Kamis, 30 September 2021

Samudra Menjadi Telaga

 

“Apakah artinya samudra yang luas dan dalam, bila cinta ingin mengarungi dan terjun di dalamnya, Kawanku?” tanya Anila dalam lagunya. Serentak para kera berhenti, sambil menari-nari mereka pun menjawab nyanyian Anila. 

“Samudra itu akan menjadi telaga, dan cinta akan menjadi sepasang golek kencana di permukaan airnya. Hilanglah kedalaman lautan, musnahlah luas samudra, dan mandilah sepasang golek-kencana, bersiram-siraman dengan air telaga.”

(Sindhunata dalam novel Anak Bajang Menggiring Angin)

Selasa, 28 September 2021

Keindahan Berserah Diri

Pandangan bahwa segala hal bersifat fana adalah bagian dari sikap berserah diri. Kami percaya bahwa tak ada gunanya melawan kekuatan alam. Sebaliknya, kami telah menemukan sebentuk keindahan dalam laku berserah diri.

Kami menghayati mekarnya pohon-pohon sakura di musim semi, memandang dengan khidmat kunang-kunang di musim panas, dan daun-daun yang menjadi merah di musim gugur.

(Haruki Murakami)

Rabu, 22 September 2021

Tapak Tilas Kesedihan

Tidak semua peristiwa membutuhkan tapak tilas, bahkan sebuah kesedihan. Setiap waktu, peristiwa begitu saja terjadi, lantas tidak meninggalkan apa pun selain kesan kehilangan; sebuah perayaan kekalahan yang terus tertunda.

(Risda Nur Widia dalam cerpen Ziarah Tanpa Makam)

Senin, 20 September 2021

Perbedaan Celaan dan Humor Sarkastik


Bila celaan (yang sering keliru dinamai sebagai kritik, bahkan kritik sosial) adalah tanda kepicikan, kebahlulan, dan waham mau menang sendiri, maka humor sarkastik adalah tanda kecerdasan dan sikap tahu diri.

(Nirwan Dewanto dalam kata pengantar buku Kolom Udar Rasa Jean Couteau INDONESIAKU)


Sabtu, 18 September 2021

Hati Lebih Efisien


Hati lebih efisien daripada nilai-nilai luhur "universal", apakah religius ataupun sekuler, yang keduanya cenderung berat sebelah.

(Jean Couteau dalam esai Bao, Gas Sarin, dan Idealisme)

Selasa, 14 September 2021

Kehidupan Tokoh Cerita dan Pengarangnya


“Saya tidak mereplikasikan kehidupan saya sendiri ke dalam tokoh-tokoh saya. Tokoh-tokoh saya boleh aneh, sinting, dan kotor. Dunia cerpen dan novel saya boleh jungkir balik. Kehidupan tokoh-tokoh saya boleh gelap, gerai dan guram, akan tetapi saya tetap laki-laki putih. Saya menghargai etika, sopan santun, keagungan, dan keanggunan manusia.” 

(Budi Darma dalam ceramahnya di Taman Ismail Marzuki pada 1982; dikutip dari esai Budi Darma, Cerpen, dan Novel karya Bandung Mawardi)

Minggu, 05 September 2021

Sudah Cukup Suka Cita

 

Hari ini sudah cukup suka cita
Hanya dengan kuperhatikan paras ayumu,
juga rambut panjang indahmu, serta tawa lucumu
Belum jemu daku padamu dan tak kuinginkan itu

Jika insan tengah jatuh cinta, maka segala hal tentang dirinya yang telah mencuri hati memang indah senantiasa terasa, bahkan untuk sesuatu yang begitu bersahaja sekalipun. Begitulah yang sedang terjadi pada Jannu sejak dia datang ke rumah Aretha dua pekan berselang, pada masa pertengahan liburan akhir semester. Tak masalah bagi dirinya bahwa ketika itu sang dara mengaku tak mengenal dirinya. Maklumlah, Jannu memang bukan mahasiswa yang cukup populer di kampusnya. Yang terpenting, mereka kini sudah mengenal satu sama lain. Jannu sesungguhnya sudah tertarik kepada Aretha sejak gadis berparas ayu itu menjadi mahasiswi baru dan kebetulan dia menjadi salah satu panitia OSPEK. Uniknya, Jannu menjadi panitia bukan karena kemauannya sendiri, melainkan karena diajak oleh Novi yang sempat ditaksirnya sejak setahun sebelumnya. Dia bersedia karena dikiranya hal itu bisa menjadi kesempatannya untuk lebih dekat dengan Novi. Dalam masa persiapan menjelang OSPEK, Jannu justru mendengar kabar bahwa teman yang disukainya baru jadian dengan Dimas, mahasiswa fakultas lain yang merupakan teman Novi sesama aktivis kampus di tingkat universitas. Peristiwa itu menggoreskan sebersit luka di kalbu Jannu. Dia tak terlalu antusias lagi bertugas sebagai panitia OSPEK.

Jadi, memang baru sakit hati Jannu ketika terantuk pada wajah Aretha dengan binar mata indah, hidung bangir, dan senyuman teramat manis tersebut. Maka wajarlah, andaikata Jannu tak ingin tergesa-gesa jatuh cinta lagi dan memilih sekadar mengagumi Aretha dari jauh terlebih dahulu. Yang dia tahu, gadis itu memang belum berpacaran dengan sesiapa. Jannu kerap mencuri dengar hal ihwal Aretha dari teman-teman seangkatannya belaka. Bahkan mereka pula yang membuatnya mengetahui alamat rumah remaja putri favoritnya itu. Maka Jannu pun mengerti bahwa sang dara rupawan merupakan mahasiswi yang cerdas, terbukti dari nilai-nilai ujiannya yang hanya A dan B. Lantas, buku catatan kuliah Aretha ternyata menjadi rujukan utama teman-temannya untuk difotokopi saking lengkap serta rapinya. Setelah berkenalan hingga menjadi teman Aretha, Jannu pernah pula meminjam salah satu buku catatannya dan dia sangat setuju dengan opini teman-temannya tentang gadis yang paling dikaguminya tersebut.

***


Hadirmu bawa ceria senantiasa,

duka pun enyah sementara,
jadinya berbunga-bungalah di jiwa

Lewat sudah berbilang hari, hingga berganti minggu, dan berubah bulan pula. Rasanya Jannu sudah cukup mengetahui kebaikan hati dan kesantunan laku Aretha. Jadi, memang tak sebatas keindahan ragawinya yang layak diibaratkan sebagai bidadari yang membuatnya terpesona. Jannu sendiri semakin menyadari bahwa ada sesuatu yang istimewa di sanubarinya kala memandang sosok Aretha. Pesona sang dara sungguh telah membius kalbu. Jannu tak akan memungkiri hal itu. Namun sang pemuda masih ragu dan belum percaya diri untuk menyatakan kata hatinya pada Aretha. Dia sesungguhnya tak yakin, mungkinkah Aretha tengah menanti ungkapan perasaannya sepenuh hati? Adakah dia juga memiliki sebentuk cinta, seperti yang tampaknya telah terpatri di kalbu pemuda itu? Jannu masih berasumsi bahwa meraih hati Aretha hanya sebuah utopi alias angan semata.

Masih dalam rencana menyatakan kejujuran hatinya dan belum sempat melakukan tindakan nyata, Jannu melihat ada yang berubah dari sosok Aretha. Dara rupawan itu akhir-akhir ini tampak lebih ceria ketimbang sebelumnya. Apakah mungkin gadis yang dipujanya telah memiliki tambatan hati? Jannu tak mau peduli dan tetap akan mempertahankan perasaannya terhadap Aretha, kendati keraguan masih sangat menghantui pikirannya. Suatu siang, tanpa sengaja Jannu mendengar kabar dari seorang teman bahwa Aretha baru saja resmi menjadi kekasih Ridho, teman seangkatan gadis itu.

Terbitlah rasa kecewa di hati Jannu. Dia tak percaya begitu saja gosip tersebut dan ingin mendengar langsung kebenarannya dari perempuan idamannya. Sore hari itu pula, Jannu menelepon Aretha dengan niat berterus terang mengenai sesuatu yang telah lama disimpannya dalam kalbu.

“Aretha, sudah tiba masanya kini kau mesti tahu hal ini,” ujar Jannu setelah sebentar berbasa-basi.
“Apa yang harus kuketahui, Jannu?” tanya Aretha.
“Aku mencintaimu.”
“Hah?”
Aretha tiba-tiba membisu.
“Bagaimana menurutmu, Aretha?” tanya Jannu menunggu tanggapan Aretha.
“Maaf, Jannu. Kamu sudah tahu kan, aku belum lama jadian dengan Ridho? Aku… tidak bisa menerimamu, mmm… setidaknya untuk saat ini.”
”Jadi, apa yang kudengar bukan gosip belaka, ya? Lalu, apa maksudmu di lain waktu kau mungkin menerima cintaku?”
”Iya, aku sekarang pacar Ridho. Soal itu, entahlah. Sekali lagi, aku mohon maaf, Jannu.”
”Baiklah. Aku juga minta maaf telah lancang menyatakan cinta pada kekasih orang. Aku sekadar ingin berterus terang kepadamu, Aretha.”
”Ya, sudahlah. Tapi kita masih bisa berteman seperti sebelumnya kan?”
”Jika itu yang kau mau, aku sih tak masalah.”

Terluka sesungguhnya hati Jannu. Apa yang menjadi asanya, menjalani hari mendatang bersama Aretha sebagai belahan jiwanya telah musnah. Untuk sementara waktu, Jannu tak ingin mengingat-ingat lagi segala sesuatu mengenai Aretha, bahkan berusaha menghindari pertemuan dengannya. Apabila perasaannya sudah kembali tertata, barangkali dia dapat berkawan lagi dengan Aretha seperti awal perkenalan mereka.

***

Tiba jua yang kucemaskan selama ini
Tak ada yang bisa dipertahankan lagi
Usai sudah pertemanan,
usai cinta bertepuk sebelah tangan

Telah cepat setahun lewat, saat Jannu sempat terkesiap. Waktu itu dia mengetahui sudah ada nama seorang lelaki di hati Aretha. Jelas sudah tak berbalas cinta Jannu. Meski hatinya kecewa, namun Aretha masih dapat dianggap Jannu sebagai teman belaka. Tetap ada bahagia jua yang dirasakannya -kendati sedikit semata- apabila berjumpa lalu berbincang apa saja dengan sang dara rupawan. Akan tetapi senantiasa mengusik hati Jannu, sampai kapan pertemanan mereka bertahan, andaikata nuraninya tersiksa sejatinya, tak rela menganggap Aretha sekadar kawan biasa? Pintu hatinya masih belum dapat terbuka untuk sebuah nama baru, hanya Aretha seorang yang masih tetap tersimpan di kalbu dan benaknya. Lama-lama Jannu menyadari bahwa sia-sia saja menjalin hubungan dengan seorang perempuan, dengan ada sesuatu yang senantiasa mengganjal di relung sanubari. Suka cita yang dirasakan Jannu terhadap sosok Aretha nyatanya memang sudah cukup seperti di masa lalu atau sebagai teman belaka, tak mungkin lebih ketimbang itu. Jannu memutuskan tak akan secara sengaja menemui Aretha lagi. Barangkali masih mungkin dia sebatas menyapa gadis berambut indah itu, sekiranya mereka secara kebetulan bersua di sebuah hari nanti.

TAMAT

# Cerpen ini pernah dimuat di majalah JOe Fiksi Volume 3/2013.


Rabu, 01 September 2021

Tema dan Obsesi Pengarang

Masing-masing pengarang memiliki konsep sendiri-sendiri, sesuai dengan kepribadiannya masing-masing. Akan tetapi, konsep tidak akan lengkap manakala tidak diikuti oleh obsesi pengarang. Obsesi inilah, langsung atau tidak langsung, setidaknya bagi saya, akan mewarnai karya pengarang melalui tema-tema berbagai ragam tulisannya. Karena itu, tema sebagai kepanjangan obsesi akan datang terlebih dahulu, sementara plot, konflik, setting, dan lain-lain, menyusul kemudian dengan sendirinya tanpa bisa diramalkan terlebih dahulu.

(Budi Darma dalam esai Pengarang dan Obsesinya)