Kamis, 29 Mei 2008

Bersua Teman Lama

(Cerpen 100 kata dalam 2 episode yang terinspirasi dari pengalaman seorang teman).

(1)

Handy penggemar durian dan ingin sekali memakannya malam itu. Sudah larut, dia tetap keluar mencarinya. Di tempat biasanya ada penjual durian, kebetulan ada yang bisa ditanyainya.

“Maaf, Mbak. Tahu nggak, jam segini masih ada yang jual durian sebelah mana?”

“Walah Mas, jam segini ya udah pada tutup to? Tadi di sebelah situ ya ada yang jual,” sahut orang itu kemayu. Ternyata dia seorang waria yang sedang menjajakan dirinya.

“Eh, sebentar. Sepertinya aku kok kenal kamu? Kamu Surono to?”

“Walah, aku udah kayak gini, kok kamu masih kenal aku, Han?”

Handy ternyata malah bersua teman lamanya yang telah menjelma menjadi Rina.

22 Mei 2008

(2)

Sejak masih berteman di SD dulu, Handy sudah melihat Surono memang rada mirip anak perempuan. Tapi tetap saja mengejutkan menemuinya sebagai waria.

“Han, Randu apa kabar? Masih ganteng kan?” tanya Surono alias Rina.

“Walah Ron, dari bocah kamu udah suka sama Randu? Dia udah punya dua anak sekarang. Ya, masih gantenglah.”

“Kalo aku ke rumahnya gimana ya? Aku kangen ketemu dia.”

“Heh, kamu mau ke rumah Randu dengan dandanan kayak gini?”

“Ya, nggaklah. Aku bakal pake baju cowok ke tempat Randu.”

“Btw, ada nggak teman SD kita yang pernah pake kamu?”

“Haha, ada tuh.”

“Oh ya? Siapa?”

“Rahasia aja deh…”

28 Mei 2008

Kamis, 22 Mei 2008

Acara 25 Mei 2008 : BBS di TBY dan Nonton Film Ki Hadjar di Tamansiswa Yogyakarta

Ada dua acara menarik pada hari Minggu malam, 25 Mei 2008, di Yogyakarta.

Setiap Minggu malam pekan ke-4 setiap bulannya, di ruang seminar Taman Budaya Yogyakarta (TBY) diadakan acara Bincang-bincang Sastra (BBS). Untuk bulan ini, BBS edisi ke-31 akan berlangsung pada tanggal 25 Mei 2008, mulai pukul 19.30, menghadirkan dua penyair dari Semarang, Beno Siang Pamungkas dan Timur Sinar Suprabana. Mereka akan menampilkan karya-karya mereka dalam acara peluncuran antologi dan diskusi bedah buku oleh Hamdy Salad, sastrawan yang juga seorang dosen. Acara ini diselenggarakan oleh Studio Pertunjukan Sastra (SPS), TBY, didukung oleh KR, FKIP UST Yogyakarta, serta penerbit Navila dan Ombak. Hari Leo AER (ketua SPS) mengundang penyair, cerpenis, novelis, kritikus sastra Yogyakarta (dan sekitarnya) untuk tampil, hadir, dan menghidupkan forum bulanan ini.

Aku baru beberapa kali ikut menghadiri acara BBS, antara lain saat Maret dan April silam menghadirkan penulis perempuan Herlinatiens dan isti Wuryani. Sebelumnya aku pernah datang saat ada dramatic reading oleh Kak Wess Ibnoe Say dan peluncuran antologi puisi humor Mustofa W.Hasyim tahun lalu. Selalu ada pelajaran baru yang kubawa pulang setelah mengikuti acara seperti itu. Jadi, silakan para penggemar sastra datang ke acara BBS selanjutnya jika ingin berpartisipasi dan berapresiasi.

Satu acara lagi adalah Nonton Bareng Film Ki Hadjar di lingkungan pendapa Tamansiswa, Yogyakarta. Acara yang rencananya dimulai pukul 19.00 ini diselenggarakan oleh Komunitas Pinggir Pendapa, sebuah komunitas yang dimunculkan untuk merintis penggalangan alumni dan juga pencinta Tamansiswa, yang dalam kegiatannya mengarah ke berbagai kegiatan pelestarian nilai-nilai luhur dan ajaran Ki Hadjar Dewantara. Acara ini gratis dan terbuka untuk alumni, orang tua/wali, dan semua orang yang ingin memahami ajaran-ajaran Bapak Pendidikan Nasional kita. Sedikit informasi saja, pendapa Tamansiswa di masa silam ternyata pernah juga menjadi tempat proses berkreatif beberapa seniman kondang negeri ini, seperti : Emha Ainun Nadjib, Ebiet G.Ade, dan Djaduk Ferianto. Semoga Minggu malam nanti tidak hujan, karena Selasa malam (21/5) hujan mulai turun lagi di Jogja. Terima kasih atas perhatiannya.

Minggu, 18 Mei 2008

Nonton "Vertigong - Orang Jawa Main Jazz"


Sejak membaca beritanya di KR, mendengarkan iklannya di radio, dan ditambah lagi membaca ulasannya di Kompas, jadi kian berminatlah aku menyaksikan pergelaran musik Kuaetnika berjudul “Vertigong - Orang Jawa Main Jazz” di Gedung Sositet TBY. Akhirnya Rabu malam (14/5) jadilah aku mendatangi tempat pertunjukan, sekitar setengah jam sebelum show time. Cukup mengejutkan, setibaku di sana ternyata kutemui antrian panjang para penonton yang akan membeli tiket. Langsung saja aku ikut antri, tapi baru sekian menit antrian bubar. Rupanya panitia kehabisan tiket. Sayangnya tidak ada informasi dari panitia, sehingga sejumlah penonton akhirnya termakan rayuan calo, termasuk aku yang membeli tiket dengan harga yang lebih mahal tentunya. Padahal, tak lama kemudian panitia ternyata masih menjual tiket lagi di di meja yang berbeda. Yah sudahlah, semoga di kesempatan berikutnya panitia bisa lebih baik melayani penonton. Yang terang sejak sebelum pertunjukan, sudah terlihat besarnya animo penonton Jogja terhadap grup musik yang dikomandani oleh Djaduk Ferianto itu. Selanjutnya aku duduk lesehan beberapa meter di depan panggung, karena tidak kebagian jatah tiket berkursi. Ada beberapa orang di sekitarku, termasuk para fotografer. Yang unik, sebelumnya aku pernah lesehan di tempat itu saat nonton konser “World Music” yang menampilkan Nera(Gilang Ramadhan dkk), simakDialog(Tohpati dkk), dan Kuaetnika juga pada tahun 2006 silam. Perbedaannya, sekarang karpetnya masih bagus (karena baru diganti tahun lalu), sementara dulu tipis banget, rasanya seperti tak duduk di atas karpet saja.

Pertunjukan Vertigong dimulai 15 menit setelah jam 8 malam. Oh ya, semua nomor yang dimainkan malam itu adalah karya Purwanto, salah satu pendiri Kuaetnika yang malam itu banyak memainkan bonang. Lagu pertama dibawakan oleh empat pemain band dan tiga pemain gamelan, yang lalu bermain sendiri di lagu selanjutnya. Ternyata gamelan Jawa bisa dimainkan dengan cita rasa jazz, yang dinikmatinya bisa dengan santai. Ada saatnya enam orang pemain hanya memainkan sebuah gambang. Menurut Purwanto, gambang adalah salah satu elemen gamelan yang tidak penting, tapi harus selalu ada. Nah, di tangan enam orang pemain itu ternyata gambang bisa tampil mandiri dan seolah bicara sendiri, jadi bisa penting juga dia. Asyik sekali melihat kekompakan mereka mengeksplorasi sebuah alat musik saja. Demikian pula ketika seluruh pemain yang berjumlah sembilan orang ber-accapella yang kocak habis, tapi tetap ada unsur keindahannya. Jelas terlihat bahwa seluruh pemain memiliki kualitas bermusik yang apik sekaligus humoris. Kru panggung yang sesekali nongol pun selalu bikin ketawa. Djaduk Ferianto, sebagai bintang tamu menambah segar suasana ketika mengeluarkan saksofon. Katanya tidak afdol main jazz, kok tidak ada alat musik yang satu itu. Ternyata di ujung saksofon dia mengeluarkan serompet, alat musik tiup tradisional yang bentuknya mungil dan suaranya melengking. Seraya memainkan serompet itu, Djaduk berimprovisasi dengan suaranya yang khas. Trie Utami kemudian menimpalinya, hingga mereka berdua beradu improvisasi (vokal dan dialog lucu) dengan sangat mengagumkan.

Menurut Mbak I’ie, salah satu ciri khas musik jazz adalah improvisasi. Indonesia pantas dijuluki sebagai negara jazz, karena para pemimpinnya suka sekali berimprovisasi. Jika improvisasi Trie Utami bersama Kuaetnika mampu menghibur dan menyegarkan penonton, improvisasi pemimpin kita sepertinya cenderung hanya menyedihkan dan menyengsarakan rakyat. Kembali ke Vertigong, Mbak I’ie tampil lagi bersama band, lalu bervokal diiringi tepuk tangan dan suara para personel yang meninggalkan alat musiknya lagi. Di nomor ini para penyanyi diajak bertepuk tangan untuk mengiringi lagu yang dibawakan Trie Utami dan Kuaetnika. Christopher Abimanyu, penyanyi seriosa terkenal Indonesia juga sempat membawakan sebuah tembang Jawa dengan gaya seriosanya, diiringi gamelan yang tetap ada nuansa jazz-nya. Vertigong merupakan judul lagu terakhir malam itu. Intinya, malam itu pertunjukan musiknya sangat menarik dan seru. Penontonnya pun beragam. Ada anak mudanya, ada orang tuanya, ada yang hadir sekeluarga (bahkan membawa anaknya yang masih bayi), dan ada pula beberapa orang asing yang kulihat sangat menikmati pertunjukan. Semoga bakal ada pertunjukan seni berikutnya yang menarik lagi di Jogja. Salam dan bahagia.

Sumber foto : www.kapanlagi.com

Rabu, 14 Mei 2008

Sejumlah Pertunjukan Menarik



Selama kurun waktu dua minggu, pada bulan April hingga awal Mei 2008 lalu, sempat kusaksikan sejumlah pertunjukan seni yang menarik dan layak menjadi catatan tersendiri. Pentas Teater Tetas bertajuk ‘Republik Anthurium’ karya/sutradara Ags.Arya Dipayana di Gedung Sositet TBY merupakan pertunjukan pertama yang kulihat. Selama dua hari berturut-turut (22-23/4) kelompok teater dari Jakarta itu pentas di Jogja, setelah sebelumnya di Solo pun demikian. Dan selama dua hari itu pula, dengan setia aku selalu hadir. Selain sebagai penghormatanku pada sang sutradara, aku ingin menjalani pengalaman baru sebagai seorang penonton. Untuk itu, di hari pertama aku melihat pertunjukan dari salah satu sisi panggung. Jadi dapat kulihat kondisi para pemain sebelum tampil serta begitu hangatnya kebersamaan segenap pendukung pentas, termasuk kru panggung dan pemusik. Selama pentas jadi lebih kuhargai kerja keras para pemain, bagaimana ngos-ngosannya mereka setelah mengeluarkan banyak energi di atas panggung, kemudian mereka sejenak dapat mengatur nafas dengan tetap berkonsentrasi pada jalannya lakon, dan kembali tampil dengan energi yang tetap terjaga. Tidak sekadar mesti menghafalkan naskah, mereka juga harus memiliki kebugaran fisik yang luar biasa karena banyak koreografi yang mesti mereka tampilkan pula. Sang sutradara-yang sempat tampil hanya berolah gerak/tanpa dialog- kulihat dengan seksama terus-menerus mengikuti anak-anak asuhannya beraksi di sisi panggung yang lain. Perlu berbulan-bulan untuk mempersiapkan pementasan tersebut. Salut untuk kerja keras segenap awak Teater Tetas. Pada hari kedua kusaksikan pertunjukan dari balkon selatan bersama beberapa orang dan penonton lain yang mungkin mengisi 90% kursi yang tersedia di gedung tersebut. Kutemui hal-hal yang berbeda ketika kulihat pertunjukan seperti layaknya penonton biasa dari depan. Ada koreografi menawan yang lebih utuh kunikmati, juga penataan artistik dan cahaya yang minimalis, tapi enak diilihat. Yang jelas ada hikmah yang bisa dipetik dari pentas teater itu.
Minggu malam(27/4) kuikuti acara Bincang-Bincang Sastra di ruang seminar TBY yang menghadirkan pembacaan cerpen dan diskusi karya penulis Isti Wuryani. Yang menarik adalah saat acara pembacaan cerpen. Setelah penulisnya membaca cerpen pertama dengan cara konvensional, pada cerpen kedua seorang perupa bernama Bung Cokro tampil berbeda. Ia menafsirkan cerpen dengan membuat sebuah lukisan, dengan didampingi seorang model perempuan ayu bersahaja (yang katanya diambil spontan dari penonton) dan diiringi petikan gitar akustik. Seorang aktor (Dinar Setyawan) kemudian bermonolog menampilkan cerpen ketiga ‘Perempuan Bertato Naga’ dengan atraktif, interaktif, dan sangat menghibur. Salut untuk Isti Wuryani dan segenap pendukung acara malam itu. Selanjutnya Joni Ariadinata, sastrawan yang juga menjadi redaktur majalah sastra Horison mengulas karya-karya Isti diikuti acara dialog interaktif yang menambah wawasan berpikirku. Pernah menjadi niatku untuk menyapa Bung Joni jika bisa bertemu dengannya. Apalagi sesudah tempo hari cerpenku pernah dimuat di Horison. Maka seusai acara kusalami dia sembari memperkenalkan diri. Ternyata Bung Joni cukup mengingat sosokku yang fotonya terpasang di majalah yang ada cerpenku itu.
“Lho, kok kamu kelihatan beda ya? Aku pikir kamu itu orang PKS,” kata Bung Joni. Aku tersenyum dengan menjawab bahwa aku bukan seperti yang dipikirnya. Memang di foto aku tampil dengan potongan rambut cepak, jenggot tipis, dan kemeja yang dikancingkan sampai atas, ya pantas saja dikira aktivis partai Islam itu. Sementara malam itu rambutku rada berantakan, tanpa jenggot, serta berjaket hitam dan kaos saja.
“Ternyata orang PKS bisa bikin cerpen bagus juga ya?” canda Bung Joni sebelum kami berpisah. Yah, begitulah jika sudah menjadi penulis kawakan, dengan melihat foto saja sudah mengimajinasikan sebuah cerita sendiri. Sayangnya aku lupa minta nomor ponselnya karena bisa jadi ada seribu pertanyaan ingin kuajukan padanya.
Pertunjukan seni berikutnya adalah Pertunjukan Paduan Suara ‘Balada Pendidikan Nasional’ karya Ki Priyo Dwiarso di Balai Persatuan Tamansiswa Yogyakarta pada hari Sabtu, 3 Mei 2008. Acara tersebut dalam rangka memeringati Hari Pendidikan Nasional dan mengenang Ki Hajar Dewantara, tokoh pendidikan nasional, pendiri Tamansiswa, yang ternyata juga seorang seniman sejati. Kebetulan ada sejumlah orang yang kukenal terlibat dalam acara tersebut, antara lain mbakku yang menjadi salah satu pengiring lagu dan beberapa teman mudaku yang tampil menyanyi solo. Tiga kelompok paduan suara tampil memukau, demikian pula beberapa solis muda maupun yang dewasa. Dua ibu jari layak diacungkan pada Cindy yang begitu percaya diri, suaranya jernih, nada tingginya sempurna, penjiwaannya bagus, dan tampil cantik dengan kebaya hijaunya. Tyas dan Khaleydia, dua penyanyi muda lainnya juga tampil bagus, tapi masih di bawah Cindy yang mampu menunjukkan kedewasaannya malam itu.
Sumber foto : http://matanesia.net (karya Budi'Bobo'Irawan)

Salam Pembuka


Tulisan ini sekadar sebuah salam pembuka atas terciptanya sebuah blog anyar. Semoga lain waktu ada hal-hal apik yang bisa disampaikan lewat wahana ini. Selamat berjumpa dengan saya.
Wassalam,

Luhur Satya Pambudi