Selama kurun waktu dua minggu, pada bulan April hingga awal Mei 2008 lalu, sempat kusaksikan sejumlah pertunjukan seni yang menarik dan layak menjadi catatan tersendiri. Pentas Teater Tetas bertajuk ‘Republik Anthurium’ karya/sutradara Ags.Arya Dipayana di Gedung Sositet TBY merupakan pertunjukan pertama yang kulihat. Selama dua hari berturut-turut (22-23/4) kelompok teater dari Jakarta itu pentas di Jogja, setelah sebelumnya di Solo pun demikian. Dan selama dua hari itu pula, dengan setia aku selalu hadir. Selain sebagai penghormatanku pada sang sutradara, aku ingin menjalani pengalaman baru sebagai seorang penonton. Untuk itu, di hari pertama aku melihat pertunjukan dari salah satu sisi panggung. Jadi dapat kulihat kondisi para pemain sebelum tampil serta begitu hangatnya kebersamaan segenap pendukung pentas, termasuk kru panggung dan pemusik. Selama pentas jadi lebih kuhargai kerja keras para pemain, bagaimana ngos-ngosannya mereka setelah mengeluarkan banyak energi di atas panggung, kemudian mereka sejenak dapat mengatur nafas dengan tetap berkonsentrasi pada jalannya lakon, dan kembali tampil dengan energi yang tetap terjaga. Tidak sekadar mesti menghafalkan naskah, mereka juga harus memiliki kebugaran fisik yang luar biasa karena banyak koreografi yang mesti mereka tampilkan pula. Sang sutradara-yang sempat tampil hanya berolah gerak/tanpa dialog- kulihat dengan seksama terus-menerus mengikuti anak-anak asuhannya beraksi di sisi panggung yang lain. Perlu berbulan-bulan untuk mempersiapkan pementasan tersebut. Salut untuk kerja keras segenap awak Teater Tetas. Pada hari kedua kusaksikan pertunjukan dari balkon selatan bersama beberapa orang dan penonton lain yang mungkin mengisi 90% kursi yang tersedia di gedung tersebut. Kutemui hal-hal yang berbeda ketika kulihat pertunjukan seperti layaknya penonton biasa dari depan. Ada koreografi menawan yang lebih utuh kunikmati, juga penataan artistik dan cahaya yang minimalis, tapi enak diilihat. Yang jelas ada hikmah yang bisa dipetik dari pentas teater itu.
Minggu malam(27/4) kuikuti acara Bincang-Bincang Sastra di ruang seminar TBY yang menghadirkan pembacaan cerpen dan diskusi karya penulis Isti Wuryani. Yang menarik adalah saat acara pembacaan cerpen. Setelah penulisnya membaca cerpen pertama dengan cara konvensional, pada cerpen kedua seorang perupa bernama Bung Cokro tampil berbeda. Ia menafsirkan cerpen dengan membuat sebuah lukisan, dengan didampingi seorang model perempuan ayu bersahaja (yang katanya diambil spontan dari penonton) dan diiringi petikan gitar akustik. Seorang aktor (Dinar Setyawan) kemudian bermonolog menampilkan cerpen ketiga ‘Perempuan Bertato Naga’ dengan atraktif, interaktif, dan sangat menghibur. Salut untuk Isti Wuryani dan segenap pendukung acara malam itu. Selanjutnya Joni Ariadinata, sastrawan yang juga menjadi redaktur majalah sastra Horison mengulas karya-karya Isti diikuti acara dialog interaktif yang menambah wawasan berpikirku. Pernah menjadi niatku untuk menyapa Bung Joni jika bisa bertemu dengannya. Apalagi sesudah tempo hari cerpenku pernah dimuat di Horison. Maka seusai acara kusalami dia sembari memperkenalkan diri. Ternyata Bung Joni cukup mengingat sosokku yang fotonya terpasang di majalah yang ada cerpenku itu.
“Lho, kok kamu kelihatan beda ya? Aku pikir kamu itu orang PKS,” kata Bung Joni. Aku tersenyum dengan menjawab bahwa aku bukan seperti yang dipikirnya. Memang di foto aku tampil dengan potongan rambut cepak, jenggot tipis, dan kemeja yang dikancingkan sampai atas, ya pantas saja dikira aktivis partai Islam itu. Sementara malam itu rambutku rada berantakan, tanpa jenggot, serta berjaket hitam dan kaos saja.
“Ternyata orang PKS bisa bikin cerpen bagus juga ya?” canda Bung Joni sebelum kami berpisah. Yah, begitulah jika sudah menjadi penulis kawakan, dengan melihat foto saja sudah mengimajinasikan sebuah cerita sendiri. Sayangnya aku lupa minta nomor ponselnya karena bisa jadi ada seribu pertanyaan ingin kuajukan padanya.
Pertunjukan seni berikutnya adalah Pertunjukan Paduan Suara ‘Balada Pendidikan Nasional’ karya Ki Priyo Dwiarso di Balai Persatuan Tamansiswa Yogyakarta pada hari Sabtu, 3 Mei 2008. Acara tersebut dalam rangka memeringati Hari Pendidikan Nasional dan mengenang Ki Hajar Dewantara, tokoh pendidikan nasional, pendiri Tamansiswa, yang ternyata juga seorang seniman sejati. Kebetulan ada sejumlah orang yang kukenal terlibat dalam acara tersebut, antara lain mbakku yang menjadi salah satu pengiring lagu dan beberapa teman mudaku yang tampil menyanyi solo. Tiga kelompok paduan suara tampil memukau, demikian pula beberapa solis muda maupun yang dewasa. Dua ibu jari layak diacungkan pada Cindy yang begitu percaya diri, suaranya jernih, nada tingginya sempurna, penjiwaannya bagus, dan tampil cantik dengan kebaya hijaunya. Tyas dan Khaleydia, dua penyanyi muda lainnya juga tampil bagus, tapi masih di bawah Cindy yang mampu menunjukkan kedewasaannya malam itu.
Sumber foto : http://matanesia.net (karya Budi'Bobo'Irawan)