Minggu, 08 Agustus 2021

Riwayatku Bersama Senja


Seorang lelaki biasanya menjadi kakek sesudah cukup berumur lantaran sang anak telah memberikan cucu baginya. Bisa pula seorang lelaki yang tidak mempunyai cucu -bahkan ia mungkin tak pernah menikah- dipanggil kakek semata-mata karena ia sudah lanjut usia. Yang jelas, kata kakek begitu identik dengan lelaki tua. Bagaimana dengan diriku? Tentu saja belum layaklah aku dibilang cukup berumur atau lanjut usia, bahkan baru tiga puluh usiaku tahun depan. Namun mesti kuterima sebuah kenyataan bahwa tak lama lagi aku akan mendapatkan status sebagai kakek lantaran anakku akan melahirkan anak pertamanya, tentu saja ia akan menjadi cucu pertamaku jua. Padahal teman-teman sebayaku yang telah memiliki anak, rata-rata anaknya masih berusia balita, sementara sebagian teman yang lain malah masih melajang. Jadi, apakah masuk akal seseorang seumurku mempunyai cucu? Baiklah, akan kujelaskan bagaimana mulanya hingga semuda ini aku segera menjadi seorang kakek.


***

Mungkin salah satu yang khas dari diri ini adalah mudah terpukau pada kecantikan perempuan. Maka tak usah heran jika semua gadis yang pernah menjadi kekasihku pasti berwajah rupawan. Begitu pula yang terjadi ketika aku pertama kali bertemu dengan perempuan yang akhirnya kuputuskan sebagai kekasih terakhirku. Mataku nyaris tak berkedip menatap parasnya, saking besar pesona keindahan yang ia pancarkan untukku. Ah, betapa bodohnya aku waktu itu karena seorang gadis yang masih menjadi pacarku tengah bersamaku. Bahkan aku bisa berada di tempat tersebut lantaran mengantarkan dirinya yang berkonsultasi masalah kecantikan. Kami bertengkar cukup hebat ketika kubawa ia pulang ke tempat kosnya. Aku akhirnya mengaku salah dan mohon maaf kepadanya karena telah memperlihatkan sikap mengagumi perempuan lain tepat di depan matanya. Tapi jujur saja, tak mampu lagi kupadamkan hasrat yang telanjur menyala untuk setidaknya mengenal nama sang empunya wajah cantik itu. Bahwa aku telah berkekasih kulupakan sejenak dan jika kami nanti mesti berperang kata lagi tak kupedulikan pula. Hubungan kami sepertinya memang sudah menjelang berakhir di ujung jalan.

Tersemat nama di dadanya, maka akan langsung kusapa saja dirinya. Kebetulan tidak ada konsumen yang sedang dilayaninya. Aku tengah berada di tempat itu lagi.

”Mbak Senja, boleh saya berkenalan dengan Anda?” ucapku sebagai basa-basi.

”Bukankah sudah tahu siapa nama saya? Sepertinya kita tak perlu berkenalan lagi. Oh ya, kok datang sendiri, tidak dengan pacarnya seperti kemarin?”

”Mbak Senja masih ingat saya ya? Sudahlah, tidak usah membicarakan pacar saya. Kami sebenarnya sedang tidak akur nih, Mbak.”

”Lho kok malah curhat ke saya?” komentarnya dengan mengernyitkan dahi.

Yang terjadi selanjutnya, aku justru benar-benar curhat tentang keretakan hubunganku dengan sang pacar. Ia menanggapiku sesekali dan selalu bisa kuterima pendapatnya. Rasa-rasanya aku jadi lebih menyukainya, tak hanya terpana akan kecantikannya. Pembicaraan kami berkali-kali terhenti ketika ada konsumen yang datang dan berlanjut kembali ketika sepi. Aku iseng mengajaknya singgah ke warung angkringan sebelum ia pulang. Sungguh sebuah kejutan bagiku, ternyata ia bersedia.

”Maaf, dari tadi kita ngobrol, aku belum tahu namamu lho,” ujar Senja.

”Jangan terkejut kalau kusebutkan namaku nanti ya. Sepertinya kita memang ditakdirkan untuk bertemu,” sahutku tersenyum.

”Memangnya siapa namamu?”

”Namaku Utama, Mbak Senja.”

”Hah? Nama kita berdua kok seperti nama kereta ya? Saya Senja dan kau Utama, jadi Senja Utama?” Tawa kami berdua berderai kala duduk bersisian petang itu.

***

Sejak sore tersebut hubunganku dengan Senja kian hangat. Aku langsung setuju ketika pacarku meminta hubungan kami diakhiri. Justru itulah hal yang kunanti-nanti, sementara aku sudah kian menyukai Senja. Kendati demikian aku dan Senja masih berteman belaka.

”Utama, boleh kan gantian aku yang bicara jujur kepadamu?” tanya Senja.

”Kita kan sudah berteman baik. Bicaralah apa saja yang kau inginkan, Senja.”

”Yang sudah pasti kau tahu, aku memang sedang sendiri kini.”

Senja menghentikan ucapannya lantas menundukkan wajahnya. Tak bisa kuduga apa yang sebenarnya akan ia bicarakan selanjutnya.

”Ya Senja, lalu apa?” tanyaku penasaran.

”Sebenarnya aku pernah menikah dan punya dua anak,” lanjut Senja sendu.

”Oh, hanya itu yang ingin kau katakan? Oke, aku bisa menerimanya,” kataku berlagak tenang. Sesungguhnya hal itu di luar dugaanku, namun aku terbiasa tidak berlebihan dalam bereaksi, maka seolah-olah aku tak terkejut mendengarnya.

”Sepertinya kau tak kaget sama sekali. Apa kau sudah tahu sebelumnya?”

”Aku baru tahu, tapi mungkin aku seorang lelaki yang tenang hati, jadi biasa saja responsku. Lagi pula aku ingin dapat menerimamu apa adanya, dengan segala kelebihan maupun kekuranganmu.”

”Terima kasih Utama, kau teman yang sangat baik bagiku.”

”Oke, tapi mungkinkah kita bisa lebih dari berteman biasa? Sudikah dirimu menjadi temanku yang teristimewa?”

Senja tersenyum semata memandangiku. Matanya tampak berbinar, parasnya pun lebih cerah bersinar. Ia kemudian menganggukkan kepalanya. Itulah jawaban Senja atas tanyaku. Ia bersedia menjadi kekasihku. Wow, hidupku pun terasa lebih cerah warnanya sedari waktu itu. Seiring keakraban kami yang semakin lekat, aku pun mengerti bahwa Senja ternyata lebih tua dua belas tahun ketimbang aku.

”Usiaku kini 36 tahun,” sahut Senja ketika kutanya soal umurnya.

”Hah? Apa kau tak berdusta padaku? Aku mengira kau memang lebih tua ketimbang aku, tapi tak kusangka usiamu sudah sedewasa itu,” kataku tanpa bisa menyembunyikan kekagetanku. Rona wajah Senja berubah menjadi tampak resah.

”Lantas bagaimana, apa kau jadi batal mencintaiku?”

”Tidak, sayang. Aku hanya mau bilang kalau wajahmu itu seperti sepuluh tahun lebih muda daripada usiamu sebenarnya,” pujiku spontan. Senja pun tersenyum lebar, kulit wajahnya yang terang tampak memerah.

”Ah, bisa saja kau memujiku. Tidak malu punya kekasih yang jauh lebih tua?”

”Apakah Senja juga keberatan punya kekasih yang jauh lebih muda? Ya sudah, tiada yang salah kok dengan cinta kita.” Senyum kami berdua mengembang bersama.

***

Sudah tiada lagi rahasia antara aku dan Senja. Telah kutemui pula kedua anak Senja yang tinggal bersama ayahnya sejak orang tuanya berpisah. Sesekali mereka memang diperkenankan berjumpa dengan ibunya. Virgie, anak pertama Senja telah berusia enam belas, hanya delapan tahun di bawahku. Senja masih berusia dua puluh saat melahirkan Virgie, sekian bulan sehabis pernikahannya yang terpaksa dilakukan karena ia telah berbadan dua. Wajah gadis itu sama sekali tak ada miripnya dengan Senja, tapi bisa saja ia seperti ayahnya. Sementara itu anak kedua Senja adalah Taura, bocah lelaki berusia sepuluh tahun. Mereka berdua anak-anak yang menyenangkan, tak perlu waktu lama bagiku untuk bisa akrab dengan kedua permata hati kekasihku.

Niatku untuk menikahi Senja pun semakin mantap. Orang tua kekasihku -yang tinggal ibunya- mendukung penuh pilihan putrinya tercinta. Sementara kedua orang tuaku yang senantiasa demokratis semenjak aku bocah tetap konsisten menghargai apa pun pilihanku. Padahal mungkin jarang sekali ada orang tua yang sudi menerima anak lelakinya yang masih perjaka bakal menikahi janda beranak dua yang usianya sekian tahun lebih tua. Senja pernah mengalaminya. Sesudah bercerai dan sebelum berjumpa denganku, Senja sempat memiliki seorang kekasih yang menurutnya baik hati. Orang tua lelaki tersebut menolak niat anaknya menikahi Senja karena statusnya sebagai janda, hingga mereka pun sepakat berpisah.

Syukurlah, Papa dan Mama tak memasalahkan hal itu. Barangkali mereka berdua memang tipe orang tua yang langka. Seingatku, nyaris tak pernah ada hal yang mereka paksakan kepadaku maupun kedua adikku. Mereka pun jarang sekali memarahi kami, justru kami yang sering tak enak hati saat sadar baru berbuat salah. Sungguh beruntung diri ini memiliki orang tua seperti mereka.

“Dalam hidup itu selalu ada pilihannya, dan dalam setiap pilihan pun selalu ada konsekuensinya. Kau mesti siap dengan segala konsekuensi logis dari pilihanmu sendiri, Tama. Itu saja yang ingin Papa ingatkan kepadamu,” pesan Papa bijak.

“Kau sudah dewasa, Nak. Kau tahu siapa yang terbaik bagimu. Mama pasti akan tetap berdoa untuk segala niat baikmu,” kata Mama. Kuhargai sungguh ucapan mereka.

Maka terwujudlah hasratku menobatkan Senja sebagai kekasih terakhirku. Senja dan Utama menikah setahun setelah berpacaran. Sengaja kami memilih sore hari sebagai waktu pernikahan kami supaya lebih syahdu terasa. Kedua anak Senja, Virgie dan Taura tetap tinggal bersama ayah kandungnya, namun kadangkala mereka menginap di rumah kontrakan yang kutinggali bersama Senja. Hampir di setiap hari libur kami berkumpul, lantas pergi bersama ke tempat-tempat yang menggembirakan hati.

Tentu saja aku berhasrat memiliki anak keturunanku sendiri, tapi Senja tak kunjung hamil tahun demi tahun sejak kami menikah. Mesti kuterima hal itu dengan ikhlas hati dan lapang dada. Setidaknya kedua anak kandung istriku adalah anak tiriku, coba kusayangi saja mereka selalu setulus mungkin. Menjelang empat tahun usia pernikahan kami, Virgie dilamar pacarnya sejak SMA. Senja tak punya pilihan lain untuk menyetujui rencana pernikahan anaknya lantaran sejarah memang selalu berulang. Virgie telah hamil tiga bulan saat menikah, hampir sama dengan waktu ibunya dinikahi oleh ayahnya di masa silam. Telah kuanggap Virgie sebagai darah dagingku sendiri, maka ketika anaknya nanti hadir ke dunia, ia menjadi cucuku pula. Aku mesti siap menjadi seorang kakek di usiaku yang belum genap tiga puluh kini. Terserah orang mau bilang apa, mending tak kupedulikan saja. Inilah salah satu konsekuensi logis dari pilihanku sendiri.

Yogyakarta, 2010


* Cerpen ini pernah dimuat di sebuah koran (yang sudah tutup) pada Agustus 2011.

Tidak ada komentar: