Bukankah yang signifikan dalam kehidupan manusia adalah bagaimana dirinya menjadi makhluk bermakna, bisa bersukacita, dan mampu mensyukuri karunia Tuhan? Oh ya, bisa jadi hal itu memang pemikiranku belaka yang terlampau sederhana, sebagaimana nama pemberian orangtuaku.
Masih awal Syawal 1444 H ternyata ada cerpen saya dimuat. Alhamdulillah.
Hatur nuhun, Ayo Bandung.
Cerpennya bisa dibaca di https://www.ayobandung.com/bandung-baheula/798608913/cerita-pendek-pengakuan-prasojo
Kau tahu, melukis adalah pekerjaan soliter. Mungkin sama dengan menulis. Diam sendirian berlama-lama, menekuri pikiran sendiri, jauh dari hiruk pikuk, larut dalam ruang sunyi.
(Alan TH dalam novel BUI)
Hidup ini bukan rangkaian sinetron cengeng penuh air mata yang tak berujung. Kesedihan boleh ditumpahkan di dalam dada, di dalam pelukan kekasih, tetapi bukan untuk diperjualbelikan. Air mata bukan mata uang. Meski mungkin, aku salah menaksir dan menafsirkannya.
(Maman Suherman dalam novel peRempuan)
Hujan kembali menemani perjalanan pulangku dan aku menikmatinya belaka.
Hidup sebagai penulis penuh dengan ujian otentisitas, seperti pelbagai variasi dari sebuah tema, refren berulang untuk harus membuktikan diri lagi dan lagi.
(Lawrence Schimel dalam Kumpulan Dongeng untuk Penulis)