Sebentar lagi, keluarga kami memiliki hajat besar. Bapak dan Ibu akan menikahkan Vina, adik bungsuku sekaligus satu-satunya anak perempuan orangtuaku. Untuk sementara kutinggalkan Jakarta agar bisa kubantu persiapan acara keluarga yang tak biasa di sebuah kota kecil di Jawa Tengah. Bagi Bapak dan Ibu, pernikahan Vina di hari Minggu nanti merupakan kesempatan tunggal bagi mereka mengadakan acara mantu, jadi kami sangat serius mempersiapkan semua hal, tentunya agar acara tersebut berlangsung mulus sesuai asa bersama.
Sehari sebelum pernikahan adikku, tepatnya pada Sabtu pagi, sebuah berita duka kami terima. Pakde Parto, kakak tertua ibuku -yang sudah sakit parah selama dua tahun terakhir- tutup usia. Beliau wafat ketika fajar menyingsing dan akan langsung dimakamkan siangnya karena semua anak cucu Pakde Parto kebetulan sudah berkumpul. Mereka datang sebenarnya untuk menghadiri pernikahan adikku keesokan harinya. Kota tempat tinggal Pakde Parto dan kota kami sendiri terpisah jarak belasan kilometer belaka.
Betapa tidak nyamannya perasaanku. Pakde Parto berakhir riwayat hidupnya, tapi Ibu yang merupakan adik kandung almarhum malah belum tahu. Padahal sejumlah kerabat yang berada di rumah kami sudah mengerti kabar itu. Kuminta mereka semua agar merahasiakan berita duka tersebut agar tidak sampai ke telinga Ibu maupun Vina. Kekhawatiran Mbak Runi memang beralasan lantaran ibuku memiliki penyakit jantung. Sebuah kejutan tak menyenangkan manakala tengah menyambut acara membahagiakan putri bungsunya, bisa saja mempengaruhi kondisi kesehatan Ibu. Demikian pula dengan Vina yang mesti dijaga agar konsentrasinya tak buyar menjelang hari istimewanya. Aku tahu, ia memiliki hubungan yang hangat pula dengan pakdenya. Kendati kecewa tak bisa mendatangi pemakaman Pakde Parto, tapi aku paham, tanggung jawabku tak ringan demi menjamin kelancaran hajat besar keluarga kami.
Aku dan Beni mengiyakan apa kata Om Narso. Dalam hati kucoba memaklumi kelakuan adikku. Usia Dino hanya setahun lebih tua daripada Vina, sementara Vina satu-satunya anak perempuan, sehingga otomatis menjadi sosok paling istimewa di keluarga kami. Barangkali tanpa sengaja, baik Bapak dan Ibu, bahkan aku maupun Beni, sudah sering bersikap diskriminatif terhadap mereka sedari Dino dan Vina masih kecil. Ketika kedua bocah itu dahulu bermain bersama, lalu Vina menangis, maka Dino selalu disalahkan dan menjadi sasaran kemarahan kami. Seiring waktu, Vina lantas melanjutkan kuliah di Yogyakarta, sementara Dino memutuskan bekerja di bengkel sepeda motor sesudah lulus dari SMK. Seusai merampungkan kuliahnya, Vina bekerja di Jakarta, dan tak lama kemudian bertemu dengan jodohnya. Sementara itu, tempat Dino bekerja tidak banyak pelanggannya, jadi kadang ia bagaikan seorang penganggur belaka. Maklumlah, kota tempat tinggal orangtua kami memang tak terlalu besar. Lalu dalam soal asmara, mesti berkali-kali pula Dino patah hati.
Bukannya aku tak pernah mencoba membantu adikku. Aku sempat mengajaknya tinggal bersamaku supaya bisa bekerja di Jakarta. Dino tak mau, karena ia kasihan pada orangtua kami yang usianya semakin menua. Memang hanya dirinya yang masih tinggal bersama mereka. Beni dan keluarganya telah memiliki rumah sendiri, meski masih berada di kota yang sama. Kuhargai pilihan Dino, apalagi alasannya adalah berhasrat menjadi anak yang berbakti pada Bapak dan Ibu.
Sesampainya di kantor polisi, perlu waktu hampir dua jam sebelum kami akhirnya diperbolehkan membawa pulang saudara kami. Orang yang ditabrak Dino dengan sepeda motornya -menurut polisi- hanya mengalami luka ringan. Adikku sendiri mendapatkan luka yang tidak seberapa di wajah, dada, tangan, maupun kakinya. Beruntunglah Dino, lantaran pihak keluarga korban tak ingin membawa insiden tersebut ke ranah hukum. Mereka meminta penyelesaian masalah ganti rugi dilakukan secara kekeluargaan belaka tanpa tergesa-gesa.
Aku lega, kami bisa pulang dengan hati yang lebih tertata. Setibanya di rumah, Dino bersedia melakukan saran paman kami. Syukurlah, Ibu sudah masuk ke kamarnya, setelah sempat menemani Vina terjaga sampai pukul dua belas malam. Kulihat waktu menunjukkan jam satu lebih sepuluh menit dini hari. Masih ada beberapa kerabat kami yang terjaga di depan rumah.
Sekian jam kemudian, ketika malam menjelang, kami sekeluarga tengah berkumpul di dalam rumah. Pada intinya, kami mensyukuri hajat besar keluarga dapat berjalan lancar. Bapak kemudian memintaku menceritakan apa yang terjadi sehari sebelum adik perempuanku bersanding di pelaminan.
Serta merta pecahlah suara tangisan Ibu. Mataku ikut berkaca-kaca menatap reaksi ibuku. Beliau tampak terpukul mendengar berita kepergian kakak sulungnya. Kami berusaha menenangkan kegalauan hati Ibu. Bapak lekas saja memeluk istrinya dan mengelus-elus punggungnya. Yang tidak kuduga, beliau ternyata memiliki firasat tersendiri tentang wafatnya Pakde Parto.
”Menjelang bangun tidur subuh tadi, Ibu sempat bermimpi didatangi Pakde Parto. Beliau hanya tersenyum, jadi Ibu mengira kondisinya baik-baik saja. Ternyata, mungkin itulah salam perpisahan dari beliau,” ujar Ibu yang masih berurai air mata.
Esok harinya, kami sekeluarga berziarah ke makam saudara tertua Ibu, setelah sebelumnya mengunjungi rumah keluarga Pakde Parto. Ibu berusaha mengikhlaskan diri menerima takdir Ilahi atas kakaknya. Yang paling penting, tiada masalah berarti selama acara pernikahan Vina kemarin. Tentang insiden yang terjadi pada Dino, biarlah nanti Bapak saja yang menceritakannya pada Ibu di lain waktu.
TAMAT
# Cerpen ini dimuat di Lampung Post Minggu, 20 Juli 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar