Senin, 14 Agustus 2017

Kisah Lelaki Berdaster

Lelaki itu tak memiliki rambut di bagian depan kepalanya. Tatapan matanya yang hampa melihat lurus ke depan ketika melangkah perlahan-lahan. Andaikata sekilas belaka menatapnya, mungkin tiada yang aneh dengan hal tersebut. Namun, lihatlah daster bermotif batik berwarna merah marun campur merah jambu tanpa lengan yang menempel pada tubuh lelaki dengan perut buncit berusia sekitar lima puluhan itu, beserta tas belanja khas para ibu rumah tangga zaman baheula yang dijinjing dengan tangan kirinya. Yang jelas, ia tidak tengah memainkan sebuah peran di atas panggung teater. Ia berjalan santai belaka pada trotoar yang berada di jalan protokol sebuah kota yang dipenuhi pertokoan. Tak tampak pula orang-orang di sekitarnya yang tengah membawa kamera. Artinya, ia tidak berakting untuk sebuah film atau acara lain yang mungkin akan bisa disaksikan di bioskop maupun televisi. Cuma entahlah, jika sesungguhnya sejumlah orang bersembunyi dan tengah mengabadikan derap langkah si lelaki. Penampilannya yang unik mau tak mau memang cukup mengundang perhatian sesiapa yang berpapasan dengannya atau sekadar melihat sosoknya. Namun, ia tetap mengayunkan kakinya yang bersandal jepit butut belaka, tanpa mendengar komentar orang terhadapnya. Lelaki itu bahkan bagaikan tak peduli dengan dirinya sendiri.
         Di sebuah kota yang banyak dihuni oleh para seniman beragam bidang, sejumlah manusia dengan penampilan tak biasa -yang kerap disebut nyentrik- sesungguhnya hal yang tak terlampau istimewa. Kita bisa berjumpa dengan mereka di mana saja, tidak hanya ketika ada acara karnaval atau pertunjukan seni pada tempo maupun wahana tertentu. Jadi, selain ada orang gila dalam arti sesungguhnya yang menderita sakit jiwa, ada pula ”orang gila” yang sejatinya justru merupakan para insan yang sangat kreatif dalam berkesenian dan mungkin masih kekurangan wadah berekspresi, sehingga dengan sukarela mereka mendandani dirinya dengan penampilan yang kurang lazim di mata publik. Padahal bisa jadi mereka tidak bermaksud mencari sensasi, tapi sebatas ingin memerdekakan jiwanya, dan tak terlalu memerhatikan apa kata khalayak ramai tentang mereka.

***
         
Bagaimana dengan lelaki botak berdaster itu? Apakah ia penderita sakit jiwa atau jangan-jangan ia malah seniman yang tengah mengaktualisasikan dirinya? Menurut  beberapa orang yang cukup karib mengenal figurnya, ia berubah penampilan semenjak istrinya tutup usia, sekitar dua pekan silam. Semula ia tampil sebagaimana layaknya lelaki kebanyakan, yaitu dengan mengenakan kemeja atau kaus, yang dipadukan dengan celana panjang, celana pendek, atau sesekali memakai sarung.
Lelaki itu konon benar-benar mencintai mendiang pendamping hidupnya, kendati banyak orang mencibirnya tak percaya. Sesuatu yang wajar belaka tampaknya. Mereka yang mengenal si lelaki tentu paham bahwa suatu ketika ia pernah melakukan sebuah kesalahan, yang barangkali sudah jamak dilakukan para suami, sedari masa jahiliyah hingga era teknologi informasi masa kini. Apalagi namanya jika bukan mengkhianati sang istri dengan cara mencintai perempuan lainnya. Bertahun-tahun ia melakukannya tanpa beban serta tak peduli perasaan perempuan yang dahulu sungguh ia cintai. Akan tetapi, jatuh sakitnya kekasih hati nan sejati -yang terbilang parah- membuatnya sadar untuk kembali. Tatkala hal itu terjadi, kekasih gelapnya baru memutuskan meninggalkan dirinya. Pastilah ia benar-benar tidak mau merasakan sebuah peristiwa kehilangan lagi dalam masa yang berdekatan.
          ”Tolong, jangan biarkan aku sendiri tanpamu. Aku sungguh mohon maaf atas ulahku menelantarkanmu selama ini. Kuakui, memang begitu besar kesalahanku padamu,” ujar si lelaki seraya menahan sesak di dadanya.
          ”Sudahlah Mas, yang dulu biarlah berlalu. Manakala aku telah tiada nanti, kamu toh bisa bebas berhubungan dengan siapa saja dan tak ada yang sakit hati lagi,“ sahut istrinya yang terbujur lemah di atas dipan dengan suara pelan.
        Lelaki itu malah menangis sesenggukan. Ia baru menemukan kembali betapa berharganya seorang pendamping hidup nan setia, sebagaimana yang telah dilakukan  istrinya selama ini. Terutama ketika mereka berdua menjalani kesulitan hidup yang tiada terperi. Sekadar untuk mencari sesuap nasi pun mereka pernah susah sekali memperolehnya di masa silam. Tidak seperti beberapa tahun belakangan, ketika mereka sudah hidup nyaman berkecukupan dan mudah saja memperoleh sekeranjang berlian. Di saat itulah hatinya malah berpaling pada perempuan yang baru dikenalnya. Dan ia lalaikan begitu rupa eksistensi sang istri sebagai karunia paling berharga yang pernah ia miliki. Apalagi mereka berdua tidak dikaruniai keturunan.
          ”Aku janji akan setia mendampingimu dan tak bakalan mendua lagi. Percayalah, cuma kau yang benar-benar kucintai,” kata lelaki itu dengan hujan air mata.
          Istrinya tak mengatakan apa-apa, sebatas menganggukkan kepala seraya tersenyum, kemudian dengan halus memejamkan matanya. Sekejap ia terlihat seperti tersedak. Matanya membelalak sejenak dan tertutup lagi. Ternyata mata perempuan itu tak pernah kembali terbuka. Malaikat maut menjalankan tugasnya dengan sempurna. Maka berakhirlah perjalanan hidup sang istri di bumi persada.
Bukan kepalang sedihnya si lelaki botak ditinggalkan perempuan yang sempat dikecewakannya berkali-kali. Dan rupanya ia belum mampu memaafkan dirinya sendiri. Untuk itulah ia merasa mesti melakukan sesuatu yang tidak biasa dalam hidupnya. Si lelaki memutuskan mengenakan daster milik perempuan yang pernah dinikahinya dan membawa tas belanja yang biasa dibawa sang istri ke pasar. Ia ingin mendiang istrinya tahu, betapa ia menyesali perbuatan tercelanya dahulu. Ia sebatas hendak membuktikan kesungguhan dirinya bahwa perempuan yang paling ia cintai hanyalah istrinya seorang. Jadi, percayalah, lelaki berdaster itu tak sedang mencari sensasi. Ia menapaki sejumlah sudut kota agar semua orang mengerti kata hatinya, lelaki semacam dirinya pun berhak dan tetap pantas memiliki cinta sejati.
#Cerpen ini dimuat di Harian Waktu, 11 Agustus 2017.

Tidak ada komentar: