Namanya Sordjo. Dahulu kala, kedua orangtuanya konon biasa berpacaran di bawah pohon melinjo. Maka demi mengenangnya, mereka menamai anak pertamanya dengan Sordjo, yang merupakan kepanjangan dari ngisor wit melindjo, yang artinya di bawah pohon melinjo (dengan ejaan lama) dalam bahasa Jawa. Sordjo merupakan pekerja keras yang militan selama bertahun-tahun, hingga layaklah jika akhirnya ia memiliki jabatan cukup penting di sebuah perusahaan ternama di ibu kota. Namun, lelaki asal desa tersebut rupanya belum juga puas dengan apa yang diraihnya selama ini. Sordjo masih memiliki cita-cita terpendam, yaitu menjadi orang yang berkuasa, dihormati, dan mendapat perhatian banyak orang. Lantaran hobinya bepergian ke mana-mana, maka ia ingin sekali mengunjungi berbagai sudut negerinya yang luas dan juga berkeliling dunia. Ia mau melakukannya tanpa perlu mengeluarkan banyak biaya, bahkan sebisa mungkin malah gratis sekalian.
Kendati jabatan di kantornya lumayan
tinggi, namun Sordjo sebenarnya sudah tidak betah dengan posisinya. Apabila
tidak menyayangkan sejumlah fasilitas yang diterimanya selama ini, sesungguhnya
ia merasa lebih baik hengkang dari tempat itu. Sampai suatu ketika Sordjo
berkenalan dengan Bizarro di sebuah acara. Tempat bekerja Sordjo menjadi salah
satu pihak yang berpartisipasi. Bizarro merupakan pemimpin perusahaan raksasa
yang kondang tidak hanya di negeri sendiri, tapi juga hingga mancanegara. Dari perbincangan yang terjadi, ternyata ada
sejumlah pemikiran yang tak jauh berbeda
di antara mereka.
“Menurut
pandangan saya, Anda cocok bekerja di tempat saya. Kita bisa bersama-sama
mewujudkan sejumlah gagasan besar,” ujar Bizarro.
”Tuan
Bizarro, sebuah kehormatan jika saya bisa bekerja sama dengan Anda,” sahut
Sordjo yang merasa tersanjung.
”Percayalah, tak akan sia-sia semua gagasan Anda di mata
saya. Anda bakal mendapat penghormatan
selayaknya. Tentu berbeda dengan tempat Anda bekerja sekarang, bukan?”
“Betul,
Tuan Bizarro. Di kantor sekarang, saya cenderung tidak disukai banyak orang. Atasan tidak lagi mendengarkan saran-saran saya, para
bawahan pun sepertinya basa-basi belaka menghormati saya. Sebenarnya saya sudah
tidak betah bekerja di situ.”
“Jadi,
selamat datang di tempat kerja yang baru, Saudara Sordjo.”
Sordjo
memutuskan bekerja di tempat Bizarro, biarpun untuk sementara ia masih tetap
memertahankan posisi di tempat kerjanya yang lama hingga nanti akhirnya
mengundurkan diri. Setidaknya ia sudah memperoleh penghasilan tambahan dari
sang pengusaha besar dan merasakan kegairahan baru yang menyenangkan hati.
***
“Anda mendapat tugas besar, Saudara Sordjo.” Bizarro memberi titah.
”Tugas
apakah itu?” Sordjo penasaran.
”Saya
tugaskan Anda untuk menggantikan saya maju dalam pemilihan ketua organisasi itu.
Anda tahu sendiri, saya dilarang mengikutinya dengan alasan yang tak jelas.”
”Jadi,
begitu yang Anda kehendaki? Tapi, apakah Tuan Bizarro mendukung saya
sepenuhnya?”
”Tentu
saja. Anda tidak perlu khawatir. Saya bersama anak buah selalu berada di belakang
Anda.”
Sordjo
bersedia menjawab kepercayaan dari Bizarro. Dengan rekayasa tingkat tinggi,
Sordjo dengan mulus menjadi ketua organisasi tanpa kendala berarti. Ada Sakuni
yang secara khusus ditunjuk Bizarro untuk memandu langkah yang harus ditempuh
Sordjo. Maka setiap kebijakan organisasi tak pernah lepas dari kemauan dan
kepentingan Bizarro. Tak peduli bahwa segala hal yang diputuskan akhirnya
merugikan kepentingan anggota organisasi sendiri, bahkan sampai mempermalukan
nama bangsa segala.
Sordjo sendiri telanjur mabuk kepayang. Tidak pernah
terbayangkan sepanjang hayatnya bahwa ia akhirnya mampu menjadi pemimpin sebuah
organisasi, yang memiliki banyak anggota yang tersebar di seluruh penjuru tanah
air. Ia bahkan mengantungi akses bepergian ke luar negeri dengan bebas biaya.
Sebuah kenikmatan luar biasa karena sesuai dengan hasratnya selama ini. Terang
saja Sordjo akan mati-matian memertahankan posisinya, kendati mereka yang
dipimpinnya mulai melakukan perlawanan.
Berulang kali dikecewakan dan tidak didengarkan suaranya,
sebagian besar anggota organisasi membuat kekacauan yang memusingkan kepala
Sordjo. Sebuah perubahan besar pun dilakukan. Sakuni, yang semula hanya berada
di belakang layar, ditugaskan Bizarro tampil di garda terdepan organisasi agar
tetap kuat bertahan dari serangan kaum pemberontak. Tidak hanya anggota organisasi yang melawan secara
frontal, publik pun menentang keras kepemimpinannya dan semakin masif meminta
Sordjo turun dari jabatannya.
***
Lambat laun Sordjo merasa jenuh dan kian lelah, baik jiwa
maupun raganya. Ia sadar umurnya terus bertambah dan kesempatan hidupnya
barangkali sudah tinggal sedikit lagi. Lelaki tua itu tentu tak mau tatkala
padam nyawanya nanti, orang-orang justru mengenang hal-hal buruk yang pernah
dilakukannya pada pengujung masanya di atas buana. Sordjo memutuskan berbalik arah demi menyelamatkan masa
depannya sendiri yang tentunya tak sebatas urusan dunia lagi.
“Maaf, Tuan Bizarro. Saya memilih tidak lagi menuruti apa
pun kehendak Anda. Ternyata ada hal yang lebih penting yang mesti saya lakukan
ketimbang terus-menerus menuruti kemauan dan membela kepentingan Anda,” ujar
Sordjo tegas di hadapan orang yang pernah berjasa mengangkat derajatnya.
“Terus
terang saya kecewa, Saudara Sordjo,” sahut Bizarro yang berada di ruang
kerjanya ditemani Sakuni.
“Kekecewaan
Tuan Bizarro tidak seberapa ketimbang kekecewaan publik terhadap kepemimpinan
saya. Dan saya ingin membenahi kerusakan yang pernah saya perbuat selama ini,
senyampang saya belum mati. Puji syukur pada Tuhan yang masih memberi waktu
saya agar kembali ke jalan yang benar. Sisa hidup saya di dunia ini mungkin
sudah tak banyak lagi. Saya siap lengser dari jabatan saya sesuai kehendak
mereka, tentunya sesudah saya melakukan langkah-langkah perbaikan. Saya siap
bekerja keras untuk itu. Andaikata sudah usai, dengan senang hati saya akan
pulang ke desa sebagai warga biasa. Saya malah bisa menikmati lagi duduk berdua
bersama istri saya di bawah pohon melinjo, seperti orangtua saya dahulu.
Ternyata menjadi orang berkuasa tidak selalu nikmat rasanya, Tuan Bizarro.
Itulah yang baru saya pahami.”
Begitu mengakhiri kalimat panjangnya, Sordjo pun langsung
berpamitan kepada mantan majikannya. Dengan senyum kelegaan tersirat di
wajahnya, ia meninggalkan ruang kerja Bizarro. Sordjo sungguh yakin
dengan keputusan penting yang diambilnya. Ada beban berat yang seakan telah
mampu ia lepaskan dari raganya. Sang pengusaha besar sendiri bergeming belaka
tanpa sepatah kata. Demikian pula dengan Sakuni yang hanya bisa tertunduk lesu.
Mesti ada rencana baru yang mereka pikirkan setelah Sordjo tak sudi lagi
menjadi alat kepentingan mereka. Tentu saja mereka juga akan memberi pelajaran
khusus kepada Sordjo yang telah memilih langkah sendiri.
# Cerpen ini dimuat di Radar Banyumas edisi Minggu, 22 Agusutus 2021.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar