Kendati akhirnya memberikan dukungan moral spiritual, tapi pada
awalnya Hening tak setuju dengan apa yang dilakukan Wira, suaminya, kala ia
mulai memimpin sebuah komunitas tertentu. Kelompok tersebut beberapa kali saban
minggunya berkeliling kota -terutama pada akhir pekan- untuk melakukan
pemberantasan tindakan yang dianggap maksiat. Hening jelas tidak menyetujui
terjadinya kemaksiatan, tapi cara kekerasan yang dilakukan kelompok suaminya
selalu menjadikannya miris. Ia tidak tega melihat dokumentasi kegiatan kelompok
tersebut lewat rekaman video dan foto yang dibawa Wira pulang. Pernah
disaksikannya adegan seorang pedagang minuman keras yang wajahnya bercucuran
darah dengan tangan terikat, setelah dihajar habis-habisan oleh anak buah
suaminya. Ada pula gambar
sejumlah lelaki hidung belang yang ditampar dan ditendangi anggota kelompok
tersebut. Namun, Wira selalu berusaha meyakinkan Hening bahwa tindakannya sudah
benar dan tujuannya mulia, yaitu mencegah terjadinya ketidaktertiban dalam
masyarakat.
“Bukankah kewajiban kita sebagai umat beragama untuk
melakukan hal itu? Kita harus selalu mengajak saudara-saudara kita menuju
kebaikan dan mencegah mereka melakukan keburukan” ujar Wira.
“Tapi, apa tidak bisa dengan
cara lainnya toh, Mas? Aku ngeri melihat kalian menghajar orang-orang itu,”
sahut Hening.
“Adakah cara yang lebih baik
daripada yang kami lakukan? Coba
sebutkan, andai kau memang tahu.”
“Entahlah. Bukankah Mas Wira jauh lebih pintar
ketimbang aku?”
“Aku tahu, para pendidik dan
pemuka agama sudah berusaha dengan cara mereka, dengan nasihat berupa
kata-kata. Tapi, tentu saja itu belum cukup. Nyatanya kita lihat kemaksiatan
seperti perjudian, orang mabuk, atau prostitusi masih terus terjadi di berbagai
penjuru kota ini. Sementara itu, aparat penegak hukum, maaf saja, tidak bisa
diharapkan mampu menegakkan peraturan dengan konsisten. Jadi, kita mesti
langsung bergerak sendiri, tidak bisa diam saja.”
“Akan kucoba memahami apa pun
yang kau lakukan, Mas.”
Hening mengerti, suaminya
memiliki niat baik. Ia berharap belaka, apa yang dilakukan suaminya tidak salah
dan memang benar ada manfaatnya. Maka ia rela belaka, hampir saban malam
ditinggal Wira melakukan tugas mulianya. Jika tidak mendatangi tempat-tempat maksiat,
maka waktu digunakan suaminya untuk rapat bersama komunitasnya membahas
berbagai rencana dan melakukan langkah nyata. Bukan sebatas itu risiko yang
mesti ditanggung Hening. Mereka yang kepentingannya terganggu dengan gerakan
pimpinan Wira, ada yang kemudian memberikan teror terhadap Wira dan
keluarganya. Pernah sebuah bom molotov menghancurkan pot-pot tanaman di halaman
rumah Wira. Di waktu lain, ada lagi ancaman yang diterimanya dalam bentuk
berbeda, seperti telepon gelap atau surat kaleng. Terpaksalah Wira beserta
Hening dan anak mereka mesti beberapa kali berpindah tempat tinggal.
“Inilah risiko perjuangan
menegakkan kebenaran. Semoga kau tabah menghadapinya,” ujar Wira mencoba
menenangkan kegelisahan hati istrinya.
”Ya, Mas. Kusahakan tetap
tegar dan sabar.”
Lambat laun Hening menganggap
biasa berbagai hal yang kerap mengusik ketenteraman keluarganya. Pilihannya
untuk senantiasa ikhlas serta tulus berdoa menjadikannya tetap tenang lantaran
yakin bahwa Yang Mahakuasa selalu melindungi diri dan keluarganya dari segala
marabahaya.
***
Belakangan Wira mengendurkan kegiatan bersama
komunitasnya. Aktivitasnya dalam berbisnis membuatnya mesti kerap berada di
luar kota. Tinggal Hening yang masih mengurut dada karena tetap merasakan
kesepian di rumah. Ada anak bungsunya belaka yang menemaninya. Sebenarnya Wira
dan Hening dikaruniai tiga orang anak, namun anak pertama dan keduanya tinggal
bersama kerabat mereka. Sekian tahun silam, ketika kondisi perekonomian
keluarga Wira masih labil, ada kakak Wira maupun Hening yang berniat membantu
pendidikan anak-anak Wira. Akhirnya si sulung mengikuti keluarga kakak dari
ayahnya, sementara si anak kedua tinggal bersama kakak dari ibunya. Ketika
liburan sekolah tiba, barulah mereka pulang ke rumah ayah ibunya agar bisa berkumpul
bersama sebagai sebuah keluarga sewajarnya.
Untuk mengusir kejenuhan,
Hening mencoba berbisnis kecil-kecilan. Ia pun menjalin hubungan dengan
sejumlah kawan lamanya kembali. Selama suaminya pergi, Hening tetap dapat
menikmati hidup dengan bisnis dan pertemanannya. Kala sesekali Wira memiliki
waktu senggang, diajaknya Hening dan anak bungsunya bersantai bertiga saja.
Kadang mereka sekadar berjalan-jalan di mal atau malah pergi ke luar kota. Rasanya tiada ungkapan lain dari Hening,
kecuali mensyukuri segala kenikmatan dalam hidupnya. Tidak pula menjadi
problema baginya melihat Wira kembali sibuk dengan komunitasnya di sela-sela
kegiatan bisnisnya yang kian beragam.
***
Namun, tanpa pernah terduga satu kenyataan pahit
mesti diterima Hening pada sebuah masa. Sesuatu yang sungguh tak pernah
terbayang semenjak ia dan suaminya mengikat janji setia. Wira ternyata telah menikah lagi tanpa
sepengetahuan istrinya. Hening mengenali perempuan yang lebih tua ketimbang
dirinya itu sebagai salah satu rekan bisnis Wira. Layak saja sejatinya jika
kaum hawa tidak menyukai poligami, karena biasanya para suami memiliki istri
lagi secara sembunyi-sembunyi. Hening tidak mengira bahwa Wira yang selama ini
dikenalnya sebagai orang yang biarpun keras hati, tapi selalu berusaha taat
pada agama, tega memperlakukannya serupa itu. Alasan yang disampaikan suaminya
begitu sulit diterima Hening.
“Apa kau tidak sadar pernah
sangat menyakiti hatiku, ketika kau dekat dengan lelaki itu?” tanya Wira.
“Mas, aku hanya sempat
berteman dekat dengan lelaki itu. Aku pun sudah lama tidak berhubungan lagi
dengannya, karena aku lekas sadar untuk kembali ke jalan yang benar. Apakah Mas
Wira sebenarnya tidak pernah memaafkanku?” ucap Hening dengan air mata yang
mulai jatuh.
”Aku mau kau bisa merasakan
sakit hati yang pernah kurasakan dulu.”
”Kenapa kau begitu tega
padaku, Mas Wira? Aku sungguh menyesali kesalahanku tempo hari. Dan tidakkah
kau tahu bahwa aku kini tengah mengandung anak keempat kita?”
”Apa kau serius, Hening?”
”Sudah beberapa hari aku
merasa tak enak badan. Tapi, baru tadi pagi aku mencoba mengetes air seniku
dengan test pack dan hasilnya adalah
positif! Coba, apa yang bisa Mas Wira katakan sekarang ?” tanya Hening dengan
emosional.
Wira bergeming dan tak mampu
berkata lagi. Ia tidak mengerti mesti bereaksi bagaimana menanggapi kehamilan
istrinya, justru ketika mereka berdua tengah dalam situasi perselisihan yang
kian tajam. Hening sendiri terpaku memandangi suaminya yang mendadak bisu.
***
Selama ini barangkali Wira merasa sudah layak
menjadi anggota panitia pahala dan dosa, sehingga ia berhak menghukum orang yang
dipandangnya berbuat maksiat dengan caranya sendiri. Namun, apakah menyiksa
perasaan Hening adalah hal yang direstui Yang Mahakuasa? Apalagi kini sang
istri tengah kembali mengandung buah cinta mereka.
Bagi Hening, baru kali ini ia
merasakan duka mendalam ketika tengah berbadan dua. Seingatnya, dalam tiga kali
waktu kehamilan sebelumnya, selalu saja bahagia yang menyertai hari-harinya. Ia
merasa masa depannya dengan Wira menjadi samar. Memang suaminya sudah meminta
maaf dan menyesali perbuatannya. Sebagai istri yang baik, Hening berusaha
memaafkan kesalahan besar Wira. Namun, apa yang kemudian terjadi tetap
membuatnya sedih dan kian kecewa. Suaminya jadi lebih kerap tidak pulang,
mungkin ia justru menginap di tempat tinggal istri barunya. Lantas saban kali
mereka berjumpa dan berbincang berdua, malah senantiasa terjadi perdebatan tak
berujung, mirip adegan dalam sinetron serial yang setiap hari diputar di
televisi.
Betapa relung hati Hening
menginginkan harmoni dalam keluarganya tercipta kembali. Ia sadar tak mampu
sendiri belaka melakukannya, sedangkan sang suami seolah malah tidak memiliki
tekad membenahi koyaknya bangunan rumah tangga mereka. Paras rupawan Hening
yang dahulu biasa berhiaskan senyum keceriaan, kini lebih sering terlihat
bermuram durja. Namun, ia berupaya ikhlas menjalani apa pun skenario dari-Nya,
kendati memang tak mudah melakoninya. Hening menyadari eksistensi ketiga anak
kesayangannya mampu menguatkan sanubarinya. Demikian pula dukungan moral
spiritual dari ibu beserta saudara-saudara dekatnya. Hening yakin masih banyak
kisah sukacita yang bakal dirasakannya lagi nanti.
# Cerpen ini pernah dimuat di Majalah Sastra Horison edisi Januari-Februari-Maret 2019.