Jumat, 30 Maret 2018
Terima Kasih Kepada Franky dan Gombloh
Terima kasih kepada pencipta lagu Pancasila Rumah Kita (Franky Sahilatua) dan Berkibarlah Bendera Negeriku (Gombloh) yang karyanya masih tetap dinyanyikan anak-anak sekolah hari ini serta menjadi inspirasi kami untuk lebih mencintai Indonesia.#flssnkotayogya2018
Rabu, 28 Maret 2018
Alam Semesta Citra Surga
"Orang-orang bijak memahami bahwa alam semesta ini hanyalah citra dan tiruan akan surga. Dunia ini ada sekadar untuk menunjukkan bahwa ada dunia yang lebih sempurna. Allah menciptakan dunia ini agar melalui objek-objeknya yang terlihat, manusia bisa memahami ajaran-ajaran spiritualnya serta kebijaksanaannya yang amat sangat mengagumkan." (Paulo Coelho)
Senin, 26 Maret 2018
Mengenal Allah dan Optimisme Hidup
Dengan mengenal Allah, yakni mengenal sifat/nama-nama-Nya, seseorang dapat berbudi luhur karena keindahan sifat-sifat-Nya akan melahirkan optimisme dalam hidupnya sekaligus mendorongnya berupaya meneladani sifat-sifat tersebut sesuai dengan kedudukan dan kemampuannya sebagai makhluk.
(M. Quraish Shihab dalam Pendahuluan buku "Al-Asma' Al-Husna")
Minggu, 25 Maret 2018
Berpikir Membongkar Mitos
Apa bedanya berpikir dengan tidak berpikir, sehingga sebelum bertindak seseorang sebaiknya lebih dulu berpikir? Berpikir itu artinya membongkar mitos. Kalau belum membongkar, tentu belum cukup berpikir. Artinya yang tidak berpikir hidupnya dikuasai mitos, padahal mitos sama saja dengan berhala.
(Seno Gumira Ajidarma)
Selasa, 20 Maret 2018
Rabu, 14 Maret 2018
Membaca Adalah Belajar
Di zaman ini kita percaya bahwa 'membaca adalah belajar'. Dari bacaan-bacaan yang tersedia, kita terdorong untuk melakukan pekerjaan yang sama, pekerjaan yang harus kita katakan sebagai bentuk khas kreatif dalam kemampuan mengolah bahasa dengan kata dan kalimat.
(Alif Danya Munsyi)
(Alif Danya Munsyi)
Senin, 12 Maret 2018
Perempuan Istimewa
Tujuh puluh empat tahun yang lalu, seorang bayi perempuan dilahirkan di tempat pengungsian. Bayi itu tumbuh menjadi perempuan yang ayu parasnya, baik hatinya, serta manis tutur kata dan perbuatannya. Ibunya pernah mengatakan bahwa sejak lahir sampai kembali kepadaNya perempuan ini tidak pernah menyusahkan keluarga dan selalu baik pada siapapun.
Setelah menyelesaikan kuliahnya di kota yang terkenal dengan lumpianya, perempuan ini bekerja di sebuah kantor pemerintah di kota kelahirannya. Tak lama kemudian dia bertemu dengan seorang tentara yang mengikat hatinya sejak pertama mereka bertemu. Mereka pun menyatukan hati dalam ikatan suci. Mereka hidup bahagia bersama anak-anak mereka, enam putri dan satu putra terkecil. Ketika sang suami usai menunaikan tugas negara, mereka melanjutkan perjalanan hidup mereka ke sebuah kota tempat berkumpulnya berbagai pelajar dan mahasiswa dari seluruh Nusantara.
Sang suami merasa beruntung mendapatkan perempuan ini sebagai ibu dari anak-anak mereka. Perempuan ini memiliki karir cukup cemerlang di kantor pemerintah, pagi sampai siang bekerja, kadang malam harus berangkat lagi jika ada rapat atau kegiatan bersama para pimpinan pemerintah maupun para wakil rakyat. Meskipun demikian, perempuan ini tetap menjalankan kewajibannya sebagai istri dan ibu yang baik di sela kesibukannya. Anak-anak tidak pernah merasa kekurangan kasih sayang dan perhatian dari ibu mereka. Perempuan bertubuh mungil ini menjadi idola bagi anak-anaknya. Ketika suatu saat ibu mereka cuti beberapa hari dan anak-anak senang karena ibu mereka ada di rumah, mereka tidak menyadari bahwa sebenarnya ibu mereka sedang sakit dan seharusnya dirawat di rumah sakit. Perempuan ini sengaja menyembunyikan penyakitnya dari anak-anaknya dan memohon pada dokter untuk beristirahat di rumah selama beberapa hari untuk memulihkan kondisinya. Meluangkan waktu bersama anak-anak akan menyembuhkan penyakitnya, begitu alasan perempuan ini.
Dua puluh enam tahun yang lalu perempuan ini kehilangan belahan jiwanya. Sang suami meninggalkannya untuk selamanya dan dia harus melanjutkan perjalanan hidupnya bersama ketujuh anaknya serta beberapa menantu dan cucu yang melengkapi kehidupan mereka. Dengan berbekal usaha keras dan doa tiada henti, perempuan ini bisa melewati masa-masa berat sepeninggal sang suami. Kasih sayang dan perhatiannya yang terus mengalir tidak hanya pada anak menantu dan cucu, tapi juga pada ibu kakak adik dan para keponakan, dan juga pada semua orang membuatnya dimudahkan dalam menjalani kehidupannya. Senyuman tulus dan tatapan lembut selalu terpancar di wajahnya, membuat siapapun merasa tenang berada di dekatnya.
Sebelas tahun yang lalu, di hari pertama tahun baru, beberapa jam setelah berpamitan pada ibunya, perempuan ini menyusul sang suami menghadap kembali pada Sang Pencipta. Banyak sekali yang merasa kehilangan perempuan ini. Keluarga, kerabat, tetangga, rekan kerja, kenalan, semua menangisi kepergiannya. Perempuan yang mulia hatinya ini telah pergi untuk selamanya. Innalillahi wa innailaihi roji'un.
Perempuan ini adalah ibu kami, istri dari bapak kami, eyang putri dari anak-anak kami ...
Sampai hari ini, kasih sayang dan ketulusannya masih tersimpan di hati kami. Setiap bertemu orang-orang yang mengenalnya, selalu saja terucap keramahan dan kelembutan hatinya. Semoga semua kebaikannya bisa menjadi teladan bagi kami ... Semoga amal ibadahnya selama di dunia bisa membantunya meraih kebahagiaan yang abadi di surgaNya ... Aamiin ...
Sampai hari ini, kasih sayang dan ketulusannya masih tersimpan di hati kami. Setiap bertemu orang-orang yang mengenalnya, selalu saja terucap keramahan dan kelembutan hatinya. Semoga semua kebaikannya bisa menjadi teladan bagi kami ... Semoga amal ibadahnya selama di dunia bisa membantunya meraih kebahagiaan yang abadi di surgaNya ... Aamiin ...
# Mengenang hari kelahiran perempuan istimewa yang sangat kami sayangi
(Hapsari Satya Lestari)
Sabtu, 10 Maret 2018
Cerpen Curhat
Entah apakah bung redaktur bersedia memberikan tempat kepada cerpen baruku yang semacam curhat itu. Yang penting aku sudah berusaha.
Kamis, 08 Maret 2018
Gagal Paham
Tuhanku
kamilah makhluk-Mu yang tertinggi
yang hari demi hari, abad demi abad
semakin gagal
memahami
keinginannya.
(Emha Ainun Nadjib)
kamilah makhluk-Mu yang tertinggi
yang hari demi hari, abad demi abad
semakin gagal
memahami
keinginannya.
(Emha Ainun Nadjib)
Dosaku Selangit
Guruku banyak,
murid tak punya.
Belajar aku hingga kelak,
hingga habis usia.
Ilmuku sedikit,
Budi pekertiku apalagi.
Dosa-dosaku selangit,
sampai aku malu hati.
(Candra Malik dalam puisi "Semoga Tidak Lupa Diri")
murid tak punya.
Belajar aku hingga kelak,
hingga habis usia.
Ilmuku sedikit,
Budi pekertiku apalagi.
Dosa-dosaku selangit,
sampai aku malu hati.
(Candra Malik dalam puisi "Semoga Tidak Lupa Diri")
Rabu, 07 Maret 2018
Ampar-Ampar Pisang (Art for Children TBY)
Lagu daerah "Ampar-Ampar Pisang" dari Kalimantan Selatan dibawakan oleh anak-anak vokal dan ensembel musik Art for Children (AFC) dalam operet "Anak Indonesia Anak Pancasila" di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta pada 17 Oktober 2017. Video dibuat oleh Wahyana Giri.
Sejarah Kalimantan / Borneo (45.000 SM - 2017 M)
Video "Sejarah Kalimantan/Borneo" karya M. Lazuardi Krisantya.
Senin, 05 Maret 2018
Kebencian Sakiti Diri Sendiri
Jangan biarkan ketidaksenangan kepada sesama hamba Allah berkembang menjadi kebencian. Kebencian hanya menyakiti diri sendiri. (Gus Mus)
Jumat, 02 Maret 2018
Tujuh Tahun Silam
Tujuh tahun silam mengantarnya ke tempat peristirahatan pamungkasnya di Jeruk Purut. Sedikit yang kuingat dan sempat terekam dalam sebuah cerpen tentang siang hari itu :
”Apakah Adji orang baik?” tanya seorang sutradara dan aktor senior negeri ini dengan suara bergetar. Beliau tengah memberi sambutan di depan para pelayat, ketika jenazah pamanku akan dibawa ke tempat peristirahatan terakhirnya dari rumah duka. Semua yang hadir tanpa ragu menjawab ’iya’ dengan menahan sesak di dada, termasuk saya yang sempat tak mampu membendung air mata, kala duduk di dekat jasadnya yang telah terbujur kaku.
”Ketika semua orang sibuk dengan berbagai wacana, Adji tanpa basa-basi sudah melangkah jauh membuat sejumlah hal yang berarti bagi banyak orang dengan caranya sendiri,” ucap seorang dramawan dan penulis terkemuka. Beliau sedang mendeskripsikan sosok yang dikenalnya sejak masih muda dan telah wafat dalam usia yang belum cukup tua.
Hari Terakhir
SEKIRANYA aku mengerti bahwa hari itu terakhir kalinya aku
berjumpa dengan dirinya secara ragawi, barangkali aku akan memintanya tinggal
di kotaku lebih lama. Jika pun tidak, aku pasti akan memaksakan diri menemuinya
di mana saja kami dapat kembali bersua. Anehnya, aku merasa memang ada sejumlah
hal yang tak biasa terjadi dalam perjumpaan terakhir tersebut. Dan tampaknya
diriku belaka yang merasakannya. Salah satu yang khas dari pamanku adalah
sandal jepit dari karet berharga murah yang bisa dibeli di sembarang tempat.
Tapi hari itu dia tidak sebagaimana layaknya lantaran mengenakan sandal jepit
dari kulit dengan merek seorang desainer alas kaki terkenal, yang pasti
harganya mahal dan hanya dapat dibeli di tempat tertentu.
“Om, kok sandal jepitnya tumben bagus?”
tanyaku serta merta.
“Oh, ini pemberian seorang teman.Sayang kan, kalau tidak
dipakai?” sahut pamanku dengan senyumannya yang khas. Aku paham, orang yang
membelikan sandal tersebut pasti bukanlah teman biasa bagi dirinya.
***
Keganjilan berikutnya tampak nyata sewaktu
kami berbincang berdua semata. Tempat yang kami pilih mungkin rada nyeleneh. Baik aku maupun pamanku
sama-sama memiliki kecenderungan menderita penyakit tekanan darah tinggi
lantaran faktor keturunan. Kami berdua tentu menyadari fakta yang ada. Namun
ketika pamanku memintaku menyebutkan nama sebagai tempat kami makan sore itu,
kupilih sebuah rumah makan dengan masakan spesial dari kambing yang disetujui
saja olehnya. Kami sama-sama memesan gule kambing. Es teh menjadi minuman
pilihan kami. Meski tak sempat dibicarakan, kami berdua yakin tak akan terjadi
apa-apa setelah makan. Nyatanya, kondisi tubuh kami sehabis itu tetap sehat
belaka tanpa usikan.
Di sela-sela perbincangan kami, pamanku
sempat bergeming sementara waktu dan terlihat berpikir agak keras hingga mampu
menjawab pertanyaanku. Hal itu bahkan mungkin terjadi sampai dua atau tiga
kali. Seperti tak kulihat kebiasaan yang sangat kukenal dari pamanku selama
ini. Biasanya saban ditanya apa-apa, selalu tangkas mengalir kata-kata cerdas
dan bermakna dari mulutnya. Demikian pula ketika kami bercengkrama bersama
saudara-saudara yang lain, beberapa saat sebelum aku dan pamanku bercakap
berdua belaka. Dalam batin aku sempat bertanya-tanya, ada apa dengan pamanku
sesungguhnya? Namun aku tak sampai hati melisankan apa yang sejatinya
berkecamuk dalam dada.
Memang apa yang menjadi tema dialog kami
relatif baru untuk dibagikan dengan pamanku. Aku tengah dalam dilema menghadapi
kemungkinan terjadinya kisah cintaku. Sempat tak tahu diriku mesti membicarakan
masalahku nan pelik itu dengan siapa. Maklumlah, sudah lama tak kumiliki ayah
dan ibu. Serta merta terbesit nama pamanku, lalu kebetulan sekali dia
menghubungiku, dan mengatakan akan datang ke kotaku. Barangkali kami berdua sebenarnya
telah melakukan kontak batin tanpa disadari. Bagaikan gayung bersambut, tak
kusia-siakan kesempatan berkonsultasi empat mata dengan adik kandung mendiang
ibuku tersebut. Menjadi rada ringan langkahku setelah berbagi beban dengan
pamanku dan mendapat sejumlah pandangan guna menyelesaikan masalah asmaraku.
Di rumah, kuperlihatkan pada pamanku sejumlah
buku milikku yang menarik menurut pandanganku. Tempo hari aku ingat, pamanku
pernah membaca buku tentang Jalaluddin Rumi kepunyaanku dan kemudian dia
menceritakan hal-hal yang belum kutahu tentang tokoh sufi tersebut. Sesaat
sesudah dia membuka satu dua bukuku, kami pun berdiskusi seru soal materi buku
yang ada. Misalnya soal perdebatan Remy Sylado dan Ayatrohaedi tentang asal
muasal kata ‘kelapa’. Seperti biasa, pamanku lantas meminta secangkir kopi
pahit dengan air panas yang mesti khusus direbus dengan panci, bukan berasal
dari termos. Rokok kretek senantiasa menjadi teman karib minum kopi pahit bagi
dirinya.
Pamanku berada di rumah hanya sampai malam.
Aku tinggal bertiga dengan seorang kakak perempuan dan seorang adik sepupu
lelaki yang merupakan keponakan pamanku pula. Dia tidak bersedia tidur di rumah
kami lantaran saban malamnya ada saja teman-temannya datang mengajaknya
berbincang tanpa batas masa, bahkan adakalanya hingga pagi tiba. Pamanku enggan
merepotkan para keponakannya dan membuat tidak nyaman tetangga sekitar, maka
dia lebih baik memilih menginap di hotel belaka. Begitulah pamanku yang
senantiasa peduli dengan pikiran dan perasaan orang lain, serta selalu berupaya
tak pernah mengecewakan mereka.
Keesokan harinya kutemui pamanku lagi di
penginapannya. Kami sejenak berbincang, sementara dia tengah mempersiapkan diri
pergi meninggalkan kotaku. Aku sempat sedikit mengeluhkan nasib cerpenku yang
sudah dimuat di sejumlah media, namun tak kunjung kuterima imbalannya. Pamanku
menghiburku dengan kata-katanya yang bersahaja dan bisa kutangkap maksudnya.
Sebelum kami keluar dari kamar hotel, tiba-tiba pamanku menyerahkan sebuah
amplop.
“Ini ada sedikit buat kamu. Semoga ada
manfaatnya,” ucap pamanku.
“Wah, apa ini? Tapi terima kasih ya, Om,” jawabku yang rada
heran saat menerimanya dan lekas menaruhnya di saku celana. Sesungguhnya tidak
biasanya pamanku memberiku uang, apalagi ternyata cukup besar jumlahnya, ketika
kubuka amplop itu di rumah. Barangkali pamanku sekadar bermaksud mengganti
honor cerpen yang tidak pernah kuterima, sebagaimana yang kuceritakan
sebelumnya. Mungkin dirasakan belum cukup baginya menghiburku dengan kata-kata
belaka. Sehabis itu, kuantarkan pamanku sampai di dekat bis yang akan
membawanya ke lain kota di Terminal Giwangan. Kami pun hangat berpelukan. Dan
ternyata untuk terakhir kalinya hal tersebut kulakukan bersamanya.
***
Kematian merupakan sebuah misteri, kehadirannya sungguh tak bisa
diduga manusia. Konon, manakala waktu telah kian dekat dengan akhir dunia, maka
kematian secara tiba-tiba bakal lebih kerap terjadi. Tentu begitu mengejutkan
bahwa pamanku mengalaminya jua. Memang sekian bulan sebelumnya, dia sempat
didiagnosa menderita gangguan jantung dan dirawat di rumah sakit selama
beberapa hari. Rada kusesali lantaran tak sempat kujenguk dirinya ketika itu.
Pamanku kemudian diizinkan pulang oleh dokter dan dapat beraktivitas kembali
sebagaimana layaknya. Beberapa hari menjelang tutup usianya, kami sebatas
berkomunikasi lewat pesan pendek di telepon seluler. Waktu itu, aku masih
berharap bisa berjumpa lagi dengannya, namun akhirnya tinggal kutemui jasadnya
yang bergeming belaka. Pamanku sebenarnya sedang tampak sehat di mata sesama
manusia, ketika malaikat maut datang menjemput nyawanya. Bahkan dia tengah
berada di luar kota tempat tinggalnya demi menunaikan tugasnya sebagai bijak
bestari. Namun memang apalah daya manusia, tatkala Tuhan sudah memiliki
kehendak sendiri untuk salah satu hamba kesayangan-Nya.
# Cerpen ini pernah dimuat di Inilah Koran, 25 Mei 2014.
Langganan:
Postingan (Atom)