Minggu, 04 Februari 2018

Rangkuman Apresiasi Januari 2018

Senyampang baru melewati satu bulan di tahun 2018 ini, aku ingin mulai membuat rangkuman tentang hal-hal baik yang kulewati sepanjang Januari kemarin. Apa yang tersurat di sini menjadi wujud apresiasi yang -setidaknya- bagiku pribadi mampu menjadi inspirasi dan menghadirkan motivasi dalam melanjutkan proses kreatif dalam menjalani kehidupan. Hari pertama 2018 kulewati dengan beberapa jam berada di acara Tahun Baru di JBS. Selain mengikuti dua sesi diskusi sejumlah buku, aku berkesempatan berbincang-bincang dengan beberapa orang, seperti Ibed Surgana Yuga, Eka Nusa Pertiwi, Andika Ananda, Gunawan Maryanto (Cindhil),  Latief S. Nugraha, dan Kris Budiman. Menyenangkan rasanya untuk sesaat berada di situ. Kubawa pulang buku-buku baru, yang dua di antaranya mendapat tanda tangan penulisnya yang kutemui di tempat itu.


Pementasan "Dongeng Prajurit" oleh Gunawan Maryanto dkk di Teater Garasi.
Teater Garasi/Garasi Performance Institute mengadakan acara Buka Studio 7 Hari 7 Malam : Jalan Tikus. Acara yang berlangsung 14-20 Januari 2018 tersebut menandai dibukanya studio baru TG/GPI yang baru selesai direnovasi. Aku hanya sempat dua kali hadir pada hari Rabu malam (17/1) dan Kamis sore (18/1). Yang pertama, Open Lab yang menampilkan "Macapatan Kontemporer" (Paksi Raras Alit) dan "Dongeng Prajurit" (Gunawan Maryanto, Prihatmoko Moki, dkk). Paksi adalah musisi Jogja yang sedang giat mengangkat sastra Jawa dengan medium musik modern. Pada masa sekolahnya di SD Taman Muda Ibu Pawiyatan Tamansiswa, dia pernah memenangkan lomba macapat dalam PORSENI. Setelah bertahun-tahun jadi anak band, dia ingin generasi muda saat ini mengenal karya luhur nenek moyangnya, apalagi dia pun pernah berkuliah di Sastra Jawa UGM. Apa yang ditampilkan dalam "Dongeng Prajurit" berawal dari proyek kerja sama Cindhil yang membuat puisi/narasi untuk komik prajurit kraton karya Moki. Keduanya merasakan kegelisahan yang sama melihat situasi Jogja yang tambah semrawut dengan menjamurnya hotel yang membawa dampak negatif lainnya. Kisah jatuhnya Kraton Yogyakarta di tangan Inggris pada masa pemerintahan HB II menjadi tema sentral pertunjukan, yang semula berwujud komik "Prajurit Kalah Tanpa Raja" yang sudah dipamerkan di Europalia Arts Festival 2017 di Belgia. Yang jelas, sepulang dari sana aku jadi penasaran dengan kisah tersebut dan lantas berkesempatan membaca buku "Raffles dan Invasi Inggris ke Jawa" karya Tim Hannigan milik keponakanku yang penggemar sejarah. Sudah kubaca bagian jatuhnya Jogja di buku itu. 

Yang kedua, Blocknot Forum yang menampilkan peluncuran buku "Gentayangan" karya Intan Paramaditha. Ada acara ngobrol dengan penulisnya yang dipandu oleh Alia Swastika. Leilani Hermiasih dan Yudi Ahmad Tajudin ikut tampil membaca beberapa bagian dari karya terbaru Intan yang sudah mendapat penghargaan dari Majalah Tempo. Duet "Pemuda Setempat" yang terdiri dari Ugoran Prasad dan Yennu Ariendra membawakan beberapa lagu yang terinspirasi dari novel tersebut.

Bincang-Bincang Sastra edisi 148 yang berlangsung Sabtu (27/1) di Ruang Seminar TBY berbeda dari biasanya karena dihadiri oleh banyak orang. Dengan tema "Yogya yang Puitis, Yogya yang Prosais" BBS menampilkan Gunawan Maryanto dan Agus Noor sebagai pembicara, Latief S. Nugraha sebagai moderator. Andika Ananda membaca cerpen Agus Noor dengan kocak dan Dinar Setiyawan mendeklamasikan puisi Gunawan Maryanto dengan syahdu. Agus Noor merasakan banyak hal yang hilang di Jogja masa kini. Salah satu contohnya, jika dulu para mahasisiwa pendatang mengontrak sebuah rumah untuk menjadi ruang berkesenian, maka saat ini mereka mengontraknya untuk dijadikan tempat bisnis, entah kafe atau mungkin yang lain. Cindhil mengingatkan bahwa dari awal berdirinya Jogja memang penuh dengan dinamika dan hal itulah yang membuat inspirasi bagi seniman terus mengalir. Membicarakan Jogja dahulu dan saat ini menyadarkan kita bahwa sudah begitu banyak terjadi perubahan, baik maupun buruk. Ketika banyak hal hilang, maka ada hal-hal baru lainnya yang hadir.


Bincang-Bincang Sastra edisi 148 di TBY yang menarik perhatian banyak orang.
Senin malam (29/1) kudatangi dua kerumunan yang berbeda. Awalnya aku berada di Kafe Basabasi yang penuh sesak karena menghadirkan Sujiwo Tejo. Terus terang aku kurang jelas menyimak apa kata Mbah Tejo saking riuh rendahnya suasana. Maka aku lantas memutuskan beranjak ke Bentara Budaya Yogyakarta untuk menyaksikan Jazz Mben Senen yang sedang merayakan 8 tahun eksistensinya. Dulu aku sempat kerap menyaksikan acara tersebut, bahkan pernah sekali ikut tampil mengiringi seorang penyanyi remaja, yang entah sekarang dia masih suka bernyanyi atau tidak. Romo Sindhunata mengatakan bahwa Jazz Mben Senen bisa menjadi contoh nyata bahwa keterbatasan sarana prasarana tidak membatasi ruang berkesenian. Djaduk Ferianto mengingatkan para seniman muda agar tetap rendah hati dan sabar dalam menjalani proses.

Oh ya, menghadiri acara mantunya Pak Tedjo Badut pada Minggu (21/1) di Pendopo SMKI (SMKN 2 Kasihan) menjadi sesuatu yang berkesan pula. Tidak seperti resepsi pernikahan umumnya, siang itu para tamu bagaikan menghadiri pesta kesenian rakyat yang begitu semarak dan menghibur tentu saja. Tempat mengisi buku tamu berbentuk ticket box. Seraya antre untuk menyalami kedua mempelai dan orangtuanya, kami bisa menyaksikan pertunjukan sulap, tarian humor, dan lain-lain. Panggung pelaminan dihias bagaikan panggung ketoprak/wayang orang. Lalu kursi untuk para tamu menikmati hidangan adalah bangku-bangku seperti di warung angkringan. Berada di situ, kendati sesaat saja menggembirakan jugalah rasanya. 

Foto : Akun Facebook Teater Garasi dan SPS Yogyakarta

Tidak ada komentar: