Rabu, 14 Desember 2016

Operet AFC 2016

Rabu dua pekan silam, 30 November 2016, Art for Children (AFC) Taman Budaya Yogyakarta menggelar operet anak "Indonesia Pintar" yang sekaligus menjadi penutup acara Gelar Seni Anak 2016. Setelah pameran seni rupa (17-24/10), maka operet merupakan hasil kerja sama anak-anak musik, vokal, tari, dan teater. Untuk pertama kalinya anak-anak musik mengiringi secara langsung teman-temannya menyanyi, menari, dan berlakon dalam sebuah pementasan. Seluruh aransemen musik digarap oleh Dwipa Hanggana Prabawa, yang uga bertindak sebagai dirigen orkestra. Sementara hampir semua lagu diciptakan oleh R. Sigit Eko Riyanto, pengasuh vokal AFC. Lagu-lagu karya beliau, yaitu : Selamat Pagi Negeriku, Ayo Mandi, Ke Sekolah, Hari Esokmu, Bermain, dan Ayo Belajar. Satu lagu karya Melly Goeslaw adalah Terima Kasih Guruku dan Jingle AFC sebagai lagu penutup adalah karya Dwipa Hanggana Prabawa dan Dewi Kurniawati. Penata tari oleh Theresia Wulandari, Anastasia Yayuk, dan Utik Wisni. Operet disutradarai oleh Broto Wijayanto. Pertunjukan dihadiri oleh Kepala TBY dan seluruh pengajar AFC -termasuk saya- berkesempatan berfoto bersama beliau di akhir acara.

Di bawah ini sejumlah foto yang dijepret lewat kamera ponsel dari beberapa orang yang sebelumnya tersebar lewat aplikasi WhatsApp.











Senin, 12 Desember 2016

Insan Utama

Engkau mengenalnyaInsan yang utama (Siapakah kiranya?)Lelaki pilihanMenjadi utusanIa menunjukkanJalan kebenaran (Muhammad kukira)
Baik hatinya (Baik hatinya)Santun perangainya (Sungguh santun perangainya)Jujur katanya (Tak pernah dusta)Kita menyayangnya (Bersholawatlah baginya)Ia teladan bagi kita semua (Ialah teladan kita)Sebagai karunia yang diberikan Allah bagi semuaMuhammad nama-NyaIkuti jalan-NyaLa la la...
Lagu dinyanyikan oleh Haddad Alwi dan Duta S07Lirik lagu ditulis oleh Ags. Arya Dipayana

