Seniman – karena namanya berorientasi kreativitas - memiliki pendapat dan gagasan yang berbeda dari pemikiran umum. Parameter yang mereka gunakan tidak sama dengan banyak orang, sehingga berkesan nyeleneh dan ingin bebas tak terikat di mata pendapat umum. (Fariz RM)
Sabtu, 16 Januari 2010
Rabu, 13 Januari 2010
Karya Sastra dan Makna Peristiwa (Ismet Fanany)
Rabu, 06 Januari 2010
Wajah Jogja Rada Beda dengan Biennale Jogja X
Sejak pertengahan Desember 2009 silam hingga minggu kedua Januari 2010 ada pemandangan yang berbeda di berbagai penjuru Yogyakarta. Di seputar titik nol saja, yaitu antara Benteng Vredeburg, Istana Gedung Agung, hingga perempatan Kantor Pos Besar dan BNI, ada sejumlah karya yang tersaji. Ada patung-patung yang aneh atau poster lukisan berukuran raksasa. Lalu masih banyak pula yang terlihat, seperti di Malioboro, perempatan Jalan Senopati, pojok beteng wetan, bunderan UGM, dan lain-lain.
Keberadaan karya-karya seni rupa itu adalah dalam rangka Biennale Jogja X - 2009, pameran seni rupa besar-besaran setiap dua tahun. Biennale tahun 2009 diikuti lebih dari 300 seniman Jogja yang terdiri dari 126 perupa dan 6 kelompok seni yang hasil karyanya dipamerkan di empat pusat di Jogja yaitu TBY, Jogja National Museum (JNM), Sangkring Art Space dan Bank Indonesia. 197 seniman yang menyuguhkan hasil karyanya di ruang publik. Karya-karya di ruang-ruang publik ini berupa instalasi, mural kampung, street art, melukisi tanki air, karya master senirupa tradisional berusia sepuh, performance art, art project, respon kios PKL, melukisi toilet mobil, patung publik, banner, billboard dan videotronik.
Ketika Biennale Jogja X dibuka secara resmi oleh Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik pada Jumat malam, 11 Desember 2009 lalu, halaman Taman Budaya Yogyakarta (TBY) terasa sesak karena begitu banyak seniman dan masyarakat umum yang menghadirinya.
Menyikapi tagline Biennale Jogja X - 2009 "Seni Agawe Santosa", Jero Wacik mengharapkan agar seni benar-benar mampu menciptakan kesejahteraan bagi seniman. "Jangan sampai ada seniman besar dan dikagumi, tetapi hidupnya susah," ujarnya.
Jika masih ingin melihat ruang publik Jogja yang menjadi ajang pameran seni rupa, datang saja hingga 10 Januari 2010, saat Biennale X Jogja berakhir.
Sumber data : www.gudeg.net
Foto-foto oleh Langkah Bangkit S. dan dapat lebih banyak dilihat di www.luhursatya.multiply.com
Risalah Apresiasi Tahun 2009
Tak banyak catatan yang kutulis di tahun 2009. Untuk memenuhi ruang kosong blog ini dan sekaligus wujud apresiasiku terhadap karya para seniman/budayawan yang telah lama berkiprah dalam dunia kesenian, maka sekadar kukutip kata-kata mutiara yang senantiasa mengandung hikmah, misalnya kutipan dari puisi WS Rendra dan novel Iwan Simatupang.
Pada bulan Desember kuhadiri tiga acara pembukaan, yakni : pameran foto di toko buku Togamas (1/12), pameran desain grafis Diskomplet di Bentara Budaya (4/12), dan pameran seni rupa Biennale X Jogja - 2009 (11/12). Acara pembukaan pertama tidak mengesankan, bahkan melihat foto yang dipamerkan saja tidak bisa leluasa. Yang kedua meriah, pengunjungnya banyak, yang dipamerkan menarik sekali, dan hiburan oleh dua penyanyi dangdut cukup menyegarkan. Sementara pembukaan Biennale Jogja X sangat meriah dan riuh rendah.
Sepanjang tahun 2009 sempat kuhadiri sejumlah acara seni : malam sastra 50 tahun Sanggar Bambu, Yogyakarta Gamelan Festival, sebuah pertunjukan teater, Pentas Budaya Rusia, dan Padz Jazz di TBY; pertunjukan puisi di Teater Garasi, bedah buku sastra di YUK, pemanggungan sastra di LIP, juga mengenang WS Rendra di pendapa Tamansiswa. Dalam acara terakhir kudengarkan kisah seniman-seniman sepuh Jogja yang pernah menjadi orang-orang terdekat dalam hidup Rendra. Salut bagi mereka yang mencintai seni dengan sejati dan total dalam berproses kreatif, sehingga mampu menghasilkan karya-karya yang berkualitas tinggi.
Aktivitasku bersama AFC TBY tidak sekencang tahun sebelumnya. Hanya dua kali kuiringi anak-anak nyanyi di Saphir Square dan panggung Sekaten. Pentas besar AFC di awal November, aku hanya terlibat dalam persiapannya, jadi tidak ikut tampil. Tapi yang penting tetap ada aktivitas dan rezeki pun mengalir saja. Mesti kusyukuri jua hal itu.
Peningkatan signifikan terjadi di tahun 2009 ketika cerpenku yang dimuat di media cetak jumlahnya ada lima buah. Dua cerpen dimuat di majalah Hai, sementara tiga cerpen lainnya dimuat di koran Batam Pos. Semoga tahun depan nasib karyaku bisa lebih baik lagi dan honornya juga lancar. Sampai awal Desember silam, honor dari Batam Pos belum kuterima.
Selama setahun kutambah koleksi buku yang kumiliki, yaitu : Bon Suwung (Gunawan Maryanto), Kacapiring (Danarto), Tangan Untuk Utik (Bamby Cahyadi) yang merupakan kumpulan cerpen. Lalu ada lagi On/Off Proses Kreatif (I Saraswati dkk), Psikologi Kematian (Komarrudin Hidayat), Living In Harmony (Fariz RM), dan Kiat Sukses Mengarang Novel (Saut Poltak Tambunan). Buku dengan judul terakhir kubeli karena aku penasaran, bagaimana sih sebenarnya mengarang novel itu? Semoga bisa kucoba mewujudkannya di tahun yang baru.
Tahun 2009 menjadi saat kepergian selamanya dua tokoh besar Indonesia : WS Rendra (6 Agustus) dan KH.Abdurrahman Wahid alias Gus Dur (30 Desember). Semoga Allah SWT menerima amal ibadah mereka dan mengampuni dosa kesalahan beliau berdua. Semoga kita yang masih ada di dunia dapat belajar banyak dari beragam karya besar, ide-ide cemerlang, maupun catatan perjalanan hidup Rendra dan Gus Dur sepanjang hayat mereka. Amin.