Minggu, 30 April 2017

Dilema Nesya

Belum pernah Nesya berada dalam situasi maupun kondisi sebagaimana akhir-akhir ini. Sebuah dilema tengah dihadapi sang gadis demi menentukan masa depannya. Dua lelaki yang mencintainya mesti dia pilih salah satu sebagai pendamping hidupnya. Nesya sungguh tak ingin hari-harinya mendatang sarat kisah tak bahagia, lantaran sesal kemudian adalah kesia-siaan belaka. Ia mesti mempertimbangkan segala yang diketahuinya tentang mereka dengan logika, tapi tentu dengan menyimak pula kata sanubarinya.
Lelaki pertama yang bernama Bryan berasal dari sebuah keluarga kaya yang dikenal murah hati, meski adakalanya agak tinggi hati. Orangtua Nesya sudah lama berteman baik dengan ayah ibu Bryan yang kini telah tiada keduanya. Namun, gadis itu tak terlalu mengakrabi Bryan, kendati mereka saling mengenal sejak bocah. Secara kasat mata, anak orang kaya itu mungkin lelaki idaman banyak perempuan. Bryan berwajah tampan, mewarisi harta kekayaan yang lebih dari cukup jumlahnya, sehingga apa saja yang diminta istrinya kelak, pastilah dia mampu membelikannya. Sayangnya, ada sikap Bryan yang tak disukai Nesya. Lelaki itu mudah tersinggung dan menjadi sosok yang menakutkan jika marah. Rhea, sahabatnya, yang memberitahunya karena sepupunya pernah menjadi kekasih Bryan. Maka Nesya sangat berhati-hati saban berbincang dengan si lelaki tampan. Dia tidak pernah merasa nyaman berada di dekat Bryan, biarpun lelaki itu selalu membawakan buah tangan dan mendapat sambutan hangat orangtuanya.
          Lelaki kedua bernama Jaka. Tidak terlalu ganteng, tapi berbicara dengan lelaki kurus itu senantiasa menyenangkan hati Nesya. Dia humoris dan memiliki hal-hal yang menarik untuk diceritakan. Setahu Nesya, Jaka merupakan pekerja keras hingga bisa hidup mandiri tanpa tergantung pada orangtuanya lagi secara ekonomi. Ayah Jaka telah tutup usia, sementara ibunya hidup bersahaja dengan uang pensiun peninggalan suaminya. Ketika usahanya mulai berkembang, Jaka mampu membantu memenuhi keperluan sehari-hari ibu maupun adik-adiknya. Ibunya bahkan diberi modal membuka warung kelontong kecil di rumahnya yang bisa memperbaiki perekonomian keluarga.

***
          “Bapak dan Ibu, saya bebas memilih Kak Bryan atau Kak Jaka untuk mendampingi hidup saya, bukan?” tanya Nesya meminta nasihat orangtuanya.
          “Iya, Nak. Terserah kau yang mengambil keputusan terbaik demi masa depanmu. Yang jelas, Bapak lebih mengenal Nak Bryan. Tapi sepertinya Nak Jaka pun lelaki yang bertanggung jawab. Yang perlu kau ingat, setiap pilihan memiliki konsekuensinya masing-masing,” sahut Bapak.
          “Siapa pun yang kau pilih, mudah-mudahan dia yang terbaik bagimu dan hidup kalian bakal bahagia. Sudah pasti Ibu selalu memberikan doa restu padamu, Nesya sayang.”
          Nesya lega mendapat dukungan positif dari orangtuanya. Ia memutuskan memilih Jaka sebagai calon suaminya. Namun, gadis itu rada khawatir ketika harus menolak Bryan. Nesya pun meminta saran Jaka.
          “Kau minta saja Bryan datang kemari dan katakan padanya dengan terus terang. Tapi kau tak perlu seorang diri menghadapinya. Mintalah Bapak dan Ibu menemanimu. Jika kau tak keberatan, aku juga akan hadir mendampingimu,” ucap Jaka.
          “Terima kasih, Kak. Semoga hal itu bisa menjadi solusi yang baik.”
          Peristiwa selanjutnya berjalan sesuai dengan skenario yang dirancang Jaka. Di depan dara dambaannya yang duduk di antara orangtua dan calon suaminya, Bryan berusaha menerima sebuah kenyataan pahit dengan berbasa-basi.
          “Jika demikian adanya, saya ucapkan selamat untuk Saudara Jaka yang sudah dipilih Dik Nesya menjadi pendamping hidupnya. Moga-moga kalian hidup bahagia hingga lanjut usia.”
          “Terima kasih untuk kebesaran hati dan doanya. Mudah-mudahan Kak Bryan mendapatkan jodoh yang lebih baik ketimbang saya,” kata Nesya hati-hati karena melihat raut wajah Bryan yang tampak memucat, meski lelaki itu berusaha tetap tersenyum.

***
          Kendati di hadapan Nesya tampaknya Bryan telah rela melepas perempuan yang dicintainya, ternyata kemasygulan masih tersisa dalam hatinya. Ia tak mau begitu saja membiarkan Jaka dengan mudahnya menikahi Nesya. Dimintanya saran dari Saprino, sahabat lawasnya yang menjadi tangan kanannya dalam menjalankan usahanya.
          “Serahkan saja semua padaku. Bos tinggal duduk manis menanti hasilnya,” ujar Saprino percaya diri.
          “Apa rencanamu sebenarnya? Tapi tolong ya, aku tak mau ada kekerasan yang berpotensi jadi urusan polisi nanti,” sahut Bryan yang mencoba tetap rasional.
          “Tenang saja, kita tidak akan main kasar. Aku pasti jaga nama baikmu, Bos.”
          Maka mulai dijalankanlah rencana Saprino. Tentu Bryan berharap rencana pernikahan Nesya dan Jaka bisa digagalkan. Ia siap melakukan upaya pendekatan lagi terhadap sang gadis, sekiranya apa yang dilakukan Saprino berhasil.

***
          Nesya suatu hari menerima beberapa pesan di ponselnya dari nomor-nomor yang tidak dikenalnya. Berlanjut pada hari sesudahnya, dia pun menerima tiga surat yang tidak tertulis nama pengirimnya. Namun, isinya rata-rata hampir sama. Seluruh pesan dan surat tersebut mengabarkan hal-hal buruk mengenai Jaka, lelaki yang akan menikahinya. Ada yang isinya memberitahu bahwa Jaka pernah menghamili pacarnya dan memaksanya melakukan aborsi. Ada pula yang meminta Nesya membatalkan pernikahannya karena Jaka hanyalah lelaki pendusta. Bahkan ada foto yang memperlihatkan Jaka sedang berciuman dengan seorang perempuan dan masih ada beberapa informasi lainnya yang membuat Nesya terperangah. Semua orang yang dekat dengan sang gadis menyarankannya agar tidak memedulikan berita yang sumbernya tak jelas tersebut. Nesya lama-lama sedikit terpengaruh. Dia ingin Jaka bisa memberikan klarifikasi terhadap isi pesan dan surat yang diperolehnya.
          “Sayang, apakah kau kenal satu atau beberapa orang yang memberitahumu macam-macam tentang diriku itu?” tanya Jaka dengan sabar.
          “Tak ada satu pun yang kutahu, Kak,” jawab Nesya pelan.
          “Apakah wajar kau percayai kata-kata orang yang bahkan kau tak tahu mereka itu siapa?”
          “Iya, Kak. Pastinya lebih baik kupercayai orang yang kukenal dengan baik, seperti calon suamiku ini. Apa gunanya ya, kupercayai seluruh kabar tak jelas itu?” Ucapan Nesya membuat Jaka tersenyum lega.
          Upaya Saprino -demi ambisi Bryan- untuk mengusik rencana pernikahan Nesya dan Jaka ternyata tidak efektif. Dua sejoli itu terus melanjutkan rencananya mempersiapkan momentum berharga dalam hidup mereka. Bryan akhirnya berbesar hati menerima fakta bahwa Nesya memang bukanlah miliknya dan bahkan siap menghadiri pernikahan perempuan yang pernah didambanya. Ia terkesan dengan kehangatan sikap Jaka yang secara khusus mendatangi rumahnya untuk mengantarkan undangan pernikahannya. Kemantapan hati Nesya memilih Jaka pun mengakhiri dilema yang sempat menderanya. Ia telah bersedia seia sekata melakoni sisa hidupnya di muka bumi bersama lelaki kurus itu.

# Cerpen ini dimuat di Radar Surabaya, 30 April 2017. 


Kamis, 27 April 2017

Agar Tenang

Janganlah mengurusi kepentingan orang lain dan janganlah mempunyai keinginan tahu tentang orang lain. Hanya dengan jalan demikian, kita dapat tenang. (Budi Darma)

Rabu, 26 April 2017

Karyaku Jadi Inspirasi

Sekian malam lalu aku cukup terkejut ketika berselancar dan menemukan ada sebuah skripsi berjudul : Pembelajaran Cerpen "Menjelang Kepergian Ibunda" karya Luhur Satya Pambudi Pada Siswa Kelas XI SMK Negeri 2 Semarang Tahun Ajaran 2016/2017. Skripsi itu disusun oleh seorang mahasiswa Universitas PGRI Semarang di tahun 2016. Syukurlah, ternyata karyaku yang sederhana bisa menjadi inspirasi bagi orang lain menghasilkan karya selanjutnya. Terima kasihku untuk Mas Triyanto Triwikromo yang memberi kesempatan cerpen itu dimuat di Suara Merdeka, tak jauh dari momentum sembilan tahun wafatnya ibuku pada Januari 2016 lalu.
Selasa malam (25/4) kutulis sebuah status di Facebook yang kusalin dari blog ini. Ternyata hingga hari ini ada lebih dari 70 teman yang memberikan "like" dan beberapa di antaranya memberikan komentar yang positif kepadaku. Aku merasa mendapat perhatian yang membuat hati nyaman.
Hari ini pun aku gembira bisa ikut bermain bersama anak-anak musik dan vokal AFC (Art for Children) yang didukung kawan-kawan dari ISI di halaman museum Sonobudoyo. Lalu serta-merta aku pun teringat dan bisa menghayati salah satu lirik lagu Koes Plus yang paling terkenal : Hati senang walaupun tak punya uang... :)

Selasa, 25 April 2017

Cerpen Pertamaku Satu Dekade Silam

Pada pekan yang sama dengan wafatnya nenekku, sejarah yang lain terukir dalam hidupku satu dekade silam. Untuk pertama kalinya cerpenku dimuat di media massa, tepatnya di majalah Hai No.16/16-22 April 2007. Hari itu aku baru kembali ke rumah setelah pemakaman Eyang Putri di Jakarta. Betapa takjubnya aku ketika membuka Hai edisi terbaru dan menemukan judul karya dan namaku berada di dalamnya. Tiada seorang pun di rumah bersamaku waktu itu. Maka aku pun mengirim sms kepada semua kakakku dan beberapa kerabat dekatku lainnya. Baru saja aku kehilangan seseorang yang sangat berarti, sebuah anugerah yang tak terduga datang padaku.

Sepuluh tahun kemudian, sekitar 60-an cerpenku dimuat di berbagai media massa dari kira-kira 160 cerpen yang telah kutuntaskan. Mungkin relatif sedikit ketimbang rekan penulis lainnya, tapi tak apalah. Selain itu, sebuah buku kumpulan cerpen pertamaku sudah terbit dan dijual secara independen, meski puluhan eksemplar saja yang telah beredar. Kusyukuri semua hal itu dan aku akan terus melangkah maju.

Senin, 24 April 2017

Menulis Cerpen Seperti Main Catur

Menulis cerpen itu seperti bermain catur. Bertarung mewujudkan gagasan dan cerita di atas hamparan kotak-kotak imajinasi yang penuh misteri. 
(Indra Tranggono)

Senin, 17 April 2017

Telah 10 Tahun Berlalu

Hari ini tepat 10 tahun wafatnya eyang putriku tercinta. Bagi sejumlah saudara dan teman yang berduka pada April tahun ini, aku pun pernah mengalaminya beberapa kali tempo hari. Pernah kubuat catatannya sekian tahun lalu dan pernah dimuat di Friendster, Facebook, serta Kompasiana (2010). Kutuliskan kembali di blog ini dengan sedikit revisi.


APRIL PERNAH MENJADI BULAN DUKAKU

Bukan maksudku untuk menyedihkan diri atau berbagi duka ketika kusuratkan hal ini. Sekadar mengenang bahwa ternyata di bulan April –pada tahun yang berbeda- pernah kurasakan kepergian selamanya orang-orang yang begitu kusayangi. Pada 14 April 1992 bapakku wafat setelah sekitar sebulan dirawat di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Aku masih duduk di bangku SMA dan sungguh sedih rasanya pertama kali kehilangan seseorang yang selama bertahun-tahun hidup serumah denganku. Apa yang terjadi saat itu sudah cukup terwakili dalam cerpen ’The Day My Dad Passed Away’. Cerpen itu kemudian dimuat di majalah Story (2010).

Selanjutnya pada 11 April 2004 giliran adik eyang putriku -yang sudah seperti ayah keduaku- meninggal dunia setelah sebulan tanpa daya di RS Sardjito Yogyakarta. Aku sudah cukup dewasa ketika itu terjadi, jadi mungkin lebih mampu menahan kedukaan. Mungkin juga karena kami tidak tinggal serumah, kendati hubungan emosionalnya sangat dekat. Tiga buah cerpen dapat kubuat terinspirasi oleh peristiwa seputar wafatnya adik eyang putriku tersebut. 

Dan sepuluh tahun lalu, tepatnya pada 17 April 2007 eyang putriku yang dipanggil pulang oleh Allah SWT, hanya empat hari setelah mondok di tempat aku dilahirkan, RS Fatmawati Jakarta. Aku baru sekitar 100 hari melepas kepergian selamanya ibuku saat itu, jadi rasanya bisa lebih ikhlas ketika eyang putriku yang pergi. Kubiarkan diriku berada di ambulans dan ikut mengangkat jenazah beliau setibanya di TPU Jeruk Purut. Cerpen ‘Lebaran Terakhir Mama dan Ibunya’ dan ‘Kaus Hitam’ merupakan wujud kenanganku atas meninggalnya dua perempuan yang sangat kusayangi itu. Kedua cerpen tersebut dimuat di Koran Merapi (2015) dan Story (2012).

Pastinya tetap ada kesedihan, karena hal itu manusiawi adanya. Tapi selalu ada hikmah yang bisa dipetik. Mengutip salah satu dialog dalam sinetron ‘Para Pencari Tuhan 2’ karya Deddy Mizwar : ”Semua orang akan kehilangan orang tua, saudara dan lain-lainnya. Yang penting, apa pun yang kita miliki kini mesti disyukuri.” Tentu kita juga kudu senantiasa berpikir positif dengan segenap takdir-Nya. Toh, setiap yang berjiwa pasti akan merasakan mati. Kelak kita juga akan pergi selamanya dari muka bumi, untuk kembali kepada pemilik kita yang sejati. Tinggal menanti giliran, seraya terus berupaya menjadi seorang manusia yang sebaik-baiknya di hadapan Ilahi. Mengutip salah satu dialog dalam cerpen ’Pada Titik Kulminasi’ karya Satyagraha Hoerip : ”Kematian yang ikhlas adalah kematian yang ideal. Kalaulah memang sudah saatku, mauku bisalah matiku itu terjadi dengan kerelaan yang pas.” Semoga masih ada waktu untuk meninggalkan jejak keindahan di dunia yang tak abadi ini. Amin. 

Sabtu, 15 April 2017

Persoalan Pribadi Jangan Merusak Hubungan

Persoalan pribadi kita janganlah kita biarkan memengaruhi dan merusak hubungan baik kita dengan sesama. (Gus Mus)

Jumat, 14 April 2017

25 Tahun Sudah

Untuk memperingati 25 tahun tutup usianya Ayahanda tercinta, maka saya mengunggah cerpen yang pernah dimuat di majalah Story (2010) dengan judul "Saat Ayah Pergi" di blog ini.


THE DAY MY DAD PASSED AWAY

Aku merasa awal hari ini ringan langkahku, tiada beban sama sekali di pundakku, padahal nanti ada ulangan Sejarah yang aku belum belajar sama sekali. Kebetulan bis kota yang membawaku ke sekolah pun tak perlu lama kutunggu datangnya. Sampai di kelas masih rada pagi, aku ikut saja teman-teman yang tengah mengerjakan Pe-eR Akuntansi. Jelas ini bukan sesuatu yang biasa bagiku, biasanya aku menjadi salah satu murid paling disiplin yang selalu mengerjakan Pe-eR di rumah dan hasil kerjaku malah sering dijadikan bahan rujukan salinan teman-temanku yang malas. Memang bukan niatku untuk itu, kemarin sore aku mesti dapat giliran menjaga Ayah di rumah sakit. Sudah sebulan ini Ayah dirawat, banyak organ tubuhnya yang telah rusak karena sempat selama puluhan tahun beliau menjadi perokok berat.

Sebenarnya Ayah sudah sekitar sepuluh tahun terakhir ini berhenti merokok, persisnya sejak beliau pensiun. Tapi ternyata dampak negatifnya sangat membuatnya menderita kini di masa tuanya. Mungkin karena itulah sebagai cowok yang hampir 17 tahun, aku tidak mau ikutan teman-teman untuk mulai merokok dan aku bahkan berniat menjadi cowok yang tak pernah merokok sepanjang hayatku hingga maut menjemputku. Aku tidak ingin anak-anakku nanti merasakan apa yang kurasakan selama sekitar sebulan ini, setiap hari menunggui sang ayah yang tak kunjung sembuh sakitnya. Padahal segala macam pengobatan pun telah diupayakan.

Tiga jam pelajaran telah berlalu hingga saatnya istirahat. Baru saja aku keluar dari kelas ketika Pak Heru, wali kelasku terlihat berjalan menuju kelasku bersama seorang perempuan berseragam pegawai, yang ternyata anak buah ibuku di kantor.
“Ragil, ibu ini diminta menjemputmu untuk datang ke rumah sakit saat ini juga,” kata Pak Heru kepadaku yang diiyakan oleh wanita yang bersamanya.
“Kakak-kakak mas Ragil semua juga diminta berkumpul di sana,” tambah perempuan itu.

Terang saja aku kaget mendengar kata-kata mereka. Pasti ada sesuatu yang 
terjadi pada ayahku! Aku tak bisa berkata banyak, Pak Heru memintaku segera mengambil tas di kelas dan pergi meninggalkan sekolah saat itu juga. Aku dan anak buah ibuku bergegas menuju parkiran sekolah, di sana sudah ada Mas Dawam, supir mobil dinas Ibu dengan Kijang yang biasa untuk mengantar jemput Ibu ke kantor. Dalam perjalanan menuju rumah sakit, aku hanya bisa berdebar-debar dan bertanya dalam hati, apa yang sedang terjadi pada Ayah hingga kami semua mesti berkumpul? Aku enggan bertanya dan mereka tak berkata apa pun padaku. Tapi sempat terbesit sebuah pikiran positif di otakku, mungkin Ayah jadi mau dipindah ke rumah sakit pusat yang fasilitasnya lebih lengkap, seperti rencana yang sempat kudengar dua hari lalu.

Lima belas menit kemudian kami tiba di rumah sakit. Aku segera bergegas menuju kamar rawat Ayah dan menemui beberapa kerabatku di depan kamar.
“Ayah kamu kritis, Gil,” ucap Pakde Rahmat menyambutku, lalu membimbingku masuk kamar. Sudah ada Ibu dan kelima kakakku di sekeliling ranjang tempat Ayah terbaring dengan suara seperti dengkuran yang cukup keras. Kudengar suara isak tangis mereka. Aku hanya bisa terpana di antara mereka sambil memegangi kaki Ayah yang sudah sangat dingin dan kaku. Tak lama kemudian tangis mereka reda, lantas satu persatu dari kami keluar dari ruangan itu. 

Dokter dan para asistennya memeriksa kondisi terakhir Ayah. Detak jantung dan denyut nadi beliau masih ada. Dokter memperkirakan tinggal sedikit saja kesempatan hidup Ayah, kecuali ada mukjizat yang menyelamatkannya, tanpa memberikan kepastian masih berapa jam atau berapa harikah yang tersisa.

***

Beberapa jam berlalu, kondisi Ayah cukup stabil meski sebenarnya buruk. Kami semua sudah cukup tenang sambil terus berdoa, semoga saja keajaiban benar datang untuk membangunkan Ayah dari ketidaksadarannya selama ini. Beberapa kerabat dan teman keluarga kami pun berdatangan ke rumah sakit. Salah seorang sahabat lama Ayah, Pak Bardan -yang kebetulan memiliki indera keenam- secara khusus berpesan kepada kami,

“Tolong ya, nanti kira-kira sehabis Maghrib semua anak-anak di sini menunggui ayah kalian. Ibu juga siap di sini.”

Kami tak berkata sedikit jua, mengangguk setuju belaka. Saat menjelang petang Ibu memintaku dan kakak-kakakku pulang lebih dahulu untuk mandi, juga berganti baju. Tapi akhirnya hanya aku dan dua orang kakakku yang pulang dengan taksi. Entah apa sebabnya setelah kami turun, taksi yang baru kami tumpangi beberapa kali menabrak tembok saat akan keluar dari gang tempat rumah kami berada. Sebuah firasat burukkah? Aku enggan berpikir lebih jauh tentang hal tersebut.

Setelah mandi, kami bertiga kembali ke rumah sakit dengan bis kota. Sehabis menjalankan sholat Maghrib di mushola rumah sakit, secara khusus aku berdoa mohon pada-Nya supaya Ayah diberikan jalan yang terbaik. Harapan kami semua, tentu saja datangnya keajaiban berupa kesembuhan beliau. Aku masih sangat ingin bisa menjalani berbagai hal bersamanya lagi. Sebagai satu-satunya anak lelaki, aku tentu saja ingin bisa membuat Ayah bangga akan diriku. Tanpa kusadari air mataku sampai bercucuran saat menadahkan tangan. Setelah mampu menguasai diri, aku pun segera membasuh wajahku dan kembali ke kamar rawat Ayah.

***

Setibaku di kamar ternyata kondisi Ayah sudah kian melemah. Suara dengkuran seperti saat siang sudah tak terdengar lagi. Yang tersisa tinggal suara desah nafasnya yang sangat lirih. Aku, kakak-kakakku, serta Ibu kembali mengelilingi ranjang tempatnya terbaring tanpa daya. Suara isak tangis kembali terdengar dan semakin keras. Hanya aku yang berusaha tetap tegar, tak mengeluarkan air mata, meski dadaku terasa mulai sesak. Satu dua kakakku dibawa keluar dari kamar karena mulai histeris, merasa tak tahan lagi menahan kepedihan. Aku dengan Ibu berpegangan tangan sambil memegang tangan Ayah. Desah nafasnya semakin tak bersuara hingga akhirnya berhenti, tak bersuara lagi…

Innalillahi wa innailaihi raji’un. Ayah telah menghembuskan nafas terakhirnya. Malaikat maut telah menjalankan perintah-Nya menjemput nyawa ayahku tercinta. Ibu dan kakak-kakakku yang masih bertahan di kamar menangis tersedu-sedu menghadapi kenyataan yang terjadi. Sedangkan aku hanya terpaku tak bisa berkata apa jua, tetap bisa kutahan supaya air mataku tak tertumpah. Padahal dadaku sebenarnya sudah terasa begitu sesak, tapi sebagai anak lelaki aku tak mau menangis di depan ayahku, meski kini beliau telah pergi meninggalkan kami selamanya dan yang tersisa jasadnya belaka. Suara azan Isya’ yang berkumandang sayup-sayup terdengar dari dalam kamar.

Beberapa saat kemudian dokter dan para perawat meminta kami keluar dari kamar untuk menangani jenazah Ayah. Dengan masih menahan sesak di dada, aku pun keluar dari kamar lalu duduk di salah satu kursi. Aku diam saja membisu. Tiba-tiba saja saat-saat indah bersama Ayah di masa lalu satu demi satu terbayang di ingatanku, aku jadi sadar bahwa tak mungkin lagi aku menjalani hari-hari bersamanya. Akhirnya tak kuasa kutahan lagi sesak di dada dan tercurah sudah air mataku. Aku pun menangis sejadi-jadinya menyadari betapa perihnya rasa dan sakitnya hati karena kehilangan seorang ayah. 

Syukurlah, di sampingku ada salah seorang kerabatku yang menenangkanku sehingga tak berkepanjangan tangisku. Aku memang seharusnya ikhlas karena Ayah sudah dipanggil kembali oleh pemiliknya, Tuhan Yang Mahakuasa. Tapi tak semudah itu ketika peristiwanya baru saja terjadi. Setelah reda tangisku, lalu kulihat ibu dan saudara-saudaraku pun sudah tenang, mereka mulai mengabari orang-orang yang perlu diberitahu kabar duka itu dan mengurus perawatan jenazah Ayah.

Keluarga memutuskan untuk memandikan jenazah Ayah di rumah sakit. Yang masih menjadi masalah adalah akan dimakamkan di mana jasad Almarhum besok? Kami pun merapatkannya saat menunggu persiapan pemandian jenazah. Mungkin memang sudah menjadi skenario-Nya semata, ketika kebetulan ada seorang keponakan Ayah yang menjadi salah satu pejabat militer di kota kami. Ayah dulu bekerja sebagai tentara, bahkan terakhir sebelum pensiun sempat menjadi komandan di beberapa tempat. Ternyata sebagai mantan tentara, beliau berhak untuk dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP).

“Tante, Om itu pasti punya Bintang Gerilya. Kalau itu bisa ditunjukkan, maka otomatis Om bisa langsung dimakamkan di TMP,” kata Mas Gun, keponakan Ayah yang tentara itu pada ibuku.
“Sepertinya Om memang pernah cerita soal itu. Tapi Tante tidak yakin Om membawanya ke sini saat kami pindah dulu. Om itu paling tidak suka pamer-pamer dan mungkin untuk beliau itu bukan sesuatu yang penting. Tapi coba nanti Tante cari di rumah,” jawab Ibu.
“Ya sudah, Tante. Biar saya saja yang menanyakannya ke Semarang. Saya yakin di sana ada data tentang Om. Oh ya, saya sudah suruh ambulans militer ke sini untuk nanti mengantar jenazah Om pulang dan besok juga saat pemakaman.”

Akhirnya jenazah Ayah jadi dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kusumanegara Yogyakarta. Tembakan salvo mengiringi saat jasad Ayah dimasukkan ke liang lahat sebagai tempat peristirahatan terakhirnya. Sebuah wujud penghormatan kepada seseorang yang pernah menjadi pejuang yang ikut merebut, membela dan menjaga kemerdekaan negeri tercinta. Meski aku tahu Ayah mungkin tak ingin diperlakukan seperti ini di saat terakhirnya, tapi kurasa beliau patut mendapatkannya dan aku bangga akan hal itu.

***

Ayahku adalah seseorang yang baik, begitu bersahaja, sangat mencintai keluarga, dan yang paling kuingat, adalah seorang ayah yang tak pernah memarahi aku sebagai anak lelakinya satu-satunya. Mungkin saja Ayah pernah memarahi kakak-kakakku, tapi yang jelas aku tak pernah melihatnya sepanjang umurku. Itulah kebijaksanaan yang juga dimiliki seorang Ayah. Meskipun pernah menjadi komandan militer, tapi beliau tidak pernah bersikap keras dan memaksakan kehendaknya sendiri kepada anak-anaknya, bahkan sangat demokratis. Maka tak masalah ketika aku menolak saat ditawari les piano dan diijinkannya aku yang justru malah jadi pemain keyboard di sebuah band sejak kelas satu SMA setahun silam. Bahkan beliau pun memaklumiku ketika kenaikan kelas lalu nilai-nilaiku turun drastis, padahal aku sendiri sudah merasa sangat bersalah. Masih ingin kutebus hal itu supaya Ayah senang dan bangga padaku, tapi belum sempat kesampaian karena beliau telah lebih dulu pergi meninggalkan dunia ini.

Yang jelas aku jadi tak sekadar menghormati Ayah karena beliau ayahku, tapi karena memang berbagai sikap maupun karakternya wajar untuk dihormati dan disegani. Tentu saja aku pun selalu menyayanginya. Kini ketika beliau telah tiada, hanya tinggal kenangan indahlah yang tersisa. Semoga saja segala dosa kesalahan Ayah mendapatkan ampunan-Nya dan semua amal kebaikannya diterima oleh Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Amin…

Jumat, 07 April 2017

Lakukanlah Apa Saja, Tapi...

Hiduplah semaumu, tapi sesungguhnya kau akan mati. Cintailah siapa saja yang kau mau, tapi sesungguhnya kau akan berpisah dengannya. Lakukanlah apa saja yang kau mau, tapi sesungguhnya kau akan dapat balasannya. 
(Imam Al-Ghazali)

Kamis, 06 April 2017

Bertindak dan Menerima

Adakalanya orang harus bertindak dan adakalanya pula orang harus menerima. Sang kesatria tahu bagaimana membedakan saat-saat tersebut. (Paulo Coelho)

Senin, 03 April 2017

Kisah Cinta Radya dan Renata

"Maka sejak malam itu Radya dan Renata resmi berpacaran, kendati mereka berdua masih terpisah jarak yang tak dekat. Hari demi hari terasa lebih ringan dan membahagiakan bagi kedua sejoli itu. Bisa jadi mereka tengah mendapatkan keajaiban cinta. Serta-merta menguaplah segala cerita sedih yang pernah mereka lewati."

Kisah cinta Radya Andromeda dan Renata Kusumadewi yang terinspirasi cerita nyata sepasang sahabat bisa dibaca di sini :


http://nusantaranews.co/ada-keajaiban-cinta-kisah-luhur-satya-pambudi/