Senin, 05 Desember 2016

Rumah Percikan Api Neraka

Cerpen Luhur Satya Pambudi dimuat di Tribun Jabar 4 Desember 2016
APAKAH mungkin rumah itu sebenarnya mengandung percikan api neraka? Dahulu, penghuninya yang merupakan sepasang suami-istri kerap terdengar berselisih paham. Bukan hal asing bagi tetangga terdekat menyimak perdebatan para penghuni rumah yang tak jarang dihiasi dengan caci maki dan saling hina.
Musabab perselisihan adalah hal-hal sederhana yang biasa terjadi dalam rumah tangga sesiapa, tapi suara keras mereka berdua nyatanya menimbulkan kehebohan tersendiri. Seberapa risih dan tidak nyamannya perasaan tetangga sejatinya, namun tiada seorang pun yang bersedia menjadi penengah atau juru damai. Terdapat keengganan yang sewajarnya mengingat sepasang suami-istri tersebut sudah lanjut usia. Lagi pula, keributan mereka biasanya tidak berlangsung lama, mungkin jika dijumlahkan sekitar satu-dua jam belaka saban harinya. Sesekali sunyi menghampiri ketika sang suami seharian pergi atau manakala para penghuninya tengah terlelap di waktu malam.
Riuh rendah yang berasal dari rumah itu lambat laun menjadi bagian keseharian di kompleks perumahan tersebut. Apalagi baik sang suami maupun sang istri, pada dasarnya masing-masing memiliki hubungan yang relatif karib dengan tetangga sekitar. Anehnya, tidak demikian tatkala mereka berdua belaka di dalam rumah sendiri. Entah cinta serupa apakah yang mampu menjadikan keduanya betah hidup bersama, bahkan hingga puluhan tahun kemudian.
Sang suami jatuh sakit pada suatu masa dan sempat diopname sekitar sepekan lamanya. Namun ketika ia pulang ke rumahnya, adu mulut dengan sang istri kembali membahana. Kondisi kesehatan sang suami lama-lama kian menurun dan ia tak ingin lagi beranjak dari rumahnya. Sehabis sempat terbaring tanpa daya di atas dipan untuk sekian pekan, sang suami pun tutup usia pada sebuah petang. Rumah itu pun sesaat sempat senyap. Tak terdengar lagi nada-nada emosional dari dua manusia lanjut usia. Tetapi hal itu tak berlangsung lama. Sang istri yang menjadi janda dan tinggal seorang diri kerap terdengar marah-marah tak jelas, entah tertuju kepada siapa. Ketika perempuan tua itu sedang santai dan tetangga bertanya kepadanya, ia menjawab bahwa ada suara seseorang yang selalu membuatnya naik pitam. Suara itu, katanya, berasal dari sudut selatan sebelah atas kamar tidurnya. Pada kenyataannya, tiada seorang pun yang tinggal di rumah itu kecuali perempuan tua yang kian lemah kondisi raganya.
Hidup sebatang kara tanpa teman dan kerabat mengundang rasa iba dari tetangga sekitar. Ketua RT setempat mengajak warganya bergotong royong membantu merawat sang nenek. Saban pertemuan rutin warga diadakan, senantiasa disediakan kotak amal yang hasil urunannya dikhususkan untuk menjaga kelangsungan hidup seseorang yang tak punya sesiapa itu. Tiada warga yang keberatan dengan kebijakan tersebut. Bahkan ada seorang warga yang bersedia melayani keseharian perempuan tua itu saban harinya dan ia memperoleh imbalan sekadarnya. Ia pula yang menyediakan makanan dan membelikan keperluan lainnya dengan biaya hasil urunan warga atau jika kebetulan ada bantuan dari para dermawan. Tetangga lainnya sering pula membagi masakannya sebagai sarapan atau makan siang sang nenek.
Sempat sekali waktu terjadi kehebohan ketika perempuan tua itu keluar dari rumahnya dan mendesak masuk ke salah satu rumah tetangganya sembari menggumamkan hal yang tak jelas.
"Saya harus ambil durian di dalam rumah itu. Durian itu milik saya!" teriaknya.
Pemilik rumah yang digedor-gedor pintunya tentu saja panik di dalam rumahnya. Ia hanya bersama anak bungsu perempuannya, sementara suami dan anak sulungnya sedang pergi. Beruntunglah, tetangga lainnya yang mendengar kehebohan tersebut berbondong-bondong segera datang. Seorang warga yang terampil berbicara berhasil meredakan kemarahan sang nenek dan membawanya kembali ke rumahnya dengan tenang.
Sampai kira-kira tiga tahun kemudian, perempuan tua itu menutup mata selamanya pada suatu malam. Siang menjelang kepergiannya sudah terdapat sejumlah pertanda tertentu sehingga Ketua RT meminta warga untuk bersiap siaga. Mereka menjadi yang paling sibuk mengurus jenazahnya hingga dikebumikan, kendati ada sebuah lembaga sosial yang lantas turun tangan membantu prosesnya.
***
RUMAH itu kemudian hampa belaka. Ketua RT mencoba menghubungi kakak sang nenek yang konon pemilik asli rumah itu. Upayanya tak berbuah positif. Ketimbang dibiarkan kosong tanpa guna, Ketua RT, atas persetujuan warganya, memutuskan menyewakan rumah itu kepada siapa pun yang bersedia tinggal di situ. Uang hasil sewa disepakati akan dimasukkan ke kas warga RT. Awalnya tiada masalah berarti, kendati ada satu tetangga terdekat yang sempat keberatan. Namun sesudah hampir dua tahun berselang, sebuah lembaga sosial, yang dahulu ikut mengurus pemakaman sang nenek, tiba-tiba datang melaporkan diri kepada Ketua RT. Mereka mengaku telah mendapat hak dari pemilik rumah sesungguhnya, yang tinggal di lain kota, untuk menempati rumah yang sedang disewakan itu. Ketua RT tentu tidak bisa serta-merta menerimanya.
"Memang ke mana saja selama ini, orang yang mengaku sebagai pemilik sah rumah itu? Di mana dia ketika adik iparnya sakit keras hingga meninggal dunia? Apakah ada yang dilakukannya ketika adik kandungnya menjadi janda, hidup menderita sebatang kara, lalu akhirnya padam nyawa tanpa sanak saudara?"
"Kami siap membayar jasa baik warga di sini, meski sebenarnya kami tak wajib melakukan hal itu," ujar wakil lembaga sosial tersebut.
"Kalian mau bayar berapa? Selama ini kami ikhlas merawat beliau hingga wafatnya tempo hari. Berapa pun uang kalian tampaknya mustahil untuk membayar kebaikan hati warga di sini. Kami hanya tak rela dengan perlakuan buruk pemilik rumah itu terhadap mendiang tetangga kami."
"Jadi, apa yang harus kami lakukan? Tolong diingat, kami sudah membawa surat bukti yang sah dari pemilik rumah yang secara sukarela menyerahkan miliknya untuk kepentingan sosial. Apakah kami perlu membawa aparat keamanan kemari?"
"Silakan kalian menempati rumah itu, tapi maaf saja jika saya tidak bersedia membantu apa-apa."
Ketua RT memilih mengalah. Risikonya terlalu besar sekiranya ia tetap ngotot mempertahankan rumah itu. Tentu ia tak mau terjadi sesuatu yang mengusik ketenteraman dan kedamaian hidup yang selama ini terjaga senantiasa di lingkungan tempat tinggalnya.
Tetapi rumah itu tetap menyimpan api dalam sekam. Jika ungkapan terkenal berbunyi "rumahku adalah surgaku", maka tempat tersebut barangkali layak dijuluki "rumah percikan api neraka". Sudah sekian bulan berlalu, rumah itu nyatanya dibiarkan hampa belaka.
***

Kamis, 01 Desember 2016

Apa yang Perlu Diingat

Tak ada hal spesifik dari "apa yang perlu diingat". Saya percaya, ingatan, seperti makhluk hidup, memiliki hukum alamnya sendiri. Ingatan-ingatan tertentu cenderung akan bertahan lama, ingatan lain akan pudar dengan sendirinya. Tapi secara umum, hal-hal yang menarik perhatian kita cenderung bertahan lama, karena barangkali hal itu memang berarti banyak untuk kita. Merawat hal-hal yang menarik perhatian kita, mencoba memperluasnya, saya kira merupakan cara yang alamiah untuk membuat banyak hal tertanam dalam ingatan. (Eka Kurniawan)

Senin, 21 November 2016

Sang Raja

Cerpen Luhur Satya Pambudi dimuat di Bali Post 20 November 2016.
Inilah kisah tentang seorang raja yang hidup ratusan tahun silam dan tidak terlalu lumrah. Mengapa demikian, lantaran sejatinya ia setia dan tidak ingin menghambur-hamburkan cintanya kepada setiap perempuan di mana saja. Tentu tidak sebagaimana layaknya para raja di masa itu atau bahkan sebagian besar hasrat kaum adam hingga saat ini. Ia bukanlah lelaki yang mudah jatuh hati. Namun sebuah peristiwa penting membuat sang raja akhirnya menikah untuk kedua kalinya. Raja tersebut bernama Macello. Ia memimpin kerajaan bernama Bifet. Macello dinobatkan sebagai raja pada usia lima belas tahun demi menggantikan ayahnya yang gugur dalam satu pertempuran. Enam tahun kemudian, Raja Macello mengakhiri masa lajangnya dengan menikahi Violin, putri pertama Raja Guitarra dari kerajaan Lifet, yang merupakan teman bermainnya sedari bocah.
         Semula Violin sempat tak yakin dengan kesungguhan hati Macello untuk tidak menduakan cintanya sekiranya mereka menikah nanti, mengingat kecenderungan kebanyakan raja yang biasanya memiliki istri lebih dari satu.
        ”Aku janji bahwa aku bisa berbeda dengan raja lainnya. Aku hanya akan menikahi seorang perempuan dan kaulah semata bidadari pilihanku,” tegas Macello.
    ”Rasanya masih tetap tak mudah bagiku percaya padamu, Kanda. Mohon maklumi keraguanku ini,” ujar Violin.
        ”Aku tak bisa memaksamu agar lekas percaya padaku, Dinda. Aku maklum karena ayahku pun memiliki tiga istri. Oh ya, aku teringat sesuatu. Bukankah ayahmu, Raja Guitarra, memiliki seorang istri belaka?”
          ”Iya, ayahku memang hanya pernah menikahi ibuku.”
          ”Jadi, aku bisa mengikuti jejak ayahmu, bukan?”
       ”Baiklah, Kanda. Aku percaya, kau bisa seperti ayahku.” Putri Violin mengatakannya dengan senyuman lebar dan mata berbinar-binar. 

***
Bersandingnya Raja Macello dan Putri Violin di pelaminan menjadi hari istimewa bagi dua wilayah kerajaan. Masyarakat kedua negeri pun bersukacita menyambut pernikahan agung mereka. Andaikata dalam kebanyakan dongeng, sebuah pernikahan pasti akan sarat sukacita hingga akhir masa, namun tidak mutlak demikian kisah Raja Macello dan Putri Violin. Sesungguhnya ada sebuah masalah terpendam, selayaknya bom waktu yang setiap saat dapat meledak, dan bisa jadi menimbulkan dampak yang kurang apik di masa depan. Violin pernah mengingatkan sesuatu yang cukup mengusik perasaan Macello, tapi sang raja muda tidak bersedia berpikir lebih jauh ketika itu.
          ”Kanda Raja tentu ingat bahwa aku adalah calon ratu kerajaan Lifet, bukan?” tanya Violin kepada kekasihnya.
          ”Iya, aku tahu kau merupakan ahli waris pertama ayahmu. Lantas apa yang kau khawatirkan?” Macello balas bertanya.
          ”Mungkin aku mesti pergi dari sini ketika tugas negara memanggilku,” ujar Violin dengan air mata yang mulai menetes. Pastilah ia tak ingin berpisah begitu saja dengan suami tercinta.
          ”Dinda, tak usahlah menangis. Kita pasti sanggup menghadapinya, jika hal itu benar terjadi. Lagi pula, bukankah ayahanda Raja Guitarra masih segar bugar saat ini? Kita doakan saja agar beliau panjang usia dan sehat senantiasa,” kata Macello mencoba mengenyahkan kegundahan hati istrinya.
          Pembicaran tersebut terjadi manakala pernikahan pemimpin Bifet dan putri mahkota Lifet baru berlangsung beberapa hari. Menjelang satu tahun usia pernikahan mereka, lahirlah Pangeran Kadore dari rahim Putri Violin. Aroma sukacita pun kian melingkupi kehidupan dua sejoli yang kini memiliki permata hati.


***
Dua tahun berselang, terjadilah sesuatu yang tak terduga oleh sesiapa. Berita lelayu datang dari istana kerajaan Lifet. Raja Guitarra mangkat secara tiba-tiba, diduga terkena serangan jantung.
          ”Kanda Raja, aku harus segera pulang,” cetus Putri Violin yang langsung gelisah begitu mendengar kabar yang sangat melukai hatinya.
          ”Dinda, tenangkan dirimu. Akan kusertai langkahmu ke mana saja,” sahut Raja Macello.
          ”Tapi aku mungkin akan segera diangkat sebagai ratu di kerajaanku. Bagaimana dengan hubungan kita?”
          ”Entahlah. Coba kita jalani saja dulu.”
          Raja Macello, Putri Violin, dan Pangeran Kadore, dengan diiringi pasukan khusus bergegas meninggalkan istana kerajaan Bifet menuju Lifet yang tengah diliputi suasana kesedihan yang begitu dalam. Mendiang Raja Guitarra merupakan pemimpin yang dicintai rakyatnya. Kepergiannya yang sangat mendadak ditangisi seluruh penjuru negeri.
          ”Putri Violin, kau harus segera mempersiapkan diri untuk dua acara sekaligus,” ujar Pangeran Pianolo yang merupakan perdana menteri kerajaan Lifet. 
          ”Apakah kita mesti bergegas melakukannya, Paman?”
          ”Tentu saja. Kau akan segera dilantik menjadi ratu kerajaan Lifet, sesaat setelah pemakaman ayahmu esok hari.”
Putri Violin pun naik takhta sebagai pemimpin baru di negerinya, tak berapa lama sesudah jasad Raja Guitarra dikebumikan. Mahkota yang semula dikenakan oleh sang ayah kini terpajang anggun di atas kepala istri Raja Macello. Sebuah tanggung jawab besar mesti disandang oleh sang ratu yang baru berusia dua puluh tiga tahun.

***
”Sekarang aku mesti memanggilmu Dinda Ratu,” kata Raja Macello pada pagi hari berikutnya.
”Bukankah selama ini aku sudah menjadi ratu di hatimu, Kanda Raja?”
”Tentu saja, sayang. Tapi kau tahu, aku tak bisa terlalu lama di sini. Aku mesti lekas pulang ke Bifet, rakyatku sudah menunggu kehadiranku.”
”Ah, kenapa waktu tak bisa berhenti sejenak, agar kau tetap di sini menemaniku?”
”Maafkan aku, Dinda. Kau pasti paham, begitu banyak tugas menantiku di sana.”
Mereka berdua bergeming belaka sejenak masa. Ada banyak hal yang tampaknya berkecamuk di kepala dan dada mereka masing-masing yang belum bisa diungkapkan.
”Kanda, aku punya sebuah gagasan. Aku tahu ini bukan sesuatu yang mudah, tapi aku sudah memikirkannya semalaman, dan kuputuskan merelakannya dengan kesungguhan hati,” ucap Ratu Violin memecah kesunyian.
”Apa yang sesungguhnya sedang kau bicarakan, Dinda?” tanya sang suami.
”Sejak aku menjadi ratu di kerajaan ini, aku tak mungkin mendampingimu lagi setiap waktu, bukan?”
”Bukankah kita bisa kerap saling mengunjungi?”
”Aku setuju hal itu, tapi menurutku kita tak perlu terlalu sering meninggalkan istana maupun tugas kita masing-masing.”
”Lantas apa gagasanmu?”
”Kanda, aku ingin kau menikah lagi.”
”Hah, apa aku tak salah dengar? Tidakkah kau ingat, aku telah berjanji setia padamu semata? Dan kau tak mau jika aku menikahi sesiapa lagi, bukan?”
”Iya, memang dahulu begitulah sikapku. Namun kucoba membuka hati dan benakku melihat kenyataan. Sikapku berubah kini. Aku justru ingin Kanda bisa tetap merasakan kebahagiaan memiliki istri yang setia mendampingi sang raja. Aku jelas tak mampu melakukannya lagi, sejak aku mesti tinggal di sini memimpin rakyatku.”
”Lalu bagaimana denganmu sendiri?”
”Jika Kanda berkenan, aku tetap menjadi istri Raja Macello, meski kita bakal tinggal berjauhan.”
”Aku tak mengerti mesti berkata apa lagi, Dinda.”
”Tapi aku punya sebuah syarat, Kanda. Aku tak tahu, apakah Kanda Raja setuju atau tidak dengan hal itu.”
”Apa lagi yang kau mau? Aku siap mewujudkannya.”
”Aku meminta Kadore menjadi putra mahkotaku. Dialah yang akan menjadi raja Lifet, jika kelak aku mangkat. Bersediakah Kanda menerimanya?”
Macello bergeming sejenak, namun ia lantas bersabda,
”Kau sudah sangat berbesar hati memperkenanku menikah lagi. Maka tiada alasan apa pun menolak permintaanmu. Aku percaya, Yang Mahakuasa akan memberiku keturunan lagi dan dialah nanti yang menjadi putra mahkota kerajaan Bifet.”
”Terima kasih, Kanda. Aku berharap, begitu kau kembali ke istana, segera kau pilih perempuan cantik paling baik yang kau kenal menjadi permaisurimu yang baru.”
”Aku janji akan memenuhi harapan perempuan yang paling aku cintai.”
Macello dan Violin berpelukan dalam suasana sanubari yang sangat beragam. Bom waktu akhirnya batal meledak lantaran dapat dijinakkan dengan elegan. Kedua pemimpin yang saling mengasihi tersebut sementara berpisah, kendati dengan berat hati. Begitu tiba kembali di tempat tinggalnya, Raja Macello segera mengadakan seleksi pribadi guna menentukan calon pendamping hidupnya yang baru. Sang raja akhirnya memilih Katharina, pelayan berparas rupawan yang cerdas dan paling simpatik di istana yang sudah lama dikaguminya, sebagai istri keduanya. Pesta pernikahan diadakan cukup sederhana untuk ukuran seorang raja. Jadilah kini Ratu Katharina menjadi permaisuri Raja Macello. Dua tahun setelah pernikahan tersebut, lahirlah Pangeran Dimifa yang langsung ditahbiskan sebagai putra mahkota kerajaan Bifet. Raja Macello tak perlu khawatir lagi karena sudah ada seseorang yang bakal meneruskan takhtanya. Sementara itu, Ratu Violin telah memiliki wujud kebahagiaan berbeda sebagai pemimpin yang mencintai dan dicintai oleh rakyatnya. Rasanya tak cukup alasan untuk berduka, biarpun ia hanya bisa sesekali berjumpa dengan suaminya. Toh, masih ada Pangeran Kadore, sang putra mahkota yang senantiasa setia menyertai langkah ibunya.   

Rabu, 16 November 2016

Hari Toleransi Internasional

JAGA KEBHINEKAAN KITA! 
Tanggal 16 November, sejak tahun 1995, telah ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) sebagai Hari Toleransi Internasional. Ditetapkannya Hari Toleransi Internasional adalah untuk mengingatkan dan memberikan pendidikan kepada masyarakat tentang kebutuhan akan toleransi dan dampak negatif dari intoleransi. Hari Toleransi adalah saat yang tepat untuk mengajak masyarakat mengakui dan menghargai hak dan keyakinan orang lain serta menyadari betapa ketidakadilan, penindasan, rasisme, diskriminasi, kebencian berbasis agama, dan sejenisnya mempunyai dampak yang sangat buruk bagi kehidupan bersama. Toleransi adalah penghormatan, penerimaan, dan penghargaan atas keanekaragaman budaya, ekspresi, dan cara pandang setiap insan. Sikap toleransi akan memupuk keterbukaan, pengetahuan, kebebasan, dan harmoni dalam keragaman. Toleransi bukan hanya sikap moral, tapi juga harus menjadi sikap politik dan hukum seperti penciptaan dunia damai tanpa perang dan perlindungan hak-hak kelompok minoritas. Toleransi bukanlah jasa baik atau belas kasih kepada kelompok minoritas yang berbeda, akan tetapi merupakan kewajiban setiap individu, kelompok, dan Negara. 
"Untuk hidup yang baik tentu memerlukan jalan yang baik, upaya dengan cahaya yang baik, dan nurani yang baik. Karena itu maka suatu saat negeri ini akan maju apabila semuanya dijalankan sebaik-baiknya oleh masyarakat." (Wapres Jusuf Kalla, 9 Juni 2016)

Kejujuran dan Keluhuran Budi

Pesan terakhir Resi Bisma kepada Pandawa :
"Kejujuran dan keluhuran budi lebih berharga daripada emas berlian yang bertumpuk-tumpuk. Harta kekayann bagaimanapun banyaknya tidak akan mampu membawamu ke alam nirwana."
(dikutip dari komik Mahabharata - Pandawa Seda karya RA Kosasih)

Selasa, 15 November 2016

Menjelang Tiba Ujung Senja

Cerpen Luhur Satya Pambudi (NUSANTARANEWS.CO, 13 November 2016) 
“Sepertinya saya perlu mengatakan apa kata teman-teman tadi,” ujar Didik, sopir mobil dinasku, sepulang kami dari rapat kerja yang kuikuti di kantor Gubernur.
“Memangnya apa yang mereka bilang tentang saya, Pak Didik?” tanyaku.
“Mereka bilang, Ibu tidak seperti para pejabat yang lain.”
“Pejabat yang lain seperti apa, sih?” kataku dengan tersenyum.
“Para atasan teman-teman saya itu berbeda sekali dengan Ibu. Mereka rata-rata punya rumah mewah, sekian tahun sekali mobilnya ganti baru, lantas kadang jalan-jalan ke luar negeri.”
“Lalu apa kata Pak Didik menanggapi mereka?”
“Sama saja dengan waktu itu, Bu. Saya jawab, ya seperti Ibu itulah mestinya seorang pejabat. Tidak aji mumpung ketika berkuasa dan tetap hidup sederhana saja. Bukankah yang terpenting adalah hasil kerjanya?”
Aku senang masih ada orang seperti Didik yang sependapat dengan prinsip hidupku, bahwa menjadi pejabat itu tidak otomatis kaya raya. Aku pun merasa beruntung memiliki anak-anak yang tidak pernah menyusahkanku, terutama sejak ayah mereka wafat belasan tahun silam. Memang tak mudah awalnya, mesti menjalani hidup tanpa belahan jiwa di sisi. Dengan gajiku sebagai pegawai negeri dan uang pensiun mendiang suamiku belaka, syukurlah bahwa kami dapat hidup layak selama ini. Anak sulungku telah menikah dan memiliki anak. Dua orang adiknya kini telah hidup mandiri seusai lulus kuliah. Tinggal anak bungsuku yang masih mengerjakan skripsinya, kuharap ia dapat lekas mengikuti jejak kakak-kakaknya.
Ketika pertama kali menjadi pegawai negeri lebih dari tiga puluh tahun lalu, aku tak pernah mengira jenjang karierku sampai setinggi kini, menjadi kepala sebuah instansi pemerintahan tingkat provinsi. Teringatku saat pertama kali diangkat menjadi kepala kantor tingkat kota, baru dua pekan berselang suamiku padam nyawa. Aku berusaha berdiri tegar, namun tak mampu kubendung air mata yang tumpah, ketika  kuucapkan sumpah di depan khalayak. Malu nian rasanya, namun sebatas dapat kuhapus basah wajahku sehabis itu. Bayangkan saja, justru pada hari yang sangat penting dalam riwayat pekerjaanku, tiada seorang pun yang mendampingiku. Semua anakku sedang kuliah dan bersekolah, tak mau kuusik mereka, sehingga tiada yang menemani ibunya. Semata-mata diriku yang sendirian kala Walikota dan pejabat lainnya menyalami kami yang baru dilantik. Kebetulan aku pun satu-satunya perempuan, sementara teman-temanku bersama istrinya masing-masing.
***
Sebuah kebijakan negara yang baru akan segera diberlakukan. Otonomi daerah membuat sebagian kantor mesti digabung atau bahkan dilikuidasi. Maka sejumlah pejabat mau tidak mau akan kehilangan posisinya. Aku mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan. Sekiranya tak lagi menduduki jabatan, aku berencana meminta pensiun saja. Dengan pangkat dan eselon terakhirku, masa pensiunku sebenarnya masih tersisa dua tahun. Namun aku bersedia berhenti lebih dini. Waktuku sebagai abdi negara rasanya sudah maksimal dan tiba masanya beristirahat.
Rangkaian proses seleksi dilakukan oleh Gubernur yang dibantu sebuah tim khusus terhadap semua kepala instansi, termasuk diriku.  Kujalani proses itu semampunya dan tak akan mengelak untuk menerima apa pun hasilnya. Selama menanti hasil seleksi, kujalankan tugas keseharian belaka dan tidak melakukan tindakan tertentu agar tetap menduduki jabatanku. Namun ternyata tidaklah demikian dengan sejumlah temanku.
“Ibu tidak ingin ke mana-mana?” tanya Didik suatu pagi.
“Selama tidak libur, tentu saya hanya pergi ke kantor. Kok Pak Didik bertanya seperti itu?” ucapku yang semula kurang paham maksud pertanyaannya.
“Ada teman-teman Ibu yang secara khusus pergi ke tempat orang pintar atau berziarah ke tempat keramat supaya tetap bisa menjabat. Oh ya, ada pula yang melakukan pendekatan istimewa pada Pak Sekda sebagai orang terdekat Pak Gubernur lho, Bu. Begitulah yang saya dengar dari teman-teman sesama sopir.”
“Untuk apa saya seperti mereka? Memang hal itu bisa memengaruhi keputusan Pak Gubernur, ya? Yang penting, saya berusaha bekerja sebaik mungkin. Selebihnya, saya pasrah pada Tuhan. Jika saya tak lagi jadi pejabat pun bukan masalah. Saya malah mulai berpikir, nanti saya bisa melakukan apa ya setelah pensiun?”
“Menurut saya, Ibu tinggal santai menikmati masa tua saja, jadi bisa bebas momong cucu juga kan, Bu?”
“Oh ya, tentu dengan senang hati saya bisa momong cucu sepuasnya. Menurut Pak Didik, bagaimana jika saya membuka toko kelontong di rumah saja?”
“Waduh, lebih baik tidak, Bu.”
“Memangnya kenapa kalau saya buka toko?”
“Ibu itu orangnya tidak cocok jadi pedagang. Ibu itu orangnya gampang sekali kasihan, kan? Nanti kapan usahanya maju, kalau semua yang mau beli, boleh berhutang atau malah diberi gratis sekalian?”
Aku tersenyum belaka menyimak pendapat Didik. Mungkin memang tidak semua orang memiliki bakat berbisnis, sepertinya diriku salah satunya. Ya sudah, paling tidak aku berkesempatan menjadi ibu rumah tangga seutuhnya bagi anak-anak dan cucuku semasa pensiun nanti. Sesuatu yang barangkali hanya bisa separuh kujalani ketika aku bekerja menghidupi keluargaku selama puluhan tahun. Sayangnya, tak mungkin lagi kunikmati hidup di masa tua bersama suamiku tercinta.
Sekian pekan berselang, Gubernur telah mengeluarkan keputusan yang signifikan. Namaku ternyata tidak tercantum dalam daftar pejabat baru yang akan dilantik. Artinya, mesti segera kuajukan permohonan pensiun. Anak buahku di kantor merasa terpukul kala kusampaikan keputusan Gubernur tersebut.
“Sudahlah, teman-teman tidak perlu berduka dengan kepergian saya. Memang waktunya kita berpisah sudah tiba. Saya harap teman-teman bisa bekerja sama lebih baik dengan kepala kantor yang baru nanti.”
“Kami hanya merasa waktunya terlalu cepat, Bu. Kami masih perlu banyak bimbingan dari Ibu,” kata Irham, salah satu stafku.
“Benar itu, Bu. Lantas apa sih kesalahan dan kekurangan Ibu, hingga mesti diganti oleh Pak Gubernur?” ujar Sita, sekretarisku, dengan wajah memerah menahan air mata yang akhirnya tumpah jua.
“Pengganti saya nanti pasti akan membimbing kalian lebih baik ketimbang saya, Pak Irham. Yang jelas, pasti ada hal-hal penting yang menjadi pertimbangan Pak Gubernur untuk mengganti saya. Lagi pula yang namanya mutasi itu kan hal biasa, Sita?” ucapku seraya berusaha keras tidak terbawa perasaan.
Bukan sesuatu yang ringan untuk tiba-tiba mesti segera meninggalkan tempat tugasku yang terakhir ini. Aku telanjur lebur dengan suasana yang kondusif beserta orang-orang yang mampu apik bekerja sama denganku. Tentu tetap ada beragam masalah yang kami hadapi saban hari, namun selalu dapat kunikmati saat-saat mendapatkan solusi.
“Jujur saja, saya akan kehilangan seorang pemimpin yang tiada duanya. Ibu adalah satu-satunya atasan saya yang bisa menganggap saya setara sebagai teman bicara,” ujar Didik dengan mata berkaca-kaca, membuat hatiku menjadi semakin trenyuh. Aku berupaya benar tetap tegar dengan mengambil napas panjang, sementara kulihat semua anak buahku tertunduk menahan kesedihan.
“Hari ini saya akan mulai merapikan barang-barang di ruang kerja saya. Dua hari lagi, pejabat baru akan dilantik dan dilanjutkan dengan serah terima jabatan. Saya mohon, kalian persiapkan segala sesuatunya sebaik mungkin,” perintahku yang mungkin juga akan menjadi instruksi terakhirku di tempat yang tak bakal kulupakan begitu saja setelah aku pergi.
Bagiku, jabatan adalah amanah, sebuah kepercayaan besar yang harus senantiasa teguh  dijaga. Namun sedari dulu aku sadar, amanah itu dapat diambil sewaktu-waktu dan momentumnya telah tiba. Dengan sukarela kutanggalkan jabatan, lantas menjalani masa pensiun cukup sebagai ibu rumah tangga biasa. Mungkin dapat diibaratkan, waktu bekerjaku selama ini sebagai masa siang yang panjang dalam sebuah hari. Saat senja telah menjelang, akan segera kulewati jua akhirnya. Memang pasti ada banyak hal yang berubah dan tak sama lagi rasanya. Tapi bukankah selama dunia masih berputar, perubahan pun akan selalu setia menyertainya? Lagi pula hidup tanpa dinamika pasti akan terasa menjemukan sekali.
***
Ternyata tidak selalu mudah bagi siapa saja untuk bisa menerima kehilangan jabatan secara tiba-tiba. Ada seorang teman yang sebaya denganku memilih pensiun, lantas memanfaatkan hobi memasaknya dengan membuka rumah makan. Ia salah satu contoh bagus bagaimana menanggapi post power syndrome secara positif, kreatif, dan produktif. Namun ada pula temanku yang nasibnya kurang baik setelah dilengserkan. Setelah tersingkir dari jabatannya, ia hanya dijadikan staf biasa di kantornya. Tak selang berapa lama, ia malah jatuh sakit. Konon ia mengalami tekanan batin, apalagi pengganti dirinya kurang menghargai posisinya sebagai pegawai senior. Semakin hari sakitnya kian parah, hingga akhirnya ia tutup usia, hanya sekitar empat bulan sesudah tak lagi menjadi pejabat. Padahal usianya belum cukup tua, sekian tahun di bawahku.
Ada pula temanku yang juga setelah pensiun menjadi tersangka kasus korupsi di instansi yang pernah dipimpinnya. Setahuku, hobinya adalah mengendarai motor besar yang harganya selangit. Menurut Didik, temanku itu memiliki rumah megah dan mengoleksi sejumlah mobil mahal pula. Aku tak paham bagaimana pejabat di daerah bisa sekaya dirinya.
Beruntunglah diriku yang tidak ambisius selama bekerja. Sungguh kusyukuri bisa melewati masa pensiun dengan bersahaja. Menjelang tiba ujung senja kini, aku ingin bahagia belaka menyaksikan anak keturunanku senantiasa diberi-Nya rezeki yang cukup dalam hidupnya, dan menjadi insan berguna sebagai apa pun mereka. Hatiku akan tenang menanti malam tiba, sampai akhirnya menutup mata selamanya.

Kamis, 10 November 2016

Fiksi Menerjemahkan Mimpi dan Menafsirkan Kenyataan

Fiksi (puisi dan cerita) adalah menerjemahkan mimpi-mimpi ke dalam dunia kenyataan dan menafsirkan kenyataan dunia ke dalam impian. 
(Nietzsche dalam suratnya ke Richard Wagner - dikutip dari buku "Jangan Mau Gak Nulis Seumur Hidup" karya Gola Gong)

Rabu, 09 November 2016

Penulis Harus Rendah Hati

Seorang penulis harus memiliki kerendahan hati dan seorang calon penulis harus belajar memiliki sikap ini. Namun sikap yang fatal bagi seorang calon penulis adalah sikap putus asa. 

(Ismail Marahimin)

Jumat, 04 November 2016

Inilah Saatnya

Inilah saatnya
melepas sepatu yang penuh kisah
meletakkan ransel yang penuh masalah
dan mandi mengusir rasa gerah
menenangkan jiwa yang gelisah.
Amarah dan duka
menjadi jeladri dendam
bola-bola api tak terkendali
yang membentur diri sendiri
dan memperlemah perlawanan.
Sebab seharusnya perlawanan
membuahkan perbaikan,
bukan sekadar penghancuran.
Inilah saatnya
meletakkan kelewang dan senapan,
makan sayur urap
mengolah pencernaan,
minum teh poci,
menatap pohon-pohon
dari jendela yang terbuka.
Segala macam salah ucap
bisa dibetulkandan diterangkan.
Tetapi kalau senjata salah bicara
luka yang timbul panjang buntutnya.
Dan bila akibatnya hilang nyawa
bagaimana akan membetulkannya?
Inilah saatnya
duduk bersama dan bicara.
Saling menghargai nyawa manusia.
Sadar akan rekaman perbuatan
di dalam buku kalbu
dan ingatan alam akhirat.
Ahimsa,
tanpa kekerasan menjaga martabat bersama.
Anekanta,
memahami dan menghayati
keanekaan dalam kehidupan
bagaikan keanekaan di dalam alam.
Menerima hidup bersama
dengan golongan-golongan yang berbeda.
Lalu duduk berunding
tidak untuk berseragam
tetapi untuk membuat agenda bersama.
Aparigraha,
masing-masing pihak menanggalkan pakaian
menanggalkan lencana golongan
lalu duduk bersama.
Masing-masing pihak hanya memihak
kepada kebenaran.
Inilah saatnya
menyadari keindahan kupu-kupu beterbangan.
Bunga-bunga di padang belantara
Lembutnya daging dan susu ibu
dan para cucu masa depan
mencari Ilham.
Inilah saatnya,
Inilah saatnya.
Ya, saudara-saudariku.
Inilah saatnya bagi kita.
Di antara tiga gunung
melekuk rembulan.
Cipayung Jawa, November 2001
(W.S Rendra)
Buku: Doa Untuk Anak Cucu

Senin, 31 Oktober 2016

Riwayat Karya

Setiap karya memiliki riwayat tersendiri. Cerpen "Berbincang Menunggu Giliran" yang baru ditulis 17 Oktober 2016 dini hari dan langsung dikirim menjelang pagi tiba, ternyata dimuat di Kedaulatan Rakyat edisi Minggu, 23 Oktober 2016. Sesuatu yang begitu saya syukuri pastinya. Membuat cerpen baru menjadi hal yang jarang saya lakukan lagi akhir-akhir ini. Maka dalam sebulan terakhir, saya kembali mempelajari buku-buku yang menjadi pedoman saya dalam menulis sejak 2006 dahulu. Hasilnya memang tidak langsung menjadikan saya produktif seperti tempo hari, tapi setidaknya mulai ada karya baru yang bisa tercipta lagi. Tetap sabar saja menjalani proses kreatif dengan segala lelikuannya.

Senin, 24 Oktober 2016

Berbincang Menunggu Giliran

Cerpen Luhur Satya Pambudi dimuat di Kedaulatan Rakyat Minggu, 23 Oktober 2016.

Mengantisipasi sekiranya mesti antre menunggu giliran, ketimbang sebatas bergeming sembari melihat lalu-lalang kendaraan, maka kubawa sebuah buku yang bisa kubaca untuk mengisi waktu. Bisa saja sebenarnya kumanfaatkan telepon seluler untuk berselancar ke mana-mana, selayaknya yang dilakukan kebanyakan orang belakangan ini, namun sengaja kubatasi diri untuk tidak terlalu tergantung pada piranti teknologi. Lagi pula aku masih bisa menikmati sensasi membaca dengan membuka-buka lembaran kertas buku, koran, ataupun majalah. Kebiasaan membaca tulisan yang berkualitas lambat laun tentu bisa memperbaiki caraku berpikir dan menyikapi segala sesuatu. Rupanya terdapat sejumlah buku di kamarku, yang pernah kubeli dengan harga murah dalam sebuah pameran sekian tahun silam, yang belum tuntas kubaca. Salah satunya kuambil dan kumasukkan ke dalam tasku. Begitu sampai di tempat tujuan, ternyata ada yang sedang dicukur rambutnya, maka duduklah aku di amben dari bambu. Aku pun mengeluarkan buku dari tasku. Baru saja kubaca satu paragraf, seorang lelaki datang. Ia duduk di sampingku dan membuka percakapan denganku.
          “Maaf, buku apa yang sedang Anda baca?”
          “Oh, ini karya Kahlil Gibran.”
          “Ah, rupanya Anda penggemar sastra? Memangnya kuliah di mana?”
          “Dulu, di sebuah universitas negeri.”
          “Masih kuliah atau sudah lulus?”
          “Tidak selesai.”
          “Lalu apa yang Anda kerjakan selama ini?”
          “Saya bekerja serabutan saja.”
          Sesuatu yang sejatinya tidak kusukai adalah jika ada orang yang menanyakan hal-hal yang sangat pribadi tentang diriku, apalagi orang itu baru pertama kali kutemui. Namun aku berusaha sabar menjawab sedapat mungkin apa pun pertanyaannya untukku. Tentu demi sopan santun jua, mengingat ia jelas jauh lebih tua ketimbang aku. Mungkin seumuran paman atau kakak tertuaku.
          “Kenapa kok dulu sampai tidak selesai kuliah?” tanya orang itu, yang sepertinya penasaran ingin lebih mengenal siapa aku.
          “Alasan pribadi yang tidak bisa saya sampaikan,” sahutku seraya berharap ia tak bertanya-tanya lagi. Asaku menjadi nyata ketika sang tukang cukur memanggilku karena pelanggan sebelum aku telah tampil dengan potongan rambut terbarunya. Aku pun beranjak masuk dengan perasaan lega karena tak perlu menanggapi perkataan yang sudah mulai membuat hatiku tak nyaman.

***
          Sebenarnya diajak berbincang ketika menunggu giliran di tempat itu pernah kualami pula sekitar sembilan bulan silam. Namun suasananya berbeda karena lelaki yang mengajakku bicara bukanlah orang asing bagiku. Beliau pernah beberapa kali memberi ceramah di masjid kampungku. Lelaki tua itu salah satu guru favoritku lantaran pembawaannya yang humoris. Pengurus masjid kami suka mengundangnya karena beliau tidak bersedia dibayar dengan amplop berisi uang. Pulang dengan membawa kotak berisi makanan kecil sudah cukup membuatnya bersukacita. Sekiranya beliau tidak mengenalku, tentu bukanlah problema berarti bagiku. Tapi ketika kukatakan bahwa aku kerap menyimak nasihatnya di masjid kampungku, rona wajahnya tampak berseri-seri.
          Biarpun suaranya terdengar lirih di antara kebisingan suara kendaraan bermotor yang mondar-mandir tepat di hadapan kami, kucoba mencatat sepercik nasihatnya. Kendati apa yang disampaikannya sudah kupahami, tapi tiada salahnya kuingat lagi.
“Menjalani hidup itu santai sajalah, Nak. Yang penting berpasrah diri pada Allah serta tak pernah alpa selalu berterima kasih pada-Nya.”
Tersenyum belaka aku menanggapinya. Tentu aku sepakat dengan hal itu.
“Memiliki istri itu tak perlu terlalu ayu, tapi mungkin lebih baik jika dia bekerja dan memiliki penghasilan sendiri.”
Aku memang berharap demikian, ucapku dalam hati. Entah dia bekerja sebagai pegawai, karyawati, guru, seniwati, atau malah memiliki usaha mandiri. Perbincangan kami terhenti karena giliran rambutku dicukur sudah tiba. Beliau sebenarnya mempersilakan aku berkunjung ke rumahnya –yang tak jauh dari situ- untuk membahas apa saja. Barangkali ada baiknya tawaran tersebut kuterima, siapa tahu bakal lebih nyaman hatiku dan tertata pikiranku setelah memperoleh sejumlah pelajaran berharga dari sang lelaki tua yang sarat pengalaman dalam menempuh lelikuan kehidupan. Kuharap bisa terjadi dialog yang berkesan nanti, tapi hingga hari ini aku belum pernah menjumpainya lagi.

Yogyakarta, 17 Oktober 2016

Kamis, 20 Oktober 2016

Tak Usah Kritisi yang Tak Paham


Tak usah kau kritisi hal yang tak bisa kau pahami.
(Bob Dylan adalah peraih Hadiah Nobel Sastra 2016, musisi pertama yang mendapatkannya)