Pada 10-12 Juli 2008 lalu telah berlangsung Yogyakarta Gamelan Festival (YGF), sebuah pergelaran seni gamelan bertaraf internasional yang berlangsung untuk ke-13 kalinya di Yogyakarta. Sebagai warga Jogja, tentu aku sudah sering mendengar keberadaan ajang tersebut di tahun-tahun sebelumnya. Tapi entahlah, sepertinya dulu aku kurang tertarik untuk menyimaknya. Bahkan untuk melihat salah satu pentasnya pun seingatku belum pernah. Tapi tahun ini ternyata ada hasrat yang berbeda. Aku malah akhirnya bisa menyaksikan YGF 2008 dalam dua kali pertunjukan yang berlangsung di concert hall Taman Budaya Yogyakarta (TBY) pada Jumat (11/7) dan Sabtu (12/7) lalu. Semula memang tak menjadi rencanaku. Kebetulan Jumat sore itu, setelah rampung bertugas ada rapat kecil yang kuikuti di TBY. Pak Agus menginformasikan padaku bahwa malam itu di concert hall ada acara YGF. Aku kok terus jadi penasaran ya? Maka aku beranjak menuju tempat acara itu diselenggarakan dan sudah begitu banyak calon penonton yang hadir. Yang menarik, sebelum masuk ke gedung pertunjukan, kita bisa melihat dokumentasi YGF dalam bentuk pameran foto dan rekaman audio pentas-pentasnya dahulu. Wah, aku jadi semakin tertarik untuk mengikuti acara itu !
Pertunjukan hari Jumat diawali grup D'lima dari Taman Budaya Jawa Timur yang terdiri dari beberapa lelaki berjubah merah. Nomor-nomor yang dibawakan berirama dinamis, jadi penonton semangat mengikutinya. Ada seorang perempuan dan dua laki-laki (bajunya seperti orang mau ronda) masuk di tengah salah satu lagu dan menambah meriah pertunjukan. Selanjutnya Alex Dea dari Amerika Serikat bersama KPH 8 membawakan komposisi yang panjang dan susah untuk dinikmati. Salah satunya diciptakan untuk mengenang guru gamelan Pak Alex yang telah wafat. Memang nada kesedihannya terasa sekali dalam komposisi yang dimainkan malam itu. Ada beberapa orang kulit putih di antara orang-orang Indonesia yang tergabung dalam kelompok KPH 8. Yang juga menarik, selalu ada diskusi antara Sapto Raharjo, direktur YGF 2008 sekaligus pembawa acara, dengan wakil dari setiap kelompok yang tampil. Penampilan terakhir adalah grup Gamma Rays dari Singapura, yang selain terdiri dari pemain gamelan, juga membawa pemain drum, bass, dan kibord. Hebatnya, grup ini didominasi anak-anak muda yang multiras. Ada orang India yang memainkan suling dengan beberapa wajah oriental yang tatanan rambutnya funky dan anak muda banget, selain ada orang Melayunya pula. Semua nomor yang dibawakan secara instrumentalia memadukan suara gamelan dan band mewujudkan harmoni yang asyik disimak, termasuk dua gending klasik Jawa : Suwe Ora Jamu dan Gambang Suling. Setelah ngobrol sebentar dengan ibu pimpinan grup dari Singapura, para pengisi acara lalu melakukan jam session dengan komandannya Pak Sapto yang memainkan kendang. Entah mereka latihan dulu atau tidak, yang jelas lagu pamungkas yang dimainkan keroyokan itu terdengar enak juga dan akhirnya mengundang tepuk tangan panjang dari penonton.
Di pementasan hari berikutnya dibuka oleh gamelan plesetan, yang ternyata merupakan komposisi kontemporer dan eksperimental hasil kerja sama dosen-dosen dari California bersama salah satu muridnya dari Korea dan Sapto Raharjo. Lalu ada Vincent McDermot dari Amerika yang kelompoknya juga hasil kerja sama orang asing dan Indonesia. Bahkan Singgih Sanjaya, dirigen top Indonesia yang sering membuatkan aransemen lagu untuk Twilite Orchestra ikut tampil sebagai dirigen dan memainkan saxophone. Ada banyak pendukungnya, termasuk paduan suara dan beberapa penari yang memainkan bagian dari opera Matahari. Ada banyak kejutan saat para penari tampil, mulai dari sang Matahari yang menari bersama sang Ratu Kidul, lalu dia melepas kostum penari Jawanya dan menari erotis dengan busana minimalis. Yang paling membuat penonton riuh rendah ketika beberapa penari laki-laki serta merta melepas kain yang dipakainya, hingga sekilas mereka seperti telanjang bulat ! Wah, salut banget untuk kerja keras Mister Vincent dan rombongannya. Selanjutnya kelompok Kito Siopo yang terdiri dari orang Inggris, Jepang, dan Australia(kalau tidak salah). Komposisi yang dibawakan relatif njelimet juga. Tapi pas Sapto Raharjo ngobrol dengan mereka, malah jadi seperti nonton dagelan Mataram. Lucu banget soalnya, hehe… Kelompok LOS dari Surakarta menjadi penampil terakhir dengan nomor Majemuk. Untuk memperlihatkan kemajemukan, para personel grup yang mayoritas anak muda itu berkostum macam-macam, dari seragam SMA, pramuka, pegawai negeri, hansip, sampai baju cah dolan dan orang mau tidur. Menurut pimpinannya, dalam komposisinya itu ada sentuhan gamelan gaya Bali, Sunda, dan lain-lain yang menjadi harmoni yang menarik disimak. Bahkan bagi penonton ada kesan irama pengiring barongsainya, ketika dua pemain memainkan gong yang diletakkan di lantai. Akhirnya ada jam session lagi yang tak kalah asyiknya ketimbang malam sebelumnya.
Sejumlah pelajaran berharga kubawa pulang sehabis melihat dua kali pementasan YGF 2008. Gamelan ternyata bisa menjadi ajang bertemunya orang-orang dari beragam penjuru dunia. Memang benar pepatah yang mengatakan bahwa musik adalah bahasa dunia. Berbanggalah kita bahwa musik tradisional Indonesia ternyata bisa menyatukan warga dunia. Memang hanya segelintir orang, tapi tetap saja istimewa. Sementara banyak orang Indonesia di mana-mana sering ribut dan saling bertikai, di Yogyakarta ada orang Amerika, Inggris, Jepang, Korea, Australia, Singapura, bersama orang Indonesia yang semuanya pasti cinta damai, justru bekerja sama dan bersinergi mampu mewujudkan harmoni yang dapat dinikmati banyak orang. Dan melalui seni gamelan mereka mampu bersatu dalam berbagai keragaman dan perbedaan masing-masing.
Ada beberapa sastrawan terlihat di antara penonton, seperti Mustofa W.Hasyim dan Herlinatiens. Yang mungkin juga unik, mayoritas penonton adalah anak-anak muda. Semoga mereka tak puas hanya sebagai penonton yang apresiatif, tapi akan lebih banyak berpartisipasi memainkan dan mengembangkan gamelan pula di masa depan.