Lumrah belaka sejatinya bahwa
menjalani hidup kadangkala diwarnai hal-hal yang mengejutkan. Ketika kejutan
itu menyenangkan, syukurlah jika demikian. Namun, ketika kejutan itu sangat
mengecewakan, mesti bersabarlah kita menghadapinya. Apa yang belum lama ini
terjadi pada ayahku termasuk kejutan kategori kedua. Dan ternyata memang
tidaklah mudah mempraktikkan apa yang sudah kita pahami teorinya ketika hal itu
terjadi pada diri sendiri. Begitulah yang tengah kualami.
Betapa aku
merasa sedih, marah, kecewa, dan terhina saat mengetahui Bapak ditangkap oleh
aparat penegak hukum dengan tuduhan korupsi. Laksana badai tsunami tiba-tiba
menerjang kehidupan keluargaku, menjadikannya berantakan, terobrak-abrik tak
karuan. Sama sekali tak kuduga, ayahku yang dalam kesehariannya begitu
bersahaja dan tak pernah silau harta kebendaan, ternyata justru tersangkut
kasus yang melukai hati bangsa sendiri. Segala kebaikan dan keteladanan yang
pernah dicatat Bapak sepanjang hidupnya serta- merta sirna, tak ada artinya
apa-apa bagi sesiapa.
Silakan media
maupun publik di seluruh penjuru negeri menilai para tersangka koruptor pada
umumnya tetap tersenyum ceria, tak merasa berdosa, dan malah terkesan bangga
kala kasusnya menjadi pusat perhatian banyak orang. Apalagi biasanya mereka
hanya mendapat hukuman ringan atau malah bebas dari hukuman karena tak terbukti
bersalah di pengadilan. Namun, tidaklah demikian yang terjadi dengan ayahku.
Aku tahu persis hal itu.
Hancur lebur
sanubari Bapak menghadapi kenyataan bahwa apa yang menurut beliau telah
dikerjakannya secara profesional ternyata dianggap mengandung kesalahan yang
signifikan. Bapak disangka memperkaya dirinya secara tidak sah lewat
jabatannya. Sesuatu yang jelas melenceng jauh dari jati diri beliau, yang
selalu menjunjung tinggi nilai kejujuran maupun kerja keras serta bersukacita
menjalani hidup sederhana apa adanya. Dan lebih remuk redam lagi hati Bapak,
begitu menyadari telah secara langsung mengoyak kehidupan istri dan
anak-anaknya sendiri yang selama ini sudah relatif bahagia, tenteram, dan
sejahtera.
Ibu tampak
menangis tak berkesudahan, kendati kakak sulungku berusaha menenangkan hatinya.
Aku sendiri tak mengerti mesti berbuat apa, bergeming di rumah belaka. Tak bisa
kubayangan apa yang terjadi esok hari ketika bertemu lagi dengan kawan-kawanku
di kampus. Yang jelas, aku tak sudi menonton televisi maupun berselancar di
dunia maya. Semua alat komunikasi pun kumatikan sementara. Semula aku merasa seluruh
dunia pasti bakal memusuhiku dan keluargaku. Namun, kemudian terlihat ada
tetangga dekat maupun sejumlah kerabat yang memberikan dukungan bagi kami
sekeluarga. Mereka datang menemui atau sekadar menelepon Ibu. Mereka berharap
kami tegar dan ikhlas menghadapi kejutan tak menyenangkan dalam hidup kami. Aku
tak mengerti, apakah mereka tulus menyatakannya atau sebatas basa-basi. Hal itu
bukanlah urusanku. Cuma aku merasa tetap perlu berterima kasih atas simpati
mereka.
Beberapa
kawan dekatku pun akhirnya menemuiku karena seluruh kontak personalku tak bisa
dihubungi. Mereka membesarkan hatiku dan mengajakku bercanda tawa bagaikan
tidak terjadi prahara dalam keluargaku. Yah, aku jadi teringat sebuah nasihat
bahwa Tuhan senantiasa membagikan soal ujian yang sesuai dengan kapasitas
hamba-Nya masing-masing. Kucoba meyakininya, entah apakah ayahku sebenarnya
memang bersalah atau menjadi korban fitnah semata.
Namun, ada
satu hal yang serta-merta mengusik pikiran dan perasaanku tentang sebuah
peristiwa tempo hari. Bagaikan sebuah firasat belaka. Jika waktu itu Bapak
bersedia mendengarkan pesan tersebut dan sudi mengikutinya, barangkali tidak
bakal menjadi kacau balau begini situasinya. Ada seseorang yang sudah pernah
mengingatkan ayahku agar tak usah menerima jabatan yang ditawarkan kepadanya
karena hanya akan mengancam keselamatan hidup beliau selanjutnya. Namun, Bapak
mengabaikannya dan tetap bergeming dengan sikapnya.
“Apa
untungnya buat Bapak mendengarkan kata-katanya? Bapak bahkan tidak mengenal
siapa orang itu sebenarnya. Apalagi jika dia ternyata seorang dukun peramal
atau cenayang, kita justru dilarang mempercayai mereka.” Begitulah alasan Bapak
yang membuatku tak mampu memberi argumentasi lagi, setelah sebelumnya
kusarankan agar memerhatikan apa katanya.
Sebenarnya
Ibu sempat pula memikirkan apa yang diucapkan orang itu, namun Bapak berhasil
meyakinkannya agar tak usah menganggapnya ada belaka.
“Ibu pasti
tahu kan, dari mana mereka punya kemampuan meramalkan nasib orang lain? Ada jin
atau iblis yang mencuri dengar dari langit, lalu memberitahunya dengan disertai
dusta di sana sini. Mereka saja tidak bisa meramalkan nasibnya sendiri, kenapa
jadi merasa tahu apa yang bakal terjadi pada orang lain? Ibu masih mau percaya
kepada mereka?”
“Iyalah, Pak.
Ibu percaya apa kata Bapak saja.”
“Ingatlah
bahwa setiap pekerjaan apa pun pasti memiliki risiko tersendiri. Demikian pula
ketika Bapak memutuskan menerima jabatan ini. Pokoknya Ibu dan anak-anak tenang
saja, Bapak selalu bekerja secara profesional dan tidak bakal neka-neka.”
# Cerpen ini pernah dimuat di Kedaulatan Rakyat Minggu, 9 Februari 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar