Kalau pun hidup ini samudra
Kita punya gelora
Kalau pun hidup ini angkasa
Kita pun tahu luasnya
Kalau pun hidup ini duka
Kita punya luka
Kalau pun hidup ini cinta
Kita telah bertegur sapa
Lalu kenapa kita berhenti
Sedang matahari pun bergegas
Mengejar mimpi
(Ags. Arya Dipayana)
Jumat, 29 April 2016
Tiba-Tiba
tiba-tiba
kau pun mendengar seperti suara tawa
ketika duka tak tertampung
dalam Duka
begitu tiba-tiba
(Ags. Arya Dipayana)
kau pun mendengar seperti suara tawa
ketika duka tak tertampung
dalam Duka
begitu tiba-tiba
(Ags. Arya Dipayana)
Rabu, 27 April 2016
Apa Guna Ilmu
Apa gunanya ilmu, kalau tidak memperluas jiwa seseorang, sehingga ia berlaku seperti samudera yang menampung sampah-sampah? Apa gunanya kepandaian, kalau tidak memperbesar kepribadian seseorang, sehingga ia makin sanggup memahami orang lain? (Emha Ainun Nadjib)
Selasa, 26 April 2016
Ke Sekolah (Art for Children TBY)
Lagu anak-anak "Ke Sekolah" karya R. Sigit Eko Riyanto, dinyanyikan oleh anak-anak vokal (asuhan Pak Sigit) dengan diiringi anak-anak ensembel musik (asuhan Mas Ghana dan Mbak Dewi) dalam pentas musik Pekan Seni AFC 2015 yang berlangsung pada 6 Oktober 2015 di Concert Hall TBY. Video musik dibuat dan diunggah di Youtube oleh M. Jauhar al-Hakimi.
Menyanyi dan Menari (Art for Children TBY)
Lagu anak-anak berjudul "Menyanyi dan Menari" karya R. Sigit Eko Riyanto, dinyanyikan oleh anak-anak vokal AFC (Art for Children) TBY dalam pentas musik Pekan Seni AFC 2015 yang berlangsung pada 6 Oktober 2015 di Concert Hall TBY. Lagu diiringi oleh Luhur Satya Pambudi. Video musik dibuat dan diunggah di Youtube oleh M. Jauhar al-Hakimi.
Kamis, 21 April 2016
Tujuan Sama : Kebaikan
Betapapun jalan-jalan yang kita lalui berbeda, tapi kesemuanya itu menuju kepada satu tujuan yang sama, yaitu Kebaikan. Kita juga mengabdi kepada Kebaikan, yang tuan sebut Tuhan dan kami sendiri menyebutnya Allah.
(R.A. Kartini)
(R.A. Kartini)
Kehidupan Manusia Serupa Alam
Tiada awan di langit yang tetap selamanya.
Tiada mungkin akan terus-menerus terang cuaca.
Sehabis malam gelap gulita, lahir pagi membawa keindahan.
Kehidupan manusia serupa alam.
(R.A. Kartini)
Tiada mungkin akan terus-menerus terang cuaca.
Sehabis malam gelap gulita, lahir pagi membawa keindahan.
Kehidupan manusia serupa alam.
(R.A. Kartini)
Rabu, 20 April 2016
Berdebat dengan Sopan
Para leluhur kita di masa lalu bisa berbantahan penuh tata krama, berkata sopan tanpa merendahkan lawannya. Mereka menyebutnya adu wicara, terjemahan masa kini: berdebat dengan sopan. Sedangkan yang berdebat dengan kata-kata jorok, memaki, saling hina -dan tak jarang dilanjutkan dengan perkelahian- disebut adu cangkem atau ungkapan lain cangkem gembur. Nah, yang terakhir ini, entah sejak kapan, diterjemahkan: adu mulut.
Kita sudah banyak berubah. Keluhuran budaya dan tradisi (termasuk aksara dan sastra lokal) semakin sirna karena kita konon sudah maju. Tapi Jepang jauh lebih maju, produk industrinya menyerbu negeri kita, kok budaya dan kearifan lokal mereka masih jelas? Adakah tatanan masyarakat kita sudah tak harmonis lagi? Para ulama, pendeta, sesepuh sudah tak lagi didengarkan dan berjarak jauh dengan penguasa negeri? Di era kerajaan dulu, para ulama dijadikan purohito (ada istilah lain: bhagawanta) oleh penguasa untuk dimintai nasihat dan pertimbangan. Di masa Orde Baru, ada istilah "ulama dan umaroh tak bisa dipisahkan". Kini, di dewan pertimbangan presiden ada juragan kapal.
(Putu Setia dalam esai "Adu Mulut" di tempo.co)
Kita sudah banyak berubah. Keluhuran budaya dan tradisi (termasuk aksara dan sastra lokal) semakin sirna karena kita konon sudah maju. Tapi Jepang jauh lebih maju, produk industrinya menyerbu negeri kita, kok budaya dan kearifan lokal mereka masih jelas? Adakah tatanan masyarakat kita sudah tak harmonis lagi? Para ulama, pendeta, sesepuh sudah tak lagi didengarkan dan berjarak jauh dengan penguasa negeri? Di era kerajaan dulu, para ulama dijadikan purohito (ada istilah lain: bhagawanta) oleh penguasa untuk dimintai nasihat dan pertimbangan. Di masa Orde Baru, ada istilah "ulama dan umaroh tak bisa dipisahkan". Kini, di dewan pertimbangan presiden ada juragan kapal.
(Putu Setia dalam esai "Adu Mulut" di tempo.co)
Pujangga Mendapat "Beasiswa"
Mpu Tantular, yang hidup di era Majapahit Raja Hayam Wuruk abad ke-14, diminta menulis karya yang bisa dijadikan sesuluh kerajaan. Lahirlah Kekawin Sutasoma yang di dalamnya terdapat "kata sakti": bhinneka tunggal ika - kata yang kini jadi sesanti negeri ini. Meski dibiayai hidupnya untuk menulis, pujangga ini tak terpengaruh oleh pesanan, bahkan nama yang dipakai, Tantular, artinya tak terpengaruh.
Tak cuma Tantular yang diberi "beasiswa" oleh Hayam Wuruk. Ada pujangga lain, Mpu Prapanca, yang kemudian melahirkan Kekawin Negarakertagama yang termasyhur itu. Kisah ini memang sejenis reportase kerajaan, namun dengan keindahan bahasa, kekawin dengan 98 pupuh (sajak bertembang) ini begitu indah, melampaui zamannya.
(Putu Setia dalam esai "Pujangga" di tempo.co)
Sabtu, 16 April 2016
Cinta Layaknya Uap Hangat
Cinta layaknya uap hangat yang berhembus dari desah napas sang kekasih. Uap menghilang, kobar api asmara bergelora di mata. Tatkala kau sia-siakan cinta, lautan air matalah yang kau dapatkan.
(Shakespeare dalam "Romeo & Juliet")
(Shakespeare dalam "Romeo & Juliet")
Kamis, 07 April 2016
Selasa, 05 April 2016
Jangan Benci yang Tidak Kenal
Jangan kita membenci orang yang tidak kita kenal hanya karena mengikut kawan. Siapa tahu kawan itu yang bermasalah. (A. Mustofa Bisri)
Langganan:
Postingan (Atom)