Senin, 17 Agustus 2009
Apakah Gunanya Pendidikan? (WS Rendra)
Aku bertanya :
Apakah gunanya pendidikan
bila hanya akan membuat seseorang menjadi asing
di tengah kenyataan persoalannya ?
Apakah gunanya pendidikan
bila hanya mendorong seseorang
menjadi layang-layang di ibukota
kikuk pulang ke daerahnya ?
Apakah gunanya seseorang
belajar filsafat, sastra, teknologi, ilmu kedokteran
atau apa saja,
ketika pulang ke daerahnya, lalu berkata :
“Di sini aku merasa asing dan sepi!”
(dari “Sajak Seonggok Jagung” – WS Rendra)
Rabu, 05 Agustus 2009
Nonton Pekan Budaya Rusia di Yogyakarta
____________Pada hari Sabtu malam, 1 Agustus 2009 gedung kesenian kebanggaan warga Yogyakarta -concert hall TBY- mendapat kehormatan menampilkan aneka ragam kebudayaan dari Rusia. Acara tersebut merupakan bagian dari Russian Cultural Days yang berlangsung selama sekian hari di Jakarta dan Yogyakarta. Beruntunglah kami di Jogja yang berkesempatan menyaksikan pertunjukan langka dari mereka yang negara asalnya jauh nian dari Indonesia. Sebelum pentas, diputarlah sebuah film dokumenter tentang hubungan Indonesia-Rusia, yang ternyata telah berlangsung sejak hampir 60 tahun lalu. Bung Karno dan Nikita Kruyschev (pemimpin besar Uni Sovyet saat itu) terlihat begitu hangat dan bersahabat. Yang menarik, ketika Bung Karno menjamu Nikita di Istana Negara ada sebuah pertunjukan tari Jawa, yang salah satu penarinya adalah Megawati Soekarnoputri!
Hubungan Indonesia-Rusia/Uni Sovyet koyak setelah peristiwa G 30 S dan belum lama ini hubungan kedua negara baru mulai harmonis kembali. Presiden SBY telah berkunjung ke Rusia dan telah dibalas oleh PM Vladimir Putin yang datang pula ke Indonesia. Dalam rangka peringatan 60 tahun hubungan bilateral antara Indonesia dan Rusia itulah, maka Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia bekerja sama dengan Pemerintah Federasi Rusia menggelar Pekan Kebudayaan Rusia di Indonesia.
Puluhan seniman Rusia menampilkan berbagai bentuk kebudayaannya, seperti tarian tradisional dan kontemporer, sulap, dan pertunjukan musik. Penonton yang memadati concert hall seolah terhipnotis dengan berbagai penampilan yang memukau. Bermula dari empat orang penyanyi dengan suaranya yang powerfull, seolah kita sedang mendengar sebuah kelompok paduan suara yang bernyanyi. Dilanjutkan sebuah tari tradisional yang melibatkan penari lelaki dan perempuan. Lalu penonton tersenyum ketika menyaksikan sebuah tarian tradisional Rusia yang dipadukan dengan sulap. Sang penari dapat berganti kostum dengan sangat cepat hanya dengan ditutupi oleh sehelai kain. Ada pula sebuah pertunjukan balet dari sepasang penari yang sungguh elok dipandang.
Tak kalah menariknya adalah pertunjukan musik oleh string kuartet Rusia. Ada sedikit insiden ketika tiba-tiba sebagian listrik di concert hall mati, tapi keempat pemusik tetap memainkan alat musiknya penuh konsentrasi. Semakin riuh rendah tepuk tangan penonton bagi mereka ketika listrik menyala lagi. Kelompok musisi etnik Rusia ini lantas tampil bersama seorang pemain akordion. Selanjutnya ada kolaborasi sang pemain akordion dengan empat musisi muda Jogja yang masing-masing memainkan gitar, bass, gamelan, dan kendang. Satu kerja sama yang seru pula jadinya! Kemudian ada pertunjukan akrobat dari seorang lelaki dibantu dua orang perempuan. Disusul kemudian akrobat dari seorang perempuan cantik yang lincah memainkan sejumlah hulahoop dan sebuah benda yang berbentuk unik. Para penari tradisional kembali tampil dengan gerakan yang demikian cepat, kompak, dan tanpa lelah. Sangat menakjubkan!
Senyuman selalu tersungging di wajah para penari yang semuanya ganteng dan cantik itu.
Penonton pun makin terpukau ketika pada akhir acara, para seniman Rusia tersebut menyanyikan sebuah lagu tradisional Rusia, tetapi dinyanyikan dengan bahasa Indonesia. Karena logat yang berbeda, alhasil lagu tersebut pun jadi terdengar lucu di telinga para penonton Indonesia. Yang pasti, semua penonton puas sekali sehabis menikmati pertunjukan seni budaya Rusia tersebut.
Sumber foto : Kompas Images
Catatan Juli : YGF 2009
Setahun begitu lekas berlalu. Tahun 2008 lalu untuk pertama kalinya kusaksikan acara Yogyakarta Gamelan Festival di TBY. Dan tahun ini, pada 16-18 Juli 2009 silam sudah terselenggara kembali YGF untuk ke-14 kalinya. Yang tak kuduga, ternyata tahun lalu untuk pertama sekaligus terakhir kalinya kulihat kiprah Sapto Raharjo dalam YGF. Sekian bulan berselang beliau telah kembali ke haribaan Ilahi. Maka YGF 2009 adalah gawean besar pertama tanpa kehadiran sang pelopor dan dipersembahkan khusus untuk mengenang Sapto Raharjo (Tribute to Sapto Raharjo), sementara temanya adalah ’Gamelan Everywhere’.
Mas Jijit selaku pembawa acara –juga direktur YGF 2009- meminta para penonton yang memadati concert hall mengheningkan cipta sejenak untuk almarhum Mbah Sapto, menjelang kelompok pertama tampil. Yayasan Pamulangan Beksa Sasmita Mardawa menjadi pembuka pementasan hari pertama. Sebenarnya kelompok tersebut adalah komunitas tari dan semua yang tampil adalah para penari. Tapi mereka tak hanya menari, mereka juga memainkan gamelan, melantunkan tembang-tembang, dan sedikit berdrama pula. Penonton tampak terhibur dengan penampilan mereka dan ada dua orang yang kukenal di antara anggota kelompok tersebut. Kutiplak Ndang Tak menjadi artis kedua yang tampil. Keempat pemainnya tampil minimalis, baik secara kostum maupun alat musik yang dimainkannya. Awalnya mereka serius banget, apalagi kostumnya macam pertapa jaman baheula. Tapi sudah kuduga bahwa mereka bakal tampil kocak, seperti yang kubilang pada sepupuku yang nonton bersamaku. Akhirnya penonton tertawa melihat kepiawaian mereka mengeksplorasi tubuh dan suara. KPH 9 pimpinan Alex Dea menampilkan komposisi panjang, yang seperti ujian kesabaran bagi para penonton yang berusia muda, termasuk kami berdua. Agus Bing & Prabumi Ethnic Jazz Band kembali membangkitkan gairah penonton dengan nomor-nomor jazz. Nuansa etnik diwakili oleh suara kendang dan gender bonang, sementara ada pemain piano, bass, saxophone, dan drum di sisi lain. Penampilan selanjutnya dari Stupa, band campur gamelan lagi persembahan para mahasiswa UNY. Menarik juga. Ada jam session di akhir pertunjukan hari pertama. Mas Jijit menggantikan posisi Mbah Sapto sebagai komandan.
Hari kedua dibuka oleh Gita Rarya yang membawakan tembang dolanan anak dan dimainkan oleh mayoritas anak-anak dan remaja. Apa yang ditampilkan cukup mengundang senyuman para penonton. Kito Siopo menjadi artis berikutnya. Grup gamelan multinasional itu tampil lagi setelah tahun lalu, hanya personelnya sudah berubah. Alex Grillo & Friends tampil luar biasa dengan lagu-lagunya yang rancak. alex Grillo memainkan vibraphone dengan sangat lincah dan harmonis sekali dengan suara gamelan. Para pemainnya mayoritas adalah para kru yang biasanya mempersiapkan piranti musik. Mereka ternyata para pemusik sejati pula. Hebatnya, hampir setiap berganti lagu, para pemainnya berganti alat musik juga. Salut! Kelompok Singgayan dari Tolitoli Sulawesi Tengah menampilkan kesenian tradisionalnya yang ternyata menarik pula disimak. Sebagian besar pemainnya masih muda dan terlihat enerjik. Salah satu musisi seniornya juga tampil bersemangat mendampingi putra-putrinya.
Hari ketiga dibuka oleh permainan mengasyikkan Youngsters Gamelan 16 yang juga bertindak sebagai panitia YGF. Rene Lysloff dan dua kawannya membawakan gamelan eksperimental menggunakan komputer yang rada susah dinikmati, tapi tetap menarik. Kabud Hitam Percussions dari Pamekasan Madura sangat layak menjadi artis pamungkas. Dengan sebagian besar pemainnya memainkan alat perkusi, lagu demi lagu yang dibawakan selalu meningkatan semangat penonton. Lama-lama penonton tidak tahan juga, hingga akhirnya banyak yang maju ke depan panggung bergoyang mengikuti irama. Panitia yang masih muda-muda itulah yang menjadi pengompor penonton supaya lebih terlibat dalam acara dan tidak sekadar duduk manis. Selamat kepada Mas Jijit, Mas Joko, Mbak Amik, dan kawan-kawannya yang telah berhasil menyelenggarakan YGF edisi ke-14, kendati Mbah Sapto telah tiada. Dirgahayu untuk Yogyakarta Gamelan Festival !
Langganan:
Postingan (Atom)