SEKIRANYA aku mengerti bahwa hari itu terakhir kalinya aku
berjumpa dengan dirinya secara ragawi, barangkali aku akan memintanya tinggal
di kotaku lebih lama. Jika pun tidak, aku pasti akan memaksakan diri menemuinya
di mana saja kami dapat kembali bersua. Anehnya, aku merasa memang ada sejumlah
hal yang tak biasa terjadi dalam perjumpaan terakhir tersebut. Dan tampaknya
diriku belaka yang merasakannya. Salah satu yang khas dari pamanku adalah
sandal jepit dari karet berharga murah yang bisa dibeli di sembarang tempat.
Tapi hari itu dia tidak sebagaimana layaknya lantaran mengenakan sandal jepit
dari kulit dengan merek seorang desainer alas kaki terkenal, yang pasti
harganya mahal dan hanya dapat dibeli di tempat tertentu.
“Om, kok sandal jepitnya tumben bagus?”
tanyaku serta merta.
“Oh, ini pemberian seorang teman.Sayang kan, kalau tidak
dipakai?” sahut pamanku dengan senyumannya yang khas. Aku paham, orang yang
membelikan sandal tersebut pasti bukanlah teman biasa bagi dirinya.
***
Keganjilan berikutnya tampak nyata sewaktu
kami berbincang berdua semata. Tempat yang kami pilih mungkin rada nyeleneh. Baik aku maupun pamanku
sama-sama memiliki kecenderungan menderita penyakit tekanan darah tinggi
lantaran faktor keturunan. Kami berdua tentu menyadari fakta yang ada. Namun
ketika pamanku memintaku menyebutkan nama sebagai tempat kami makan sore itu,
kupilih sebuah rumah makan dengan masakan spesial dari kambing yang disetujui
saja olehnya. Kami sama-sama memesan gule kambing. Es teh menjadi minuman
pilihan kami. Meski tak sempat dibicarakan, kami berdua yakin tak akan terjadi
apa-apa setelah makan. Nyatanya, kondisi tubuh kami sehabis itu tetap sehat
belaka tanpa usikan.
Di sela-sela perbincangan kami, pamanku
sempat bergeming sementara waktu dan terlihat berpikir agak keras hingga mampu
menjawab pertanyaanku. Hal itu bahkan mungkin terjadi sampai dua atau tiga
kali. Seperti tak kulihat kebiasaan yang sangat kukenal dari pamanku selama
ini. Biasanya saban ditanya apa-apa, selalu tangkas mengalir kata-kata cerdas
dan bermakna dari mulutnya. Demikian pula ketika kami bercengkrama bersama
saudara-saudara yang lain, beberapa saat sebelum aku dan pamanku bercakap
berdua belaka. Dalam batin aku sempat bertanya-tanya, ada apa dengan pamanku
sesungguhnya? Namun aku tak sampai hati melisankan apa yang sejatinya
berkecamuk dalam dada.
Memang apa yang menjadi tema dialog kami
relatif baru untuk dibagikan dengan pamanku. Aku tengah dalam dilema menghadapi
kemungkinan terjadinya kisah cintaku. Sempat tak tahu diriku mesti membicarakan
masalahku nan pelik itu dengan siapa. Maklumlah, sudah lama tak kumiliki ayah
dan ibu. Serta merta terbesit nama pamanku, lalu kebetulan sekali dia
menghubungiku, dan mengatakan akan datang ke kotaku. Barangkali kami berdua sebenarnya
telah melakukan kontak batin tanpa disadari. Bagaikan gayung bersambut, tak
kusia-siakan kesempatan berkonsultasi empat mata dengan adik kandung mendiang
ibuku tersebut. Menjadi rada ringan langkahku setelah berbagi beban dengan
pamanku dan mendapat sejumlah pandangan guna menyelesaikan masalah asmaraku.
Di rumah, kuperlihatkan pada pamanku sejumlah
buku milikku yang menarik menurut pandanganku. Tempo hari aku ingat, pamanku
pernah membaca buku tentang Jalaluddin Rumi kepunyaanku dan kemudian dia
menceritakan hal-hal yang belum kutahu tentang tokoh sufi tersebut. Sesaat
sesudah dia membuka satu dua bukuku, kami pun berdiskusi seru soal materi buku
yang ada. Misalnya soal perdebatan Remy Sylado dan Ayatrohaedi tentang asal
muasal kata ‘kelapa’. Seperti biasa, pamanku lantas meminta secangkir kopi
pahit dengan air panas yang mesti khusus direbus dengan panci, bukan berasal
dari termos. Rokok kretek senantiasa menjadi teman karib minum kopi pahit bagi
dirinya.
Pamanku berada di rumah hanya sampai malam.
Aku tinggal bertiga dengan seorang kakak perempuan dan seorang adik sepupu
lelaki yang merupakan keponakan pamanku pula. Dia tidak bersedia tidur di rumah
kami lantaran saban malamnya ada saja teman-temannya datang mengajaknya
berbincang tanpa batas masa, bahkan adakalanya hingga pagi tiba. Pamanku enggan
merepotkan para keponakannya dan membuat tidak nyaman tetangga sekitar, maka
dia lebih baik memilih menginap di hotel belaka. Begitulah pamanku yang
senantiasa peduli dengan pikiran dan perasaan orang lain, serta selalu berupaya
tak pernah mengecewakan mereka.
Keesokan harinya kutemui pamanku lagi di
penginapannya. Kami sejenak berbincang, sementara dia tengah mempersiapkan diri
pergi meninggalkan kotaku. Aku sempat sedikit mengeluhkan nasib cerpenku yang
sudah dimuat di sejumlah media, namun tak kunjung kuterima imbalannya. Pamanku
menghiburku dengan kata-katanya yang bersahaja dan bisa kutangkap maksudnya.
Sebelum kami keluar dari kamar hotel, tiba-tiba pamanku menyerahkan sebuah
amplop.
“Ini ada sedikit buat kamu. Semoga ada
manfaatnya,” ucap pamanku.
“Wah, apa ini? Tapi terima kasih ya, Om,” jawabku yang rada
heran saat menerimanya dan lekas menaruhnya di saku celana. Sesungguhnya tidak
biasanya pamanku memberiku uang, apalagi ternyata cukup besar jumlahnya, ketika
kubuka amplop itu di rumah. Barangkali pamanku sekadar bermaksud mengganti
honor cerpen yang tidak pernah kuterima, sebagaimana yang kuceritakan
sebelumnya. Mungkin dirasakan belum cukup baginya menghiburku dengan kata-kata
belaka. Sehabis itu, kuantarkan pamanku sampai di dekat bis yang akan
membawanya ke lain kota di Terminal Giwangan. Kami pun hangat berpelukan. Dan
ternyata untuk terakhir kalinya hal tersebut kulakukan bersamanya.
***
Kematian merupakan sebuah misteri, kehadirannya sungguh tak bisa
diduga manusia. Konon, manakala waktu telah kian dekat dengan akhir dunia, maka
kematian secara tiba-tiba bakal lebih kerap terjadi. Tentu begitu mengejutkan
bahwa pamanku mengalaminya jua. Memang sekian bulan sebelumnya, dia sempat
didiagnosa menderita gangguan jantung dan dirawat di rumah sakit selama
beberapa hari. Rada kusesali lantaran tak sempat kujenguk dirinya ketika itu.
Pamanku kemudian diizinkan pulang oleh dokter dan dapat beraktivitas kembali
sebagaimana layaknya. Beberapa hari menjelang tutup usianya, kami sebatas
berkomunikasi lewat pesan pendek di telepon seluler. Waktu itu, aku masih
berharap bisa berjumpa lagi dengannya, namun akhirnya tinggal kutemui jasadnya
yang bergeming belaka. Pamanku sebenarnya sedang tampak sehat di mata sesama
manusia, ketika malaikat maut datang menjemput nyawanya. Bahkan dia tengah
berada di luar kota tempat tinggalnya demi menunaikan tugasnya sebagai bijak
bestari. Namun memang apalah daya manusia, tatkala Tuhan sudah memiliki
kehendak sendiri untuk salah satu hamba kesayangan-Nya.
# Cerpen ini pernah dimuat di Inilah Koran, 25 Mei 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar