Minggu, 24 Januari 2021

Bukan Saudara Kembar

 


Apa yang akan kau lakukan, andaikata hadir serta-merta seseorang yang begitu mirip dengan dirimu, baik secara rupa, perangai, maupun sikapnya menjalani keseharian? Bukan, orang itu bukanlah saudara kembar yang tak pernah kukenal, yang hidup terpisah denganku sekian lama, lantas nasib baik mempertemukan kami laksana cerita dalam novel atau sinetron. Orang yang hampir sama denganku itu dua belas tahun lebih muda dan tak memiliki hubungan kekerabatan denganku. Pertama kali kujumpai dia dalam mimpi. Kulihat seorang perempuan yang sekilas wajahnya seperti aku, dengan potongan rambut pendek yang nyaris sama denganku. Kami sekadar saling menatap, tersenyum, dan berjabat tangan tanpa terucap kata.

Kucoba mencari makna bunga tidurku setelah terjaga. Tak jua kutemukan jawaban, hingga akhirnya kujalani hari selayaknya belaka. Petangnya, aku takjub saat pulang melihat tamu Olla, teman kosku. Perempuan yang baru sekali kutemui itu mirip sosok dalam mimpiku. Dia pun tak kalah terperanjatnya saat melihatku mendekati mereka.

          “Mbak Astari, kenalkan ini adik sepupuku,” ucap Olla.

         ”Halo, Mbak Astari. Nama saya Devina,” kata perempuan itu seraya mengulurkan tangannya yang kusambut disertai senyuman.

          ”Devina sepertinya baru sekali ke sini, ya?” tanyaku.

          ”Sebetulnya pernah beberapa kali, tapi baru sekarang kita ketemu,” sahut Devina. Sebenarnya aku masih penasaran dengan mimpiku, tapi aneh saja rasanya bertanya tentang mimpi pada orang yang baru kukenal.

          ”Maaf, aku tinggalkan kalian dulu, ya. Olla, ada yang ingin kubicarakan sama kamu. Sampai nanti,” kataku sambil beranjak menuju kamarku. Olla mengacungkan ibu jari tangan kanannya sembari mengangguk ke arahku.

 

***

         

”Sepertinya aku tahu, Mbak Astari mau cerita soal apa,” ucap Olla yang menemuiku seusai Devina pulang.

          ”Apa sudah jadi cenayang kamu sekarang? Soal apa, coba?” sahutku.

          ”Soal mimpi tadi malam, ya? Mbak Astari ketemu Devina, kan?”

          ”Lho, kok kamu bisa tahu?”

          ”Jangan kaget ya, Mbak. Tadi Devina cerita, semalam mimpi ketemu orang yang semula dikiranya mirip dia. Tapi ketika Devina melihatmu, dia bilang orang itu persis Mbak Astari.”

          ”Hah, jadi aku dan Devina mimpi tentang hal yang sama? Kok bisa begitu? Menurutmu bagaimana?” tanyaku.

          ”Memang aku bukan ahli tafsir mimpi. Tapi menurut firasatku, kalian memang sudah waktunya ketemu. Bisa jadi, Devina itu pasangan jiwamu, Mbak.”

          ”Hei, aku ini masih perempuan normal. Apa maksudmu bahwa Devina itu pasangan jiwaku?” ucapku agak gusar.

          ”Maaf, Mbak. Aku tak bisa menjelaskannya lebih jauh. Lebih baik Mbak Astari tanyakan pada mereka yang paham fenomena spiritual. Tapi satu pesanku, tolong ya, Mbak Astari mau menjaga Devina seperti adik sendiri.”

          ”Baiklah. Tapi apa maksud pesanmu, memangnya kamu mau ke mana?”

          Olla menggelengkan kepalanya sambil tersenyum semata malam itu. Kami lantas membicarakan hal ihwal lainnya, tanpa kembali menyinggung mimpiku. Aku malah jadi susah tidur setelah kembali ke kamarku.

Sore hari berikutnya, aku begitu terkejut melihat Olla keluar kamar dipapah teman-teman, sementara aku baru pulang bekerja.

          ”Lho, kamu kenapa?” tanyaku sambil memegang pipi Olla yang hangat.

          ”Olla mengeluh badannya lemas sekali. Kami akan membawanya ke rumah sakit sekarang,” sahut Tutik, salah satu orang yang memapah Olla.

          ”Apa saudaranya sudah ada yang tahu?”

          ”Sepertinya Olla sudah memberitahunya, itu dia datang.”

          Kulihat Devina menampakkan dirinya. Sempat tak tahu aku mau berbuat apa, apalagi masih lelah pula kondisi tubuhku. Namun, akhirnya kuputuskan ikut mengantar sahabatku ke rumah sakit. Sungguh ingin kutahu kondisi Olla yang mendadak sakit cukup serius. Padahal ketika semalaman kami berbincang, dia baik-baik saja di mataku.

          “Devina, aku mau ke rumah sakit. Kamu tak keberatan, aku ikut kamu?” kataku pada Devina. Aku merasa kekurangan tenaga jika mengendarai motor sendiri.

          ”Silakan, Mbak. Biar Mbak Olla dengan yang lain naik taksi.”

          Lekas kuambil helm dan bergegas naik sepeda motor Devina menuju ke rumah sakit. Dalam perjalanan kurasakan keganjilan yang terjadi. Seseorang yang awalnya kutemui dalam mimpi, kemudian baru kemarin kujumpai dia di alam nyata, lantas kini kami berdua di atas kendaraan yang sama. Pertanda apa ini sejatinya?

          Setiba di rumah sakit, Olla segera ditangani petugas paramedis di ruang instalasi gawat darurat. Seraya menanti hasil pemeriksaan, kuajak Devina bercakap-cakap.     

”Apa Olla pernah mengeluh sakit padamu?”

          ”Mbak Olla itu jarang mengeluh. Saya pun kaget saat dikabari tadi.”

          ”Ya, semoga dia cepat pulih seperti sediakala.”

          ”Betul, Mbak. Kita hanya bisa menunggu sambil berdoa sekarang.”

          Kami lantas terdiam sementara waktu, bagaikan tak mengerti mesti berbicara apa lagi. Tutik dan Emma, kedua teman kosku yang mengantar Olla ke rumah sakit, duduk di sudut berbeda.

          ”Oh ya, tadi malam aku sempat ngobrol dengan Olla,” ucapku kembali memecah kebekuan yang sekejap menyapa.

          ”Tentang apa?” tanya Devina singkat.

          ”Tentang mimpi kita yang sama,” kataku sambil menatap wajah Devina. Ingin kusaksikan bagaimana dia bereaksi.        

          “Oh...eh... Menurut Mbak Astari, kenapa kita lebih dulu bertemu dalam mimpi, sebelum kemarin kita benar-benar berjumpa?” sahut Devina dengan rada salah tingkah. Raut wajahnya sesaat tampak tegang.

          “Mmm... Hal itu masih menjadi teka-teki untukku sampai sekarang.”

          ”Apa mungkin teka-teki itu ada jawabannya?”

          ”Mari kita coba memecahkan teka-teki itu,” ujarku santai.

          Devina serta-merta tersenyum. Anehnya, kami kemudian berbincang sangat akrab bagaikan dua sahabat yang sudah lama saling mengenal. Sementara itu, Olla didiagnosa menderita gangguan jantung yang mengharuskannya diopname beberapa hari.

 

***

 

Kian kerap bersua dengan Devina, jadi semakin kukenali gadis seperti apa dia sejatinya. Bahkan lambat laun terbitlah ikatan batin di antara kami laksana sepasang anak kembar. Adakalanya aku merasa tiba-tiba tidak enak hati, padahal tiada masalah berat yang sedang kupunyai. Tak tahunya, Devina lantas mengabariku bahwa dia sedang kesulitan menghadapi sebuah problema. Ternyata dia pun mirip diriku ketika seumuran dengannya saat ini. Entahlah, aku bagaikan menjumpai sosokku dari masa silam yang masih kerap emosional menghadapi beragam masalah. Maka biasanya mampu kuberi sekadar alternatif solusi pada Devina berdasarkan pengalamanku.

Devina sempat merasakan dilema ketika lulus SMA karena sang ayah menghendakinya masuk fakultas hukum, sementara dia lebih tertarik dengan sastra bahasa. Kendati demikian, dia tetap mencoba memilih jurusan yang dikehendaki ayahnya, tapi justru di jurusan sastralah dia diterima. Devina merasa ayahnya masih kecewa serta tidak tulus membiayai kuliahnya yang telah berjalan tiga tahun. Belasan tahun silam, aku pernah mengalami hal serupa. Ayahku  mengharapkan diriku mengikuti jejaknya menjadi dokter, tapi aku justru memilih kuliah seni rupa. Tentu saja, ayahku kecewa waktu itu. Aku lantas berusaha membuktikan diri bahwa pilihanku tidak salah. Kuyakini, suatu ketika mampu kubuat ayahku bangga. Syukurlah, momentum itu belakangan telah terwujud.

”Sebenarnya semua orangtua hanya ingin melihat anaknya bahagia. Kadang mereka tak yakin dengan pilihan anaknya karena khawatir salah, padahal apa yang mereka pilihkan belum tentu juga menjadi sesuatu yang tepat,” ujarku mencoba menguatkan hati gadis yang akhirnya kuanggap sebagai adikku.

”Ya, Mbak. Mesti kubuktikan bahwa inilah jalan terbaikku. Papa dan Mama pasti akan bangga padaku nanti,” sahut Devina bersemangat. Lega hatiku dapat membangkitkan kepercayaan diri ’saudara perempuanku’ yang sempat luruh ketika mengisahkan masalahnya.  

 

***

 

Oh ya, aku lupa belum menceritakan bagaimana nasib Olla selanjutnya. Sesudah dua minggu diopname, pihak keluarga membawanya pulang ke kota asalnya. Aku merasa cukup kehilangan teman baikku dalam banyak hal. Mudah-mudahan sahabatku kembali sehat dan ceria. Bagaimanapun dia berjasa besar menjadi perantara pertemuanku dengan Devina, perempuan yang kini menjadi semacam pasangan jiwaku. Tampaknya benar kata-kata Olla tempo hari. Sudah tentu bakal kupenuhi permintaannya menjaga sepupunya bagaikan saudara kandungku. Olla telah membuatku memiliki seseorang yang seakan mampu menggantikan posisi mendiang adik perempuanku yang tak sempat kukenal. Adik kandungku telah kembali ke hadirat Ilahi sebelum usianya genap setahun, padahal selisih usia kami hanya sekitar dua tahun. Bisa jadi itulah jawaban teka-teki yang kucari selama ini. Tetapi, barangkali kubiarkan tetap menjadi misteri pun tiada salahnya.

# Cerpen ini pernah dimuat di janang.id pada 18 Januari 2020

Tidak ada komentar: