Selasa, 31 Agustus 2021
Sabtu, 28 Agustus 2021
Jumat, 27 Agustus 2021
Selasa, 24 Agustus 2021
Keputusan Sordjo
Namanya Sordjo. Dahulu kala, kedua orangtuanya konon biasa berpacaran di bawah pohon melinjo. Maka demi mengenangnya, mereka menamai anak pertamanya dengan Sordjo, yang merupakan kepanjangan dari ngisor wit melindjo, yang artinya di bawah pohon melinjo (dengan ejaan lama) dalam bahasa Jawa. Sordjo merupakan pekerja keras yang militan selama bertahun-tahun, hingga layaklah jika akhirnya ia memiliki jabatan cukup penting di sebuah perusahaan ternama di ibu kota. Namun, lelaki asal desa tersebut rupanya belum juga puas dengan apa yang diraihnya selama ini. Sordjo masih memiliki cita-cita terpendam, yaitu menjadi orang yang berkuasa, dihormati, dan mendapat perhatian banyak orang. Lantaran hobinya bepergian ke mana-mana, maka ia ingin sekali mengunjungi berbagai sudut negerinya yang luas dan juga berkeliling dunia. Ia mau melakukannya tanpa perlu mengeluarkan banyak biaya, bahkan sebisa mungkin malah gratis sekalian.
Kendati jabatan di kantornya lumayan
tinggi, namun Sordjo sebenarnya sudah tidak betah dengan posisinya. Apabila
tidak menyayangkan sejumlah fasilitas yang diterimanya selama ini, sesungguhnya
ia merasa lebih baik hengkang dari tempat itu. Sampai suatu ketika Sordjo
berkenalan dengan Bizarro di sebuah acara. Tempat bekerja Sordjo menjadi salah
satu pihak yang berpartisipasi. Bizarro merupakan pemimpin perusahaan raksasa
yang kondang tidak hanya di negeri sendiri, tapi juga hingga mancanegara. Dari perbincangan yang terjadi, ternyata ada
sejumlah pemikiran yang tak jauh berbeda
di antara mereka.
“Menurut
pandangan saya, Anda cocok bekerja di tempat saya. Kita bisa bersama-sama
mewujudkan sejumlah gagasan besar,” ujar Bizarro.
”Tuan
Bizarro, sebuah kehormatan jika saya bisa bekerja sama dengan Anda,” sahut
Sordjo yang merasa tersanjung.
”Percayalah, tak akan sia-sia semua gagasan Anda di mata
saya. Anda bakal mendapat penghormatan
selayaknya. Tentu berbeda dengan tempat Anda bekerja sekarang, bukan?”
“Betul,
Tuan Bizarro. Di kantor sekarang, saya cenderung tidak disukai banyak orang. Atasan tidak lagi mendengarkan saran-saran saya, para
bawahan pun sepertinya basa-basi belaka menghormati saya. Sebenarnya saya sudah
tidak betah bekerja di situ.”
“Jadi,
selamat datang di tempat kerja yang baru, Saudara Sordjo.”
Sordjo
memutuskan bekerja di tempat Bizarro, biarpun untuk sementara ia masih tetap
memertahankan posisi di tempat kerjanya yang lama hingga nanti akhirnya
mengundurkan diri. Setidaknya ia sudah memperoleh penghasilan tambahan dari
sang pengusaha besar dan merasakan kegairahan baru yang menyenangkan hati.
***
“Anda mendapat tugas besar, Saudara Sordjo.” Bizarro memberi titah.
”Tugas
apakah itu?” Sordjo penasaran.
”Saya
tugaskan Anda untuk menggantikan saya maju dalam pemilihan ketua organisasi itu.
Anda tahu sendiri, saya dilarang mengikutinya dengan alasan yang tak jelas.”
”Jadi,
begitu yang Anda kehendaki? Tapi, apakah Tuan Bizarro mendukung saya
sepenuhnya?”
”Tentu
saja. Anda tidak perlu khawatir. Saya bersama anak buah selalu berada di belakang
Anda.”
Sordjo
bersedia menjawab kepercayaan dari Bizarro. Dengan rekayasa tingkat tinggi,
Sordjo dengan mulus menjadi ketua organisasi tanpa kendala berarti. Ada Sakuni
yang secara khusus ditunjuk Bizarro untuk memandu langkah yang harus ditempuh
Sordjo. Maka setiap kebijakan organisasi tak pernah lepas dari kemauan dan
kepentingan Bizarro. Tak peduli bahwa segala hal yang diputuskan akhirnya
merugikan kepentingan anggota organisasi sendiri, bahkan sampai mempermalukan
nama bangsa segala.
Sordjo sendiri telanjur mabuk kepayang. Tidak pernah
terbayangkan sepanjang hayatnya bahwa ia akhirnya mampu menjadi pemimpin sebuah
organisasi, yang memiliki banyak anggota yang tersebar di seluruh penjuru tanah
air. Ia bahkan mengantungi akses bepergian ke luar negeri dengan bebas biaya.
Sebuah kenikmatan luar biasa karena sesuai dengan hasratnya selama ini. Terang
saja Sordjo akan mati-matian memertahankan posisinya, kendati mereka yang
dipimpinnya mulai melakukan perlawanan.
Berulang kali dikecewakan dan tidak didengarkan suaranya,
sebagian besar anggota organisasi membuat kekacauan yang memusingkan kepala
Sordjo. Sebuah perubahan besar pun dilakukan. Sakuni, yang semula hanya berada
di belakang layar, ditugaskan Bizarro tampil di garda terdepan organisasi agar
tetap kuat bertahan dari serangan kaum pemberontak. Tidak hanya anggota organisasi yang melawan secara
frontal, publik pun menentang keras kepemimpinannya dan semakin masif meminta
Sordjo turun dari jabatannya.
***
Lambat laun Sordjo merasa jenuh dan kian lelah, baik jiwa
maupun raganya. Ia sadar umurnya terus bertambah dan kesempatan hidupnya
barangkali sudah tinggal sedikit lagi. Lelaki tua itu tentu tak mau tatkala
padam nyawanya nanti, orang-orang justru mengenang hal-hal buruk yang pernah
dilakukannya pada pengujung masanya di atas buana. Sordjo memutuskan berbalik arah demi menyelamatkan masa
depannya sendiri yang tentunya tak sebatas urusan dunia lagi.
“Maaf, Tuan Bizarro. Saya memilih tidak lagi menuruti apa
pun kehendak Anda. Ternyata ada hal yang lebih penting yang mesti saya lakukan
ketimbang terus-menerus menuruti kemauan dan membela kepentingan Anda,” ujar
Sordjo tegas di hadapan orang yang pernah berjasa mengangkat derajatnya.
“Terus
terang saya kecewa, Saudara Sordjo,” sahut Bizarro yang berada di ruang
kerjanya ditemani Sakuni.
“Kekecewaan
Tuan Bizarro tidak seberapa ketimbang kekecewaan publik terhadap kepemimpinan
saya. Dan saya ingin membenahi kerusakan yang pernah saya perbuat selama ini,
senyampang saya belum mati. Puji syukur pada Tuhan yang masih memberi waktu
saya agar kembali ke jalan yang benar. Sisa hidup saya di dunia ini mungkin
sudah tak banyak lagi. Saya siap lengser dari jabatan saya sesuai kehendak
mereka, tentunya sesudah saya melakukan langkah-langkah perbaikan. Saya siap
bekerja keras untuk itu. Andaikata sudah usai, dengan senang hati saya akan
pulang ke desa sebagai warga biasa. Saya malah bisa menikmati lagi duduk berdua
bersama istri saya di bawah pohon melinjo, seperti orangtua saya dahulu.
Ternyata menjadi orang berkuasa tidak selalu nikmat rasanya, Tuan Bizarro.
Itulah yang baru saya pahami.”
Begitu mengakhiri kalimat panjangnya, Sordjo pun langsung
berpamitan kepada mantan majikannya. Dengan senyum kelegaan tersirat di
wajahnya, ia meninggalkan ruang kerja Bizarro. Sordjo sungguh yakin
dengan keputusan penting yang diambilnya. Ada beban berat yang seakan telah
mampu ia lepaskan dari raganya. Sang pengusaha besar sendiri bergeming belaka
tanpa sepatah kata. Demikian pula dengan Sakuni yang hanya bisa tertunduk lesu.
Mesti ada rencana baru yang mereka pikirkan setelah Sordjo tak sudi lagi
menjadi alat kepentingan mereka. Tentu saja mereka juga akan memberi pelajaran
khusus kepada Sordjo yang telah memilih langkah sendiri.
# Cerpen ini dimuat di Radar Banyumas edisi Minggu, 22 Agusutus 2021.
Senin, 23 Agustus 2021
Minggu, 22 Agustus 2021
Sabtu, 21 Agustus 2021
Selamat Jalan Pak Budi Darma
”Jadilah orang kreatif, bukan orang yang reaktif.”
(pesan Budi Darma kepada Hananto Widodo, putra bungsunya)
Selamat jalan untuk Pak Budi Darma (25 April 1937-21 Agustus 2021).
Jumat, 20 Agustus 2021
Gadis yang Suka Meminjamkan Buku di kompas.id
Kamis, 19 Agustus 2021
Buku Merah Putih 2021
(Kolom Udar Rasa Jean Couteau INDONESIAKU Suara dari Tepi Ayung)
"Saya menghormati Mas Yok dan saudara-saudaranya serta Pak Koeswoyo Senior sebagaimana saya menghormati Sutan Sjahrir, Chairil Anwar, HOS Tjokroaminoto, serta orang-orang yang telah berbuat kebaikan bagi bangsa dan negara Indonesia," kata Cak Nun yang mengakui bahwa karya-karya Koes Plus banyak memberi inspirasi kepadanya.
(Kisah dari Hati KOES PLUS Tonggak Industri Musik Indonesia oleh Ais Suhana)
Rabu, 18 Agustus 2021
Selasa, 17 Agustus 2021
76 Tahun Republik Indonesia
Jumat, 13 Agustus 2021
Kamis, 12 Agustus 2021
Rabu, 11 Agustus 2021
Senin, 09 Agustus 2021
Dua Proposal
Kekayaan
bisa dari setan
Keselamatan
cuma berasal dari Tuhan
(puisi karya Remy Sylado dalam buku Kerygma dan Martyria)
Minggu, 08 Agustus 2021
Riwayatku Bersama Senja
Seorang lelaki biasanya menjadi kakek sesudah cukup berumur lantaran sang anak telah memberikan cucu baginya. Bisa pula seorang lelaki yang tidak mempunyai cucu -bahkan ia mungkin tak pernah menikah- dipanggil kakek semata-mata karena ia sudah lanjut usia. Yang jelas, kata kakek begitu identik dengan lelaki tua. Bagaimana dengan diriku? Tentu saja belum layaklah aku dibilang cukup berumur atau lanjut usia, bahkan baru tiga puluh usiaku tahun depan. Namun mesti kuterima sebuah kenyataan bahwa tak lama lagi aku akan mendapatkan status sebagai kakek lantaran anakku akan melahirkan anak pertamanya, tentu saja ia akan menjadi cucu pertamaku jua. Padahal teman-teman sebayaku yang telah memiliki anak, rata-rata anaknya masih berusia balita, sementara sebagian teman yang lain malah masih melajang. Jadi, apakah masuk akal seseorang seumurku mempunyai cucu? Baiklah, akan kujelaskan bagaimana mulanya hingga semuda ini aku segera menjadi seorang kakek.
***
Mungkin salah satu yang khas dari diri ini adalah mudah terpukau pada kecantikan perempuan. Maka tak usah heran jika semua gadis yang pernah menjadi kekasihku pasti berwajah rupawan. Begitu pula yang terjadi ketika aku pertama kali bertemu dengan perempuan yang akhirnya kuputuskan sebagai kekasih terakhirku. Mataku nyaris tak berkedip menatap parasnya, saking besar pesona keindahan yang ia pancarkan untukku. Ah, betapa bodohnya aku waktu itu karena seorang gadis yang masih menjadi pacarku tengah bersamaku. Bahkan aku bisa berada di tempat tersebut lantaran mengantarkan dirinya yang berkonsultasi masalah kecantikan. Kami bertengkar cukup hebat ketika kubawa ia pulang ke tempat kosnya. Aku akhirnya mengaku salah dan mohon maaf kepadanya karena telah memperlihatkan sikap mengagumi perempuan lain tepat di depan matanya. Tapi jujur saja, tak mampu lagi kupadamkan hasrat yang telanjur menyala untuk setidaknya mengenal nama sang empunya wajah cantik itu. Bahwa aku telah berkekasih kulupakan sejenak dan jika kami nanti mesti berperang kata lagi tak kupedulikan pula. Hubungan kami sepertinya memang sudah menjelang berakhir di ujung jalan.
Tersemat nama di dadanya, maka akan langsung kusapa saja dirinya. Kebetulan tidak ada konsumen yang sedang dilayaninya. Aku tengah berada di tempat itu lagi.
”Mbak Senja, boleh saya berkenalan dengan Anda?” ucapku sebagai basa-basi.
”Bukankah sudah tahu siapa nama saya? Sepertinya kita tak perlu berkenalan lagi. Oh ya, kok datang sendiri, tidak dengan pacarnya seperti kemarin?”
”Mbak Senja masih ingat saya ya? Sudahlah, tidak usah membicarakan pacar saya. Kami sebenarnya sedang tidak akur nih, Mbak.”
”Lho kok malah curhat ke saya?” komentarnya dengan mengernyitkan dahi.
Yang terjadi selanjutnya, aku justru benar-benar curhat tentang keretakan hubunganku dengan sang pacar. Ia menanggapiku sesekali dan selalu bisa kuterima pendapatnya. Rasa-rasanya aku jadi lebih menyukainya, tak hanya terpana akan kecantikannya. Pembicaraan kami berkali-kali terhenti ketika ada konsumen yang datang dan berlanjut kembali ketika sepi. Aku iseng mengajaknya singgah ke warung angkringan sebelum ia pulang. Sungguh sebuah kejutan bagiku, ternyata ia bersedia.
”Maaf, dari tadi kita ngobrol, aku belum tahu namamu lho,” ujar Senja.
”Jangan terkejut kalau kusebutkan namaku nanti ya. Sepertinya kita memang ditakdirkan untuk bertemu,” sahutku tersenyum.
”Memangnya siapa namamu?”
”Namaku Utama, Mbak Senja.”
”Hah? Nama kita berdua kok seperti nama kereta ya? Saya Senja dan kau Utama, jadi Senja Utama?” Tawa kami berdua berderai kala duduk bersisian petang itu.
***
Sejak sore tersebut hubunganku dengan Senja kian hangat. Aku langsung setuju ketika pacarku meminta hubungan kami diakhiri. Justru itulah hal yang kunanti-nanti, sementara aku sudah kian menyukai Senja. Kendati demikian aku dan Senja masih berteman belaka.
”Utama, boleh kan gantian aku yang bicara jujur kepadamu?” tanya Senja.
”Kita kan sudah berteman baik. Bicaralah apa saja yang kau inginkan, Senja.”
”Yang sudah pasti kau tahu, aku memang sedang sendiri kini.”
Senja menghentikan ucapannya lantas menundukkan wajahnya. Tak bisa kuduga apa yang sebenarnya akan ia bicarakan selanjutnya.
”Ya Senja, lalu apa?” tanyaku penasaran.
”Sebenarnya aku pernah menikah dan punya dua anak,” lanjut Senja sendu.
”Oh, hanya itu yang ingin kau katakan? Oke, aku bisa menerimanya,” kataku berlagak tenang. Sesungguhnya hal itu di luar dugaanku, namun aku terbiasa tidak berlebihan dalam bereaksi, maka seolah-olah aku tak terkejut mendengarnya.
”Sepertinya kau tak kaget sama sekali. Apa kau sudah tahu sebelumnya?”
”Aku baru tahu, tapi mungkin aku seorang lelaki yang tenang hati, jadi biasa saja responsku. Lagi pula aku ingin dapat menerimamu apa adanya, dengan segala kelebihan maupun kekuranganmu.”
”Terima kasih Utama, kau teman yang sangat baik bagiku.”
”Oke, tapi mungkinkah kita bisa lebih dari berteman biasa? Sudikah dirimu menjadi temanku yang teristimewa?”
Senja tersenyum semata memandangiku. Matanya tampak berbinar, parasnya pun lebih cerah bersinar. Ia kemudian menganggukkan kepalanya. Itulah jawaban Senja atas tanyaku. Ia bersedia menjadi kekasihku. Wow, hidupku pun terasa lebih cerah warnanya sedari waktu itu. Seiring keakraban kami yang semakin lekat, aku pun mengerti bahwa Senja ternyata lebih tua dua belas tahun ketimbang aku.
”Usiaku kini 36 tahun,” sahut Senja ketika kutanya soal umurnya.
”Hah? Apa kau tak berdusta padaku? Aku mengira kau memang lebih tua ketimbang aku, tapi tak kusangka usiamu sudah sedewasa itu,” kataku tanpa bisa menyembunyikan kekagetanku. Rona wajah Senja berubah menjadi tampak resah.
”Lantas bagaimana, apa kau jadi batal mencintaiku?”
”Tidak, sayang. Aku hanya mau bilang kalau wajahmu itu seperti sepuluh tahun lebih muda daripada usiamu sebenarnya,” pujiku spontan. Senja pun tersenyum lebar, kulit wajahnya yang terang tampak memerah.
”Ah, bisa saja kau memujiku. Tidak malu punya kekasih yang jauh lebih tua?”
”Apakah Senja juga keberatan punya kekasih yang jauh lebih muda? Ya sudah, tiada yang salah kok dengan cinta kita.” Senyum kami berdua mengembang bersama.
***
Sudah tiada lagi rahasia antara aku dan Senja. Telah kutemui pula kedua anak Senja yang tinggal bersama ayahnya sejak orang tuanya berpisah. Sesekali mereka memang diperkenankan berjumpa dengan ibunya. Virgie, anak pertama Senja telah berusia enam belas, hanya delapan tahun di bawahku. Senja masih berusia dua puluh saat melahirkan Virgie, sekian bulan sehabis pernikahannya yang terpaksa dilakukan karena ia telah berbadan dua. Wajah gadis itu sama sekali tak ada miripnya dengan Senja, tapi bisa saja ia seperti ayahnya. Sementara itu anak kedua Senja adalah Taura, bocah lelaki berusia sepuluh tahun. Mereka berdua anak-anak yang menyenangkan, tak perlu waktu lama bagiku untuk bisa akrab dengan kedua permata hati kekasihku.
Niatku untuk menikahi Senja pun semakin mantap. Orang tua kekasihku -yang tinggal ibunya- mendukung penuh pilihan putrinya tercinta. Sementara kedua orang tuaku yang senantiasa demokratis semenjak aku bocah tetap konsisten menghargai apa pun pilihanku. Padahal mungkin jarang sekali ada orang tua yang sudi menerima anak lelakinya yang masih perjaka bakal menikahi janda beranak dua yang usianya sekian tahun lebih tua. Senja pernah mengalaminya. Sesudah bercerai dan sebelum berjumpa denganku, Senja sempat memiliki seorang kekasih yang menurutnya baik hati. Orang tua lelaki tersebut menolak niat anaknya menikahi Senja karena statusnya sebagai janda, hingga mereka pun sepakat berpisah.
Syukurlah, Papa dan Mama tak memasalahkan hal itu. Barangkali mereka berdua memang tipe orang tua yang langka. Seingatku, nyaris tak pernah ada hal yang mereka paksakan kepadaku maupun kedua adikku. Mereka pun jarang sekali memarahi kami, justru kami yang sering tak enak hati saat sadar baru berbuat salah. Sungguh beruntung diri ini memiliki orang tua seperti mereka.
“Dalam hidup itu selalu ada pilihannya, dan dalam setiap pilihan pun selalu ada konsekuensinya. Kau mesti siap dengan segala konsekuensi logis dari pilihanmu sendiri, Tama. Itu saja yang ingin Papa ingatkan kepadamu,” pesan Papa bijak.
“Kau sudah dewasa, Nak. Kau tahu siapa yang terbaik bagimu. Mama pasti akan tetap berdoa untuk segala niat baikmu,” kata Mama. Kuhargai sungguh ucapan mereka.
Maka terwujudlah hasratku menobatkan Senja sebagai kekasih terakhirku. Senja dan Utama menikah setahun setelah berpacaran. Sengaja kami memilih sore hari sebagai waktu pernikahan kami supaya lebih syahdu terasa. Kedua anak Senja, Virgie dan Taura tetap tinggal bersama ayah kandungnya, namun kadangkala mereka menginap di rumah kontrakan yang kutinggali bersama Senja. Hampir di setiap hari libur kami berkumpul, lantas pergi bersama ke tempat-tempat yang menggembirakan hati.
Tentu saja aku berhasrat memiliki anak keturunanku sendiri, tapi Senja tak kunjung hamil tahun demi tahun sejak kami menikah. Mesti kuterima hal itu dengan ikhlas hati dan lapang dada. Setidaknya kedua anak kandung istriku adalah anak tiriku, coba kusayangi saja mereka selalu setulus mungkin. Menjelang empat tahun usia pernikahan kami, Virgie dilamar pacarnya sejak SMA. Senja tak punya pilihan lain untuk menyetujui rencana pernikahan anaknya lantaran sejarah memang selalu berulang. Virgie telah hamil tiga bulan saat menikah, hampir sama dengan waktu ibunya dinikahi oleh ayahnya di masa silam. Telah kuanggap Virgie sebagai darah dagingku sendiri, maka ketika anaknya nanti hadir ke dunia, ia menjadi cucuku pula. Aku mesti siap menjadi seorang kakek di usiaku yang belum genap tiga puluh kini. Terserah orang mau bilang apa, mending tak kupedulikan saja. Inilah salah satu konsekuensi logis dari pilihanku sendiri.
Yogyakarta, 2010
* Cerpen ini pernah dimuat di sebuah koran (yang sudah tutup) pada Agustus 2011.
Jumat, 06 Agustus 2021
Kamis, 05 Agustus 2021
Rabu, 04 Agustus 2021
Sikap terhadap Kematian
Yang pasti, orang bisa rileks dan ringan hanya terhadap kematian orang lain, tidak dengan kematiannya sendiri.
(Emha Ainun Nadjib dalam Slilit Sang Kiai)
Selasa, 03 Agustus 2021
Bermula dari Kekosongan
Bermula dari kekosongan maka kembali ke kosonglah segala permulaan, menghilangkan segala yang disebut besar dan membesarkan semua yang dianggap kecil. Kosong adalah ada dan bukan tiada, sebagaimana diduga manusia.
(Yanusa Nugroho dalam novel Di Batas Angin)