Senin, 30 Januari 2017

Seni adalah Anugerah

Bagaimana seseorang yang datang dari Dunia Ketiga menemukan kedamaian pikiran untuk menulis cerita? Untungnya, seni itu murah dan simpatik. Seni tinggal bersama mereka yang bahagia, dan dalam cara yang sama, ia juga tak meninggalkan mereka yang malang. Seni menganugerahkan keduanya cara-cara yang tepat untuk mengekspresikan segala sesuatu yang kacau di dada mereka.
(Pidato Nobel Naguib Mahfouz -penulis Mesir- yang diterjemahkan Tia Setiadi dan termuat dalam buku "Menggali Sumur dengan Ujung Jarum")

Kamis, 26 Januari 2017

Karya Lahir Karena Cinta

Cinta adalah kekuatan dahsyat yang dapat mengubah segalanya. Semua karya cipta yang dilahirkan karena kekuatan cinta akan memancarkan kekuatan yang memikat dan memesonakan. Karena cinta adalah keabadian. Cinta lahir sebagai anugerah dari Dia yang Memiliki Cinta. (Tasirun Sulaiman)

Rabu, 25 Januari 2017

Tak Terkatakan Namun Menyenangkan

"Ada sesuatu yang tak terkatakan, namun terasa menyenangkan. Apakah sesungguhnya kurasakan indahnya jatuh cinta? Aku berusaha mengatur napasku agar tetap terlihat tenang di mata Udrayaka, padahal  ketegangan sebenarnya melingkupi jiwa ragaku."

Mencoba menyuarakan gejolak hati sang putri yang tidak tergambarkan di karya asli yang menjadi inspirasi. Terima kasih untuk Bung Selendang.

http://nusantaranews.co/dilema-sang-putri-raja-cerpen-luhur-satya-pambudi/

Senin, 23 Januari 2017

Lebih Baik Tahu Sedikit

Lebih baik tahu sedikit mengenai apa yang baik dan tidak baik, tetapi Anda jalankan pada setiap kegiatan. Perbuatan itulah kata-kata Anda, ajaran Anda. (Jakob Sumardjo)

Jumat, 20 Januari 2017

Jumat Mendung, Sukacita Tak Terbendung

Biarpun langit Jumat mendung, bahkan hujan deras turun, namun ada sukacita yang tak terbendung. Terima kasih untuk Mas Joni Ariadinata yang memberi kesempatan cerpen saya dimuat di basabasi.co. Silakan bagi siapa saja yang berkenan membacanya. Terima kasih jua.

http://basabasi.co/lukisan-sungging-dan-peti-yang-terbang-bersama-layang-layang-raksasa/

Kamis, 19 Januari 2017

Kehormatan di Hadapan Manusia

Dia memutuskan lebih baik takut kepada Tuhan. Dengan ketetapan itu dia merasa tenteram. Sekarang dia harus menghadap-Nya. Yang penting adalah bagaimana Dia memandangnya. Orang-orang itulah yang mengangkatnya sebagai khatib dan imam, merekalah juga yang sekarang menjatuhkan siksa kepadanya. Kehormatan di hadapan manusia selalu disanksi dengan penghinaan.

(Kuntowijoyo dalam cerpen "Burung-Burung Kecil Bersarang di Pohon")

Jika Binatang Memeluk Agama

Sementara kusimpulkan : jika para binatang diberi kesempatan memeluk agama, sebaiknya mereka tidak memeluk agama manusia. Agama para binatang -apa pun namanya- mungkin lebih bisa menjadikan hewan-hewan saling mengasihi, tidak baku bunuh, dan memuliakan sesama.
(Triyanto Triwikromo dalam cerpen "Sesat Pikir Para Binatang")

Selasa, 17 Januari 2017

Menengok Sekilas Ke Belakang

Telah 17 hari berlalu di tahun baru 2017. Tentu saja masih banyak hari dan peristiwa akan berlangsung sepanjang tahun ini. Maka saya akan menengok sekilas ke belakang tentang hal-hal yang layak dicatat selama 2016, terutama yang berkenaan dengan proses kreatif saya dalam berkesenian. 

Momentum penting yang merupakan langkah maju dan sesuatu yang menggembirakan saya adalah dirilisnya buku kumpulan cerpen perdana saya, yang berjudul Perempuan yang Wajahnya Mirip Aku (PYWMA). Buku tersebut diterbitkan oleh Pustaka Puitika, sebuah penerbit buku indie di Yogyakarta. Awal Mei 2016 menjadi sejarah penting bagi saya karena untuk pertama kalinya saya menyentuh dan membuka sebuah buku yang berisi buah pikiran saya. Perlu waktu sekitar satu tahun, sejak saya mengirim draf naskah kumpulan cerpen hingga akhirnya tercetak menjadi sebuah buku. Terima kasih untuk Bung Anam Khoirul Anam yang sudah mewujudkan cita-cita saya memiliki buku sendiri. 


PYWMA terdiri dari 10 cerpen yang pernah dimuat di sejumlah media massa, baik yang masih eksis maupun yang sudah tidak terbit lagi, yaitu : Minggu Pagi, Koran Merapi Pembaruan, Inilah Koran, Radar Surabaya, Bangka Pos, Banjarmasin Post, Jurnal Nasional, dan Majalah Story. Buku tersebut hanya dicetak sekitar 100 buah dengan distribusi terbatas. Hingga akhir 2016, sekitar 60% buku telah beredar. Sebagian besar dijual lewat tangan penulisnya sendiri. Terima kasih bagi semua orang yang sudah sudi membeli, menerima, dan membaca PYWMA. Saya berharap buku kedua saya bisa diterbitkan tahun ini dan bisa dijual di toko buku, sehingga ada lebih banyak lagi pembaca buku saya. 

Penulisan cerpen anyar bukan hal yang mudah lagi bagi saya. Selama 12 bulan hanya enam buah cerpen berhasil dituntaskan. Syukurlah, masih ada 10 cerpen yang dimuat di sejumlah media cetak dan sebuah media daring, dua di antaranya adalah cerpen baru. Suara Merdeka, Suara Karya, Bali Post, dan Nusantaranews untuk pertama kalinya memuat karya saya pada 2016. Sementara itu, Radar Surabaya, Kedaulatan Rakyat, dan Tribun Jabar kembali memuat cerpen saya setelah sekian tahun berselang. Pengiriman karya tetap dilanjutkan tahun ini dan mudah-mudahan masih ada lagi karya saya yang dimuat di berbagai tempat.

Ada banyak buku bagus yang terbit dan saya beli tahun kemarin. Saya bersyukur dan merasa beruntung bisa membaca Al Asma Al Husna (M. Quraish Shihab), Saleh Sosial Saleh Ritual (A. Mustofa Bisri), Semesta Maulana Rumi (Abdul Hadi WM), Bukan Cinta Biasa (Tasirun Sulaiman), dan Aku Bersilat Aku Ada (Bre Redana). Demikian pula sejumlah buku fiksi, seperti : Orang-Orang Bloomington (Budi Darma), Dilarang Mencintai Bunga-Bunga (Kuntowijoyo), Dunia Sukab (Seno Gumira Ajidarma), Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu? (Hamsad Rangkuti), Pacar Seorang Seniman (WS Rendra), Suti (Sapardi Djoko Damono), BH (Emha Ainun Nadjib), Sesat Pikir Para Binatang (Triyanto Triwikromo), Tuhan Tidak Makan Ikan (Gunawan Tri Atmodjo), Agama Apa yang Pantas bagi Pohon-Pohon? (Eko Triono), Selamat Menunaikan Ibadah Puisi (Joko Pinurbo), dan Asal Muasal Pelukan (Candra Malik).

Kamis, 05 Januari 2017

Koleksi Buku 2016

Tulisan ini semula akan menjadi catatan akhir tahun 2016, tapi akhirnya baru terwujud di awal tahun 2017. Yah, tak apalah. Kendati tidak setiap bulan tersedia anggarannya, syukurlah bahwa saya masih bisa membeli sejumlah buku baru hingga 40-an buah dan menambah koleksi yang telah ada. Kebanyakan buku dibeli di Togamas Kotabaru. Sebagian lainnya dibeli di Gramedia Sudirman, lalu ada pula di Social Agency Baru Adisucipto, dan Bentara Budaya Yogyakarta. Mayoritas buku baru terbitan 2016, tapi ada juga yang tidak baru dan diperoleh dengan harga murah. Judul buku diurutkan waktu pembeliannya sejak Januari hingga Desember 2016. 
Satu buku anyar yang saya miliki tanpa harus membelinya adalah buku kumpulan cerpen perdana saya yang akhirnya dirilis pada Mei 2016, meski di bukunya tercatat cetakan pertama Agustus 2015.

Fiksi
Sepi pun Menari di Tepi Hari (Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 2004), Suti (Sapardi Djoko Damono), Panggilan Rasul (Hamsad Rangkuti), Reruntuhan Musim Dingin (Sungging Raga), BH (Emha Ainun Nadjib), Begitulah Cinta (Shakespeare); Cinta, Kenangan, dan Hal-Hal yang Tak Selesai (Kumpulan @sajak_cinta); Komodo Inside (Yuditeha), Perempuan yang Wajahnya Mirip Aku (Luhur Satya Pambudi), Agama Apa yang Pantas bagi Pohon-Pohon? (Eko Triono), Tuhan Tidak Makan Ikan (Gunawan Tri Atmodjo), Sesat Pikir Para Binatang (Triyanto Triwikromo), Selamat Menunaikan Ibadah Puisi (Joko Pinurbo), Asal Muasal Pelukan (Candra Malik), Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu? (Hamsad Rangkuti), Anak Ini Mau Mengencingi Jakarta? (Cerpen Pilihan Kompas 2015), Dilarang Mencintai Bunga-Bunga (Kuntowijoyo), Le Petit Prince/Pangeran Cilik (Antoine de-Saint Exupery), Bersepeda ke Neraka (Triyanto Triwikromo), Dunia Sukab (Seno Gumira Ajidarma), Wisanggeni Sang Buronan (Seno Gumira Ajidarma), Puisi-Puisi Cinta (WS Rendra), Seorang Dokter Desa (Franz Kafka), Orang-Orang Bloomington (Budi Darma), Pacar Seorang Seniman (WS Rendra), Hikayat Tanah Beraroma Rempah (Thomas Utomo), Syeh Musa dan Anjingnya (Anam Khoirul Anam dkk), Aphorisma Cinta dan Kerinduan (Penyunting : Puitika Studio), Balada Orang-Orang Tercinta (Kartika Catur Pelita), Bangsal Sri Manganti (Suminto A Sayuti), Ballada Orang-Orang Tercinta (WS Rendra), Malam Penghabisan bagi Siluman (Gunawan Tri Atmodjo).

Nonfiksi
Gus Dur Santri Par Excellence (Editor : Irwan Suhanda), Zikir Cinta (KH Maman Imanulhaq Faqieh), Semesta Maulana Rumi (Abdul Hadi WM), Serunya Adit Sopo Jarwo (Tim MD Animation), Kamu Indonesia Banget Kalau... (Berit Renser), Saleh Sosial Saleh Ritual (A. Mustofa Bisri), Tuhan dalam Secangkir Kopi (Denny Siregar), Orang Maiyah (Emha Ainun Nadjib), Al Asma Al Husna (M. Quraish Shihab), WORLDCUPEDIA (Wartawan Kompas), Sejuta Mata Darwis Triadi (Atok Sugiarto), Mind Body Spirit : Aku Bersilat, Aku Ada (Bre Redana), Bukan Cinta Biasa (Tasirun Sulaiman).

Komik Indonesia
Komik Facebook (Vbi Djenggoten), Garudayana Saga 6 (Is Yuniarto), Mice Cartoon : Obladi Oblada Life Goes On (Muhammad Mice Misrad).



Senin, 02 Januari 2017

Menjelang Kepergian Ibunda

Untuk memperingati satu dekade tutup usianya Ibunda tercinta, maka saya mengunggah cerpen yang pernah dimuat di Suara Merdeka edisi 3 Januari 2016 di blog ini.

SABAN tiba menjelang pergantian warsa, hingga menjelmalah angka tahun yang baru, senantiasa aku terkenang pada mendiang Ibunda. Sembilan tahun sudah tak dapat kutemui ibuku dalam keseharian di atas buana. Benakku beranjak menuju masa silam, pada sejumlah hari sebelum kepergian selamanya perempuan yang sungguh kusayangi. Ketika itu sebenarnya Ibu telah berada di rumah kembali selama hampir dua bulan. Beliau sebelumnya sempat dirawat di rumah sakit sekitar dua pekan lantaran mengalami gangguan jantung dan ginjal. Sebagai upaya memulihkan kesehatannya, kata dokter tiada pilihan lain bagi Ibu kecuali menjalani cuci darah secara rutin seminggu dua kali.

Sesungguhnya tak mudah bagi ibuku menuruti saran dokter. Aku paham, beliau pernah memiliki pengalaman buruk dengan masalah cuci darah. Beberapa tahun sebelum Ibu diopname, seorang paman beliau sakit keras dan mesti menjalani cuci darah berkali-kali. Akhirnya sang paman padam nyawa. Masalahnya, Ibu adalah orang yang selalu mendampingi pamannya berhubung almarhum tidak berkeluarga. Lagi pula keluarga kami merupakan kerabatnya yang paling dekat. Ibu akhirnya bersedia darahnya dicuci, tapi cukup sekali, tak sudi andaikata lebih lagi. Alasan Ibu sederhana saja, beliau tak ingin terlalu merepotkan anak-anaknya yang mesti mengantarnya ke rumah sakit. Belum lagi biayanya pun besar untuk melakukan hal itu. Tentu saja sebenarnya kami tak akan keberatan, termasuk berupaya menyediakan berapa pun dananya. Kami toh melakukannya demi ibu yang sungguh kami sayangi, apalagi Bapak sudah lama tiada. Tapi aku beserta kakak-kakakku menghargai pilihan beliau. Pengalaman buruk cuci darah mendiang sang paman pasti belum sirna dari benak Ibu.

Sesudah cuci darah yang hanya sekali itu, beliau mencoba melakukan pengobatan alternatif. Saban tiba akhir pekan, kuantarkan Ibu ke sebuah desa dalam rangka berobat pada seseorang yang memiliki keterampilan menyembuhkan berbagai penyakit. Kondisi tubuh Ibu tampak sempat membaik selama beberapa saat. Indikasinya terlihat ketika beliau mengeceknya di laboratorium umum kesehatan. Aktivitasnya pun sempat berjalan biasa, misalnya mengikuti acara pengajian atau menghadiri pertemuan keluarga besar. Namun hal tersebut nyatanya tak berlangsung lama. Yang terjadi sehabis itu malah penurunan kondisi tubuh yang sangat drastis. Ibu kemudian hanya bisa terbaring lemah di atas dipan. Akhirnya kami memutuskan membawa orangtua kami yang tinggal satu kembali ke rumah sakit. Masih lekat kuingat, hari itu Jumat pagi, tanggal 29 Desember.
***
Malam tahun baru, seorang diri di serambi lantai kesekian rumah sakit aku berdiri. Kusaksikan langit terang benderang oleh nyala kembang api dari beragam penjuru kota. Seingatku, baru sekali itu dapat kutatap secara leluasa kemeriahan malam pergantian tahun. Sayang sekali, di sampingku tiada sesiapa yang kukenal, apalagi orang-orang yang kusayangi. Dalam hati aku bersyukur masih diberi waktu mengalami satu lagi tahun baru. Secara khusus kumohon pada Tuhan, agar di tahun yang baru ibuku masih diberi anugerah berupa kesembuhan dari segala sakitnya dan kembali sehat seperti sediakala. Sudah memasuki malam ketiga aku menunggui Ibu di rumah sakit. Sehari setelah masuk rumah sakit dalam kondisi tidak sadar, beliau sempat membuka matanya dan mengatakan sesuatu tanpa suara. Setelah itu Ibu kembali terlelap, tanpa kami tahu kapan akan terjaga kembali. Kerabat kami yang menjadi dokter menyatakan bahwa harapan kesembuhan Ibu masih ada, tapi ia menganjurkan kami agar lebih banyak berdoa.

Pagi hari pertama tahun baru, Ibu mesti menjalani cuci darah. Sesungguhnya sejak masuk rumah sakit lagi, dokter sudah memutuskan akan melakukannya, tapi baru bisa terlaksana tiga hari kemudian berhubung harus mengantri. Ternyata cuci darah gagal dilaksanakan. Tubuh Ibu menolak proses medis tersebut. Terus terang, aku tak punya firasat apa-apa. Sekadar kucoba memahami bahwa Tuhan mungkin sedang mengabulkan keinginan Ibu yang enggan melakukan cuci darah lagi. Justru Mbak Atik, kakakku, yang wajahnya tampak memucat, ketika memberitahuku—yang menunggu di luar ruangan—tentang gagalnya proses cuci darah itu.

Tak lama berselang, Eyang Putri hadir dari Jakarta ditemani Om Adi, pamanku yang paling muda. Beliau duduk di kursi roda karena masih lelah seusai menempuh perjalanan darat Jakarta-Yogyakarta, namun wajah beliau tampak sangat tegar. Jujur saja, rada aneh aku menyaksikannya. Aku dan Mbak Atik kemudian menemani Eyang Putri beserta Om Adi menemui Ibu. Ada sesuatu yang tak terduga terjadi. Ibu membuka matanya dan meneteskan air mata, ketika Eyang Putri tepat berada di sampingnya. Entah pertanda apakah, aku tak berani berpikir lebih lanjut.

Kami meninggalkan rumah sakit sewaktu kakakku yang lain berdatangan, kendati belum semuanya. Kondisi Ibu sendiri relatif stabil dan tubuhnya yang bergeming dibawa kembali ke kamar rawat inapnya, sesudah proses cuci darahnya tidak berhasil dilakukan. Aku pulang bersama Eyang Putri dan Om Adi yang kuturunkan di rumah mertua Mbak Tari, kakakku lainnya. Aku diminta kakakku melakukannya karena aku sendiri belaka di rumah. Sementara ada Mbak Tari dan ibu mertuanya yang bisa melayani nenekku.


Telah kumiliki sejumlah rencana setibaku di rumah. Langsung kujalankan satu demi satu, dimulai dari menyiram tanaman, lalu kucukur kumis dan jenggotku yang sudah beberapa hari tumbuh memenuhi wajahku. Sehabis itu aku berencana mandi, makan siang, lantas kembali ke rumah sakit. Tapi kemudian Mbak Tari meneleponku, katanya kondisi fisik Ibu melemah. Aku sekadar sempat cuci muka, mengenakan baju bersih, dan bergegas pergi ke rumah mertua kakakku. Begitu aku sampai, Mbak Tari ternyata baru mendapat kabar lagi dari suaminya bahwa keadaan Ibu sudah membaik. Kami pun sepakat menunda rencana ke rumah sakit. Aku malah diajak makan siang bersama Eyang Putri dan juga Om Adi.

“Ibumu itu sosok yang begitu baik. Mungkin hanya satu di antara seribu orang yang seperti ibumu,” kata Eyang Putri.

Tubuhku bergeming belaka menyimak ucapan nenekku tentang putri kesayangannya, namun hatiku bergetar mendengarnya. Kuingat kondisi terakhir Ibu yang lemah tanpa daya di rumah sakit. Tinggal keajaiban Tuhan belaka yang kuharap bakal datang menyelamatkan nyawa perempuan yang melahirkanku ke dunia. Tiba-tiba kakakku menerima telepon dari suaminya yang memberitahukan bahwa kondisi Ibu kembali memburuk. Kali ini aku, Mbak Tari dan Om Adi segera bergegas menuju rumah sakit tanpa menundanya lagi. Eyang Putri memilih tetap berada di rumah mertua kakakku.

Kami bertiga datang terlambat ternyata. Begitu memasuki bangsal tempat ibuku dirawat, kakak iparku menyambut kedatangan kami dan mengatakan sesuatu dengan lirih.

“Baru saja Ibu sudah pergi. Kalian yang tegar ya, Dik.”

Aku dan Mbak Tari memasuki kamar menemui kakak-kakak kami yang berurai air mata. Kami pun saling berpelukan, berpadu dalam kesedihan yang sama. Seseorang yang sangat berarti sepanjang hidupku telah pergi untuk kembali ke hadirat Ilahi. Mesti berupaya keras diriku agar ikhlas menerima ketentuan-Nya. Maka sejak saat itu, sebatas menjadi kenanganlah segala hal tentang Ibunda. Hanya mampu kurasakan rindu, tanpa tahu bila waktunya dapat bertemu lagi dengan dirinya. Kadangkala sosok mungilnya hadir belaka dalam sejumlah bunga tidurku, tanpa kami bisa berkata-kata.