Selasa, 24 Agustus 2021

Keputusan Sordjo


Namanya Sordjo. Dahulu kala, kedua orangtuanya konon biasa berpacaran di bawah pohon melinjo. Maka demi mengenangnya, mereka menamai anak pertamanya dengan Sordjo, yang merupakan kepanjangan dari ngisor wit melindjo, yang artinya di bawah pohon melinjo (dengan ejaan lama) dalam bahasa Jawa. Sordjo merupakan pekerja keras yang militan selama bertahun-tahun, hingga layaklah jika akhirnya ia memiliki jabatan cukup penting di sebuah perusahaan ternama di ibu kota. Namun, lelaki asal desa tersebut rupanya belum juga puas dengan apa yang diraihnya selama ini. Sordjo masih memiliki cita-cita terpendam, yaitu menjadi orang yang berkuasa, dihormati, dan mendapat perhatian banyak orang. Lantaran hobinya bepergian ke mana-mana, maka ia ingin sekali mengunjungi berbagai sudut negerinya yang luas dan juga berkeliling dunia. Ia mau melakukannya tanpa perlu mengeluarkan banyak biaya, bahkan sebisa mungkin malah gratis sekalian.

          Kendati jabatan di kantornya lumayan tinggi, namun Sordjo sebenarnya sudah tidak betah dengan posisinya. Apabila tidak menyayangkan sejumlah fasilitas yang diterimanya selama ini, sesungguhnya ia merasa lebih baik hengkang dari tempat itu. Sampai suatu ketika Sordjo berkenalan dengan Bizarro di sebuah acara. Tempat bekerja Sordjo menjadi salah satu pihak yang berpartisipasi. Bizarro merupakan pemimpin perusahaan raksasa yang kondang tidak hanya di negeri sendiri, tapi juga hingga mancanegara. Dari perbincangan yang terjadi, ternyata ada sejumlah  pemikiran yang tak jauh berbeda di antara mereka.

          “Menurut pandangan saya, Anda cocok bekerja di tempat saya. Kita bisa bersama-sama mewujudkan sejumlah gagasan besar,” ujar Bizarro.

          ”Tuan Bizarro, sebuah kehormatan jika saya bisa bekerja sama dengan Anda,” sahut Sordjo yang merasa tersanjung.

        ”Percayalah, tak akan sia-sia semua gagasan Anda di mata saya. Anda bakal mendapat penghormatan selayaknya. Tentu berbeda dengan tempat Anda bekerja sekarang, bukan?”

         “Betul, Tuan Bizarro. Di kantor sekarang, saya cenderung tidak disukai banyak orang. Atasan tidak lagi mendengarkan saran-saran saya, para bawahan pun sepertinya basa-basi belaka menghormati saya. Sebenarnya saya sudah tidak betah bekerja di situ.”

          “Jadi, selamat datang di tempat kerja yang baru, Saudara Sordjo.”

          Sordjo memutuskan bekerja di tempat Bizarro, biarpun untuk sementara ia masih tetap memertahankan posisi di tempat kerjanya yang lama hingga nanti akhirnya mengundurkan diri. Setidaknya ia sudah memperoleh penghasilan tambahan dari sang pengusaha besar dan merasakan kegairahan baru yang menyenangkan hati.




***

          “Anda mendapat tugas besar, Saudara Sordjo.” Bizarro memberi titah.

          ”Tugas apakah itu?” Sordjo penasaran.

          ”Saya tugaskan Anda untuk menggantikan saya maju dalam pemilihan ketua organisasi itu. Anda tahu sendiri, saya dilarang mengikutinya dengan alasan yang tak jelas.”

     ”Jadi, begitu yang Anda kehendaki? Tapi, apakah Tuan Bizarro mendukung saya sepenuhnya?”

          ”Tentu saja. Anda tidak perlu khawatir. Saya bersama anak buah selalu berada di belakang Anda.”

         Sordjo bersedia menjawab kepercayaan dari Bizarro. Dengan rekayasa tingkat tinggi, Sordjo dengan mulus menjadi ketua organisasi tanpa kendala berarti. Ada Sakuni yang secara khusus ditunjuk Bizarro untuk memandu langkah yang harus ditempuh Sordjo. Maka setiap kebijakan organisasi tak pernah lepas dari kemauan dan kepentingan Bizarro. Tak peduli bahwa segala hal yang diputuskan akhirnya merugikan kepentingan anggota organisasi sendiri, bahkan sampai mempermalukan nama bangsa segala.

Sordjo sendiri telanjur mabuk kepayang. Tidak pernah terbayangkan sepanjang hayatnya bahwa ia akhirnya mampu menjadi pemimpin sebuah organisasi, yang memiliki banyak anggota yang tersebar di seluruh penjuru tanah air. Ia bahkan mengantungi akses bepergian ke luar negeri dengan bebas biaya. Sebuah kenikmatan luar biasa karena sesuai dengan hasratnya selama ini. Terang saja Sordjo akan mati-matian memertahankan posisinya, kendati mereka yang dipimpinnya mulai melakukan perlawanan.

Berulang kali dikecewakan dan tidak didengarkan suaranya, sebagian besar anggota organisasi membuat kekacauan yang memusingkan kepala Sordjo. Sebuah perubahan besar pun dilakukan. Sakuni, yang semula hanya berada di belakang layar, ditugaskan Bizarro tampil di garda terdepan organisasi agar tetap kuat bertahan dari serangan kaum pemberontak. Tidak hanya anggota organisasi yang melawan secara frontal, publik pun menentang keras kepemimpinannya dan semakin masif meminta Sordjo turun dari jabatannya.

 

***

         

Lambat laun Sordjo merasa jenuh dan kian lelah, baik jiwa maupun raganya. Ia sadar umurnya terus bertambah dan kesempatan hidupnya barangkali sudah tinggal sedikit lagi. Lelaki tua itu tentu tak mau tatkala padam nyawanya nanti, orang-orang justru mengenang hal-hal buruk yang pernah dilakukannya pada pengujung masanya di atas buana. Sordjo memutuskan berbalik arah demi menyelamatkan masa depannya sendiri yang tentunya tak sebatas urusan dunia lagi.

          “Maaf, Tuan Bizarro. Saya memilih tidak lagi menuruti apa pun kehendak Anda. Ternyata ada hal yang lebih penting yang mesti saya lakukan ketimbang terus-menerus menuruti kemauan dan membela kepentingan Anda,” ujar Sordjo tegas di hadapan orang yang pernah berjasa mengangkat derajatnya.

          “Terus terang saya kecewa, Saudara Sordjo,” sahut Bizarro yang berada di ruang kerjanya ditemani Sakuni.  

     “Kekecewaan Tuan Bizarro tidak seberapa ketimbang kekecewaan publik terhadap kepemimpinan saya. Dan saya ingin membenahi kerusakan yang pernah saya perbuat selama ini, senyampang saya belum mati. Puji syukur pada Tuhan yang masih memberi waktu saya agar kembali ke jalan yang benar. Sisa hidup saya di dunia ini mungkin sudah tak banyak lagi. Saya siap lengser dari jabatan saya sesuai kehendak mereka, tentunya sesudah saya melakukan langkah-langkah perbaikan. Saya siap bekerja keras untuk itu. Andaikata sudah usai, dengan senang hati saya akan pulang ke desa sebagai warga biasa. Saya malah bisa menikmati lagi duduk berdua bersama istri saya di bawah pohon melinjo, seperti orangtua saya dahulu. Ternyata menjadi orang berkuasa tidak selalu nikmat rasanya, Tuan Bizarro. Itulah yang baru saya pahami.”

          Begitu mengakhiri kalimat panjangnya, Sordjo pun langsung berpamitan kepada mantan majikannya. Dengan senyum kelegaan tersirat di wajahnya, ia meninggalkan ruang kerja Bizarro. Sordjo sungguh yakin dengan keputusan penting yang diambilnya. Ada beban berat yang seakan telah mampu ia lepaskan dari raganya. Sang pengusaha besar sendiri bergeming belaka tanpa sepatah kata. Demikian pula dengan Sakuni yang hanya bisa tertunduk lesu. Mesti ada rencana baru yang mereka pikirkan setelah Sordjo tak sudi lagi menjadi alat kepentingan mereka. Tentu saja mereka juga akan memberi pelajaran khusus kepada Sordjo yang telah memilih langkah sendiri. 

# Cerpen ini dimuat di Radar Banyumas edisi Minggu, 22 Agusutus 2021.

 

 

Tidak ada komentar: