Sempat tak kupahami, bahkan hingga
bertahun-tahun kemudian, mengapa ibuku tampak susah memejamkan matanya malam
itu. Sesekali aku mendekatinya dan menanyakan apakah tidak sebaiknya Ibu
beristirahat karena malam telah sangat larut. Seraya tetap berbaring di atas
dipan, beliau sedikit menggelengkan kepalanya belaka tanpa kata. Aku pun
kembali ke kamarku mencoba terlelap, tapi tak bisa begitu saja kendati suasana tengah
begitu senyap. Waktu itu kondisi kesehatan Ibu di rumah cenderung menurun,
hingga dua hari kemudian kami membawanya kembali ke rumah sakit. Kami
melakukannya dengan sedikit terpaksa karena beliau sebenarnya tak ingin pergi
dari tempat tinggalnya. Dan sama sekali tak kuduga bahwa sekian hari sehabis malam
itu, ibuku justru menutup mata selamanya. Sekitar enam tahun kemudian barulah
kutemukan jawaban kala kubaca novel karya Jostein Gaarder -yang telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia- yang berjudul Orange Girl atau Gadis
Jeruk.
Ketika
kepala penuh dengan pikiran berat, orang hanya bisa mengucapkan beberapa patah
kata, atau diam. Ibu hanya diam. Kurenungkan kalimat
yang dituliskan Gaarder dan menghubungkannya dengan peristiwa yang tempo hari
kualami. Justru sebuah pertanyaan baru pun mengemuka dari diriku. Apa yang sebenarnya
paling dikhawatirkan Ibu dan menjadi beban pikiran beliau sebelum wafatnya? Kucoba
membaca jalan pikiran beliau dengan menyusun sejumlah asumsi dalam benakku. Memiliki
dua anak yang masih lajang pada usia yang sudah layak menikah barangkali menjadikan
perasaan ibuku tidak nyaman. Aku tahu, Ibu mencemaskanku sebagai anak bungsu
dan lelaki satu-satunya. Setelah memutuskan berhenti kuliah, aku hanya bekerja
di tempat usaha saudaraku yang masih labil kondisinya. Artinya, masih perlu perjuangan
panjang menuju fase kemapanan. Apalagi sehabis gempa besar melanda kota kami,
tempatku bekerja mengalami banyak kerugian pula. Kami kehilangan sejumlah
konsumen yang mesti menata kembali kehidupannya yang terkoyak akibat gempa. Kakak
iparku sebagai pemimpin tempat usaha kami berinovasi dengan menjual roti dan
jagung bakar. Ada pemasukan yang lumayan selagi bidang usaha utama tempatku
bekerja kian hari semakin sepi. Aku justru memiliki keasyikan tersendiri turut
serta membantu bisnis kuliner kecil-kecilan kami. Selain itu mulai kutekuni
sesuatu yang bisa menjadi wahana baru bagiku menjemput rizki Ilahi, namanya
menulis cerita pendek. Melihat hal-hal yang sudah kulakukan, tampaknya Ibu tak terlampau
meragukan masa depanku lagi.
Ibu sebenarnya lebih layak
mengkhawatirkan kakakku. Sejak lulus SMK belasan tahun silam, ia hanya tinggal
di rumah dan nyaris tak pernah bekerja secara serius. Menurut cerita yang
pernah kudengar, di masa kecilnya kakakku pernah mengalami beberapa kejadian
yang menimbulkan trauma dan membuat pertumbuhan otaknya mengalami gangguan. Usianya
sepuluh tahun di atasku, tapi sikap dan tingkah lakunya mungkin seperti lima
belas tahun lebih muda dariku. Cuma sesekali ia pernah membantu kakakku yang
lain ketika sempat membuka bisnis warung ayam bakar. Namun, ketika usaha
tersebut berhenti, kakakku pun hanya bergeming di rumah lagi. Kegiatannya di
rumah adalah memasak, membersihkan lantai, dan pekerjaan rumah tangga lainnya.
Selebihnya duduk membaca koran dan menonton televisi, acara favoritnya adalah
sinetron dan berita selebritis. Selama masih ada Ibu, tentu tiada masalah
dengan pemenuhan keperluan sehari-harinya. Kakakku orang yang tahu diri dan
beruntunglah ia tidak memiliki hasrat membeli beragam barang. Seperlunya saja
ia mengeluarkan uang.
Aku mengerti bahwa kakakku
adalah perempuan yang sebenarnya memiliki mental yang kuat. Masih kuingat benar
dialog di antara kami pada sebuah malam. Ketika ibu kami terus terlelap, aku
sempat menanyakan opininya apabila beliau akhirnya tutup usia. Dan ternyata
jawaban kakakku cukup mengejutkanku.
“Jika itu yang terbaik
buat Ibu, aku ikhlas saja. Ketimbang melihat Ibu terus menderita begini.”
Padahal biasanya ia
begitu mudah menangis melihat adegan di sinetron serial kesayangannya. Sehabis
jawaban terdengar dari kakakku, Ibu ternyata membuka matanya dan mengisyaratkan
ingin tahu apa yang kami bicarakan. Maka terjadilah dialog terakhir antara aku
dan ibuku dengan disaksikan kakakku.
“Ibu masih punya
semangat hidup, kan?” tanyaku.
“Masih, dong,” sahut
Ibu tanpa kuduga. Sehabis itu beliau terus menutup matanya, hingga kami
membawanya ke rumah sakit. Sempat sekali lagi ibuku membuka matanya dan
mengucapkan terima kasih kasih tanpa suara, tepatnya ketika aku pamit pulang,
sehabis semalaman menungguinya di kamar rawat inap. Tak lama sesudahnya, Ibu
pun hijrah ke alam barzakh.
***
Sekian bulan sepeninggal Ibu, kakakku
menerima tawaran bekerja dari kakak tertua kami dan suaminya. Pekerjaannya
tidak berat karena organ tubuh yang paling penting digunakan adalah mata dan tangannya,
yang tentu mesti disertai kesabaran dan ketelitian. Kakakku bukanlah perempuan
yang biasa berpangku tangan, maka kami semua mendukungnya dan percaya ia sanggup
melaksanakan tugasnya. Benar saja, kakakku berhasil menjawab tantangan dari
saudara-saudaranya. Ia bahkan senantiasa bersemangat sekali saban pagi tiba,
berangkat ke tempat kerja dengan mengayuh sepeda, hingga pulang ke rumah
menjelang petang.
Kami semua baik-baik
belaka nyatanya hingga kini menginjak sepuluh tahun sejak kepergian Ibu. Apa
yang dikhawatirkan beliau ternyata bukanlah problema krusial bagi kami. Kesulitan
ekonomi memang menjadi masalah yang adakalanya mengemuka. Hal itu tak pernah
terjadi ketika kedua orangtuaku masih ada, juga setelah Ayah meninggal dunia.
Namun, rezeki bisa hadir dari mana saja dan berulang kali hal itu terjadi.
Sehabis gelap selalu ada terang, kemudahan pasti datang menggantikan kesulitan.
Tak boleh hilang semangatku menjaga asa dan terus meyakini pertolongan Ilahi
bakal hadir senantiasa. Hal-hal positif yang terjadi sehabis ibuku pergi
menyadarkanku bahwa bisa jadi itulah jawaban Tuhan atas segala doa perempuan
kesayanganku sepanjang hayatnya. Dahulu kala Ibu pasti tak pernah lelah berdoa
dan berjuang melakukan apa saja demi kebahagiaan dan kesejahteraan hidup anak
keturunannya.
Dalam kesendirian masih
banyak hal yang dapat kunikmati sekaligus kusyukuri. Sejumlah kegiatan baru
ternyata menghadirkan orang-orang yang berarti dalam hidupku. Di antara mereka
terdapat sejumlah perempuan yang sempat menjadi kawan baikku, kendati belum ada
yang menjadi kekasihku. Perempuan yang dulu –belasan tahun silam- pernah
kucinta dan kupuja, lantas sempat kembali kujumpa, ternyata tak mampu
mengembalikan perasaan dari masa lalu. Kami sebatas dekat sesaat, kemudian
tiada koneksi lagi sehabis itu. Aku sebatas sempat tertarik pada dua atau tiga
nama, tapi tak kunjung merasakan jatuh cinta sebagaimana ketika berusia belasan
atau dua puluhan.
***
Sebelum menutup mata selamanya, Ibu
semacam memberikan pesan kepadaku agar senantiasa menjaga perasaan orang lain
dan sudi peduli nasib sesama manusia. Setelah sempat tidak tidur semalaman
sebagaimana terjadi di awal kisah ini, ibuku akhirnya bisa beristirahat saat menjelang
siang hingga petang hari berikutnya. Bu Adi, tetangga dekat kami, menjenguk Ibu
kala beliau tengah terlelap. Begitu ibuku terjaga dari tidurnya dan kuberitahu
tentang kehadiran Bu Adi yang juga merupakan sahabatnya, beliau tampak bermuram
durja. Serta-merta dimintanya aku menelepon tetangga kami agar segera datang
lagi. Aku tidak langsung melaksanakannya dan sempat sedikit beralasan,
barangkali Bu Adi sedang tidur siang. Namun, Ibu setengah memaksaku dan kuturuti
perintahnya.
Belakangan baru
kusadari bahwa Ibu merasa sudah mengecewakan sahabat yang menjenguknya, tapi
gagal menemuinya. Beliau sekadar ingin Bu Adi bisa menjumpainya kala terjaga
agar bisa terobati kekecewaaannya. Begitulah cara ibuku menjaga perasaan orang
lain. Pada hari selanjutnya yang merupakan hari terakhir beliau berada di rumah,
Ibu tiba-tiba menanyakan kabar Javier, anak angkat tetangga depan rumah kami.
“Kasihan Nak Javier,
ibunya sering marah-marah sambil memukuli anak itu,” ujar Ibu sembari menatap
hampa langit-langit kamarnya. Aku sempat terpana belaka mendengarnya. Apa maksud
Ibu bicara seperti itu?
“Iya, memang kasihan sekali
dia. Semoga saja ibunya bisa mengubah sikapnya di masa depan. Lagi pula Javier
masih punya ayah yang baik, kan? Ibu tidak perlu lagi mengkhawatirkan anak itu,”
sahutku mencoba meredakan kegundahan hati ibuku.
Semula tak kupahami,
mengapa manakala kondisi kesehatannya kian melemah, Ibu justru memikirkan anak
tetangga. Namun, begitulah cara beliau menunjukkan kelembutan hatinya yang
tansah peduli siapa saja. Nasihat tersirat ibuku sebelum wafatnya, kuharap
benar aku mampu meneladaninya. Ah, tiba-tiba aku jadi kangen dengan perempuan
kesayanganku yang bertubuh mungil, dengan segala kata-kata, sentuhan lembut, bahasa
tubuh, perangai, maupun tindak tanduknya yang khas. Mudah-mudahan Ibu tenang di
alam sana dan bahagia melihat anak keturunannya saat ini.
# Cerpen ini dimuat di harian Rakyat Sultra edisi Senin, 1 Okober 2018