Hari ini tepat 10 tahun wafatnya eyang putriku tercinta. Bagi sejumlah saudara dan teman yang berduka pada April tahun ini, aku pun pernah mengalaminya beberapa kali tempo hari. Pernah kubuat catatannya sekian tahun lalu dan pernah dimuat di Friendster, Facebook, serta Kompasiana (2010). Kutuliskan kembali di blog ini dengan sedikit revisi.
APRIL PERNAH MENJADI BULAN DUKAKU
Bukan maksudku untuk menyedihkan diri atau berbagi duka ketika kusuratkan hal ini. Sekadar mengenang bahwa ternyata di bulan April –pada tahun yang berbeda- pernah kurasakan kepergian selamanya orang-orang yang begitu kusayangi. Pada 14 April 1992 bapakku wafat setelah sekitar sebulan dirawat di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Aku masih duduk di bangku SMA dan sungguh sedih rasanya pertama kali kehilangan seseorang yang selama bertahun-tahun hidup serumah denganku. Apa yang terjadi saat itu sudah cukup terwakili dalam cerpen ’The Day My Dad Passed Away’. Cerpen itu kemudian dimuat di majalah Story (2010).
Selanjutnya pada 11 April 2004 giliran adik eyang putriku -yang sudah seperti ayah keduaku- meninggal dunia setelah sebulan tanpa daya di RS Sardjito Yogyakarta. Aku sudah cukup dewasa ketika itu terjadi, jadi mungkin lebih mampu menahan kedukaan. Mungkin juga karena kami tidak tinggal serumah, kendati hubungan emosionalnya sangat dekat. Tiga buah cerpen dapat kubuat terinspirasi oleh peristiwa seputar wafatnya adik eyang putriku tersebut.
Dan sepuluh tahun lalu, tepatnya pada 17 April 2007 eyang putriku yang dipanggil pulang oleh Allah SWT, hanya empat hari setelah mondok di tempat aku dilahirkan, RS Fatmawati Jakarta. Aku baru sekitar 100 hari melepas kepergian selamanya ibuku saat itu, jadi rasanya bisa lebih ikhlas ketika eyang putriku yang pergi. Kubiarkan diriku berada di ambulans dan ikut mengangkat jenazah beliau setibanya di TPU Jeruk Purut. Cerpen ‘Lebaran Terakhir Mama dan Ibunya’ dan ‘Kaus Hitam’ merupakan wujud kenanganku atas meninggalnya dua perempuan yang sangat kusayangi itu. Kedua cerpen tersebut dimuat di Koran Merapi (2015) dan Story (2012).
Pastinya tetap ada kesedihan, karena hal itu manusiawi adanya. Tapi selalu ada hikmah yang bisa dipetik. Mengutip salah satu dialog dalam sinetron ‘Para Pencari Tuhan 2’ karya Deddy Mizwar : ”Semua orang akan kehilangan orang tua, saudara dan lain-lainnya. Yang penting, apa pun yang kita miliki kini mesti disyukuri.” Tentu kita juga kudu senantiasa berpikir positif dengan segenap takdir-Nya. Toh, setiap yang berjiwa pasti akan merasakan mati. Kelak kita juga akan pergi selamanya dari muka bumi, untuk kembali kepada pemilik kita yang sejati. Tinggal menanti giliran, seraya terus berupaya menjadi seorang manusia yang sebaik-baiknya di hadapan Ilahi. Mengutip salah satu dialog dalam cerpen ’Pada Titik Kulminasi’ karya Satyagraha Hoerip : ”Kematian yang ikhlas adalah kematian yang ideal. Kalaulah memang sudah saatku, mauku bisalah matiku itu terjadi dengan kerelaan yang pas.” Semoga masih ada waktu untuk meninggalkan jejak keindahan di dunia yang tak abadi ini. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar