Senin, 21 November 2016

Sang Raja

Cerpen Luhur Satya Pambudi dimuat di Bali Post 20 November 2016.
Inilah kisah tentang seorang raja yang hidup ratusan tahun silam dan tidak terlalu lumrah. Mengapa demikian, lantaran sejatinya ia setia dan tidak ingin menghambur-hamburkan cintanya kepada setiap perempuan di mana saja. Tentu tidak sebagaimana layaknya para raja di masa itu atau bahkan sebagian besar hasrat kaum adam hingga saat ini. Ia bukanlah lelaki yang mudah jatuh hati. Namun sebuah peristiwa penting membuat sang raja akhirnya menikah untuk kedua kalinya. Raja tersebut bernama Macello. Ia memimpin kerajaan bernama Bifet. Macello dinobatkan sebagai raja pada usia lima belas tahun demi menggantikan ayahnya yang gugur dalam satu pertempuran. Enam tahun kemudian, Raja Macello mengakhiri masa lajangnya dengan menikahi Violin, putri pertama Raja Guitarra dari kerajaan Lifet, yang merupakan teman bermainnya sedari bocah.
         Semula Violin sempat tak yakin dengan kesungguhan hati Macello untuk tidak menduakan cintanya sekiranya mereka menikah nanti, mengingat kecenderungan kebanyakan raja yang biasanya memiliki istri lebih dari satu.
        ”Aku janji bahwa aku bisa berbeda dengan raja lainnya. Aku hanya akan menikahi seorang perempuan dan kaulah semata bidadari pilihanku,” tegas Macello.
    ”Rasanya masih tetap tak mudah bagiku percaya padamu, Kanda. Mohon maklumi keraguanku ini,” ujar Violin.
        ”Aku tak bisa memaksamu agar lekas percaya padaku, Dinda. Aku maklum karena ayahku pun memiliki tiga istri. Oh ya, aku teringat sesuatu. Bukankah ayahmu, Raja Guitarra, memiliki seorang istri belaka?”
          ”Iya, ayahku memang hanya pernah menikahi ibuku.”
          ”Jadi, aku bisa mengikuti jejak ayahmu, bukan?”
       ”Baiklah, Kanda. Aku percaya, kau bisa seperti ayahku.” Putri Violin mengatakannya dengan senyuman lebar dan mata berbinar-binar. 

***
Bersandingnya Raja Macello dan Putri Violin di pelaminan menjadi hari istimewa bagi dua wilayah kerajaan. Masyarakat kedua negeri pun bersukacita menyambut pernikahan agung mereka. Andaikata dalam kebanyakan dongeng, sebuah pernikahan pasti akan sarat sukacita hingga akhir masa, namun tidak mutlak demikian kisah Raja Macello dan Putri Violin. Sesungguhnya ada sebuah masalah terpendam, selayaknya bom waktu yang setiap saat dapat meledak, dan bisa jadi menimbulkan dampak yang kurang apik di masa depan. Violin pernah mengingatkan sesuatu yang cukup mengusik perasaan Macello, tapi sang raja muda tidak bersedia berpikir lebih jauh ketika itu.
          ”Kanda Raja tentu ingat bahwa aku adalah calon ratu kerajaan Lifet, bukan?” tanya Violin kepada kekasihnya.
          ”Iya, aku tahu kau merupakan ahli waris pertama ayahmu. Lantas apa yang kau khawatirkan?” Macello balas bertanya.
          ”Mungkin aku mesti pergi dari sini ketika tugas negara memanggilku,” ujar Violin dengan air mata yang mulai menetes. Pastilah ia tak ingin berpisah begitu saja dengan suami tercinta.
          ”Dinda, tak usahlah menangis. Kita pasti sanggup menghadapinya, jika hal itu benar terjadi. Lagi pula, bukankah ayahanda Raja Guitarra masih segar bugar saat ini? Kita doakan saja agar beliau panjang usia dan sehat senantiasa,” kata Macello mencoba mengenyahkan kegundahan hati istrinya.
          Pembicaran tersebut terjadi manakala pernikahan pemimpin Bifet dan putri mahkota Lifet baru berlangsung beberapa hari. Menjelang satu tahun usia pernikahan mereka, lahirlah Pangeran Kadore dari rahim Putri Violin. Aroma sukacita pun kian melingkupi kehidupan dua sejoli yang kini memiliki permata hati.


***
Dua tahun berselang, terjadilah sesuatu yang tak terduga oleh sesiapa. Berita lelayu datang dari istana kerajaan Lifet. Raja Guitarra mangkat secara tiba-tiba, diduga terkena serangan jantung.
          ”Kanda Raja, aku harus segera pulang,” cetus Putri Violin yang langsung gelisah begitu mendengar kabar yang sangat melukai hatinya.
          ”Dinda, tenangkan dirimu. Akan kusertai langkahmu ke mana saja,” sahut Raja Macello.
          ”Tapi aku mungkin akan segera diangkat sebagai ratu di kerajaanku. Bagaimana dengan hubungan kita?”
          ”Entahlah. Coba kita jalani saja dulu.”
          Raja Macello, Putri Violin, dan Pangeran Kadore, dengan diiringi pasukan khusus bergegas meninggalkan istana kerajaan Bifet menuju Lifet yang tengah diliputi suasana kesedihan yang begitu dalam. Mendiang Raja Guitarra merupakan pemimpin yang dicintai rakyatnya. Kepergiannya yang sangat mendadak ditangisi seluruh penjuru negeri.
          ”Putri Violin, kau harus segera mempersiapkan diri untuk dua acara sekaligus,” ujar Pangeran Pianolo yang merupakan perdana menteri kerajaan Lifet. 
          ”Apakah kita mesti bergegas melakukannya, Paman?”
          ”Tentu saja. Kau akan segera dilantik menjadi ratu kerajaan Lifet, sesaat setelah pemakaman ayahmu esok hari.”
Putri Violin pun naik takhta sebagai pemimpin baru di negerinya, tak berapa lama sesudah jasad Raja Guitarra dikebumikan. Mahkota yang semula dikenakan oleh sang ayah kini terpajang anggun di atas kepala istri Raja Macello. Sebuah tanggung jawab besar mesti disandang oleh sang ratu yang baru berusia dua puluh tiga tahun.

***
”Sekarang aku mesti memanggilmu Dinda Ratu,” kata Raja Macello pada pagi hari berikutnya.
”Bukankah selama ini aku sudah menjadi ratu di hatimu, Kanda Raja?”
”Tentu saja, sayang. Tapi kau tahu, aku tak bisa terlalu lama di sini. Aku mesti lekas pulang ke Bifet, rakyatku sudah menunggu kehadiranku.”
”Ah, kenapa waktu tak bisa berhenti sejenak, agar kau tetap di sini menemaniku?”
”Maafkan aku, Dinda. Kau pasti paham, begitu banyak tugas menantiku di sana.”
Mereka berdua bergeming belaka sejenak masa. Ada banyak hal yang tampaknya berkecamuk di kepala dan dada mereka masing-masing yang belum bisa diungkapkan.
”Kanda, aku punya sebuah gagasan. Aku tahu ini bukan sesuatu yang mudah, tapi aku sudah memikirkannya semalaman, dan kuputuskan merelakannya dengan kesungguhan hati,” ucap Ratu Violin memecah kesunyian.
”Apa yang sesungguhnya sedang kau bicarakan, Dinda?” tanya sang suami.
”Sejak aku menjadi ratu di kerajaan ini, aku tak mungkin mendampingimu lagi setiap waktu, bukan?”
”Bukankah kita bisa kerap saling mengunjungi?”
”Aku setuju hal itu, tapi menurutku kita tak perlu terlalu sering meninggalkan istana maupun tugas kita masing-masing.”
”Lantas apa gagasanmu?”
”Kanda, aku ingin kau menikah lagi.”
”Hah, apa aku tak salah dengar? Tidakkah kau ingat, aku telah berjanji setia padamu semata? Dan kau tak mau jika aku menikahi sesiapa lagi, bukan?”
”Iya, memang dahulu begitulah sikapku. Namun kucoba membuka hati dan benakku melihat kenyataan. Sikapku berubah kini. Aku justru ingin Kanda bisa tetap merasakan kebahagiaan memiliki istri yang setia mendampingi sang raja. Aku jelas tak mampu melakukannya lagi, sejak aku mesti tinggal di sini memimpin rakyatku.”
”Lalu bagaimana denganmu sendiri?”
”Jika Kanda berkenan, aku tetap menjadi istri Raja Macello, meski kita bakal tinggal berjauhan.”
”Aku tak mengerti mesti berkata apa lagi, Dinda.”
”Tapi aku punya sebuah syarat, Kanda. Aku tak tahu, apakah Kanda Raja setuju atau tidak dengan hal itu.”
”Apa lagi yang kau mau? Aku siap mewujudkannya.”
”Aku meminta Kadore menjadi putra mahkotaku. Dialah yang akan menjadi raja Lifet, jika kelak aku mangkat. Bersediakah Kanda menerimanya?”
Macello bergeming sejenak, namun ia lantas bersabda,
”Kau sudah sangat berbesar hati memperkenanku menikah lagi. Maka tiada alasan apa pun menolak permintaanmu. Aku percaya, Yang Mahakuasa akan memberiku keturunan lagi dan dialah nanti yang menjadi putra mahkota kerajaan Bifet.”
”Terima kasih, Kanda. Aku berharap, begitu kau kembali ke istana, segera kau pilih perempuan cantik paling baik yang kau kenal menjadi permaisurimu yang baru.”
”Aku janji akan memenuhi harapan perempuan yang paling aku cintai.”
Macello dan Violin berpelukan dalam suasana sanubari yang sangat beragam. Bom waktu akhirnya batal meledak lantaran dapat dijinakkan dengan elegan. Kedua pemimpin yang saling mengasihi tersebut sementara berpisah, kendati dengan berat hati. Begitu tiba kembali di tempat tinggalnya, Raja Macello segera mengadakan seleksi pribadi guna menentukan calon pendamping hidupnya yang baru. Sang raja akhirnya memilih Katharina, pelayan berparas rupawan yang cerdas dan paling simpatik di istana yang sudah lama dikaguminya, sebagai istri keduanya. Pesta pernikahan diadakan cukup sederhana untuk ukuran seorang raja. Jadilah kini Ratu Katharina menjadi permaisuri Raja Macello. Dua tahun setelah pernikahan tersebut, lahirlah Pangeran Dimifa yang langsung ditahbiskan sebagai putra mahkota kerajaan Bifet. Raja Macello tak perlu khawatir lagi karena sudah ada seseorang yang bakal meneruskan takhtanya. Sementara itu, Ratu Violin telah memiliki wujud kebahagiaan berbeda sebagai pemimpin yang mencintai dan dicintai oleh rakyatnya. Rasanya tak cukup alasan untuk berduka, biarpun ia hanya bisa sesekali berjumpa dengan suaminya. Toh, masih ada Pangeran Kadore, sang putra mahkota yang senantiasa setia menyertai langkah ibunya.   

Tidak ada komentar: