Lelaki
itu tak memiliki rambut di bagian depan kepalanya. Tatapan matanya yang hampa melihat lurus ke depan ketika
melangkah perlahan-lahan. Andaikata sekilas belaka menatapnya, mungkin tiada
yang aneh dengan hal tersebut. Namun, lihatlah daster bermotif batik berwarna
merah marun campur merah jambu tanpa lengan yang menempel pada tubuh lelaki
dengan perut buncit berusia sekitar lima puluhan itu, beserta tas belanja khas
para ibu rumah tangga zaman baheula yang dijinjing dengan tangan kirinya. Yang
jelas, ia tidak tengah memainkan sebuah peran di atas panggung teater. Ia berjalan santai belaka pada trotoar yang berada di
jalan protokol sebuah kota yang dipenuhi pertokoan. Tak tampak pula orang-orang
di sekitarnya yang tengah membawa kamera. Artinya, ia tidak berakting untuk
sebuah film atau acara lain yang mungkin akan bisa disaksikan di bioskop maupun
televisi. Cuma entahlah, jika sesungguhnya sejumlah orang bersembunyi dan
tengah mengabadikan derap langkah si lelaki. Penampilannya yang unik mau tak
mau memang cukup mengundang perhatian sesiapa yang berpapasan dengannya atau
sekadar melihat sosoknya. Namun, ia tetap mengayunkan kakinya yang bersandal
jepit butut belaka, tanpa mendengar komentar orang terhadapnya. Lelaki itu
bahkan bagaikan tak peduli dengan dirinya sendiri.
Di sebuah
kota yang banyak dihuni oleh para seniman beragam bidang, sejumlah manusia
dengan penampilan tak biasa -yang kerap disebut nyentrik- sesungguhnya hal yang
tak terlampau istimewa. Kita bisa berjumpa dengan mereka di mana saja, tidak
hanya ketika ada acara karnaval atau pertunjukan seni pada tempo maupun wahana
tertentu. Jadi, selain ada orang gila dalam arti sesungguhnya yang menderita
sakit jiwa, ada pula ”orang gila” yang sejatinya justru merupakan para insan
yang sangat kreatif dalam berkesenian dan mungkin masih kekurangan wadah
berekspresi, sehingga dengan sukarela mereka mendandani dirinya dengan
penampilan yang kurang lazim di mata publik. Padahal bisa jadi mereka tidak
bermaksud mencari sensasi, tapi sebatas ingin memerdekakan jiwanya, dan tak
terlalu memerhatikan apa kata khalayak ramai tentang mereka.
***
Bagaimana dengan lelaki botak berdaster itu? Apakah ia
penderita sakit jiwa atau jangan-jangan ia malah seniman yang tengah
mengaktualisasikan dirinya? Menurut
beberapa orang yang cukup karib mengenal figurnya, ia berubah penampilan
semenjak istrinya tutup usia, sekitar dua pekan silam. Semula ia tampil
sebagaimana layaknya lelaki kebanyakan, yaitu dengan mengenakan kemeja atau kaus,
yang dipadukan dengan celana panjang, celana pendek, atau sesekali memakai
sarung.
Lelaki itu konon benar-benar mencintai mendiang
pendamping hidupnya, kendati banyak orang mencibirnya tak percaya. Sesuatu yang
wajar belaka tampaknya. Mereka yang mengenal si lelaki tentu paham bahwa suatu
ketika ia pernah melakukan sebuah kesalahan, yang barangkali sudah jamak
dilakukan para suami, sedari masa jahiliyah hingga era teknologi informasi masa
kini. Apalagi namanya jika bukan mengkhianati sang istri dengan cara mencintai
perempuan lainnya. Bertahun-tahun ia melakukannya tanpa beban serta tak peduli
perasaan perempuan yang dahulu sungguh ia cintai. Akan tetapi, jatuh sakitnya
kekasih hati nan sejati -yang terbilang parah- membuatnya sadar untuk kembali.
Tatkala hal itu terjadi, kekasih gelapnya baru memutuskan meninggalkan dirinya.
Pastilah ia benar-benar tidak mau merasakan sebuah peristiwa kehilangan lagi
dalam masa yang berdekatan.
”Tolong,
jangan biarkan aku sendiri tanpamu. Aku sungguh mohon maaf atas ulahku
menelantarkanmu selama ini. Kuakui, memang begitu besar kesalahanku padamu,”
ujar si lelaki seraya menahan sesak di dadanya.
”Sudahlah Mas, yang dulu biarlah berlalu. Manakala aku
telah tiada nanti, kamu toh bisa bebas berhubungan dengan siapa saja dan tak
ada yang sakit hati lagi,“ sahut istrinya yang terbujur lemah di atas dipan
dengan suara pelan.
Lelaki itu
malah menangis sesenggukan. Ia baru menemukan kembali betapa berharganya
seorang pendamping hidup nan setia, sebagaimana yang telah dilakukan istrinya selama ini. Terutama ketika mereka
berdua menjalani kesulitan hidup yang tiada terperi. Sekadar untuk mencari
sesuap nasi pun mereka pernah susah sekali memperolehnya di masa silam. Tidak
seperti beberapa tahun belakangan, ketika mereka sudah hidup nyaman
berkecukupan dan mudah saja memperoleh sekeranjang berlian. Di saat itulah
hatinya malah berpaling pada perempuan yang baru dikenalnya. Dan ia lalaikan
begitu rupa eksistensi sang istri sebagai karunia paling berharga yang pernah
ia miliki. Apalagi mereka berdua tidak dikaruniai keturunan.
”Aku janji
akan setia mendampingimu dan tak bakalan mendua lagi. Percayalah, cuma kau yang
benar-benar kucintai,” kata lelaki itu dengan hujan air mata.
Istrinya
tak mengatakan apa-apa, sebatas menganggukkan kepala seraya tersenyum, kemudian
dengan halus memejamkan matanya. Sekejap
ia terlihat seperti tersedak. Matanya membelalak sejenak dan tertutup lagi.
Ternyata mata perempuan itu tak pernah kembali terbuka. Malaikat maut
menjalankan tugasnya dengan sempurna. Maka berakhirlah perjalanan hidup sang
istri di bumi persada.
Bukan kepalang sedihnya si lelaki botak ditinggalkan
perempuan yang sempat dikecewakannya berkali-kali. Dan rupanya ia belum mampu
memaafkan dirinya sendiri. Untuk itulah ia merasa mesti melakukan sesuatu yang
tidak biasa dalam hidupnya. Si lelaki memutuskan mengenakan daster milik
perempuan yang pernah dinikahinya dan membawa tas belanja yang biasa dibawa
sang istri ke pasar. Ia ingin mendiang istrinya tahu, betapa ia menyesali perbuatan
tercelanya dahulu. Ia sebatas hendak membuktikan kesungguhan dirinya bahwa
perempuan yang paling ia cintai hanyalah istrinya seorang. Jadi, percayalah,
lelaki berdaster itu tak sedang mencari sensasi. Ia menapaki sejumlah sudut
kota agar semua orang mengerti kata hatinya, lelaki semacam dirinya pun berhak
dan tetap pantas memiliki cinta sejati.
#Cerpen ini dimuat di Harian Waktu, 11 Agustus 2017.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar