Tidak
semestinya lelaki itu mengeluh sekiranya hingga hari ini namanya tidak terkenal
dan figurnya pun nyaris tak dikenal ketika berada dalam keramaian. Bukankah hal
itu memang kehendaknya sendiri? Bahkan secara terus terang pernah dia ungkapkan
kepada seorang gadis yang tengah dekat dengannya sekian tahun lalu.
“Aku tidak mau jadi orang terkenal,”
ucap lelaki itu kala bercengkrama berdua dengan gadis bermata cemerlang pujaannya.
“Lho, kenapa tidak mau? Bukankah
terkenal itu menyenangkan? Dikagumi banyak orang dan mungkin juga punya banyak
uang?” tanya sang gadis.
“Mendapat perhatian banyak orang itu tidak selamanya menyenangkan.”
“Iya juga, sih. Perhatian orang lain
terkadang mengusik hidup kita.”
“Nah, itulah alasanku. Apalagi pada
era media sosial belakangan ini, terdapat fenomena yang menurutku dahulu tidak
ada. Seingatku, pada masa lalu ketika ada orang terkenal, maka dia hanya
memiliki penggemar. Orang yang tidak suka, ya bersikap biasa dan tak peduli
saja. Para penggemar lantas sering membentuk komunitas sebagai wujud kesukaan
mereka kepada sang idola. Tapi, lihat saja kini. Para pembenci pun merasa
penting untuk memiliki eksistensi.”
“Yah, risiko menjadi orang terkenal
sekarang memang harus siap memiliki pencinta dan sekaligus pembenci, Bung.”
“Itulah yang membuatku enggan, maka
lebih baik aku menjadi orang biasa. Barangkali hanya sedikit pula temanku, tapi
aku tak perlu merasa punya musuh.”
Lelaki itu belum mengerti bahwa gadis
yang diajaknya bicara sebenarnya memiliki kedua orang tua yang dikenal publik.
Ibunya adalah pakar pendidikan anak yang pendapatnya sering dikutip banyak
orang, sedangkan ayahnya waktu itu merupakan pejabat yang dekat dengan menteri
yang akhirnya menjadi wakil presiden.
Satu
dekade telah berlalu. Lelaki itu masih tetap menjadi orang biasa. Biarpun
puluhan karya tulisnya telah dimuat di sejumlah media cetak maupun daring, tapi
namanya tetap saja tidak kondang. Padahal dia kerap pula menghadiri sejumlah acara
literasi, sastra, maupun beraneka rupa kesenian yang begitu kerap digelar di
kotanya. Hanya sesekali dia justru menyapa orang-orang kondang yang menjadi
kawannya di media sosial.
Oh
ya, ada seorang pemuda yang dahulu dikenalnya baru mulai merintis kariernya di
dunia kepenulisan. Si pemuda yang ramah kini telah menjadi penulis tenar dan
memiliki banyak penggemar. Belum lama ini, lelaki itu dan si penulis tenar
secara tak sengaja bertemu di gedung bioskop. Ternyata si pemuda sudah
melupakannya sama sekali.
Yogyakarta, 6 September 2019
#Cerpen ini pernah dimuat di Kedaulatan Rakyat, 1 Desember 2019.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar