Kamis, 30 Maret 2017

Kepalsuan yang Laku

Di negeri kita, kepalsuan tetap laku. Orang masih selalu percaya bahwa apa yang palsu itu benar jika ditempeli nama Tuhan dan agama. Kesalehan palsu larisnya minta ampun. Para tokoh pun semakin berani bersumpah atas nama Tuhan dan agama.
Masyarakat kita yang mudah kagum akan sebutan Tuhan dan agama menjadi rentan penipuan. Secara kejiwaan, sosial, maupun politik, masyarakat kita terdiri atas onggokan sifat naif yang agak memalukan. Selebihnya, kenaifan ini membuat kita begitu permisif terhadap berbagai keburukan.

(Mohamad Sobary dalam buku "Makamkan Dirimu di Tanah Tak Dikenal")

Senin, 27 Maret 2017

Kalau Ingin Kreatif

Kalau ingin kreatif, jangan menomorsatukan eksistensi. 
Kalau ingin kreatif, ingin diberi hidayah oleh Allah, yang harus dilakukan hanya satu, beribadah.
Ibadah itu mengabdi, mengabdi itu melayani. 

(Emha Ainun Nadjib)

Senin, 20 Maret 2017

Kisah Silam yang Terabaikan

 Andaikata orang berkomentar hidupku sudah sempurna, aku akan setuju dan mengucapkan terima kasih. Bukannya aku takabur, melainkan justru ungkapan syukur. Dalam tiga tahun belakangan saja, aku bisa tinggal santai di rumah atau berlibur ke mana saja kumau. Adakalanya kuajak istriku semata atau bersama anak cucuku sekalian. Segala urusan perusahaan telah kupercayakan kepada Julian, anak lelakiku yang nomor satu. Sesekali belaka aku ke kantor, sekadar mengontrol situasi dan kondisi perusahaan. Rasanya tinggal kunikmati manisnya hidup menjelang lima puluh tujuh usiaku kini, sesudah bekerja keras sekian masa. Namun, sekonyong-konyong sejumlah peristiwa tak terduga secara berurutan mengusik kemapanan hidupku.
 Awalnya, sebuah kecelakaan lalu lintas menimpa Julian. Ia mengalami koma dengan luka parah di kepala dan sekujur badan, setelah mobil yang dikendarainya diterjang sebuah truk tronton. Julian harapan utamaku sebagai penerus sekaligus pemimpin beragam bisnisku. Sepekan kemudian, giliran Novisha -anak keduaku- yang terkena musibah. Kafe yang dikelolanya mengalami kebakaran hingga tinggal puing belaka. Sayangnya, ia belum sempat mengasuransikan tempat usahanya. Novisha begitu terpukul. Hanya tiga hari setelah itu, giliran Maretta -anak bungsuku- mengalami hal kelam. Ia diperkosa.
Aku tak mengerti mesti bersikap bagaimana. Lelaki mana pun pasti terpuruk hatinya dengan nasib buruk anak-anaknya sedemikian rupa. Mengapa semua terjadi secara beruntun? Kucoba introspeksi diri, mungkinkah ada kesalahan besar bertahun-tahun silam, yang kini sudah tak kuingat lagi, bahkan kuanggap tak pernah terjadi? Sungguh kutelusuri langkahku selama ini, hingga akhirnya kuingat sebuah peristiwa pahit di masa lalu. Segala kesialan yang menimpa anak-anakku bisa jadi berkaitan dengan hal itu, kendati belum kuyakini.

***
Terus terang, aku pernah melakukan hal tak terpuji di masa mudaku. Aku masih kelas II SMA ketika pacarku mengaku hamil. Jadi, kejadiannya lebih dari tiga puluh tahun silam. Tentu aku sangat terperanjat. Aku sempat tak mampu jernih berpikir, hingga terlintas rencana menggugurkan kandungan pacarku. Entahlah, aku mesti bersyukur atau menyesali batalnya niat busuk tersebut.
Sekiranya waktu itu ada yang memaksaku menikahinya, aku tak akan menghindarinya. Namun, ibu pacarku ternyata tak sudi anaknya menjadi istriku, sementara ibuku hanya bisa pasrah. Tak perlu ditanyakan bagaimana reaksi ayahku. Kendati orangtuaku belum pernah bercerai, tapi sudah lama ayahku tidak lagi serumah dengan kami. Ia tinggal bersama istri muda dan anak-anaknya sudah lama. Sementara itu ayah pacarku hanya bisa menuruti kata sang istri. Ia bekerja di tempat yang jauh bersama istri mudanya pula, tapi sesekali masih sempat pulang menemui keluarganya. Aku dan pacarku merupakan potret nyata anak-anak dari keluarga yang berantakan. Kami seakan pergi sejenak dari kenyataan pahit saban berjumpa. Lalu ada kebahagiaan yang tak terkatakan kala kami berdua bisa melakukan apa saja.
Aku menangis tersedu ketika diberitahu bahwa pacarku telah melahirkan anak kami. Bersama sejumlah kawan karibku, aku tengah berlatih basket di sekolahku. Tak akan kuingkari bayi itu merupakan darah dagingku. Namun, aku bukanlah ayahnya yang sah selama ibu anak itu tak pernah kunikahi. Tak bisa kupaksa pacarku yang akhirnya malah putus denganku dan pergi menjauh membawa buah cinta kami. Aku tak mau ambil pusing dan kulanjutkan hidupku tanpa mengingat yang pernah terjadi.
Selama bertahun-tahun aku berkonsentrasi belajar dan bekerja keras hingga memiliki karier cemerlang sebagai pengusaha. Ada Juwita istriku beserta Julian, Novisha, serta Maretta, anak-anakku tercinta yang membuat hidupku serasa lengkap. Begitulah riwayatku sebelum ketiga anakku mengalami rentetan musibah. Firasatku mengatakan ada hal yang mesti kuselesaikan dengan bekas pacarku maupun anak kami. Namun, bagaimana kabar mereka dan di manakah mereka berada kini?

***
Perempuan di depanku mengaku bernama Nirmala. Usianya tiga puluh tujuh. Ialah anak kandungku yang tak pernah tercatat di lembaga apa saja sebagai keturunanku yang sah. Perempuan ayu berwajah masam itu mendatangi ruang kerjaku yang lebih sering kukunjungi sejak Julian tak sadarkan diri. Anehnya, aku langsung mengiyakan ketika sang sekretaris memberitahuku ada yang ingin menemuiku untuk urusan pribadi. Tebersit isyarat di kalbuku bahwa ia bukanlah tamu biasa.
“Maaf, jika kedatangan saya mengusik ketentraman hidup Bapak,” ucap Nirmala seusai memperkenalkan diri.
“Nirmala, saya justru senang sekaligus takjub karena tiba-tiba kau kemari. Apakah gerangan yang membuatmu menemui saya hari ini?” kataku yang masih bingung dengan apa yang terjadi.
Baru saja kuingat kembali kisah silam yang terabaikan. Sehabis itu, menjelmalah kerinduan bagi Nirmala dan perempuan yang melahirkannya, justru ketika anak-anakku dengan Juwita mengalami hal tak menyenangkan. Tiba-tiba orang yang mengaku anakku berada tepat di depan mata.
“Apakah Bapak tidak curiga? Bisa saja saya penipu yang mengaku-aku sebagai putri Bapak,” sahut Nirmala yang mungkin heran melihat reaksiku.
 “Ah, Nirmala! Tidakkah kau tahu, saya sebenarnya sedang merindukan kalian? Kau dan juga ibumu.”
“Kenapa?”
“Saya ingin menebus kesalahan saya yang tak pernah pedulikan kalian selama ini. Saya harap, kau sudi memaafkan bapakmu yang sudah bertindak keterlaluan,” kataku tanpa bisa menahan gejolak di dada. Tentu tak kulupakan pula nasib buruk yang menimpa Julian dan kedua adiknya. Aku berdiri mendekati Nirmala dan memeluknya. Ia menurut belaka tanpa kata.
Belum lama kutuntaskan rindu, mendadak terdengar pintu diketuk, kulepaskan pelukanku dari tubuh Nirmala, dan masuklah perempuan yang sangat kukenal. Juwita datang mengajakku menjenguk Julian. Sekejap aku bagai terperangkap dalam situasi yang tak pernah kuprediksi bisa terjadi. Aku berusaha tetap tenang demi menguasai keadaan.
”Papa? Siapa perempuan yang bersamamu?” tanya Juwita dengan nada agak tinggi. Kulihat Nirmala salah tingkah dan bingung bersikap bagaimana.
”Mama, kumohon kau bersedia sabar mendengarkan kata-kataku,” ujarku seraya membimbingnya agar duduk. Beruntunglah Juwita bersedia. Istriku bukan sosok yang mudah meledak, tapi wajarlah jika bergemuruh hatinya memergoki aku tengah berdua bersama seorang perempuan.
”Mama, sebenarnya sudah lama Papa ingin mengungkapkan hal ini. Papa masih mencari waktu yang tepat, tapi rupanya momentum itu sudah tiba kini.”
”Sudahlah, langsung Papa jelaskan, dia itu siapa? Ingat, kita harus segera ke rumah sakit,” ucap Juwita.
”Baiklah. Perempuan ini namanya Nirmala. Dia anak kandung Papa. Semoga Mama bisa menerimanya.”
”Hah, masak Papa punya anak sedewasa itu?”
”Papa harus bicara panjang lebar soal itu. Tapi untuk saat ini, kumohon Mama tidak bereaksi berlebihan. Kita jadi menjenguk Julian? Ayo, kita berangkat sekarang.”
Syukurlah, istriku mampu bersikap biasa belaka, kendati aku tak tahu kondisi sejati hatinya. Kuajak Nirmala pergi bersama kami menuju rumah sakit, tapi aku memakai mobil yang berbeda dengan istriku. Satu mobil bersama Juwita, ada Maretta yang sudah mulai pulih luka jiwa raganya. Aku kemudian duduk membisu di samping Nirmala.
”Maaf, tadi saya belum sempat mengutarakan maksud saya,” kata Nirmala memecah kesunyian.
“Oh, ya. Jadi, saya bisa membantumu apa?” sahutku.
“Saya mohon Bapak bisa mencarikan pengacara.”
”Hah, pengacara? Siapa yang memerlukannya? Ada kasus hukum apa rupanya?”
”Anak saya, Ryan namanya. Dia ditangkap polisi karena kasus narkoba. Bisakah Bapak membantu saya?”
 ”Hah, kau sudah punya anak, berapa usianya? Soal pengacara, kau tenang saja. Ada pengacara keluarga kami yang bisa saya hubungi saat ini juga.”
”Ryan usianya tujuh belas. Dia sekarang kelas II SMA.”
”Ah, ternyata saya punya cucu yang sudah remaja, ya? Sayang, dia sedang terbelit masalah,” komentarku sendu.
“Bapak tidak ingin tahu kabar tentang Ibu?” tanya Nirmala sambil melirikku.
“Ya, saya sebenarnya ingin menanyakan hal itu. Di mana dia sekarang?”
“Ibu sudah wafat sepuluh tahun silam. Sebetulnya saya sudah tahu siapa bapak saya sejak Ibu masih ada. Tapi kami tak pernah berniat mengganggu kehidupan Bapak. Jika tidak demi Ryan, saya tak akan nekad hari ini menemui Bapak. Saya selalu ingat kata Ibu bahwa bapak saya sebenarnya orang baik. Dan saya percaya itu setelah ketemu Bapak sekarang,” ucap Nirmala terbata-bata, tanpa mampu membendung air matanya yang mengalir. Kuambilkan dia tisu dan kuelus-elus punggung anak perempuan yang baru kujumpai kembali. Bergeming belaka diriku tanpa suara.
Kami sudah sampai di rumah sakit. Kuperkenalkan Nirmala pada Maretta ketika kami berjalan beriringan menuju kamar Julian.
“Nirmala, ini anak bungsu Bapak. Maretta, ini saudaramu,” ujarku pendek.

Di dalam kamar sudah ada Novisha dan suaminya, ada pula istri Julian bersama anak bungsunya. Sebuah kejutan menggembirakan hadir begitu rupa. Sebelum kami masuk ke kamar, Julian sempat membuka matanya. Padahal sudah sekitar dua pekan ia tak sadarkan diri. Dokter  berkata bahwa kondisi kesehatan Julian membaik. Kami menyambutnya dengan rasa syukur dan sukacita. Aku menjadi lelaki paling bahagia hari ini. Julian telah sadar dari tidur panjangnya. Lalu kulihat Novisha kembali bersemangat mengurus bisnisnya. Maretta pun tidak perlu waktu lama melewati masa traumanya dan siap menjadi saksi di pengadilan. Dan yang terakhir, tentu saja kehadiran Nirmala. Kendati ia datang membawa kisah sedih, tapi Tuhan masih berkenan mempertemukan diriku dengan anak tertuaku yang sekian masa terlupakan. Aku berjanji akan meringankan beban hidup Nirmala, walau tak bakal cukup menebus kesalahanku pada dirinya dan ibunya. Kuharap Juwita, Julian, Novisha, dan Maretta pun bersedia menerima Nirmala dengan tangan terbuka, biarpun bisa kuduga, hal itu tak akan mudah bagi mereka.

#Cerpen ini dimuat di Harian Waktu, 17 Maret 2017.

Sabtu, 18 Maret 2017

Ilmu Berfungsi Menemukan

Boleh jadi, ilmu atau sains merupakan salah satu cara Tuhan mencahayai wujud-wujud potensial agar menjadi aktual. Maka ilmu berfungsi menemukan, bukan menciptakan. Tuhan mencipta, manusia menemukan. Sungguh menarik pernyataan Kanjeng Nabi : "Ilmu adalah cahaya".
(Sujiwo Tejo & Dr. M.N. Kamba dalam buku "Tuhan Maha Asyik")

Kamis, 16 Maret 2017

Alam Menjadi Guru

Deepak Chopra mengatakan, ”guru” baik yang berada di alam semesta itu memiliki keteraturan yang dia sebut sebagai the seven spiritual laws of success. Alam yang baik itu bergantung pada tujuh hal yang berasal dari kita: kejernihan pikiran, pemberian yang kita lakukan, hubungan yang harmonis, sebab-akibat (karma), niat utama dan tuntutan diri, pembebasan dari segala urusan masa lalu, serta darma (keinginan menghasilkan karya yang terbaik).
Begitulah pepatah mengatakan, alam terkembang menjadi guru. Kita bisa berguru pada segala yang ada di alam. Jangan kita isolasi anak-anak kita dari alam beserta segala isinya yang kadang baik dan kadang menakutkan ini.
(Rhenald Kasali)


Selasa, 14 Maret 2017

Misi Sastra Tampilkan Ragam Dunia

Misi sastra adalah menampilkan dunia dengan keragaman dan perkembangan di dalamnya. Bukan dunia yang sifatnya menyeluruh karena hal itu pekerjaan yang tidak mungkin dilakukan.
(Octavio Paz - penulis Meksiko)

Senin, 13 Maret 2017

Mereka yang Berubah

"Akhir-akhir ini dia ikut terseret dalam arus perseteruan politik yang membuat sikapnya di media sosial cenderung mencari musuh dan menjauhkan diri dari hangatnya pertemanan." 
Sebenarnya sedang kukenang seseorang belaka ketika kutuliskan kalimat yang menjadi bagian dari cerpen yang baru usai kutuntaskan. Namun, aku menjadi semakin trenyuh mengingat bahwa bukan dia saja orang yang kukenal yang seperti berubah kepribadiannya, setidaknya yang kubaca lewat media sosial. Mereka bukan lagi orang-orang yang kukenal dengan baik sebagaimana dahulu dan membuatku enggan kembali bertemu. Maafkan aku.


Sabtu, 11 Maret 2017

Berbagi Gagasan

Dengan membagi sesuatu, saya tahu bahwa saya tidak sendirian, bahwa banyak orang berbagi gagasan sama dengan saya perihal makna kehidupan ini. 
(Paulo Coelho)

Selasa, 07 Maret 2017

Anugerah Kerendahan Hati

Tuhanku
anugerahilah kami kerendahan hati
untuk senantiasa memohon dan bertanya kepada-Mu
apa yang sesungguhnya kami butuhkan
apa yang murni kami perlukan
apa yang sejati, sejati-sejatinya
kami dambakan.

(Emha Ainun Nadjib dalam "99 untuk Tuhanku")

Tak Lagi Ada Nabi

Tuhanku
apakah sesungguhnya arti kehendak-Mu
dengan tak menurunkan lagi
seorang Nabi pun
untuk zaman yang membutuhkan
lebih banyak Nabi-nabi?

(Emha Ainun Nadjib dalam "99 untuk Tuhanku")

Senin, 06 Maret 2017

Pada Suatu Malam Minggu

Selama beberapa jam pada suatu malam, duduk di tengah jalan beralaskan tikar, belajar bersama dengan banyak orang, hingga mendapatkan pengetahuan dan wawasan baru mengenai sejarah Pakualaman, pengalaman menarik seorang biksu muda, sejarah ajaran Sunda, dan lain sebagainya. Demikian pula bisa mendengarkan sejumlah lagu dalam berbagai genre yang diaransemen secara khas oleh Kiai Kanjeng. Segelas kopisusu dan sebuah arem-arem sudah cukup menemani.

Jumat, 03 Maret 2017

Setiap Peristiwa

Setiap peristiwa bukanlah awal, bukan pula akhir segalanya. Setiap peristiwa bisa merupakan pendahuluan atau akibat dari peristiwa lain.
(Sujiwo Tejo & Dr. M.N. Kamba dalam buku "Tuhan Maha Asyik")