Sabtu, 30 Mei 2020

Lebaran Terakhir Mama dan Ibunya


Nenek datang ke kota kami ditemani istri pamanku dan salah satu sepupuku, seminggu menjelang Idul Fitri. Beliau sudah tak kuasa membendung rindu dan begitu ingin menjumpai putri kesayangannya yang baru pulang setelah dua pekan dirawat di rumah sakit. Mereka menginap di rumah Kak Okta dan rencananya akan berlebaran bersama kami di sini. Pada hari itu, kakak sulungku tersebut mesti mengantarkan Mama kembali ke rumah sakit. Waktu pemeriksaan sebelumnya, dokter tidak mengatakan hal yang signifikan. Tapi saat pemeriksaan kedua, ternyata dokter mengharuskan Mama untuk cuci darah secara rutin. Menjelang diperbolehkan pulang tempo hari, beliau memang sempat sekali melakukan cuci darah. Divonis seperti itu, Mama malah memutuskan tidak mau kembali ke rumah sakit.

“Saya tentu saja mau sembuh dan bisa sehat lagi, Bu. Tapi saya tetap pada prinsip saya bahwa menjalani cuci darah cukup sekali seumur hidup. Dan pada sisi yang lain, jika sewaktu-waktu Allah memanggil, saya yakin sudah siap,” ujar Mama di depan Nenek yang merasa trenyuh mendengarkan kata-kata putrinya.
“Ya, semoga Allah mengabulkan keinginanmu, Nak. Ibu menghargai pilihanmu dan sebatas dapat mendoakan yang terbaik bagimu.”

Mama justru menerima tawaran adik iparnya dengan mencoba pengobatan alternatif. Lima hari menjelang lebaran, kami mencari tempatnya di sebuah desa, tak terlalu jauh dari kota kami. Setelah bertanya berkali-kali, akhirnya lokasi yang kami tuju barulah ketemu, sekitar dua jam kemudian. Selanjutnya, pada hari terakhir puasa kuantarkan Mama ke tempat itu kembali. Sepertinya beliau cukup percaya bahwa di situlah adanya sebersit asa demi kesembuhan penyakitnya.  

***  

Ketika Idul Fitri tiba, cerialah hati kami semua. Ada Nenek dan Mama beserta segenap anak cucunya berkumpul di rumah Kak Okta. Padahal sudah lama kami tidak berlebaran bersama Nenek di kotanya, tapi kali ini terasa istimewa karena justru beliau yang hadir kemari. Semoga masih bakal hadir kembali indahnya kebersamaan serupa itu pada tahun mendatang. Begitulah asaku dalam kalbu. Kendati masih dibayangi keprihatinan lantaran Mama belum sembuh benar, syukurlah bahwa kami masih bisa bercengkrama dan bersukacita di hari lebaran. Seminggu sehabis Idul Fitri, Mama yang sempat tinggal di rumah Kak Okta sepulangnya dari rumah sakit, akhirnya kembali ke rumahnya sendiri untuk tinggal bersamaku dan Kak April belaka. Nenek sudah lebih dahulu pulang ke kotanya, tiga hari sebelumnya.

Selama sekian pekan berselang, laksana ada harapan Mama bakal sembuh seperti sediakala, sesudah seminggu sekali menjalani pengobatan alternatif di desa. Aku tahu, beliau sungguh berat menjalaninya. Mama diharuskan diet sangat ketat dan minum jamu super pahit dari sang tabib. Tapi lambat laun, kondisi kesehatan Mama nyatanya kembali melemah. Bahkan untuk dibawa kembali ke rumah sang tabib sekalipun, beliau sudah tak lagi sanggup. Mama pun tergolek tanpa daya di tempat tidurnya semata. Sesekali saja matanya terbuka, sempat terucap sepatah dua patah kata, lalu mata itu terpejam lagi.



Berdua belaka diriku dan Kak April yang tengah menunggui Mama di dalam kamar malam itu. Sejak pagi hingga petang, kakak-kakakku telah datang dan pulang bergiliran. Mama sempat terjaga, lalu bicara dengan suara keras yang tak kami pahami kata-katanya, tatkala hari masih pagi. Sehabis itu, beliau kembali terlelap dan tak kunjung lagi membuka matanya. Kendati masih kuharap benar Mama akan pulih kembali, tapi melihat kondisi terakhirnya, aku mesti berani berpikir alternatif. Aku pun mengajak bicara kakakku.

“Seandainya Mama akhirnya dipanggil Allah, bagaimana sikap Kak April?”
“Jika memang itu yang terbaik untuk Mama, aku bakal ikhlas menerimanya. Kasihan, jika kondisi Mama terus begini.”

Takjub diriku mendengar jawaban Kak April. Kakakku yang satu ini hampir saban hari menangis terharu ketika menonton sinetron kesayangannya. Menghadapi kenyataan serupa itu, ternyata dia justru memperlihatkan ketegaran jiwanya yang luar biasa. Baru usai kami bicara, Mama membuka matanya dan mengisyaratkan ingin tahu apa yang kami perbincangkan.

“Mama masih punya semangat hidup, kan?” tanyaku serta merta tanpa rencana.
“Masih, dong,” sahut Mama cukup jelas, tapi lantas tertutup lagi matanya.

Entah apakah Mama sempat mendengar pembicaraan kami sebelumnya atau tidak. Tak lama berselang, Kak Okta datang dan bersedia tidur di rumah kami.
Akhirnya kami memutuskan membawa Mama kembali ke rumah sakit, setelah semalaman hingga pagi hari berikutnya beliau tak lagi membuka matanya. Kata dokter, jantungnya sudah terdeteksi sangat lemah. Dan seolah tiada lain pilihan, dokter memutuskan bahwa Mama wajib kembali menjalani cuci darah. Kami hanya pasrah serta terserah apa maunya dokter saja, tentu demi pulihnya kondisi kesehatan satu-satunya orangtua kami yang tersisa. Malam harinya aku bertugas menjaga Mama di rumah sakit sampai menjelang siang hari selanjutnya. Ketika aku bermaksud kembali ke rumah, Mama sempat membuka matanya sekejap belaka.

“Ma, saya pulang dulu, ya. Nanti sore saya kemari lagi,” ujarku.

Mama tersenyum tipis menanggapi pamitku. Tanpa suara, beliau mengatakan terima kasih. Begitu kuucapkan salam, Mama membalasnya dengan tidak bersuara pula. Ternyata itulah saat terakhir kutemui ibuku dalam kondisi sadar. Mama tak pernah kembali terjaga dari tidurnya. Proses cuci darah yang direncanakan dokter sebenarnya sempat dijalankan, tapi gagal total. Tuhan mengabulkan hasrat Mama yang tak sudi melakukan cuci darah lagi. Mama mengembuskan napas terakhirnya, setelah sempat bertemu dengan Nenek yang tiba-tiba secara khusus hadir lagi demi menemui putrinya. Tampaknya mereka berdua tahu apa yang akan terjadi dan mendapatkan izin-Nya untuk berjumpa terakhir kalinya. Mama padam nyawa tepat sehari sehabis Idul Adha. Dengan sukarela tak kuikuti shalat Id pada pagi sehari sebelumnya karena tak tega meninggalkan sendiri orangtuaku yang tinggal satu. Dan ternyata memang tinggal tersisa sedikit waktu merasakan kebersamaan dengan Mama tercinta. 

***  

Seseorang pernah berkata kepadaku, ketika kita kehilangan salah satu orangtua, dan sudah ada seseorang yang menjadi pasangan hidup, rasa kehilangan itu tak akan sedalam jika masih sendiri. Tapi menurutku, manakala itu terjadi dan salah satu orangtua kita ternyata masih ada, rasanya tak terlalu menyedihkan pula. Nah, jika orangtua kita tinggal satu dan dia pun pergi selamanya, seorang pasangan hidup menjadi alternatif pengobat rasa kehilangan yang mujarab. Mengapa dia hanya menjadi salah satunya, lantaran yang terpenting adalah keikhlasan hati dan kepasrahan jiwa kepada Ilahi menerima kenyataan. Demikianlah yang kualami. Tatkala belum ada perempuan yang berstatus sebagai istriku, mesti kuterima takdir-Nya bahwa Mama tutup usia, berselang lima belas tahun sepeninggal Papa. Syukurlah, sanggup tegar belaka kuhadapi segala yang ada.

Tepat seratus tujuh hari setelah wafatnya Mama, Allah SWT menghendaki Nenek kembali ke hadirat-Nya pula. Dalam waktu kurang dari empat bulan, harus kulepas kepergian selamanya dua perempuan yang sangat kusayangi dan kuhormati. Berkat keberadaan mereka jua, maka aku hadir di atas buana dan senantiasa mendapatkan doa restu dalam setiap langkah kehidupan. Idul Fitri tempo hari ternyata merupakan lebaran terakhirku bersama Mama dan ibunya. Apa yang menjadi ketentuan Ilahi adakalanya sungguh tak terduga. Senantiasa bersiagalah kita menghadapinya.


# Cerpen ini dimuat di Koran Merapi Minggu, 26 Juli 2015.

Senin, 25 Mei 2020

Lebaran nan Beda

Bertepatan dengan hari Minggu (24/5/2020), tanggal 1 Syawal 1441 H menjadi Idulfitri yang tidak seperti biasanya. Sungguh berbeda. Shalat Id dilakukan di rumah saja. Kami tidak pergi kemana-mana, bahkan sebatas ke tetangga. Kami pun menahan diri untuk tidak berjumpa dahulu dengan sanak saudara.
Nyaris sepanjang hari di depan televisi menyaksikan sejumlah film apik cukup menghibur hati di tengah kegalauan gara-gara pandemi. Yang penting tetap mensyukuri apa pun yang terjadi.

Minggu, 24 Mei 2020

Selamat Idulfitri 1441 H


Selamat Idulfitri 1441 H
Minal Aidin Walfaizin
Mohon Maaf Lahir & Batin

Semoga Allah SWT senantiasa memberikan 
keselamatan dan keberkahan kepada kita semua.
Aamin ya rabbal'alamin...

Sabtu, 23 Mei 2020

Kehilangan dan Menemukan

Hidup 
adalah 
perjalanan 
kehilangan. 
Hidup adalah 
kumpulan perpisahan. 

Awal Maret lalu aku mengutip kalimat dalam puisi Jalan Minnah karya Joko Pinurbo tersebut. Sekitar tiga bulan kemudian -saat ini-- hal itu menjadi bagian dari keseharian kita sejak covid-19 memasuki kehidupan kita. Sudah banyak hal yang hilang dan berkumpul bersama menjadi sesuatu yang sungguh kita rindukan. Namun, hidup juga adalah perjalanan menemukan/mendapatkan dan hidup adalah kumpulan perjumpaan.


Hingga Mei kini koleksi buku milikku memang baru bertambah tiga. Beruntunglah aku yang tinggal bersama orang-orang yang gemar membaca. Aku bisa meminjam novel-novel milik kakakku dan buku-buku sejarah koleksi keponakanku. Masih ada pula koleksi buku lawas milik mendiang orangtuaku. Membaca kembali Belajar dari Rumi (Haidar Bagir), Semesta Maulana Rumi (Abdul Hadi W.M), Membaca Sejarah Nusantara (Abdurrahman Wahid), dan buku lainnya membuat hari-hari di rumah saja menjadi tetap bermakna. 

Jumat, 22 Mei 2020

Puasa adalah Kehidupan bagi Jiwa

Puasa adalah upacara korban kita,
ia adalah kehidupan bagi jiwa kita,
mari kita korbankan badan kita, karena
jiwa telah datang menjadi tamunya.

Iman yang teguh adalah awan lembut,
kearifan adalah hujan yang tercurah
darinya, karena di bulan ini Al-Qur'an
diwahyukan.

Bila jiwa badani dikendalikan, roh akan
mi'raj ke langit; bila pintu penjara
dirubuhkan, jiwa sampai pelukan 
Kekasih.

(Semesta Maulana Rumi)

Senin, 18 Mei 2020

Glenn Fredly Peduli Literasi


"Dunia literasi harus sama bertumbuhnya dengan dunia kreatif." 

Glenn Fredly tampaknya tidak puas jika musik hanya menjadi media berkarya. Glenn memanfaatkan musik lebih dari itu-musik adalah alat baginya untuk mengangkat isu-isu sosial. 

Sikap kritis Glenn tidak terlepas dari peran buku-buku yang dibacanya. Lewat membaca, Glenn jadi suka berdiskusi. Bacaannya kemudian meluas pada tema-tema sosial, politik, dan budaya. Bagi Glenn, buku dapat memberikan inspirasi yang beragam pada pembacanya. Karya-karya sastra dari Franz Kafka, Sapardi Djoko Damono, dan W.S. Rendra turut memberikan sumbangsih bagi penciptaan musik-musiknya. Selain membaca dan berdiskusi, Glenn juga gemar menulis. 

Banyak masalah di negeri ini timbul karena kurangnya budaya literasi dalam komunitas masyarakat. 



Tentang Glenn Fredly ketika tampil di acara Mocosik Festival 2018, ditulis oleh Fitriana Hadi. Terdapat dalam buku MOCOSIK FESTIVAL 2018 Merayakan Buku & Musik karya Adi Yuhana dkk. Diterbitkan Radio Buku bekerja sama dengan Rajawali Indonesia Communication. Cetakan 1, November 2018. . 

Mengenang Glenn Fredly tidak hanya sebagai musisi hebat dan aktivis sosial, tapi juga sebagai seorang yang peduli literasi di negerinya. Semoga jejak-jejak kebaikan Bung Glenn menjadi ilmu yang bermanfaat dan masih bisa kita lanjutkan di muka bumi.

Minggu, 17 Mei 2020

Hari Buku Nasional 2020


"Aku masih bisa menikmati sensasi membaca dengan membuka lembaran kertas buku, koran, atau majalah. Kebiasaan membaca tulisan berkualitas lambat laun dapat memperbaiki cara berpikirku dan sikapku menanggapi segala sesuatu." Dikutip dari cerpen Berbincang Menunggu Giliran (2016) dan masih menjadi harapanku hingga kini. 

Selamat Hari Buku Nasional. 

Mengenang Kebersamaan


Kebersamaan yang membahagiakan 
Untuk sementara sebatas kenangan 
Namun asa mesti tetap menyala 
Biarpun yang terjadi nanti entah apa 


Tetap bertahan dalam kesabaran 
Beserta doa yang terus dipanjatkan 
Semoga kelak masih bisa berjumpa 
Bersukacita lagi bersama-sama


Kamis, 14 Mei 2020

Selasa, 12 Mei 2020

Sebuah Selasa Siang

Lebih dahulu kusyukuri bahwa usiaku sudah berubah lagi sejak Sabtu (9/5) pekan lalu. Banyak doa dan ucapan selamat tertuju kepadaku lewat media sosial. Tak hanya kusyukuri hal itu, kuucapkan terima kasih dan kudoakan mereka pula tentunya. Pada masa prihatin begini doa menjadi kekuatan untuk tetap bertahan dan yakin pertolongan Tuhan selalu ada. Apalagi saat ini bulan suci Ramadan, bulan penuh berkah dan ampunan bagi hamba-Nya. Insya Allah, masa depan yang lebih apik masih terbentang di hadapan kita yang masih sabar menjalani momentum ini.
Kusuratkan hal ini pada Selasa siang nan cerah. Hujan deras sudah sekian kali mengguyur bumi Jogja dalam lima hari terakhir. Semalam kondisi tubuhku sempat menurun, tapi saat ini sudah mendingan rasanya.
Aku tidak dengan saksama menghitung sudah berapa lama berada di rumah saja. Namun, jika dihitung dari dua bulan silam, maka hanya tiga kali aku berpergian naik sepeda motorku. Yang penting tetap sehat, bahagia, bersabar dan bersyukur belaka.

Selasa, 05 Mei 2020

Didi Kempot Tutup Usia


Entah berapa tahun lalu kubeli kaset ini dan menjadi satu-satunya album Didi Kempot yang kumiliki. Di album ini terdapat beberapa lagu yang ngetop banget saat itu dan masih menjadi hits hingga kini, seperti Sewu Kuto, Stasiun Balapan, dan Terminal Tirtonadi. Bukan hanya Didi Kempot yang bernyanyi di album kompilasi ini. Uniknya ada lagu Kuncung yang dibawakan oleh Basuki dan Whes Hewhes Hewes oleh Gogon. Keduanya anggota Srimulat yang sudah tiada. 

Didi Kempot wafat pada hari Selasa, 5 Mei 2020, di RS Kasih Ibu Surakarta.

Selamat jalan, Mas Didi. Sudah banyak jejak kebaikan kau tinggalkan di atas buana. Semoga mencapai kemuliaan di alam sana bersama Yang Mahacinta. Insya Allah, panjenengan wafat husnul khatimah. Aamiin ya rabbal'alamin...