Selasa, 27 Februari 2018

Prinsip Karya yang Baik

Prinsip karya yang baik adalah tidak langsung menggambarkan realitas. Pada akhirnya sastra yang bisa bertahan adalah karya yang seolah-olah tidak mencerminkan masyarakatnya. (Budi Darma)

Senin, 26 Februari 2018

Semua Orang Sama

Semua orang sama. Orang yang memiliki sesuatu selalu khawatir, jangan-jangan apa yang dia miliki sekarang akan hilang, sedangkan orang yang tidak memiliki apa-apa selalu cemas, jangan-jangan selamanya akan tetap menjadi orang yang tak punya apa-apa. 

(Haruki Murakami dalam "Dengarlah Nyanyian Angin")

Selasa, 20 Februari 2018

Orang Berwibawa

Setiap orang bisa kelihatan berwibawa kalau dia sepenuhnya yakin pada tindakannya. (Paulo Coelho)

Senin, 19 Februari 2018

Lebih Banyak Membaca

Jika ingin mengarang, hendaknya lebih banyak membaca daripada menulis. Karena kalau kurang bahan bacaan, mengarang bisa macet seperti mobil kehabisan bensin. (Buya Hamka)

Kamis, 15 Februari 2018

Mencuri Dengar dari Langit

Lumrah belaka sejatinya bahwa menjalani hidup kadangkala diwarnai hal-hal yang mengejutkan. Ketika kejutan itu menyenangkan, syukurlah jika demikian. Namun, ketika kejutan itu sangat mengecewakan, mesti bersabarlah kita menghadapinya. Apa yang belum lama ini terjadi pada ayahku termasuk kejutan kategori kedua. Dan ternyata memang tidaklah mudah mempraktikkan apa yang sudah kita pahami teorinya ketika hal itu terjadi pada diri sendiri. Begitulah yang tengah kualami.
Betapa aku merasa sedih, marah, kecewa, dan terhina saat mengetahui Bapak ditangkap oleh aparat penegak hukum dengan tuduhan korupsi. Laksana badai tsunami tiba-tiba menerjang kehidupan keluargaku, menjadikannya berantakan, terobrak-abrik tak karuan. Sama sekali tak kuduga, ayahku yang dalam kesehariannya begitu bersahaja dan tak pernah silau harta kebendaan, ternyata justru tersangkut kasus yang melukai hati bangsa sendiri. Segala kebaikan dan keteladanan yang pernah dicatat Bapak sepanjang hidupnya serta- merta sirna, tak ada artinya apa-apa bagi sesiapa.
Silakan media maupun publik di seluruh penjuru negeri menilai para tersangka koruptor pada umumnya tetap tersenyum ceria, tak merasa berdosa, dan malah terkesan bangga kala kasusnya menjadi pusat perhatian banyak orang. Apalagi biasanya mereka hanya mendapat hukuman ringan atau malah bebas dari hukuman karena tak terbukti bersalah di pengadilan. Namun, tidaklah demikian yang terjadi dengan ayahku. Aku tahu persis hal itu.
Hancur lebur sanubari Bapak menghadapi kenyataan bahwa apa yang menurut beliau telah dikerjakannya secara profesional ternyata dianggap mengandung kesalahan yang signifikan. Bapak disangka memperkaya dirinya secara tidak sah lewat jabatannya. Sesuatu yang jelas melenceng jauh dari jati diri beliau, yang selalu menjunjung tinggi nilai kejujuran maupun kerja keras serta bersukacita menjalani hidup sederhana apa adanya. Dan lebih remuk redam lagi hati Bapak, begitu menyadari telah secara langsung mengoyak kehidupan istri dan anak-anaknya sendiri yang selama ini sudah relatif bahagia, tenteram, dan sejahtera.
Ibu tampak menangis tak berkesudahan, kendati kakak sulungku berusaha menenangkan hatinya. Aku sendiri tak mengerti mesti berbuat apa, bergeming di rumah belaka. Tak bisa kubayangan apa yang terjadi esok hari ketika bertemu lagi dengan kawan-kawanku di kampus. Yang jelas, aku tak sudi menonton televisi maupun berselancar di dunia maya. Semua alat komunikasi pun kumatikan sementara. Semula aku merasa seluruh dunia pasti bakal memusuhiku dan keluargaku. Namun, kemudian terlihat ada tetangga dekat maupun sejumlah kerabat yang memberikan dukungan bagi kami sekeluarga. Mereka datang menemui atau sekadar menelepon Ibu. Mereka berharap kami tegar dan ikhlas menghadapi kejutan tak menyenangkan dalam hidup kami. Aku tak mengerti, apakah mereka tulus menyatakannya atau sebatas basa-basi. Hal itu bukanlah urusanku. Cuma aku merasa tetap perlu berterima kasih atas simpati mereka.
Beberapa kawan dekatku pun akhirnya menemuiku karena seluruh kontak personalku tak bisa dihubungi. Mereka membesarkan hatiku dan mengajakku bercanda tawa bagaikan tidak terjadi prahara dalam keluargaku. Yah, aku jadi teringat sebuah nasihat bahwa Tuhan senantiasa membagikan soal ujian yang sesuai dengan kapasitas hamba-Nya masing-masing. Kucoba meyakininya, entah apakah ayahku sebenarnya memang bersalah atau menjadi korban fitnah semata.
Namun, ada satu hal yang serta-merta mengusik pikiran dan perasaanku tentang sebuah peristiwa tempo hari. Bagaikan sebuah firasat belaka. Jika waktu itu Bapak bersedia mendengarkan pesan tersebut dan sudi mengikutinya, barangkali tidak bakal menjadi kacau balau begini situasinya. Ada seseorang yang sudah pernah mengingatkan ayahku agar tak usah menerima jabatan yang ditawarkan kepadanya karena hanya akan mengancam keselamatan hidup beliau selanjutnya. Namun, Bapak mengabaikannya dan tetap bergeming dengan sikapnya.
“Apa untungnya buat Bapak mendengarkan kata-katanya? Bapak bahkan tidak mengenal siapa orang itu sebenarnya. Apalagi jika dia ternyata seorang dukun peramal atau cenayang, kita justru dilarang mempercayai mereka.” Begitulah alasan Bapak yang membuatku tak mampu memberi argumentasi lagi, setelah sebelumnya kusarankan agar memerhatikan apa katanya.
Sebenarnya Ibu sempat pula memikirkan apa yang diucapkan orang itu, namun Bapak berhasil meyakinkannya agar tak usah menganggapnya ada belaka.
“Ibu pasti tahu kan, dari mana mereka punya kemampuan meramalkan nasib orang lain? Ada jin atau iblis yang mencuri dengar dari langit, lalu memberitahunya dengan disertai dusta di sana sini. Mereka saja tidak bisa meramalkan nasibnya sendiri, kenapa jadi merasa tahu apa yang bakal terjadi pada orang lain? Ibu masih mau percaya kepada mereka?”
“Iyalah, Pak. Ibu percaya apa kata Bapak saja.”
“Ingatlah bahwa setiap pekerjaan apa pun pasti memiliki risiko tersendiri. Demikian pula ketika Bapak memutuskan menerima jabatan ini. Pokoknya Ibu dan anak-anak tenang saja, Bapak selalu bekerja secara profesional dan tidak bakal neka-neka.” 

# Cerpen ini pernah dimuat di Kedaulatan Rakyat Minggu, 9 Februari 2014.


Rabu, 14 Februari 2018

Menghina Agama Sendiri

" Ia yang menghina agama orang lain sesungguhnya menghina agamanya sendiri, sebab jika agamanya tidak bisa mendidiknya untuk menghargai agama orang lain, untuk apa dia beragama ?"
(Raja Ashoka)

Senin, 12 Februari 2018

Berkah Atau Musibah

Sikap dan tingkah laku manusia bisa menjadi berkah ataupun musibah bagi manusia lainnya. Manusia dipersilakan memilih jalan yang tersedia dalam melakoni kehidupannya di dunia.

Sabtu, 10 Februari 2018

Wajah Sosial Masyarakat di Tenda Angkringan

Tenda angkringan yang sempit dan tempias di sudut jalan kampung sesungguhnya adalah wajah sosial sebuah masyarakat. Betapa di sudut-sudut jalan kampung ada orang-orang kecil yang tak pernah merengek meminta keadilan meskipun hidup terhimpit kesulitan. Modal sosial mereka bukanlah kekayaan, tetapi kehangatan percakapan sepanjang hari dan kehangatan persaudaraan. Mereka hidup terhormat dengan cara menyenangkan, meskipun sejarah seringkali luput mendokumentasikan.
(Kalis Mardiasih dalam esai "Dari Tenda Angkringan yang Sempit dan Tempias")

Jumat, 09 Februari 2018

Anugerah Akal Budi

Allah memuliakan kita dengan menganugerahkan kita akal budi, maka tidak selayaknya kita merendahkan diri sendiri dengan menyia-nyiakannya. 
(A. Mustofa Bisri)

Selasa, 06 Februari 2018

Minggu, 04 Februari 2018

Rangkuman Apresiasi Januari 2018

Senyampang baru melewati satu bulan di tahun 2018 ini, aku ingin mulai membuat rangkuman tentang hal-hal baik yang kulewati sepanjang Januari kemarin. Apa yang tersurat di sini menjadi wujud apresiasi yang -setidaknya- bagiku pribadi mampu menjadi inspirasi dan menghadirkan motivasi dalam melanjutkan proses kreatif dalam menjalani kehidupan. Hari pertama 2018 kulewati dengan beberapa jam berada di acara Tahun Baru di JBS. Selain mengikuti dua sesi diskusi sejumlah buku, aku berkesempatan berbincang-bincang dengan beberapa orang, seperti Ibed Surgana Yuga, Eka Nusa Pertiwi, Andika Ananda, Gunawan Maryanto (Cindhil),  Latief S. Nugraha, dan Kris Budiman. Menyenangkan rasanya untuk sesaat berada di situ. Kubawa pulang buku-buku baru, yang dua di antaranya mendapat tanda tangan penulisnya yang kutemui di tempat itu.


Pementasan "Dongeng Prajurit" oleh Gunawan Maryanto dkk di Teater Garasi.
Teater Garasi/Garasi Performance Institute mengadakan acara Buka Studio 7 Hari 7 Malam : Jalan Tikus. Acara yang berlangsung 14-20 Januari 2018 tersebut menandai dibukanya studio baru TG/GPI yang baru selesai direnovasi. Aku hanya sempat dua kali hadir pada hari Rabu malam (17/1) dan Kamis sore (18/1). Yang pertama, Open Lab yang menampilkan "Macapatan Kontemporer" (Paksi Raras Alit) dan "Dongeng Prajurit" (Gunawan Maryanto, Prihatmoko Moki, dkk). Paksi adalah musisi Jogja yang sedang giat mengangkat sastra Jawa dengan medium musik modern. Pada masa sekolahnya di SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Tamansiswa, dia pernah memenangkan lomba macapat dalam PORSENI. Setelah bertahun-tahun jadi anak band, dia ingin generasi muda saat ini mengenal karya luhur nenek moyangnya, apalagi dia pun pernah berkuliah di Sastra Jawa UGM. Apa yang ditampilkan dalam "Dongeng Prajurit" berawal dari proyek kerja sama Cindhil yang membuat puisi/narasi untuk komik prajurit kraton karya Moki. Keduanya merasakan kegelisahan yang sama melihat situasi Jogja yang tambah semrawut dengan menjamurnya hotel yang membawa dampak negatif lainnya. Kisah jatuhnya Kraton Yogyakarta di tangan Inggris pada masa pemerintahan HB II menjadi tema sentral pertunjukan, yang semula berwujud komik "Prajurit Kalah Tanpa Raja" yang sudah dipamerkan di Europalia Arts Festival 2017 di Belgia. Yang jelas, sepulang dari sana aku jadi penasaran dengan kisah tersebut dan lantas berkesempatan membaca buku "Raffles dan Invasi Inggris ke Jawa" karya Tim Hannigan milik keponakanku yang penggemar sejarah. Sudah kubaca bagian jatuhnya Jogja di buku itu. 

Yang kedua, Blocknot Forum yang menampilkan peluncuran buku "Gentayangan" karya Intan Paramaditha. Ada acara ngobrol dengan penulisnya yang dipandu oleh Alia Swastika. Leilani Hermiasih dan Yudi Ahmad Tajudin ikut tampil membaca beberapa bagian dari karya terbaru Intan yang sudah mendapat penghargaan dari Majalah Tempo. Duet "Pemuda Setempat" yang terdiri dari Ugoran Prasad dan Yennu Ariendra membawakan beberapa lagu yang terinspirasi dari novel tersebut.

Bincang-Bincang Sastra edisi 148 yang berlangsung Sabtu (27/1) di Ruang Seminar TBY berbeda dari biasanya karena dihadiri oleh banyak orang. Dengan tema "Yogya yang Puitis, Yogya yang Prosais" BBS menampilkan Gunawan Maryanto dan Agus Noor sebagai pembicara, Latief S. Nugraha sebagai moderator. Andika Ananda membaca cerpen Agus Noor dengan kocak dan Dinar Setiyawan mendeklamasikan puisi Gunawan Maryanto dengan syahdu. Agus Noor merasakan banyak hal yang hilang di Jogja masa kini. Salah satu contohnya, jika dulu para mahasisiwa pendatang mengontrak sebuah rumah untuk menjadi ruang berkesenian, maka saat ini mereka mengontraknya untuk dijadikan tempat bisnis, entah kafe atau mungkin yang lain. Cindhil mengingatkan bahwa dari awal berdirinya Jogja memang penuh dengan dinamika dan hal itulah yang membuat inspirasi bagi seniman terus mengalir. Membicarakan Jogja dahulu dan saat ini menyadarkan kita bahwa sudah begitu banyak terjadi perubahan, baik maupun buruk. Ketika banyak hal hilang, maka ada hal-hal baru lainnya yang hadir.


Bincang-Bincang Sastra edisi 148 di TBY yang menarik perhatian banyak orang.
Senin malam (29/1) kudatangi dua kerumunan yang berbeda. Awalnya aku berada di Kafe Basabasi yang penuh sesak karena menghadirkan Sujiwo Tejo. Terus terang aku kurang jelas menyimak apa kata Mbah Tejo saking riuh rendahnya suasana. Maka aku lantas memutuskan beranjak ke Bentara Budaya Yogyakarta untuk menyaksikan Jazz Mben Senen yang sedang merayakan 8 tahun eksistensinya. Dulu aku sempat kerap menyaksikan acara tersebut, bahkan pernah sekali ikut tampil mengiringi seorang penyanyi remaja, yang entah sekarang dia masih suka bernyanyi atau tidak. Romo Sindhunata mengatakan bahwa Jazz Mben Senen bisa menjadi contoh nyata bahwa keterbatasan sarana prasarana tidak membatasi ruang berkesenian. Djaduk Ferianto mengingatkan para seniman muda agar tetap rendah hati dan sabar dalam menjalani proses.

Oh ya, menghadiri acara mantunya Pak Tedjo Badut pada Minggu (21/1) di Pendopo SMKI (SMKN 2 Kasihan) menjadi sesuatu yang berkesan pula. Tidak seperti resepsi pernikahan umumnya, siang itu para tamu bagaikan menghadiri pesta kesenian rakyat yang begitu semarak dan menghibur tentu saja. Tempat mengisi buku tamu berbentuk ticket box. Seraya antre untuk menyalami kedua mempelai dan orangtuanya, kami bisa menyaksikan pertunjukan sulap, tarian humor, dan lain-lain. Panggung pelaminan dihias bagaikan panggung ketoprak/wayang orang. Lalu kursi untuk para tamu menikmati hidangan adalah bangku-bangku seperti di warung angkringan. Berada di situ, kendati sesaat saja menggembirakan jugalah rasanya. 

Foto : Akun Facebook Teater Garasi dan SPS Yogyakarta

Sabtu, 03 Februari 2018

Reuni Akhir Januari

Akhir Januari lalu terjadi reuni tanpa rencana ketika seorang temanku satu angkatan di SMA 5 Yogyakarta tutup usia. Pada satu sisi aku berduka melepas kepergian seorang kawan, tapi di sisi lain terdapat kegembiraan tersendiri karena masih bisa bertemu dengan teman-teman yang sudah lama tak dijumpa dan mulai terlihat tua.