Sesiapa yang pernah melihat keluarga Pandu agaknya sepakat, keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan seorang anak perempuan tersebut merupakan keluarga harmonis. Pandu adalah lelaki berwajah tampan dengan pekerjaan yang mampu membuatnya membeli sebuah rumah asri dan mobil bagus. Istri Pandu yang bernama Saras adalah perempuan ayu yang luwes. Ia sempat bekerja di tempat usaha kakaknya, tapi belakangan Saras memilih berkonsentrasi menjadi ibu rumah tangga, seraya mencoba berbisnis sendiri di rumah. Putri tunggal mereka, Mayra, yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar memiliki sejumlah prestasi. Ia menjadi juara kelas, pandai melukis, pintar bernyanyi, dan dikenal sebagai sosok penyayang di mata tetangganya.
Senyuman senantiasa tercurah dari orang-orang jika berjumpa dengan mereka. Seakan kebahagiaan sudah berkawan karib dengan Pandu beserta istri dan anaknya. Selayaknya jua andaikata banyak yang ingin merasakan keluarganya sempurna laksana mereka. Namun apa yang terlihat secara kasat mata ternyata tak selalu benar selamanya.
Pada sebuah malam, terdengarlah tangisan dan jeritan histeris seorang perempuan. Tetangga paling dekat di sekitar rumah Pandu bergegas keluar mencari asal suara. Ternyata itu suara Mayra! Apakah gerangan yang terjadi? Bu Joko, Bu Wirya, Pak Wirya, dan Andra bergegas menuju tempat tinggal keluarga Pandu. Sebuah prahara rupanya telah singgah di rumah tangga Pandu.
“Lho, ada apa ini?” tanya Bu Joko panik.
Pintu depan kebetulan terbuka dan mereka pun memasuki rumah Pandu. Di dalam rumah, tampaklah Mayra memeluk ibunya yang terkulai lemah di lantai. Sementara Pandu berdiri terpaku dengan napas terengah-engah, tak jauh dari situ.
“Tolong mama saya, Bude. Papa sudah jahat pada Mama!” teriak Mayra menuding ayahnya. Pak Wirya mengajak Pandu ke luar ruangan, sementara Bu Joko, Bu Wirya, dan Andra mengangkat tubuh Saras yang ternyata pingsan ke atas tempat tidur.
“Nak Pandu, apa yang sudah terjadi tadi?” tanya Pak Wirya di serambi rumah Pandu.
“Maaf, Pak Wirya. Ini urusan internal rumah tangga saya. Bapak tak usah turut campur!” sahut Pandu dengan raut wajah tegang dan tetap dalam posisi berdiri.
“Sebaiknya kamu duduk dulu, Nak Pandu. Bukannya kami turut campur, tapi siapa tahu kami bisa membantu sesuatu? Ini air putih diminum dulu, supaya kamu tenang.”
Pandu bersedia duduk dan meminum air putih yang dibawakan Andra, anak Pak Wirya yang disuruh ibunya keluar. Sekian menit pun berlalu dalam keheningan. Seraya mengatur napasnya, Pandu yang mulai tenang kembali berucap,
“Hmm, maukah Pak Wirya melihat kondisi istri saya? Katakan padanya, saya mengkhawatirkannya.”
“Baiklah. Andra, tolong temani Mas Pandu, ya.”
Pak Wirya berjalan memasuki kamar. Dilihatnya Saras yang wajahnya terlihat pucat sudah dalam keadaan sadar di atas dipan. Sementara Mayra sedang menceritakan apa yang terjadi kepada ibu-ibu tetangga yang biasa dipanggilnya dengan ’Bude’.
“Mama sudah tahu bahwa Papa selingkuh. Tapi, Papa tidak terima dibilang seperti itu. Dia marah dan menggampar Mama sampai jatuh lemas. Bude tahu kan, mama saya punya penyakit? Huh, Papa jahat sekali! Tega dia berbuat begitu pada istrinya, pada ibu anaknya sendiri!” tukas Mayra emosional.
Saras menangis melihat kemarahan anaknya, sementara Bu Joko dan Bu Wirya mencoba menenangkan Mayra, kendati berkaca-kaca pula mata mereka. Pak Wirya yang berdiri di dekat pintu menggeleng-gelengkan kepala, menghela napas seraya berzikir agar bisa lebih menyabarkan dirinya. Tak lama berselang, Pak Wirya kembali menemui Pandu yang berada di luar rumah.
“Nak Pandu, istrimu sudah sadar. Jika kondisimu tenang, tak ada salahnya menemuinya sekarang,” ujar Pak Wirya.
“Terima kasih, Pak. Mungkin lebih baik saya pergi dulu. Saya masih perlu waktu agar bisa menenangkan diri,” sahut Pandu yang segera beranjak menuju mobilnya dan membawanya pergi.
Pagi hari berikutnya, mobil Pandu telah terlihat lagi berada di depan rumahnya. Barangkali perdamaian sudah terjadi dan kerukunan kembali bersemi. Tetangga terdekat mereka, seperti keluarga Pak Wirya maupun Bu Joko merasa lega mengetahui kondisi rumah tangga Pandu yang agaknya harmonis kembali. Kendati demikian, mereka masih belum yakin, mengingat gonjang-ganjing keluarga tersebut -menurut cerita Mayra- berpangkal dari perselingkuhan Pandu. Sesuatu yang penting kemudian terjadi. Memang tiada kehebohan seperti tempo hari. Pandu serta merta pergi begitu saja pada sebuah malam. Suara mobilnya terdengar kencang melaju meninggalkan tempat tinggalnya.
“Mas Pandu sudah pergi, Bu. Kami akan bercerai secepatnya,” sahut Saras ketika esok paginya ditanya Bu Wirya.
“Apa kalian sudah pikir matang rencana itu? Bagaimana dengan masa depan Mayra? Kasihan dia, jika orangtuanya mesti berpisah.”
“Mas Pandu sudah tidak mencintai saya. Lagi pula saya sudah telanjur kecewa dengan sikapnya yang mendua. Dan percayalah, Mayra akan baik-baik saja bersama saya.”
***
Keluarga harmonis tinggal kenangan bagi Pandu, Saras, dan Mayra. Tanpa suaminya, Saras mesti menanggung sendiri biaya kehidupannya bersama putrinya. Apalagi kedua orangtuanya telah tiada. Biasanya Saras menjual kain dan perhiasan pada ibu-ibu tetangga maupun temannya arisan sebagai bisnisnya selama ini. Tapi terjadinya krisis ekonomi di masyarakat membuat laju bisnisnya terhambat jalannya.
Terpaksalah Saras meminjam uang pada tetangga dan teman-temannya guna membayar kebutuhan hidup kesehariannya. Proses perceraiannya dengan Pandu sendiri telah dimulai. Jika dikabulkan, tentu Saras akan mendapatkan harta gono-gini dari harta bersamanya dengan Pandu. Ia juga menuntut ayah Mayra membiayai keperluan hidup anak mereka satu-satunya. Namun proses yang dijalaninya ternyata tidak secepat harapannya. Maka Saras semakin menjadi-jadi dalam berhutang. Satu kesalahannya adalah tidak mengubah gaya hidupnya yang selama ini terbilang mewah. Padahal kakaknya semata wayang pun telah cukup membantu biaya hidupnya selama ini.
“Dulu, saat masih ada Pandu, wajarlah kalau gaya hidupnya seperti itu. Tapi sekarang, Saras sendiri tak punya pekerjaan, kok gayanya masih seperti orang kaya, ya?” keluh Bu Joko kepada Bu Wirya.
“Sebetulnya saya pernah mengimbau Nak Saras tentang hal itu, saat dia pinjam uang. Tapi, semua itu kembali pada yang menjalaninya, kan? Oh ya, apa Bu Joko meminjamkan uang pada Nak Saras juga?”
“Terus terang, saya tak sanggup membantunya. Untuk membiayai hidup anak-anak saya saja sudah pas-pasan.”
“Sayang ya, padahal dulu mereka keluarga paling harmonis di lingkungan ini dan menjadi kesayangan kita semua. Sekarang kok begitu nasibnya?” ujar Bu Wirya prihatin.
***
Ketika hutangnya terus bertambah dan bantuan dari saudaranya tak lagi mencukupi, Saras memutuskan menjual rumah yang ditinggalinya selama ini. Kebetulan, rumah itu sudah diatasnamakan Saras sejak semula. Bukan atas nama Pandu, lelaki yang pernah mencintainya dahulu, tapi telah mencampakkannya kini.
“Tolong ya, ibu-ibu. Kalau ada teman atau saudaranya yang mau membeli rumah saya, silakan segera menghubungi saya. Harganya berkisar seratus lima puluh juta rupiah dan jelas bisa dinegosiasikan,” pesan Saras di depan arisan ibu-ibu.
Tak berselang lama, berdatanganlah calon pembeli rumah Saras. Sayangnya, ia begitu teguh pendirian pada angka yang ditetapkannya. Memang berat baginya menurunkan harga karena hutangnya yang menggunung harus dilunasi segera. Terakhir, ada calon pembeli yang menawarkan harga seratus dua puluh lima juta rupiah, Saras tetap bergeming dan enggan melepasnya.
“Pokoknya, Mama baru mau melepas rumah kita, kalau ada yang membelinya minimal seratus empat puluh juta,” tegas Saras di depan putrinya.
“Ma, daripada rumah kita tidak laku, kenapa tidak segera dilepas saja, sih? Kita itu sedang perlu banyak uang, tidak hanya demi membayar hutang Mama, tapi juga membiayai keseharian kita. Dan buat kita, angka seratus dua puluh lima juta itu bukan angka yang kecil, kan?” Mayra begitu menyayangkan sikap ibunya.
“Mama masih yakin ada yang mau membeli rumah kita dengan harga yang Mama tetapkan. Tunggulah sebentar lagi, May.”
Ternyata sepekan sesudah Saras menolak calon pembeli terakhirnya, gempa yang begitu dahsyat melanda kota tempat tinggalnya. Kepanikan melanda semua orang pada hari itu. Korban jiwa berjatuhan dan banyak bangunan mengalami kerusakan, bahkan hancur berantakan. Rumah Saras termasuk kategori rusak berat, kendati masih beruntung karena belum sampai ambruk. Tapi Saras dan Mayra tidak berani kembali menempati rumah yang menjadi tak layak huni tersebut. Mereka pun mengungsi dan memilih menumpang di rumah kakak Saras.
Sementara itu, proses perceraian Saras dan Pandu telah sampai pada putusan hakim. Mereka akhirnya resmi berpisah. Saras mendapatkan haknya atas harta gono-gini. Mayra ditetapkan tinggal bersama ayahnya. Saras lantas menghilang dari kotanya demi menghindari orang-orang yang hendak menagih hutangnya. Hidupnya pun dilanda kecemasan tak berkesudahan. Sekiranya waktu itu Saras jadi menjual rumahnya sepekan sebelum gempa, barangkali ia masih dapat hidup lebih tenang, kendati tanpa Pandu dan Mayra lagi bersamanya.
TAMAT
# Cerpen ini pernah dimuat di Bangka Pos Minggu, 8 Februari 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar