada yang jual,” sahut orang itu kemayu. Ternyata dia seorang waria yang sedang menjajakan dirinya.

“Eh, sebentar. Sepertinya aku kok kenal kamu? Kamu Surono to?”

“Walah, aku udah kayak gini, kok kamu masih kenal aku, Han?”

Handy ternyata malah bersua teman lamanya yang telah menjelma menjadi Rina.

22 Mei 2008

(2)

Sejak masih berteman di SD dulu, Handy sudah melihat Surono memang rada mirip anak perempuan. Tapi tetap saja mengejutkan menemuinya sebagai waria.

“Han, Randu apa kabar? Masih ganteng kan?” tanya Surono alias Rina.

“Walah Ron, dari bocah kamu udah suka sama Randu? Dia udah punya dua anak sekarang. Ya, masih gantenglah.”

“Kalo aku ke rumahnya gimana ya? Aku kangen ketemu dia.”

“Heh, kamu mau ke rumah Randu dengan dandanan kayak gini?”

“Ya, nggaklah. Aku bakal pake baju cowok ke tempat Randu.”

“Btw, ada nggak teman SD kita yang pernah pake kamu?”

“Haha, ada tuh.”

“Oh ya? Siapa?”

“Rahasia aja deh…”

28 Mei 2008

Kamis, 22 Mei 2008

Acara 25 Mei 2008 : BBS di TBY dan Nonton Film Ki Hadjar di Tamansiswa Yogyakarta

Ada dua acara menarik pada hari Minggu malam, 25 Mei 2008, di Yogyakarta.

Setiap Minggu malam pekan ke-4 setiap bulannya, di ruang seminar Taman Budaya Yogyakarta (TBY) diadakan acara Bincang-bincang Sastra (BBS). Untuk bulan ini, BBS edisi ke-31 akan berlangsung pada tanggal 25 Mei 2008, mulai pukul 19.30, menghadirkan dua penyair dari Semarang, Beno Siang Pamungkas dan Timur Sinar Suprabana. Mereka akan menampilkan karya-karya mereka dalam acara peluncuran antologi dan diskusi bedah buku oleh Hamdy Salad, sastrawan yang juga seorang dosen. Acara ini diselenggarakan oleh Studio Pertunjukan Sastra (SPS), TBY, didukung oleh KR, FKIP UST Yogyakarta, serta penerbit Navila dan Ombak. Hari Leo AER (ketua SPS) mengundang penyair, cerpenis, novelis, kritikus sastra Yogyakarta (dan sekitarnya) untuk tampil, hadir, dan menghidupkan forum bulanan ini.

Aku baru beberapa kali ikut menghadiri acara BBS, antara lain saat Maret dan April silam menghadirkan penulis perempuan Herlinatiens dan isti Wuryani. Sebelumnya aku pernah datang saat ada dramatic reading oleh Kak Wess Ibnoe Say dan peluncuran antologi puisi humor Mustofa W.Hasyim tahun lalu. Selalu ada pelajaran baru yang kubawa pulang setelah mengikuti acara seperti itu. Jadi, silakan para penggemar sastra datang ke acara BBS selanjutnya jika ingin berpartisipasi dan berapresiasi.

Satu acara lagi adalah Nonton Bareng Film Ki Hadjar di lingkungan pendapa Tamansiswa, Yogyakarta. Acara yang rencananya dimulai pukul 19.00 ini diselenggarakan oleh Komunitas Pinggir Pendapa, sebuah komunitas yang dimunculkan untuk merintis penggalangan alumni dan juga pencinta Tamansiswa, yang dalam kegiatannya mengarah ke berbagai kegiatan pelestarian nilai-nilai luhur dan ajaran Ki Hadjar Dewantara. Acara ini gratis dan terbuka untuk alumni, orang tua/wali, dan semua orang yang ingin memahami ajaran-ajaran Bapak Pendidikan Nasional kita. Sedikit informasi saja, pendapa Tamansiswa di masa silam ternyata pernah juga menjadi tempat proses berkreatif beberapa seniman kondang negeri ini, seperti : Emha Ainun Nadjib, Ebiet G.Ade, dan Djaduk Ferianto. Semoga Minggu malam nanti tidak hujan, karena Selasa malam (21/5) hujan mulai turun lagi di Jogja. Terima kasih atas perhatiannya.

Minggu, 18 Mei 2008

Nonton "Vertigong - Orang Jawa Main Jazz"


Sejak membaca beritanya di KR, mendengarkan iklannya di radio, dan ditambah lagi membaca ulasannya di Kompas, jadi kian berminatlah aku menyaksikan pergelaran musik Kuaetnika berjudul “Vertigong - Orang Jawa Main Jazz” di Gedung Sositet TBY. Akhirnya Rabu malam (14/5) jadilah aku mendatangi tempat pertunjukan, sekitar setengah jam sebelum show time. Cukup mengejutkan, setibaku di sana ternyata kutemui antrian panjang para penonton yang akan membeli tiket. Langsung saja aku ikut antri, tapi baru sekian menit antrian bubar. Rupanya panitia kehabisan tiket. Sayangnya tidak ada informasi dari panitia, sehingga sejumlah penonton akhirnya termakan rayuan calo, termasuk aku yang membeli tiket dengan harga yang lebih mahal tentunya. Padahal, tak lama kemudian panitia ternyata masih menjual tiket lagi di di meja yang berbeda. Yah sudahlah, semoga di kesempatan berikutnya panitia bisa lebih baik melayani penonton. Yang terang sejak sebelum pertunjukan, sudah terlihat besarnya animo penonton Jogja terhadap grup musik yang dikomandani oleh Djaduk Ferianto itu. Selanjutnya aku duduk lesehan beberapa meter di depan panggung, karena tidak kebagian jatah tiket berkursi. Ada beberapa orang di sekitarku, termasuk para fotografer. Yang unik, sebelumnya aku pernah lesehan di tempat itu saat nonton konser “World Music” yang menampilkan Nera(Gilang Ramadhan dkk), simakDialog(Tohpati dkk), dan Kuaetnika juga pada tahun 2006 silam. Perbedaannya, sekarang karpetnya masih bagus (karena baru diganti tahun lalu), sementara dulu tipis banget, rasanya seperti tak duduk di atas karpet saja.

Pertunjukan Vertigong dimulai 15 menit setelah jam 8 malam. Oh ya, semua nomor yang dimainkan malam itu adalah karya Purwanto, salah satu pendiri Kuaetnika yang malam itu banyak memainkan bonang. Lagu pertama dibawakan oleh empat pemain band dan tiga pemain gamelan, yang lalu bermain sendiri di lagu selanjutnya. Ternyata gamelan Jawa bisa dimainkan dengan cita rasa jazz, yang dinikmatinya bisa dengan santai. Ada saatnya enam orang pemain hanya memainkan sebuah gambang. Menurut Purwanto, gambang adalah salah satu elemen gamelan yang tidak penting, tapi harus selalu ada. Nah, di tangan enam orang pemain itu ternyata gambang bisa tampil mandiri dan seolah bicara sendiri, jadi bisa penting juga dia. Asyik sekali melihat kekompakan mereka mengeksplorasi sebuah alat musik saja. Demikian pula ketika seluruh pemain yang berjumlah sembilan orang ber-accapella yang kocak habis, tapi tetap ada unsur keindahannya. Jelas terlihat bahwa seluruh pemain memiliki kualitas bermusik yang apik sekaligus humoris. Kru panggung yang sesekali nongol pun selalu bikin ketawa. Djaduk Ferianto, sebagai bintang tamu menambah segar suasana ketika mengeluarkan saksofon. Katanya tidak afdol main jazz, kok tidak ada alat musik yang satu itu. Ternyata di ujung saksofon dia mengeluarkan serompet, alat musik tiup tradisional yang bentuknya mungil dan suaranya melengking. Seraya memainkan serompet itu, Djaduk berimprovisasi dengan suaranya yang khas. Trie Utami kemudian menimpalinya, hingga mereka berdua beradu improvisasi (vokal dan dialog lucu) dengan sangat mengagumkan.

Menurut Mbak I’ie, salah satu ciri khas musik jazz adalah improvisasi. Indonesia pantas dijuluki sebagai negara jazz, karena para pemimpinnya suka sekali berimprovisasi. Jika improvisasi Trie Utami bersama Kuaetnika mampu menghibur dan menyegarkan penonton, improvisasi pemimpin kita sepertinya cenderung hanya menyedihkan dan menyengsarakan rakyat. Kembali ke Vertigong, Mbak I’ie tampil lagi bersama band, lalu bervokal diiringi tepuk tangan dan suara para personel yang meninggalkan alat musiknya lagi. Di nomor ini para penyanyi diajak bertepuk tangan untuk mengiringi lagu yang dibawakan Trie Utami dan Kuaetnika. Christopher Abimanyu, penyanyi seriosa terkenal Indonesia juga sempat membawakan sebuah tembang Jawa dengan gaya seriosanya, diiringi gamelan yang tetap ada nuansa jazz-nya. Vertigong merupakan judul lagu terakhir malam itu. Intinya, malam itu pertunjukan musiknya sangat menarik dan seru. Penontonnya pun beragam. Ada anak mudanya, ada orang tuanya, ada yang hadir sekeluarga (bahkan membawa anaknya yang masih bayi), dan ada pula beberapa orang asing yang kulihat sangat menikmati pertunjukan. Semoga bakal ada pertunjukan seni berikutnya yang menarik lagi di Jogja. Salam dan bahagia.

Sumber foto : www.kapanlagi.com

Rabu, 14 Mei 2008

Sejumlah Pertunjukan Menarik



Selama kurun waktu dua minggu, pada bulan April hingga awal Mei 2008 lalu, sempat kusaksikan sejumlah pertunjukan seni yang menarik dan layak menjadi catatan tersendiri. Pentas Teater Tetas bertajuk ‘Republik Anthurium’ karya/sutradara Ags.Arya Dipayana di Gedung Sositet TBY merupakan pertunjukan pertama yang kulihat. Selama dua hari berturut-turut (22-23/4) kelompok teater dari Jakarta itu pentas di Jogja, setelah sebelumnya di Solo pun demikian. Dan selama dua hari itu pula, dengan setia aku selalu hadir. Selain sebagai penghormatanku pada sang sutradara, aku ingin menjalani pengalaman baru sebagai seorang penonton. Untuk itu, di hari pertama aku melihat pertunjukan dari salah satu sisi panggung. Jadi dapat kulihat kondisi para pemain sebelum tampil serta begitu hangatnya kebersamaan segenap pendukung pentas, termasuk kru panggung dan pemusik. Selama pentas jadi lebih kuhargai kerja keras para pemain, bagaimana ngos-ngosannya mereka setelah mengeluarkan banyak energi di atas panggung, kemudian mereka sejenak dapat mengatur nafas dengan tetap berkonsentrasi pada jalannya lakon, dan kembali tampil dengan energi yang tetap terjaga. Tidak sekadar mesti menghafalkan naskah, mereka juga harus memiliki kebugaran fisik yang luar biasa karena banyak koreografi yang mesti mereka tampilkan pula. Sang sutradara-yang sempat tampil hanya berolah gerak/tanpa dialog- kulihat dengan seksama terus-menerus mengikuti anak-anak asuhannya beraksi di sisi panggung yang lain. Perlu berbulan-bulan untuk mempersiapkan pementasan tersebut. Salut untuk kerja keras segenap awak Teater Tetas. Pada hari kedua kusaksikan pertunjukan dari balkon selatan bersama beberapa orang dan penonton lain yang mungkin mengisi 90% kursi yang tersedia di gedung tersebut. Kutemui hal-hal yang berbeda ketika kulihat pertunjukan seperti layaknya penonton biasa dari depan. Ada koreografi menawan yang lebih utuh kunikmati, juga penataan artistik dan cahaya yang minimalis, tapi enak diilihat. Yang jelas ada hikmah yang bisa dipetik dari pentas teater itu.
Minggu malam(27/4) kuikuti acara Bincang-Bincang Sastra di ruang seminar TBY yang menghadirkan pembacaan cerpen dan diskusi karya penulis Isti Wuryani. Yang menarik adalah saat acara pembacaan cerpen. Setelah penulisnya membaca cerpen pertama dengan cara konvensional, pada cerpen kedua seorang perupa bernama Bung Cokro tampil berbeda. Ia menafsirkan cerpen dengan membuat sebuah lukisan, dengan didampingi seorang model perempuan ayu bersahaja (yang katanya diambil spontan dari penonton) dan diiringi petikan gitar akustik. Seorang aktor (Dinar Setyawan) kemudian bermonolog menampilkan cerpen ketiga ‘Perempuan Bertato Naga’ dengan atraktif, interaktif, dan sangat menghibur. Salut untuk Isti Wuryani dan segenap pendukung acara malam itu. Selanjutnya Joni Ariadinata, sastrawan yang juga menjadi redaktur majalah sastra Horison mengulas karya-karya Isti diikuti acara dialog interaktif yang menambah wawasan berpikirku. Pernah menjadi niatku untuk menyapa Bung Joni jika bisa bertemu dengannya. Apalagi sesudah tempo hari cerpenku pernah dimuat di Horison. Maka seusai acara kusalami dia sembari memperkenalkan diri. Ternyata Bung Joni cukup mengingat sosokku yang fotonya terpasang di majalah yang ada cerpenku itu.
“Lho, kok kamu kelihatan beda ya? Aku pikir kamu itu orang PKS,” kata Bung Joni. Aku tersenyum dengan menjawab bahwa aku bukan seperti yang dipikirnya. Memang di foto aku tampil dengan potongan rambut cepak, jenggot tipis, dan kemeja yang dikancingkan sampai atas, ya pantas saja dikira aktivis partai Islam itu. Sementara malam itu rambutku rada berantakan, tanpa jenggot, serta berjaket hitam dan kaos saja.
“Ternyata orang PKS bisa bikin cerpen bagus juga ya?” canda Bung Joni sebelum kami berpisah. Yah, begitulah jika sudah menjadi penulis kawakan, dengan melihat foto saja sudah mengimajinasikan sebuah cerita sendiri. Sayangnya aku lupa minta nomor ponselnya karena bisa jadi ada seribu pertanyaan ingin kuajukan padanya.
Pertunjukan seni berikutnya adalah Pertunjukan Paduan Suara ‘Balada Pendidikan Nasional’ karya Ki Priyo Dwiarso di Balai Persatuan Tamansiswa Yogyakarta pada hari Sabtu, 3 Mei 2008. Acara tersebut dalam rangka memeringati Hari Pendidikan Nasional dan mengenang Ki Hajar Dewantara, tokoh pendidikan nasional, pendiri Tamansiswa, yang ternyata juga seorang seniman sejati. Kebetulan ada sejumlah orang yang kukenal terlibat dalam acara tersebut, antara lain mbakku yang menjadi salah satu pengiring lagu dan beberapa teman mudaku yang tampil menyanyi solo. Tiga kelompok paduan suara tampil memukau, demikian pula beberapa solis muda maupun yang dewasa. Dua ibu jari layak diacungkan pada Cindy yang begitu percaya diri, suaranya jernih, nada tingginya sempurna, penjiwaannya bagus, dan tampil cantik dengan kebaya hijaunya. Tyas dan Khaleydia, dua penyanyi muda lainnya juga tampil bagus, tapi masih di bawah Cindy yang mampu menunjukkan kedewasaannya malam itu.
Sumber foto : http://matanesia.net (karya Budi'Bobo'Irawan)

Salam Pembuka


Tulisan ini sekadar sebuah salam pembuka atas terciptanya sebuah blog anyar. Semoga lain waktu ada hal-hal apik yang bisa disampaikan lewat wahana ini. Selamat berjumpa dengan saya.
Wassalam,

Luhur Satya Pambudi