Karya-karya seni memberikan tempat sebagai perwujudan mimpi yang tak dapat diwujudkan. Misalnya, karya sastra dalam bentuk puisi atau karya seni musik yang syair-syairnya merupakan manifestasi dari sesuatu yang datang dari alam taksadar. Demikian pula halnya dengan seni lukis dan seni pahat.
(Albertine Minderop dalam buku "Psikologi Sastra")
Kamis, 31 Agustus 2017
Selasa, 29 Agustus 2017
Nasib dan Takdir
Nasib memang diserahkan kepada manusia untuk digarap, tetapi takdir harus ditandatangani di atas meterai dan tidak boleh diganggu gugat kalau nanti terjadi apa-apa, baik atau buruk. Kata yang ada di Langit sana, kalau baik ya alhamdulillah, kalau buruk ya disyukuri saja.
(dikutip dari novel "Hujan Bulan Juni" karya Sapardi Djoko Damono)
(dikutip dari novel "Hujan Bulan Juni" karya Sapardi Djoko Damono)
Senin, 28 Agustus 2017
Berjumpa dengan Pak Sapardi
Entah sejak kapan persisnya saya mengenal karya-karya Sapardi Djoko Damono, tapi mungkin saya lebih dahulu mengenal musikalisasi puisi Aku Ingin. Lelaki yang melakukan alih wahana dari puisi menjadi lagu tersebut adalah Ags. Arya Dipayana, yang lebih saya akrabi sebagai Om Adji. Seingat saya, Om Adji pernah memberi kami sebuah kaset rekaman berisi Musikalisasi Puisi karya Sapardi Djoko Damono (SDD). Kaset itu tak bersampul, tapi rasanya saya pernah menyetelnya beberapa kali. Lantas, kaset itu tiba-tiba hilang entah berada di mana. Namun, ketika era kaset sudah berakhir, entah dari mana saya kemudian memiliki folder lagu MP3 yang isinya sama dengan kaset dari Om Adji yang dahulu hilang. Saya pun menjadi penggemar duo AriReda. Satu lagi yang juga saya miliki dan menjadi favorit saya adalah album Gadis Kecil (Dua Ibu Menyanyikan Puisi Sapardi Djoko Damono). Ketika komputer saya mengalami masalah besar tahun 2016 lalu dan setahun lebih saya tidak bisa memanfaatkannya, dua album tersebut untuk sementara hilang. Pada medio Agustus 2017 ternyata komputer saya bisa diaktifkan kembali dan dua album itu masih ada. Saya pun bisa mendengarkannya kembali dengan takzim.
Sewaktu saya mulai menulis cerpen, saya jadi lebih mengenal karya-karya SDD yang ternyata tidak sebatas puisi. Buku pertama karya beliau yang saya miliki adalah kumpulan cerpennya yang berjudul Membunuh Orang Gila (2006). Hingga kini buku terbitan Penerbit Kompas Gramedia tersebut menjadi salah satu kumpulan cerpen favorit saya. Setelah itu saya pernah menyaksikan sebuah pertunjukan di Studio Teater Garasi pada tahun 2010, yang antara lain mementaskan karya SDD yang sudah beralih wahana. Seingat saya ada dramatic reading yang dibawakan oleh dua aktor Teater Garasi dan ada musikalisasi puisi pula pastinya. Beliau juga hadir di sana, tapi saya sebatas melihatnya dari jauh. Malam itu saya membeli buku Nokturno (lirik musikalisasi puisi), Pengarang Telah Mati, dan Pengarang Belum Mati. Dua buku terakhir merupakan bagian pertama dan kedua sebuah trilogi yang akhirnya diterbitkan sebagai sebuah buku berjudul Trilogi Soekram. Buku-buku beliau yang saya miliki selanjutnya adalah Pada Suatu Hari Nanti-Malam Wabah (kumpulan cerpen/2013), Hujan Bulan Juni (novel/2015), Bilang Begini, Maksudnya Begitu (apresiasi puisi/2015), dan Suti (novel/2016).
Ketika beredar kabar Pak Sapardi akan berada di Gramedia Sudirman pada Sabtu petang (26/8/2017), tentu saya antusias ingin menghadirinya. Saya membawa novel Hujan Bulan Juni yang ingin saya mintakan tanda tangan beliau. Acara yang dipandu Tia Setiadi tersebut ternyata dimulai tepat waktu dan saya telat sampai di tujuan. Banyak orang berdiri -karena hanya sedikit kursi yang tersedia- di salah satu sudut lantai I toko buku terbesar di Jogja itu, tapi semua tampak bergembira menyimak obrolan sang idola bersama Kang Tia dan ketika menanggapi pertanyaan teman-teman. Saya merasa beruntung bisa ngangsu kawruh kepada beliau sore itu. Banyak hal yang menarik yang beliau sampaikan dengan serius tapi santai, bahkan beberapa kali mengundang gelak tawa. Seperti misalnya ketika beliau bercerita bahwa puisi Aku Ingin sering diklaim orang yang tidak paham sebagai karya Kahlil Gibran. Kemudian menurut beliau, cerita dan berita itu sebenarnya tidak jauh berbeda, bedanya satu huruf belaka (c dan b). Setelah acara ngobrol diakhiri, ada sesi penandatanganan buku dan foto bersama SDD. Semula saya agak ragu ingin mengikutinya, tapi akhirnya saya ikut antre dan menikmatinya belaka. Saya pun mendapat tanda tangan Pak Sapardi, berfoto berdua bersamanya, dan seraya mencium tangannya saya mengucapkan. "Nyuwun pangestu dan matur nuwun ya, Pak." Saya pun meninggalkan Gramedia Sudirman dengan sebuah rasa yang nyaman. Saya berharap memiliki spirit berkarya yang lebih segar setelah malam Minggu itu. Sekiranya Om Adji masih ada, saya pasti segera mengabarinya bahwa saya baru bertemu dengan salah satu kawan karibnya. Tentu saya juga akan tetap berdoa, semoga Pak Sapardi tetap sehat dan bersemangat di masa tuanya yang masih aktif berkarya.
Jumat, 25 Agustus 2017
Kita Menjalani "Reality Show"
"Jika KPK yang sesama manusia saja -dengan kemajuan teknologi- bisa mengetahui gerak-gerik para koruptor sehingga bisa melakukan OTT (operasi tangkap tangan), apalagi Allah yang menciptakan manusia. Apa pun yang kita lakukan pasti tak pernah lepas dari penglihatan-Nya." Ketika sang khatib mengatakan hal tersebut pada Jumatan hari ini, saya jadi teringat pada film The Truman Show, salah satu film serius Jim Carrey. Barangkali setiap manusia di dunia sebenarnya sedang menjalani "reality show" masing-masing, tanpa pernah memahami benar materi skenario dari Sang Penulis Naskah sekaligus Maha Sutradara.
Jono Terbakar - Ziarah (Official Lyric Video)
Lagu "Ziarah" oleh Jono Terbakar diciptakan oleh Nihan Lanisy, ayah muda dari dua orang bocah, salah satu keponakan saya yang lahir dan kini tinggal di Yogyakarta. Jono Terbakar awalnya adalah proyek solo sekaligus alter-ego Nihan sebagai musisi, tapi kemudian menjadi duo bersama MN Hidayat, dan akhirnya berformat trio dengan bergabungnya Begawan Abityomurti.
Sejarah Jawa (10.000 SM - 2017 M)
Video "Sejarah Jawa" ini merupakan hasil kreasi pemuda dari Jogja bernama M. Lazuardi Krisantya. Dia adalah putra sulung salah satu kakak saya.
Kamis, 24 Agustus 2017
Gembira untuk Berpikir Obyektif
Seseorang yang dalam keadaan riang gembira akan memiliki kemampuan yang lebih besar untuk berpikir lebih obyektif, sehingga dapat memilih kata-kata dan ucapan yang baik, mengambil keputusan dengan cara yang tepat dan baik pula. Maka kemungkinan untuk berhasil pun menjadi lebih besar. Senyum merupakan bukti dari kerelaan dan keriangan hati, juga dapat digunakan untuk menetralisasi suasana tegang dan mengakrabkan hubungan. (dikutip dari buku "Senyuman Rasulullah SAW")
Rabu, 23 Agustus 2017
Kerja, Pasrah, Ketuk
Kerja
Terus gali sumurmu
Jangan pikir istirah
Air ada di suatu tempat
Di sana
Pasrahkan dirimu
kepada ibadah-harianmu
Kesetiaanmu padanya
adalah bel di pintu masuk
Ketuk terus
Dan keceriaan yang ada
di dalam
kan akhirnya buka jendela
tuk tengok siapa
di luar sana
(Rumi)
Terus gali sumurmu
Jangan pikir istirah
Air ada di suatu tempat
Di sana
Pasrahkan dirimu
kepada ibadah-harianmu
Kesetiaanmu padanya
adalah bel di pintu masuk
Ketuk terus
Dan keceriaan yang ada
di dalam
kan akhirnya buka jendela
tuk tengok siapa
di luar sana
(Rumi)
Pertolongan Tuhan
Mari kita mohon pertolongan Tuhan yang mengawasi diri kita : orang yang lemah kendali dirinya akan dijauhkan dari karunia-Nya. (Rumi)
Jumat, 18 Agustus 2017
Senin, 14 Agustus 2017
Kisah Lelaki Berdaster
Lelaki
itu tak memiliki rambut di bagian depan kepalanya. Tatapan matanya yang hampa melihat lurus ke depan ketika
melangkah perlahan-lahan. Andaikata sekilas belaka menatapnya, mungkin tiada
yang aneh dengan hal tersebut. Namun, lihatlah daster bermotif batik berwarna
merah marun campur merah jambu tanpa lengan yang menempel pada tubuh lelaki
dengan perut buncit berusia sekitar lima puluhan itu, beserta tas belanja khas
para ibu rumah tangga zaman baheula yang dijinjing dengan tangan kirinya. Yang
jelas, ia tidak tengah memainkan sebuah peran di atas panggung teater. Ia berjalan santai belaka pada trotoar yang berada di
jalan protokol sebuah kota yang dipenuhi pertokoan. Tak tampak pula orang-orang
di sekitarnya yang tengah membawa kamera. Artinya, ia tidak berakting untuk
sebuah film atau acara lain yang mungkin akan bisa disaksikan di bioskop maupun
televisi. Cuma entahlah, jika sesungguhnya sejumlah orang bersembunyi dan
tengah mengabadikan derap langkah si lelaki. Penampilannya yang unik mau tak
mau memang cukup mengundang perhatian sesiapa yang berpapasan dengannya atau
sekadar melihat sosoknya. Namun, ia tetap mengayunkan kakinya yang bersandal
jepit butut belaka, tanpa mendengar komentar orang terhadapnya. Lelaki itu
bahkan bagaikan tak peduli dengan dirinya sendiri.
Di sebuah
kota yang banyak dihuni oleh para seniman beragam bidang, sejumlah manusia
dengan penampilan tak biasa -yang kerap disebut nyentrik- sesungguhnya hal yang
tak terlampau istimewa. Kita bisa berjumpa dengan mereka di mana saja, tidak
hanya ketika ada acara karnaval atau pertunjukan seni pada tempo maupun wahana
tertentu. Jadi, selain ada orang gila dalam arti sesungguhnya yang menderita
sakit jiwa, ada pula ”orang gila” yang sejatinya justru merupakan para insan
yang sangat kreatif dalam berkesenian dan mungkin masih kekurangan wadah
berekspresi, sehingga dengan sukarela mereka mendandani dirinya dengan
penampilan yang kurang lazim di mata publik. Padahal bisa jadi mereka tidak
bermaksud mencari sensasi, tapi sebatas ingin memerdekakan jiwanya, dan tak
terlalu memerhatikan apa kata khalayak ramai tentang mereka.
***
Bagaimana dengan lelaki botak berdaster itu? Apakah ia
penderita sakit jiwa atau jangan-jangan ia malah seniman yang tengah
mengaktualisasikan dirinya? Menurut
beberapa orang yang cukup karib mengenal figurnya, ia berubah penampilan
semenjak istrinya tutup usia, sekitar dua pekan silam. Semula ia tampil
sebagaimana layaknya lelaki kebanyakan, yaitu dengan mengenakan kemeja atau kaus,
yang dipadukan dengan celana panjang, celana pendek, atau sesekali memakai
sarung.
Lelaki itu konon benar-benar mencintai mendiang
pendamping hidupnya, kendati banyak orang mencibirnya tak percaya. Sesuatu yang
wajar belaka tampaknya. Mereka yang mengenal si lelaki tentu paham bahwa suatu
ketika ia pernah melakukan sebuah kesalahan, yang barangkali sudah jamak
dilakukan para suami, sedari masa jahiliyah hingga era teknologi informasi masa
kini. Apalagi namanya jika bukan mengkhianati sang istri dengan cara mencintai
perempuan lainnya. Bertahun-tahun ia melakukannya tanpa beban serta tak peduli
perasaan perempuan yang dahulu sungguh ia cintai. Akan tetapi, jatuh sakitnya
kekasih hati nan sejati -yang terbilang parah- membuatnya sadar untuk kembali.
Tatkala hal itu terjadi, kekasih gelapnya baru memutuskan meninggalkan dirinya.
Pastilah ia benar-benar tidak mau merasakan sebuah peristiwa kehilangan lagi
dalam masa yang berdekatan.
”Tolong,
jangan biarkan aku sendiri tanpamu. Aku sungguh mohon maaf atas ulahku
menelantarkanmu selama ini. Kuakui, memang begitu besar kesalahanku padamu,”
ujar si lelaki seraya menahan sesak di dadanya.
”Sudahlah Mas, yang dulu biarlah berlalu. Manakala aku
telah tiada nanti, kamu toh bisa bebas berhubungan dengan siapa saja dan tak
ada yang sakit hati lagi,“ sahut istrinya yang terbujur lemah di atas dipan
dengan suara pelan.
Lelaki itu
malah menangis sesenggukan. Ia baru menemukan kembali betapa berharganya
seorang pendamping hidup nan setia, sebagaimana yang telah dilakukan istrinya selama ini. Terutama ketika mereka
berdua menjalani kesulitan hidup yang tiada terperi. Sekadar untuk mencari
sesuap nasi pun mereka pernah susah sekali memperolehnya di masa silam. Tidak
seperti beberapa tahun belakangan, ketika mereka sudah hidup nyaman
berkecukupan dan mudah saja memperoleh sekeranjang berlian. Di saat itulah
hatinya malah berpaling pada perempuan yang baru dikenalnya. Dan ia lalaikan
begitu rupa eksistensi sang istri sebagai karunia paling berharga yang pernah
ia miliki. Apalagi mereka berdua tidak dikaruniai keturunan.
”Aku janji
akan setia mendampingimu dan tak bakalan mendua lagi. Percayalah, cuma kau yang
benar-benar kucintai,” kata lelaki itu dengan hujan air mata.
Istrinya
tak mengatakan apa-apa, sebatas menganggukkan kepala seraya tersenyum, kemudian
dengan halus memejamkan matanya. Sekejap
ia terlihat seperti tersedak. Matanya membelalak sejenak dan tertutup lagi.
Ternyata mata perempuan itu tak pernah kembali terbuka. Malaikat maut
menjalankan tugasnya dengan sempurna. Maka berakhirlah perjalanan hidup sang
istri di bumi persada.
Bukan kepalang sedihnya si lelaki botak ditinggalkan
perempuan yang sempat dikecewakannya berkali-kali. Dan rupanya ia belum mampu
memaafkan dirinya sendiri. Untuk itulah ia merasa mesti melakukan sesuatu yang
tidak biasa dalam hidupnya. Si lelaki memutuskan mengenakan daster milik
perempuan yang pernah dinikahinya dan membawa tas belanja yang biasa dibawa
sang istri ke pasar. Ia ingin mendiang istrinya tahu, betapa ia menyesali perbuatan
tercelanya dahulu. Ia sebatas hendak membuktikan kesungguhan dirinya bahwa
perempuan yang paling ia cintai hanyalah istrinya seorang. Jadi, percayalah,
lelaki berdaster itu tak sedang mencari sensasi. Ia menapaki sejumlah sudut
kota agar semua orang mengerti kata hatinya, lelaki semacam dirinya pun berhak
dan tetap pantas memiliki cinta sejati.
#Cerpen ini dimuat di Harian Waktu, 11 Agustus 2017.
Sabtu, 12 Agustus 2017
Perang Hanyalah Benturan Kepentingan
"Perang...
Semula kuanggap sebagai pertempuran antara benar dan salah.
Lama kurenungi...
Ternyata perang tak lebih hanyalah sebuah benturan antara dua pihak dengan kepentingan berseberangan. Cukuplah aku terlibat hanya pada satu perang besar."
(Pitoyo Amrih dalam novel "Hanoman - Akhir Bisu Sebuah Perang Besar")
Semula kuanggap sebagai pertempuran antara benar dan salah.
Lama kurenungi...
Ternyata perang tak lebih hanyalah sebuah benturan antara dua pihak dengan kepentingan berseberangan. Cukuplah aku terlibat hanya pada satu perang besar."
(Pitoyo Amrih dalam novel "Hanoman - Akhir Bisu Sebuah Perang Besar")
Kamis, 10 Agustus 2017
Sembilan Hari Puasa Internet
Awal Agustus 2017 terjadi sesuatu yang mengesankan kembali ke masa silam. Selama sembilan hari berturut-turut tidak ada koneksi internet di rumahku. Semula diperkirakan ada masalah administrasi, tapi ternyata bukan. Mencoba menghubungi telepon aduan Telkom, cuma tak kunjung nyambung. Untuk sementara aku terputus dari komunikasi di dunia maya, baik lewat ponsel maupun laptop. Baru pada hari keenam kudapatkan koneksi internet gratis di TBY, jadi setidaknya bisa kubaca pesan-pesan via WhatsApp, tapi tiada yang sempat kutanggapi. Lantas, pada hari ketujuh akhirnya kuulangi sebuah kebiasaan pada zaman dahulu, yaitu berselancar di warnet. Selama lebih dari tiga jam aku mendekam di bilik ditemani segelas kopi. Kunikmati belaka hal itu pada Senin malam kemarin.
Pada hari ke-10 di bulan kedelapan ini akhirnya koneksi internet di rumahku kembali normal. Telkom bisa dihubungi dan memberikan solusi yang tepat. Tulisan pendek ini pun bisa kuketik dengan laptop yang selama setahun terakhir menjadi teman setiaku.
Namun, ada bagusnya juga aku sempat puasa internetan. Aku bisa sejenak melepaskan diri dari ketergantungan atas gawai. Aku pun terhindar dari mengikuti nafsu negatif dan justru bisa mendayagunakan diri melakukan hal-hal baik. Novel 1984 (George Orwell) yang sempat mandek kubaca dan Hanoman (Pitoyo Amrih) yang kubaca dari awal lagi-juga sempat mandek di tengah jalan-malah akhirnya mampu kutuntaskan hingga halaman terakhir.
Secara selintas memang pernah kubayangkan, jika ada satu hari saja koneksi internet terputus di seluruh dunia. Pada hari itu untuk sementara berhentilah tersebar yang namanya ujaran kebencian, hoaks, maupun hal sia-sia lainnya, yang biasa mengusik keseharian hidup kita, setidaknya selama sekitar 3-4 tahun terakhir kalau di Indonesia. Asaku, hal itu bisa menjadi semacam shock therapy bagi para pengguna internet negatif. Barangkali para pengguna internet positif tak akan keberatan merelakan satu hari tanpa berselancar di dunia maya dan bisa rehat sejenak seraya menikmati kenyataan. Namun, apa yang terjadi justru aku yang sempat sembilan hari mengalaminya, meski selama ini aku berusaha menjadi pengguna internet positif. Ya sudah, kusyukuri sajalah apa yang ada.
Pada hari ke-10 di bulan kedelapan ini akhirnya koneksi internet di rumahku kembali normal. Telkom bisa dihubungi dan memberikan solusi yang tepat. Tulisan pendek ini pun bisa kuketik dengan laptop yang selama setahun terakhir menjadi teman setiaku.
Namun, ada bagusnya juga aku sempat puasa internetan. Aku bisa sejenak melepaskan diri dari ketergantungan atas gawai. Aku pun terhindar dari mengikuti nafsu negatif dan justru bisa mendayagunakan diri melakukan hal-hal baik. Novel 1984 (George Orwell) yang sempat mandek kubaca dan Hanoman (Pitoyo Amrih) yang kubaca dari awal lagi-juga sempat mandek di tengah jalan-malah akhirnya mampu kutuntaskan hingga halaman terakhir.
Secara selintas memang pernah kubayangkan, jika ada satu hari saja koneksi internet terputus di seluruh dunia. Pada hari itu untuk sementara berhentilah tersebar yang namanya ujaran kebencian, hoaks, maupun hal sia-sia lainnya, yang biasa mengusik keseharian hidup kita, setidaknya selama sekitar 3-4 tahun terakhir kalau di Indonesia. Asaku, hal itu bisa menjadi semacam shock therapy bagi para pengguna internet negatif. Barangkali para pengguna internet positif tak akan keberatan merelakan satu hari tanpa berselancar di dunia maya dan bisa rehat sejenak seraya menikmati kenyataan. Namun, apa yang terjadi justru aku yang sempat sembilan hari mengalaminya, meski selama ini aku berusaha menjadi pengguna internet positif. Ya sudah, kusyukuri sajalah apa yang ada.
Senin, 07 Agustus 2017
Rahasia Penulis Bukan Inspirasi
Rahasia penulis bukanlah inspirasi -sebab tak jelas betul dari mana gerangan datangnya- melainkan kekeraskepalannya, kesabarannya.
(Orhan Pamuk - penulis Turki)
(Orhan Pamuk - penulis Turki)
Langganan:
Postingan (Atom)