KISAH PERTAMA
Rumah tersebut
semula dihuni oleh sepasang suami istri dengan satu bocah yang merupakan anak
angkat mereka. Sesudah menjalani mahligai rumah tangga selama tujuh belas tahun
tanpa dikaruniai keturunan, Mada dan Susan -yang berusia empat puluhan- memutuskan
mengangkat seorang bayi sebagai anak mereka dari sebuah panti asuhan. Lantaran
mereka berdua sibuk di kantor menjalani lima hari kerja, maka disewalah pembantu
rumah tangga sekaligus pengasuh bagi sang anak yang diberi nama Devo.
“Ma, ingatlah bahwa sekarang
kita punya Devo. Jangan lupa menemaninya setiap di rumah, ” ujar Mada.
”Iya, Mama janji sebelum dan
sesudah kerja pasti ada di dekat Devo. Papa juga mesti kasih perhatian padanya,” sahut Susan.
”Tenang saja, Papa pasti selalu
bersamanya di luar jam kerja.”
Sebentuk sukacita baru
tercipta dalam keluarga tersebut. Mereka jadi lebih kerap bepergian demi
menyenangkan hati si anak semata wayang. Namun, rupanya Mada sebagai ayah lebih
betah mengisi waktunya dengan si bocah. Susan hanya sesekali menikmati
kebersamaannya dengan Devo. Ia seperti sengaja menjaga jarak. Memang
sesungguhnya sejak dahulu ia tak terlampau suka dengan anak kecil. Biarpun demikian,
ia tetap berharap suatu ketika bisa memiliki momongan sendiri. Susan akhirnya tahu
diri dan memilih pasrah mengingat usianya mendekati kepala lima. Toh, sudah ada Devo yang kini menjadi
permata hatinya.
***
Devo tumbuh menjadi anak yang
manis dan lucu. Namun, sebagaimana layaknya bocah kecil yang banyak maunya,
demikian pula dengan anak tersebut. Sementara sang ayah senantiasa senang hati
menanggapi sejuta hasrat anaknya, sang ibu justru kerap lepas kendali
menghadapi polahnya. Susan kerap berteriak-teriak memarahi bocah yang masih
balita itu. Mada selalu mengingatkan istrinya agar lebih sabar, tapi justru dia
yang dicaci maki Susan pula.
“Ma, mestinya kita tambah sayang
pada Devo. Tolonglah, jaga
ucapan dan tindakanmu,” kata Mada.
“Huh, Papa ini kok sabar
sekali, sih? Kalau memang anak kita yang nakal, masa Mama tidak boleh marah?”
jawab Susan dengan nada tinggi. Mada hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat sikap istrinya. Ia mesti
menjadi lelaki yang sangat lapang dada demi menjaga keutuhan keluarga.
Sebuah gempa tektonik dengan
magnitudo yang cukup besar melanda kota pada sebuah Sabtu. Rumah yang dihuni
Mada dan keluarganya mengalami kerusakan cukup parah. Beruntunglah mereka semua
karena sempat berlarian menyelamatkan diri ketika beberapa bagian dari rumah tersebut
runtuh. Mada memutuskan mengungsikan istri dan anaknya ke rumah mertuanya yang kebetulan
terhindar dari bencana, kendati masih berada di kota yang sama. Gempa susulan
masih terjadi dalam ukuran yang lebih kecil hingga sekian pekan kemudian.
Sebulan berselang, barulah Mada bisa memulai perbaikan tempat tinggalnya. Perlu
waktu sekitar tiga bulan untuk melakukan renovasi menyeluruh. Sesudah itu, barulah
keluarga Mada dapat kembali mendiami rumah tersebut.
Empat tahun sudah usia Devo. Sikap
Susan terhadap anaknya ternyata masih belum jua berubah. Anak kecil itu tampak
tertekan saban kali dimarahi ibunya, yang terkadang bahkan disertai pukulan. Lambat
laun Devo mengalami kengerian tersendiri jika berdekatan dengan Susan.
Beruntunglah, masih ada ayahnya yang bersikap lembut melindunginya. Selain itu,
pengasuh Devo telah berulang kali berganti. Mereka yang dipercaya menjaga si
bocah biasanya tidak tahan menghadapi Susan yang kurang ramah dan lebih kerap
marah.
Suatu ketika Susan mengeluhkan
dadanya yang sakit pada suaminya. Mada pun membawa istrinya ke dokter. Ternyata hasil diagnosa dokter
menunjukkan bahwa Susan mengalami gangguan jantung. Dengan pengobatan yang
intensif, sakit yang dideritanya diharapkan berangsur sembuh. Namun, takdir
Ilahi tidak berkata demikian. Kondisi tubuh Susan malah cenderung melemah,
sehingga Mada pun berencana memboyongnya ke rumah sakit. Devo tertegun melihat
apa yang terjadi. Ia mendekati ayahnya yang sudah bersiap pergi membawa ibunya.
“Papa, kenapa Mama mesti
dibawa pergi?” tanya Devo.
“Mamamu sakit keras, Nak. Ia mesti
dirawat di rumah sakit supaya lekas sembuh. Kau mau kan, doakan mamamu?” sahut Mada sembari
mengelus-elus kepala anaknya. Devo mengangguk pelan. Entah apa yang berkecamuk di benak dan sanubari sang
bocah.
Sesudah dirawat selama dua pekan,
penyakit yang diderita Susan justru kian parah dan akhirnya ia padam nyawa pada
usia empat puluh sembilan. Mada berusaha mengikhlaskan kepergian istrinya.
Kendati ia sesekali terbebani menghadapi kekerasan hati pasangan hidupnya,
bagaimanapun Susan adalah perempuan kecintaan Mada sepanjang hayatnya. Tetaplah
sedih ditinggal pergi selamanya sang kekasih. Namun, rada terhibur hati Mada
lantaran masih ada Devo yang akan menemani hari-hari berikutnya.
Sehabis
istrinya tiada, Mada bergegas menjual rumah yang telah belasan tahun
ditinggalinya. Terlalu banyak kenangan bersemayam di rumah tersebut dan tak
ingin ia terjebak bersamanya. Mada pun hijrah dari tempat itu bersama Devo yang
berusia hampir lima tahun. Pembeli rumah tersebut adalah seorang warga negara
asing, tapi diatasnamakan orang Indonesia yang sangat dipercayainya.
KISAH KEDUA
Memiliki rumah baru, layaklah jika
segalanya mesti berbeda. Maka rumah yang belum ada setahun diperbaiki sehabis
gempa itu pun dirombak lagi habis-habisan sesuai selera sang pemilik anyar. Perubahan
pun kemudian terjadi bulan demi bulan berjalan. Namun, ketika setahun lebih sudah
berlalu, renovasi barulah selesai. Pemilik anyar pun mulai mendiami rumahnya. Pada saat rumah tersebut belum
ditinggali, proses pembangunan yang tidak sebentar sempat mengusik ketenteraman
tetangga sekitar. Ketika akhirnya usai, bentuk rumah ternyata jadi tak nikmat
dilihat. Bayangkan saja, bagian depan rumah itu didominasi oleh sembilan
jendela sebesar pintu dan satu jendela yang bentuknya berbeda di samping pintu
yang tingginya tak sejajar pula.
Seorang lelaki
tua berkulit putih dan dua lelaki muda berdarah Indonesia -entah siapanya-
tinggal di rumah itu. Dua pemuda tersebut biasanya hanya bertelanjang dada dan
bercelana pendek kala berada di rumah, termasuk ketika keluar menemui ibu
tukang sayur maupun bapak tukang rujak. Berkali sudah mereka mendapat undangan
pertemuan warga dan belum pernah sekali pun mau datang. Bahkan ketika tempo
hari Ketua RT mengantar undangan sekaligus ingin menyapa warga barunya, malah
suara anjingnya belaka yang menyambutnya. Selain itu, barangkali begitu banyak
harta berharga yang tersimpan di dalam rumah. Tampaknya mereka begitu takut
jika ada yang akan bertamu tanpa diundang. Maka mereka pun memasang pagar kokoh
dengan jeruji besi yang tinggi dan rapat. Hal itu membuat rumah tersebut
dilihat dari depan bagaikan penjara belaka.
# Cerpen ini dimuat di litera.co.id sejak 23 September 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar