Selasa, 31 Oktober 2017

Hakikat Cerpen

Memakai atau tidak memakai formula, perlu diingat bahwa pada hakikatnya cerpen adalah strukturalisasi adalah karya sastra adalah fiksi adalah “Dunia yang Mungkin”; bukan fakta, jurnalisme, karya ilmiah atau esai filsafat.

(Kuntowijoyo dalam esai "Perihal Cerpen : Strukturalisasi Pengalaman, Imajinasi, dan Nilai")

Selasa, 24 Oktober 2017

Operet AFC "Anak Indonesia Anak Pancasila" di TBY



Pergelaran Operet Art for Children (AFC) "Anak Indonesia Anak Pancasila" yang dipentaskan di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta pada 17 Oktober 2017. Video dibuat oleh Aris Wijaya.

Minggu, 22 Oktober 2017

Seusai Perang Besar

Mereka sedang menanggung duka yang dalam nian, sebuah rasa yang belum pernah ada sebelumnya. Para perempuan meratapi ayah, saudara lelaki, suami, maupun anak lelakinya yang telah pergi dan mustahil kembali pulang. Pasar-pasar pun hilang kumandangnya. Tiada orang yang melakukan jual-beli di sana. Sawah ladang ditelantarkan begitu saja tanpa ada yang menggarapnya. Seakan-akan semua orang larut dalam kesedihan dan tak berdaya melakukan apa-apa. Kehidupan laksana berhenti untuk sejenak masa. Namun, suasana mulai berubah kala terdengar kabar Pandawa akan segera datang. Sang bayu yang berembus terasa rada menyejukkan, harapan pun mulai mengemuka. Dengan kesadaran sendiri, masyarakat Hastinapura berduyun-duyun meninggalkan tempat tinggalnya dan berdiri di tepi jalan yang akan dilewati oleh rombongan.
“Siapakah mereka yang kita tunggu, Ibu?”
“Mereka adalah Pandawa, pemimpin sejati Hastinapura yang sudah lama kita tunggu kehadirannya.”
“Di mana mereka selama ini? Mengapa baru datang hari ini?”
“Begitu panjang riwayat mereka selama ini, Nak. Lain kali Ibu akan menceritakannya padamu. Semoga Ibu masih mengingatnya nanti. Sebentar lagi mereka akan lewat di depan kita. Berikan penghormatan terbaik kita kepada Pangeran Yudistira dan saudara-saudaranya, Nak.”
“Bolehkah aku mengabdi kepada Pandawa, Ibu?”
“Tentu saja, tapi setelah kau dewasa nanti, ya,” sahut sang ibu yang serta-merta terharu seraya membelai kepala anak bungsunya.
Baratayuda belum lama usai. Kekuasaan Kurawa di Hastinapura berakhir sudah. Seorang bocah lelaki nan lugu banyak bertanya kepada ibunya ketika melihat kedatangan rombongan Pandawa memasuki ibu kota Hastinapura dari padang Kurusetra. Ayah si bocah adalah seorang prajurit yang tewas di medan laga. Paman dan kakak lelakinya pun padam nyawa di sana. Sang ibu tak sanggup membendung air matanya yang mengalir sendiri kala mengenang mereka yang telah tiada.
Kendati begitu berduka, rakyat Hastinapura sungguh berharap Pandawa bisa membawa perubahan bagi kehidupan mereka yang selama ini sengsara dan terhina di bawah Kurawa yang dipimpin Duryudana. Terjadinya Baratayuda telah menambah kadar penderitaan mereka. Maka mereka menginginkan kerelaan hati Destarata menyerahkan takhtanya kepada Yudistira. Mereka tak mengerti bahwa sempat terjadi insiden di dalam istana ketika Destarata nyaris membunuh keponakannya sendiri, Bima, yang telah menghabisi anak-anaknya dengan cara yang keji dalam pertempuran di Kurusetra. Namun, akhirnya Destarata ikhlas melepas kekuasaannya yang diserahkan kepada anak tertua Pandu, adiknya yang sudah lama tiada.
Setelah dinobatkan sebagai raja Hastinapura, Yudistira dengan didampingi adik-adiknya maupun Prabu Kresna kembali mendatangi Kurusetra untuk menemui Bisma Dewabrata, kakek mereka yang terbaring tanpa daya ditopang ribuan anak panah. Dewata memberinya kesempatan menentukan waktu kematiannya sendiri, tapi Resi Bisma masih ingin memberi wejangan kepada Pandawa sebelum menutup mata selamanya.
“Hamba mohon doa restu dari Eyang Bisma agar hati hamba senantiasa tabah menjalankan kewajiban,” ujar Prabu Yudistira di depan kakeknya.
“Eyang tak akan berhenti mendoakan kalian agar senantiasa mendapatkan perlindungan Yang Mahakuasa. Namun, doa tidak akan ada artinya jika yang didoakan justru melanggar hukum yang ditetapkan Tuhan. Yang penting bagi keselamatan manusia di alam lahir dan nirwana nanti adalah perbuatan kita sendiri,” kata Resi Bisma.
Pandawa dan Prabu Kresna mendengarkan dengan saksama petuah sang kakek.
“Waspadalah cucuku, kau sebagai raja jangan hanya memandang orang-orang berderajat tinggi, kaum bangsawan, dan mereka yang kaya raya. Kau mesti melihat kehidupan mereka yang berada di bawah. Di negeri mana saja di seluruh dunia, yang terbanyak penduduknya adalah rakyat jelata.”
“Maju mundurnya suatu negeri dinilai dari kehidupan rakyatnya, bukan dari kemewahan yang memerintah. Kekuasaan rakyat itu laksana air danau yang tenang, tapi sewaktu-waktu dapat menghancurkan lembah-lembah yang subur. Apabila tanggulnya kurang kokoh, air danau itu akan mendobraknya dengan kekuatan yang dahsyat.”
Yudistira sebagai raja baru Hastinapura sungguh menghayati nasihat lelaki tua yang senantiasa dihormatinya tersebut, kendati beliau berada di pihak Kurawa ketika Baratayuda lantaran kecintaannya yang luar biasa kepada Hastinapura, tanah tumpah darahnya.
“Kejujuran dan keluhuran budi lebih berharga ketimbang emas berlian yang menggunung. Harta kekayaan bagaimanapun banyaknya tidak akan mampu membawamu ke alam nirwana. Hanya itulah yang dapat Eyang wariskan, cucu-cucuku tercinta.”
Resi Bisma pun mengembuskan napas terakhirnya. Pandawa sempat terluka hatinya, tapi mereka telah memperoleh wasiat dari sang kakek yang akan menjadi bekal bernilai tinggi bagi Yudistira maupun keempat saudaranya dalam memimpin negeri yang keadaannya sungguh memprihatinkan seusai perang besar. Sebuah pertempuran yang mesti terjadi untuk mengakhiri kekuasaan yang tidak adil dan bertindak semena-mena terhadap rakyatnya sendiri. Prabu Yudistira berusaha benar mengejawantahkan pesan-pesan Resi Bisma. Nasihat dari Prabu Kresna, Ibu Kunti, dan para sesepuh lainnya tentu akan selalu menjadi pedoman yang baik pula baginya dalam memimpin Hastinapura.
Rakyat bersedia bekerja keras membangun kembali negerinya yang porakporanda di bawah rajanya nan bijaksana. Senyuman masyarakat di negeri itu lambat laun mulai bersemi kembali. Mereka bersukacita melihat sang pemimpin sejati menjalankan kekuasaannya dengan adil dan beradab. Segala hal yang menjadi kebutuhan mereka lambat laun terpenuhi dengan baik. Si bocah lugu dan ibunya pun bersemangat kembali dalam menjalani kehidupan. Sang ibu merestui sepenuhnya hasrat anaknya untuk mengabdi kepada Pandawa di masa mendatang.

# dimuat di Bali Post Minggu, 15 Oktober 2017.

Kamis, 19 Oktober 2017

"Anak Indonesia Anak Pancasila" Dipentaskan AFC di TBY

Pergelaran operet "Anak Indonesia Anak Pancasila" persembahan dari Art for Children (AFC) telah dimainkan dengan apik pada Selasa, 17 Oktober 2017, malam lalu. Pertunjukan kolaborasi anak-anak dari kelas musik, vokal, tari, dan teater tersebut berlangsung di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta sekaligus menjadi penutup rangkaian Pekan Seni AFC 2017. Kehadiran penonton yang memenuhi gedung menjadi kejutan menggembirakan bagi kami yang terlibat dalam pementasan malam itu. Sebelum lakon utama dimainkan, anak-anak vokal kelas Minggu membawakan tiga lagu karya Pak Sigit Eko Riyanto, yaitu : Pesawat Kertas, Riang-Riang, dan Anak Indonesia Anak Pancasila, dengan diiringi suara piano belaka. 





Operet dibuka dengan monolog empat anak teater yang berperan sebagai makhluk planet/alien dengan kostumnya yang menarik. Setelah itu anak-anak tari dan anak-anak vokal berbagi panggung dengan anak-anak musik yang mengiringi semua lagu secara orkestra di bawah dirigen Dwipa Hanggana Prabawa. Lagu-lagu daerah Nusantara dari Aceh hingga Papua mendominasi pertunjukan. Bungong Jeumpa, Medley Ondel-Ondel dan Sang Bango, Lir-Ilir, Medley Jaranan dan Janger, dan Rek Ayo Rek dibawakan para penari, dari yang masih anak-anak PAUD/TK hingga yang sudah remaja. Sigulempong, Manuk Dadali, Medley Gundul Pacul-Suwe Ora Jamu-Cublak Suweng, Ampar-Ampar Pisang, Yamko Rambe Yamko, dan Rasa Sayange dibawakan anak vokal kelas Jumat dengan koreografi yang dinamis. Setelah adegan terakhir anak-anak teater, dua lagu bertema nasionalisme karya Pak Sigit dinyanyikan anak vokal, yaitu : Dwi Warna dan Garuda Muda. Jingle AFC karya Dwipa Hanggana Prabawa dan Dewi Kurniawati dinyanyikan oleh seluruh anak yang tampil menutup pertunjukan malam itu.





Senin, 02 Oktober 2017

Cinta dan Mencintai

Cinta itu suatu keadaan di dalam jiwa manusia. Suatu situasi yang bergulung-gulung di batas kedalaman jiwamu. Sedangkan mencintai adalah keputusan sosial. Mencintai adalah perilaku, langkah perbuatan kepada yang bukan dirimu. Engkau bisa mencintai, meskipun tanpa cinta. Karena perbuatan mencintai bisa engkau ambil energinya dari  nilai-nilai sosialitas bermacam-macam.  Bisa kasih sayang kemanusiaan, bisa kenikmatan bebrayan, bisa toleransi, empati, simpati, partisipasi atau apa pun. (Emha Ainun Nadjib)