Apa
yang akan kau lakukan,
andaikata hadir serta-merta seseorang yang begitu mirip dengan dirimu, baik
secara rupa, perangai, maupun sikapnya menjalani keseharian? Bukan, orang itu
bukanlah saudara kembar yang tak pernah kukenal, yang hidup terpisah denganku
sekian lama, lantas nasib baik mempertemukan kami laksana cerita dalam novel
atau sinetron. Orang yang hampir sama denganku itu dua belas tahun lebih muda
dan tak memiliki hubungan kekerabatan denganku. Pertama kali kujumpai dia dalam
mimpi. Kulihat seorang perempuan yang sekilas wajahnya seperti aku, dengan
potongan rambut pendek yang nyaris sama denganku. Kami sekadar saling menatap,
tersenyum, dan berjabat tangan tanpa terucap kata.
Kucoba
mencari makna bunga tidurku setelah terjaga. Tak jua kutemukan jawaban, hingga
akhirnya kujalani hari selayaknya belaka. Petangnya, aku takjub saat pulang
melihat tamu Olla, teman kosku. Perempuan
yang baru sekali kutemui itu mirip sosok dalam mimpiku. Dia pun tak kalah
terperanjatnya saat melihatku mendekati mereka.
“Mbak
Astari, kenalkan ini adik sepupuku,” ucap Olla.
”Halo,
Mbak Astari. Nama saya Devina,” kata perempuan itu seraya mengulurkan tangannya
yang kusambut disertai senyuman.
”Devina
sepertinya baru sekali ke sini, ya?” tanyaku.
”Sebetulnya pernah beberapa kali, tapi baru sekarang kita
ketemu,” sahut Devina. Sebenarnya aku masih penasaran dengan mimpiku, tapi aneh
saja rasanya bertanya tentang mimpi pada orang yang baru kukenal.
”Maaf, aku
tinggalkan kalian dulu, ya. Olla,
ada yang ingin kubicarakan sama kamu. Sampai nanti,” kataku sambil beranjak
menuju kamarku. Olla mengacungkan ibu jari tangan kanannya sembari mengangguk
ke arahku.
***
”Sepertinya aku tahu, Mbak Astari mau cerita soal apa,”
ucap Olla yang menemuiku seusai Devina pulang.
”Apa sudah
jadi cenayang kamu sekarang? Soal apa, coba?” sahutku.
”Soal
mimpi tadi malam, ya? Mbak Astari
ketemu Devina, kan?”
”Lho, kok kamu bisa tahu?”
”Jangan
kaget ya, Mbak. Tadi Devina cerita, semalam mimpi ketemu orang yang semula
dikiranya mirip dia. Tapi ketika Devina melihatmu, dia bilang orang itu persis
Mbak Astari.”
”Hah, jadi
aku dan Devina mimpi tentang hal yang sama? Kok bisa begitu? Menurutmu bagaimana?” tanyaku.
”Memang
aku bukan ahli tafsir mimpi. Tapi menurut firasatku, kalian memang sudah
waktunya ketemu. Bisa jadi, Devina
itu pasangan jiwamu, Mbak.”
”Hei, aku
ini masih perempuan normal. Apa maksudmu bahwa Devina itu pasangan jiwaku?”
ucapku agak gusar.
”Maaf, Mbak. Aku tak bisa menjelaskannya lebih jauh.
Lebih baik Mbak Astari tanyakan pada mereka yang paham fenomena spiritual. Tapi
satu pesanku, tolong ya, Mbak Astari mau menjaga Devina seperti adik sendiri.”
”Baiklah. Tapi apa maksud pesanmu, memangnya kamu mau ke mana?”
Olla
menggelengkan kepalanya sambil tersenyum semata malam itu. Kami lantas
membicarakan hal ihwal lainnya, tanpa kembali menyinggung mimpiku. Aku malah
jadi susah tidur setelah kembali ke kamarku.
Sore hari berikutnya, aku begitu terkejut melihat Olla
keluar kamar dipapah teman-teman, sementara aku baru pulang bekerja.
”Lho, kamu kenapa?” tanyaku sambil memegang pipi Olla
yang hangat.
”Olla mengeluh badannya lemas sekali. Kami akan
membawanya ke rumah sakit sekarang,” sahut Tutik, salah satu orang yang memapah
Olla.
”Apa
saudaranya sudah ada yang tahu?”
”Sepertinya Olla sudah memberitahunya, itu dia datang.”
Kulihat
Devina menampakkan dirinya. Sempat tak tahu aku mau berbuat apa, apalagi masih
lelah pula kondisi tubuhku. Namun, akhirnya kuputuskan ikut mengantar sahabatku
ke rumah sakit. Sungguh ingin kutahu kondisi Olla yang mendadak sakit cukup
serius. Padahal ketika
semalaman kami berbincang, dia baik-baik saja di mataku.
“Devina, aku mau ke rumah sakit. Kamu tak keberatan, aku
ikut kamu?” kataku pada Devina. Aku merasa kekurangan tenaga jika mengendarai
motor sendiri.
”Silakan, Mbak. Biar Mbak Olla dengan yang lain naik
taksi.”
Lekas
kuambil helm dan bergegas naik sepeda motor Devina menuju ke rumah sakit. Dalam
perjalanan kurasakan keganjilan yang terjadi. Seseorang yang awalnya kutemui
dalam mimpi, kemudian baru kemarin kujumpai dia di alam nyata, lantas kini kami
berdua di atas kendaraan yang sama. Pertanda apa ini sejatinya?
Setiba di
rumah sakit, Olla segera ditangani petugas paramedis di ruang instalasi gawat
darurat. Seraya menanti hasil pemeriksaan, kuajak Devina bercakap-cakap.
”Apa Olla pernah mengeluh sakit padamu?”
”Mbak Olla
itu jarang mengeluh. Saya pun kaget saat dikabari tadi.”
”Ya, semoga dia cepat pulih seperti sediakala.”
”Betul,
Mbak. Kita hanya bisa menunggu sambil berdoa sekarang.”
Kami
lantas terdiam sementara waktu, bagaikan tak mengerti mesti berbicara apa lagi.
Tutik dan Emma, kedua teman kosku yang mengantar Olla ke rumah sakit, duduk di
sudut berbeda.
”Oh ya,
tadi malam aku sempat ngobrol dengan Olla,” ucapku kembali memecah kebekuan
yang sekejap menyapa.
”Tentang
apa?” tanya Devina singkat.
”Tentang
mimpi kita yang sama,” kataku sambil menatap wajah Devina. Ingin kusaksikan
bagaimana dia bereaksi.
“Oh...eh...
Menurut Mbak Astari, kenapa kita lebih dulu bertemu dalam mimpi, sebelum
kemarin kita benar-benar berjumpa?” sahut Devina dengan rada salah tingkah.
Raut wajahnya sesaat tampak tegang.
“Mmm... Hal itu masih menjadi teka-teki untukku sampai
sekarang.”
”Apa mungkin teka-teki itu ada jawabannya?”
”Mari kita coba memecahkan teka-teki itu,” ujarku santai.
Devina
serta-merta tersenyum. Anehnya, kami kemudian berbincang sangat akrab bagaikan
dua sahabat yang sudah lama saling mengenal. Sementara itu, Olla didiagnosa menderita
gangguan jantung yang mengharuskannya diopname beberapa hari.
***
Kian kerap bersua dengan Devina, jadi semakin kukenali
gadis seperti apa dia sejatinya. Bahkan lambat laun terbitlah ikatan batin di
antara kami laksana sepasang anak kembar. Adakalanya aku merasa tiba-tiba tidak
enak hati, padahal tiada masalah berat yang sedang kupunyai. Tak tahunya,
Devina lantas mengabariku bahwa dia sedang kesulitan menghadapi sebuah
problema. Ternyata dia pun mirip diriku ketika seumuran dengannya saat ini.
Entahlah, aku bagaikan menjumpai sosokku dari masa silam yang masih kerap
emosional menghadapi beragam masalah. Maka biasanya mampu kuberi sekadar
alternatif solusi pada Devina berdasarkan pengalamanku.
Devina sempat merasakan dilema ketika lulus SMA karena
sang ayah menghendakinya masuk fakultas hukum, sementara dia lebih tertarik
dengan sastra bahasa. Kendati demikian, dia tetap mencoba memilih jurusan yang
dikehendaki ayahnya, tapi justru di jurusan sastralah dia diterima. Devina
merasa ayahnya masih kecewa serta tidak tulus membiayai kuliahnya yang telah
berjalan tiga tahun. Belasan tahun silam, aku pernah mengalami hal serupa.
Ayahku mengharapkan diriku mengikuti
jejaknya menjadi dokter, tapi aku justru memilih kuliah seni rupa. Tentu saja,
ayahku kecewa waktu itu. Aku lantas berusaha membuktikan diri bahwa pilihanku
tidak salah. Kuyakini, suatu ketika mampu kubuat ayahku bangga. Syukurlah,
momentum itu belakangan telah terwujud.
”Sebenarnya semua orangtua hanya ingin melihat anaknya
bahagia. Kadang mereka tak yakin dengan pilihan anaknya karena khawatir salah,
padahal apa yang mereka pilihkan belum tentu juga menjadi sesuatu yang tepat,”
ujarku mencoba menguatkan hati gadis yang akhirnya kuanggap sebagai adikku.
”Ya, Mbak. Mesti kubuktikan bahwa inilah jalan terbaikku.
Papa dan Mama pasti akan bangga padaku nanti,” sahut Devina bersemangat. Lega
hatiku dapat membangkitkan kepercayaan diri ’saudara perempuanku’ yang sempat
luruh ketika mengisahkan masalahnya.
***
Oh ya, aku lupa belum menceritakan bagaimana nasib Olla
selanjutnya. Sesudah dua minggu diopname, pihak keluarga membawanya pulang ke
kota asalnya. Aku merasa cukup kehilangan teman baikku dalam banyak hal.
Mudah-mudahan sahabatku kembali sehat dan ceria. Bagaimanapun dia berjasa besar
menjadi perantara pertemuanku dengan Devina, perempuan yang kini menjadi
semacam pasangan jiwaku. Tampaknya benar kata-kata Olla tempo hari. Sudah tentu
bakal kupenuhi permintaannya menjaga sepupunya bagaikan saudara kandungku. Olla
telah membuatku memiliki seseorang yang seakan mampu menggantikan posisi
mendiang adik perempuanku yang tak sempat kukenal. Adik kandungku telah kembali
ke hadirat Ilahi sebelum usianya genap setahun, padahal selisih usia kami hanya
sekitar dua tahun. Bisa jadi itulah jawaban teka-teki yang kucari selama ini.
Tetapi, barangkali kubiarkan tetap menjadi misteri pun tiada salahnya.
# Cerpen ini pernah dimuat di janang.id pada 18 Januari 2020