Jumat, 02 Maret 2018

Hari Terakhir

SEKIRANYA aku mengerti bahwa hari itu terakhir kalinya aku berjumpa dengan dirinya secara ragawi, barangkali aku akan memintanya tinggal di kotaku lebih lama. Jika pun tidak, aku pasti akan memaksakan diri menemuinya di mana saja kami dapat kembali bersua. Anehnya, aku merasa memang ada sejumlah hal yang tak biasa terjadi dalam perjumpaan terakhir tersebut. Dan tampaknya diriku belaka yang merasakannya. Salah satu yang khas dari pamanku adalah sandal jepit dari karet berharga murah yang bisa dibeli di sembarang tempat. Tapi hari itu dia tidak sebagaimana layaknya lantaran mengenakan sandal jepit dari kulit dengan merek seorang desainer alas kaki terkenal, yang pasti harganya mahal dan hanya dapat dibeli di tempat tertentu.
“Om, kok sandal jepitnya tumben bagus?” tanyaku serta merta.
“Oh, ini pemberian seorang teman.Sayang kan, kalau tidak dipakai?” sahut pamanku dengan senyumannya yang khas. Aku paham, orang yang membelikan sandal tersebut pasti bukanlah teman biasa bagi dirinya.

***
Keganjilan berikutnya tampak nyata sewaktu kami berbincang berdua semata. Tempat yang kami pilih mungkin rada nyeleneh. Baik aku maupun pamanku sama-sama memiliki kecenderungan menderita penyakit tekanan darah tinggi lantaran faktor keturunan. Kami berdua tentu menyadari fakta yang ada. Namun ketika pamanku memintaku menyebutkan nama sebagai tempat kami makan sore itu, kupilih sebuah rumah makan dengan masakan spesial dari kambing yang disetujui saja olehnya. Kami sama-sama memesan gule kambing. Es teh menjadi minuman pilihan kami. Meski tak sempat dibicarakan, kami berdua yakin tak akan terjadi apa-apa setelah makan. Nyatanya, kondisi tubuh kami sehabis itu tetap sehat belaka tanpa usikan.
Di sela-sela perbincangan kami, pamanku sempat bergeming sementara waktu dan terlihat berpikir agak keras hingga mampu menjawab pertanyaanku. Hal itu bahkan mungkin terjadi sampai dua atau tiga kali. Seperti tak kulihat kebiasaan yang sangat kukenal dari pamanku selama ini. Biasanya saban ditanya apa-apa, selalu tangkas mengalir kata-kata cerdas dan bermakna dari mulutnya. Demikian pula ketika kami bercengkrama bersama saudara-saudara yang lain, beberapa saat sebelum aku dan pamanku bercakap berdua belaka. Dalam batin aku sempat bertanya-tanya, ada apa dengan pamanku sesungguhnya? Namun aku tak sampai hati melisankan apa yang sejatinya berkecamuk dalam dada.
Memang apa yang menjadi tema dialog kami relatif baru untuk dibagikan dengan pamanku. Aku tengah dalam dilema menghadapi kemungkinan terjadinya kisah cintaku. Sempat tak tahu diriku mesti membicarakan masalahku nan pelik itu dengan siapa. Maklumlah, sudah lama tak kumiliki ayah dan ibu. Serta merta terbesit nama pamanku, lalu kebetulan sekali dia menghubungiku, dan mengatakan akan datang ke kotaku. Barangkali kami berdua sebenarnya telah melakukan kontak batin tanpa disadari. Bagaikan gayung bersambut, tak kusia-siakan kesempatan berkonsultasi empat mata dengan adik kandung mendiang ibuku tersebut. Menjadi rada ringan langkahku setelah berbagi beban dengan pamanku dan mendapat sejumlah pandangan guna menyelesaikan masalah asmaraku.
Di rumah, kuperlihatkan pada pamanku sejumlah buku milikku yang menarik menurut pandanganku. Tempo hari aku ingat, pamanku pernah membaca buku tentang Jalaluddin Rumi kepunyaanku dan kemudian dia menceritakan hal-hal yang belum kutahu tentang tokoh sufi tersebut. Sesaat sesudah dia membuka satu dua bukuku, kami pun berdiskusi seru soal materi buku yang ada. Misalnya soal perdebatan Remy Sylado dan Ayatrohaedi tentang asal muasal kata ‘kelapa’. Seperti biasa, pamanku lantas meminta secangkir kopi pahit dengan air panas yang mesti khusus direbus dengan panci, bukan berasal dari termos. Rokok kretek senantiasa menjadi teman karib minum kopi pahit bagi dirinya.
Pamanku berada di rumah hanya sampai malam. Aku tinggal bertiga dengan seorang kakak perempuan dan seorang adik sepupu lelaki yang merupakan keponakan pamanku pula. Dia tidak bersedia tidur di rumah kami lantaran saban malamnya ada saja teman-temannya datang mengajaknya berbincang tanpa batas masa, bahkan adakalanya hingga pagi tiba. Pamanku enggan merepotkan para keponakannya dan membuat tidak nyaman tetangga sekitar, maka dia lebih baik memilih menginap di hotel belaka. Begitulah pamanku yang senantiasa peduli dengan pikiran dan perasaan orang lain, serta selalu berupaya tak pernah mengecewakan mereka.
Keesokan harinya kutemui pamanku lagi di penginapannya. Kami sejenak berbincang, sementara dia tengah mempersiapkan diri pergi meninggalkan kotaku. Aku sempat sedikit mengeluhkan nasib cerpenku yang sudah dimuat di sejumlah media, namun tak kunjung kuterima imbalannya. Pamanku menghiburku dengan kata-katanya yang bersahaja dan bisa kutangkap maksudnya. Sebelum kami keluar dari kamar hotel, tiba-tiba pamanku menyerahkan sebuah amplop.
“Ini ada sedikit buat kamu. Semoga ada manfaatnya,” ucap pamanku.
“Wah, apa ini? Tapi terima kasih ya, Om,” jawabku yang rada heran saat menerimanya dan lekas menaruhnya di saku celana. Sesungguhnya tidak biasanya pamanku memberiku uang, apalagi ternyata cukup besar jumlahnya, ketika kubuka amplop itu di rumah. Barangkali pamanku sekadar bermaksud mengganti honor cerpen yang tidak pernah kuterima, sebagaimana yang kuceritakan sebelumnya. Mungkin dirasakan belum cukup baginya menghiburku dengan kata-kata belaka. Sehabis itu, kuantarkan pamanku sampai di dekat bis yang akan membawanya ke lain kota di Terminal Giwangan. Kami pun hangat berpelukan. Dan ternyata untuk terakhir kalinya hal tersebut kulakukan bersamanya.

***
Kematian merupakan sebuah misteri, kehadirannya sungguh tak bisa diduga manusia. Konon, manakala waktu telah kian dekat dengan akhir dunia, maka kematian secara tiba-tiba bakal lebih kerap terjadi. Tentu begitu mengejutkan bahwa pamanku mengalaminya jua. Memang sekian bulan sebelumnya, dia sempat didiagnosa menderita gangguan jantung dan dirawat di rumah sakit selama beberapa hari. Rada kusesali lantaran tak sempat kujenguk dirinya ketika itu. Pamanku kemudian diizinkan pulang oleh dokter dan dapat beraktivitas kembali sebagaimana layaknya. Beberapa hari menjelang tutup usianya, kami sebatas berkomunikasi lewat pesan pendek di telepon seluler. Waktu itu, aku masih berharap bisa berjumpa lagi dengannya, namun akhirnya tinggal kutemui jasadnya yang bergeming belaka. Pamanku sebenarnya sedang tampak sehat di mata sesama manusia, ketika malaikat maut datang menjemput nyawanya. Bahkan dia tengah berada di luar kota tempat tinggalnya demi menunaikan tugasnya sebagai bijak bestari. Namun memang apalah daya manusia, tatkala Tuhan sudah memiliki kehendak sendiri untuk salah satu hamba kesayangan-Nya.

# Cerpen ini pernah dimuat di Inilah Koran, 25 Mei 2014.

Tidak ada komentar: