“Saya tentu saja mau sembuh dan bisa sehat lagi, Bu. Tapi saya tetap pada prinsip saya bahwa menjalani cuci darah cukup sekali seumur hidup. Dan pada sisi yang lain, jika sewaktu-waktu Allah memanggil, saya yakin sudah siap,” ujar Mama di depan Nenek yang merasa trenyuh mendengarkan kata-kata putrinya.
“Ya, semoga Allah mengabulkan keinginanmu, Nak.
Ibu menghargai pilihanmu dan sebatas dapat mendoakan yang terbaik bagimu.”
Mama justru menerima tawaran adik iparnya dengan mencoba pengobatan alternatif. Lima hari menjelang lebaran, kami mencari tempatnya di sebuah desa, tak terlalu jauh dari kota kami. Setelah bertanya berkali-kali, akhirnya lokasi yang kami tuju barulah ketemu, sekitar dua jam kemudian. Selanjutnya, pada hari terakhir puasa kuantarkan Mama ke tempat itu kembali. Sepertinya beliau cukup percaya bahwa di situlah adanya sebersit asa demi kesembuhan penyakitnya.
***
Ketika Idul Fitri tiba, cerialah hati kami semua.
Ada Nenek dan Mama beserta segenap anak cucunya berkumpul di rumah Kak Okta.
Padahal sudah lama kami tidak berlebaran bersama Nenek di kotanya, tapi kali
ini terasa istimewa karena justru beliau yang hadir kemari. Semoga masih bakal
hadir kembali indahnya kebersamaan serupa itu pada tahun mendatang. Begitulah
asaku dalam kalbu. Kendati masih dibayangi keprihatinan lantaran Mama belum
sembuh benar, syukurlah bahwa kami masih bisa bercengkrama dan bersukacita di
hari lebaran. Seminggu sehabis Idul Fitri, Mama yang sempat tinggal di rumah
Kak Okta sepulangnya dari rumah sakit, akhirnya kembali ke rumahnya sendiri
untuk tinggal bersamaku dan Kak April belaka. Nenek sudah lebih dahulu pulang
ke kotanya, tiga hari sebelumnya.
Selama sekian pekan berselang, laksana ada harapan Mama bakal sembuh seperti sediakala, sesudah seminggu sekali menjalani pengobatan alternatif di desa. Aku tahu, beliau sungguh berat menjalaninya. Mama diharuskan diet sangat ketat dan minum jamu super pahit dari sang tabib. Tapi lambat laun, kondisi kesehatan Mama nyatanya kembali melemah. Bahkan untuk dibawa kembali ke rumah sang tabib sekalipun, beliau sudah tak lagi sanggup. Mama pun tergolek tanpa daya di tempat tidurnya semata. Sesekali saja matanya terbuka, sempat terucap sepatah dua patah kata, lalu mata itu terpejam lagi.
Berdua belaka diriku dan Kak April yang tengah menunggui Mama di dalam kamar malam itu. Sejak pagi hingga petang, kakak-kakakku telah datang dan pulang bergiliran. Mama sempat terjaga, lalu bicara dengan suara keras yang tak kami pahami kata-katanya, tatkala hari masih pagi. Sehabis itu, beliau kembali terlelap dan tak kunjung lagi membuka matanya. Kendati masih kuharap benar Mama akan pulih kembali, tapi melihat kondisi terakhirnya, aku mesti berani berpikir alternatif. Aku pun mengajak bicara kakakku.
“Seandainya Mama akhirnya dipanggil Allah, bagaimana sikap Kak April?”
“Jika memang itu yang terbaik untuk Mama, aku
bakal ikhlas menerimanya. Kasihan, jika kondisi Mama terus begini.”
Takjub diriku mendengar jawaban Kak April. Kakakku yang satu ini hampir saban hari menangis terharu ketika menonton sinetron kesayangannya. Menghadapi kenyataan serupa itu, ternyata dia justru memperlihatkan ketegaran jiwanya yang luar biasa. Baru usai kami bicara, Mama membuka matanya dan mengisyaratkan ingin tahu apa yang kami perbincangkan.
“Mama masih punya semangat hidup, kan?” tanyaku serta merta tanpa rencana.
“Masih, dong,” sahut Mama cukup jelas, tapi lantas
tertutup lagi matanya.
Entah apakah Mama sempat mendengar pembicaraan
kami sebelumnya atau tidak. Tak lama berselang, Kak Okta datang dan bersedia
tidur di rumah kami.
Akhirnya kami memutuskan membawa Mama kembali ke
rumah sakit, setelah semalaman hingga pagi hari berikutnya beliau tak lagi
membuka matanya. Kata dokter, jantungnya sudah terdeteksi sangat lemah. Dan
seolah tiada lain pilihan, dokter memutuskan bahwa Mama wajib kembali menjalani
cuci darah. Kami hanya pasrah serta terserah apa maunya dokter saja, tentu demi
pulihnya kondisi kesehatan satu-satunya orangtua kami yang tersisa. Malam
harinya aku bertugas menjaga Mama di rumah sakit sampai menjelang siang hari
selanjutnya. Ketika aku bermaksud kembali ke rumah, Mama sempat membuka matanya
sekejap belaka.
“Ma, saya pulang dulu, ya. Nanti sore saya kemari
lagi,” ujarku.
Mama tersenyum tipis menanggapi pamitku. Tanpa suara, beliau mengatakan terima kasih. Begitu kuucapkan salam, Mama membalasnya dengan tidak bersuara pula. Ternyata itulah saat terakhir kutemui ibuku dalam kondisi sadar. Mama tak pernah kembali terjaga dari tidurnya. Proses cuci darah yang direncanakan dokter sebenarnya sempat dijalankan, tapi gagal total. Tuhan mengabulkan hasrat Mama yang tak sudi melakukan cuci darah lagi. Mama mengembuskan napas terakhirnya, setelah sempat bertemu dengan Nenek yang tiba-tiba secara khusus hadir lagi demi menemui putrinya. Tampaknya mereka berdua tahu apa yang akan terjadi dan mendapatkan izin-Nya untuk berjumpa terakhir kalinya. Mama padam nyawa tepat sehari sehabis Idul Adha. Dengan sukarela tak kuikuti shalat Id pada pagi sehari sebelumnya karena tak tega meninggalkan sendiri orangtuaku yang tinggal satu. Dan ternyata memang tinggal tersisa sedikit waktu merasakan kebersamaan dengan Mama tercinta.
***
Seseorang pernah berkata kepadaku, ketika kita
kehilangan salah satu orangtua, dan sudah ada seseorang yang menjadi pasangan
hidup, rasa kehilangan itu tak akan sedalam jika masih sendiri. Tapi menurutku,
manakala itu terjadi dan salah satu orangtua kita ternyata masih ada, rasanya
tak terlalu menyedihkan pula. Nah, jika orangtua kita tinggal satu dan dia pun
pergi selamanya, seorang pasangan hidup menjadi alternatif pengobat rasa
kehilangan yang mujarab. Mengapa dia hanya menjadi salah satunya, lantaran yang
terpenting adalah keikhlasan hati dan kepasrahan jiwa kepada Ilahi menerima
kenyataan. Demikianlah yang kualami. Tatkala belum ada perempuan yang berstatus
sebagai istriku, mesti kuterima takdir-Nya bahwa Mama tutup usia, berselang
lima belas tahun sepeninggal Papa. Syukurlah, sanggup tegar belaka kuhadapi
segala yang ada.
Tepat seratus tujuh hari setelah wafatnya Mama, Allah SWT menghendaki Nenek
kembali ke hadirat-Nya pula. Dalam waktu kurang dari empat bulan, harus kulepas
kepergian selamanya dua perempuan yang sangat kusayangi dan kuhormati. Berkat
keberadaan mereka jua, maka aku hadir di atas buana dan senantiasa mendapatkan
doa restu dalam setiap langkah kehidupan. Idul Fitri tempo hari ternyata
merupakan lebaran terakhirku bersama Mama dan ibunya. Apa yang menjadi
ketentuan Ilahi adakalanya sungguh tak terduga. Senantiasa bersiagalah kita
menghadapinya.
# Cerpen ini dimuat di Koran Merapi Minggu, 26
Juli 2015.