Selasa, 31 Maret 2020

Mengusik Harmoni


Kendati akhirnya memberikan dukungan moral spiritual, tapi pada awalnya Hening tak setuju dengan apa yang dilakukan Wira, suaminya, kala ia mulai memimpin sebuah komunitas tertentu. Kelompok tersebut beberapa kali saban minggunya berkeliling kota -terutama pada akhir pekan- untuk melakukan pemberantasan tindakan yang dianggap maksiat. Hening jelas tidak menyetujui terjadinya kemaksiatan, tapi cara kekerasan yang dilakukan kelompok suaminya selalu menjadikannya miris. Ia tidak tega melihat dokumentasi kegiatan kelompok tersebut lewat rekaman video dan foto yang dibawa Wira pulang. Pernah disaksikannya adegan seorang pedagang minuman keras yang wajahnya bercucuran darah dengan tangan terikat, setelah dihajar habis-habisan oleh anak buah suaminya. Ada pula gambar sejumlah lelaki hidung belang yang ditampar dan ditendangi anggota kelompok tersebut. Namun, Wira selalu berusaha meyakinkan Hening bahwa tindakannya sudah benar dan tujuannya mulia, yaitu mencegah terjadinya ketidaktertiban dalam masyarakat.
“Bukankah kewajiban kita sebagai umat beragama untuk melakukan hal itu? Kita harus selalu mengajak saudara-saudara kita menuju kebaikan dan mencegah mereka melakukan keburukan” ujar Wira.
“Tapi, apa tidak bisa dengan cara lainnya toh, Mas? Aku ngeri melihat kalian menghajar orang-orang itu,” sahut Hening.   
“Adakah cara yang lebih baik daripada yang kami lakukan? Coba sebutkan, andai kau memang tahu.”
            “Entahlah. Bukankah Mas Wira jauh lebih pintar ketimbang aku?”
“Aku tahu, para pendidik dan pemuka agama sudah berusaha dengan cara mereka, dengan nasihat berupa kata-kata. Tapi, tentu saja itu belum cukup. Nyatanya kita lihat kemaksiatan seperti perjudian, orang mabuk, atau prostitusi masih terus terjadi di berbagai penjuru kota ini. Sementara itu, aparat penegak hukum, maaf saja, tidak bisa diharapkan mampu menegakkan peraturan dengan konsisten. Jadi, kita mesti langsung bergerak sendiri, tidak bisa diam saja.”
“Akan kucoba memahami apa pun yang kau lakukan, Mas.”
Hening mengerti, suaminya memiliki niat baik. Ia berharap belaka, apa yang dilakukan suaminya tidak salah dan memang benar ada manfaatnya. Maka ia rela belaka, hampir saban malam ditinggal Wira melakukan tugas mulianya. Jika tidak mendatangi tempat-tempat maksiat, maka waktu digunakan suaminya untuk rapat bersama komunitasnya membahas berbagai rencana dan melakukan langkah nyata. Bukan sebatas itu risiko yang mesti ditanggung Hening. Mereka yang kepentingannya terganggu dengan gerakan pimpinan Wira, ada yang kemudian memberikan teror terhadap Wira dan keluarganya. Pernah sebuah bom molotov menghancurkan pot-pot tanaman di halaman rumah Wira. Di waktu lain, ada lagi ancaman yang diterimanya dalam bentuk berbeda, seperti telepon gelap atau surat kaleng. Terpaksalah Wira beserta Hening dan anak mereka mesti beberapa kali berpindah tempat tinggal.
“Inilah risiko perjuangan menegakkan kebenaran. Semoga kau tabah menghadapinya,” ujar Wira mencoba menenangkan kegelisahan hati istrinya.
”Ya, Mas. Kusahakan tetap tegar dan sabar.”
Lambat laun Hening menganggap biasa berbagai hal yang kerap mengusik ketenteraman keluarganya. Pilihannya untuk senantiasa ikhlas serta tulus berdoa menjadikannya tetap tenang lantaran yakin bahwa Yang Mahakuasa selalu melindungi diri dan keluarganya dari segala marabahaya.

***

Belakangan Wira mengendurkan kegiatan bersama komunitasnya. Aktivitasnya dalam berbisnis membuatnya mesti kerap berada di luar kota. Tinggal Hening yang masih mengurut dada karena tetap merasakan kesepian di rumah. Ada anak bungsunya belaka yang menemaninya. Sebenarnya Wira dan Hening dikaruniai tiga orang anak, namun anak pertama dan keduanya tinggal bersama kerabat mereka. Sekian tahun silam, ketika kondisi perekonomian keluarga Wira masih labil, ada kakak Wira maupun Hening yang berniat membantu pendidikan anak-anak Wira. Akhirnya si sulung mengikuti keluarga kakak dari ayahnya, sementara si anak kedua tinggal bersama kakak dari ibunya. Ketika liburan sekolah tiba, barulah mereka pulang ke rumah ayah ibunya agar bisa berkumpul bersama sebagai sebuah keluarga sewajarnya.   
Untuk mengusir kejenuhan, Hening mencoba berbisnis kecil-kecilan. Ia pun menjalin hubungan dengan sejumlah kawan lamanya kembali. Selama suaminya pergi, Hening tetap dapat menikmati hidup dengan bisnis dan pertemanannya. Kala sesekali Wira memiliki waktu senggang, diajaknya Hening dan anak bungsunya bersantai bertiga saja. Kadang mereka sekadar berjalan-jalan di mal atau malah pergi ke luar kota. Rasanya tiada ungkapan lain dari Hening, kecuali mensyukuri segala kenikmatan dalam hidupnya. Tidak pula menjadi problema baginya melihat Wira kembali sibuk dengan komunitasnya di sela-sela kegiatan bisnisnya yang kian beragam.

***


Namun, tanpa pernah terduga satu kenyataan pahit mesti diterima Hening pada sebuah masa. Sesuatu yang sungguh tak pernah terbayang semenjak ia dan suaminya mengikat janji setia. Wira ternyata telah menikah lagi tanpa sepengetahuan istrinya. Hening mengenali perempuan yang lebih tua ketimbang dirinya itu sebagai salah satu rekan bisnis Wira. Layak saja sejatinya jika kaum hawa tidak menyukai poligami, karena biasanya para suami memiliki istri lagi secara sembunyi-sembunyi. Hening tidak mengira bahwa Wira yang selama ini dikenalnya sebagai orang yang biarpun keras hati, tapi selalu berusaha taat pada agama, tega memperlakukannya serupa itu. Alasan yang disampaikan suaminya begitu sulit diterima Hening.
“Apa kau tidak sadar pernah sangat menyakiti hatiku, ketika kau dekat dengan lelaki itu?” tanya Wira.
“Mas, aku hanya sempat berteman dekat dengan lelaki itu. Aku pun sudah lama tidak berhubungan lagi dengannya, karena aku lekas sadar untuk kembali ke jalan yang benar. Apakah Mas Wira sebenarnya tidak pernah memaafkanku?” ucap Hening dengan air mata yang mulai jatuh.
”Aku mau kau bisa merasakan sakit hati yang pernah kurasakan dulu.”
”Kenapa kau begitu tega padaku, Mas Wira? Aku sungguh menyesali kesalahanku tempo hari. Dan tidakkah kau tahu bahwa aku kini tengah mengandung anak keempat kita?”
”Apa kau serius, Hening?”
”Sudah beberapa hari aku merasa tak enak badan. Tapi, baru tadi pagi aku mencoba mengetes air seniku dengan test pack dan hasilnya adalah positif! Coba, apa yang bisa Mas Wira katakan sekarang ?” tanya Hening dengan emosional.
Wira bergeming dan tak mampu berkata lagi. Ia tidak mengerti mesti bereaksi bagaimana menanggapi kehamilan istrinya, justru ketika mereka berdua tengah dalam situasi perselisihan yang kian tajam. Hening sendiri terpaku memandangi suaminya yang mendadak bisu.

***

Selama ini barangkali Wira merasa sudah layak menjadi anggota panitia pahala dan dosa, sehingga ia berhak menghukum orang yang dipandangnya berbuat maksiat dengan caranya sendiri. Namun, apakah menyiksa perasaan Hening adalah hal yang direstui Yang Mahakuasa? Apalagi kini sang istri tengah kembali mengandung buah cinta mereka.
Bagi Hening, baru kali ini ia merasakan duka mendalam ketika tengah berbadan dua. Seingatnya, dalam tiga kali waktu kehamilan sebelumnya, selalu saja bahagia yang menyertai hari-harinya. Ia merasa masa depannya dengan Wira menjadi samar. Memang suaminya sudah meminta maaf dan menyesali perbuatannya. Sebagai istri yang baik, Hening berusaha memaafkan kesalahan besar Wira. Namun, apa yang kemudian terjadi tetap membuatnya sedih dan kian kecewa. Suaminya jadi lebih kerap tidak pulang, mungkin ia justru menginap di tempat tinggal istri barunya. Lantas saban kali mereka berjumpa dan berbincang berdua, malah senantiasa terjadi perdebatan tak berujung, mirip adegan dalam sinetron serial yang setiap hari diputar di televisi.
Betapa relung hati Hening menginginkan harmoni dalam keluarganya tercipta kembali. Ia sadar tak mampu sendiri belaka melakukannya, sedangkan sang suami seolah malah tidak memiliki tekad membenahi koyaknya bangunan rumah tangga mereka. Paras rupawan Hening yang dahulu biasa berhiaskan senyum keceriaan, kini lebih sering terlihat bermuram durja. Namun, ia berupaya ikhlas menjalani apa pun skenario dari-Nya, kendati memang tak mudah melakoninya. Hening menyadari eksistensi ketiga anak kesayangannya mampu menguatkan sanubarinya. Demikian pula dukungan moral spiritual dari ibu beserta saudara-saudara dekatnya. Hening yakin masih banyak kisah sukacita yang bakal dirasakannya lagi nanti.

# Cerpen ini pernah dimuat di Majalah Sastra Horison edisi Januari-Februari-Maret 2019.

Senin, 30 Maret 2020

Kerumunan Terakhir pada Maret 2020


Parade Teater Linimasa #3 menjadi acara terakhir berada di kerumunan banyak orang pada Maret 2020. Sehabis itu aku hanya berjalan kaki tak jauh dari rumah dan sepeda motorku bergeming di garasi belaka selama lebih dari dua pekan. Hal itu terjadi akibat kian meluasnya dampak pandemi virus korona yang sudah menyentuh Yogyakarta.


Ada dua kelompok teater yang tampil pada hari kedua Parade Teater Linimasa #3 yang berlangsung Kamis (12/4). Yang pertama adalah Teater Puspanegara dari SMA 5 Yogyakarta, tempat aku menimba ilmu dahulu. Adik-adik kelasku tampak sangat antusias ingin menyaksikan penampilan teman-teman mereka di concert hall Taman Budaya Yogyakarta. Wajah para remaja mendominasi para penonton ketika antre memasuki lokasi pertunjukan. Teater Puspanegara menyajikan lakon Mas Guru Sugiyo, naskah karya Anes Prabu Sadjarwo. Riuh rendah penonton menyambut baik aksi kelompok yang sebagian besar anggotanya masih berstatus sebagai pelajar itu.

Forum Aktor Yogyakarta menjadi penampil terakhir parade teater kali ini. Mereka mementaskan lakon Pamit Ronda, naskah karya Erlina Rakhmawati, dengan sutradara B. Verry Handayani. Lakon berbahasa Jawa itu berkali-kali mengundang gelak tawa penonton yang sebagian menyaksikan pertunjukan di atas panggung. Para tokoh senior teater Yogyakarta tampak berada di antara penonton, seperti Landung Simatupang, Susilo "Den Baguse Ngarso" Nugroho, dan Whani Darmawan.


Minggu, 29 Maret 2020

Yakini Semua Teratasi



Dikutip dari lirik lagu Mutiara Kasih yang tersurat sekian tahun lalu. Sudah lupa suasana hatiku seperti apa waktu itu, tapi sepertinya sedang suka membaca puisi-puisi karya Amir Hamzah, selain sudah menggemari KLa Project sejak masih remaja. 

Mutiara Kasih 

Kutatap matamu teduh menyentuh 
Bunga percaya pun kian tumbuh 
Kutahu hatimu nan bersih jernih 
Hingga mengkilaplah mutiara kasih 

Di kala cobaan mendera 
Kita pun hadapi dengan asa menyala 
Yakini semua kan teratasi 
Bila kita sedia menerimanya 
Dengan tulus hati 

Semakin lama waktu berlangsung 
Semakin merdu cinta kita mengalun 
Relung jiwa bersukacita 
Syukur kita padaNya 
Layak terungkap senantiasa 
Setiap masa

Sabtu, 28 Maret 2020

Jumat, 20 Maret 2020

Kamis, 19 Maret 2020

Keberanian adalah Kemampuan Mengelola

Ketakutan dan kecemasan tak boleh mengalahkan diri kita.
Keberanian adalah kemampuan mengelola rasa takut dan cemas.

(Djoko Saryono)

Rabu, 18 Maret 2020

Bubarnya Agama


Makkah sepi
Madinah sunyi
Kakbah dipagari
Masjid tutup
Jamaah bubar
Jumat batal
Umrah di stop
Haji tak pasti
Lafadz adzan berubah
Salaman dihindari
Corona datang
Seolah-olah membawa pesan
Ritual itu rapuh!
Ketika Corona datang
Engkau dipaksa mencari Tuhan
Bukan di tembok Kakbah
Bukan di dalam masjid
Bukan di mimbar khutbah
Bukan dalam thawaf
Bukan pada panggilan azan
Bukan dalam shalat jamaah
Bukan dengan jabat tangan
Melainkan,
Pada keterisolasianmu
Pada mulutmu yang terkunci
Pada hakikat yang tersembunyi
Corona mengajarimu,
Tuhan itu bukan (melulu) pada keramaian
Tuhan itu bukan (melulu) pada syariat
Tuhan itu ada pada jalan keterputusanmu
Dengan dunia yang berpenyakit
Corona memurnikan agama
Bahwa tak ada yang boleh tersisa
Kecuali Tuhan itu sendiri!
Temukan Dia
___________________
Said Muniruddin
16 Maret 2020

Yang Mendesak Diminta

Tugas kita, para awam ini, adalah menangis di hadapan Tuhan, agar tangisan kita membuat-Nya tak tega. Soal yang mendesak diminta ialah agar Tuhan tak mencabut ketenangan di hati kita. 

(Prie GS)

Senin, 16 Maret 2020

Terdampak COVID-19

Ternyata diriku yang berada di kota Yogyakarta mesti merasakan pula dampak negatif virus korona (covid-19) yang telah menjadi pandemi di muka bumi. Latihan rutin AFC (Art for Children) pada Minggu ketiga kemarin (15/3/20) ditiadakan untuk mengantisipasi hal buruk yang diakibatkan virus jahat itu. Semua rencana kegiatan yang mengumpulkan banyak orang di TBY yang berlangsung hingga 31/3/20 resmi dibatalkan dan ditunda entah sampai kapan. Tentu aku sangat maklum dan menerima keputusan itu. Aku tinggal bisa pasrah hanya berada di rumah. 
Semoga saja berjuta masalah akibat covid-19 segera selesai, tak cuma di Jogja dan Indonesia, tapi di berbagai negara seluruh dunia pun demikian.  Semoga semakin banyak yang sembuh, semoga tidak bertambah jumlah penderitanya, semoga tidak bertambah pula yang tutup usia, dan keadaan dunia berangsur-angsur normal kembali. Semoga Allah SWT memberi petunjuk, bimbingan, kekuatan, dan kesabaran kepada kita umat manusia untuk bersama-sama menanggulangi bencana global di awal tahun 2020 ini.

Jumat, 13 Maret 2020

Pertemuan 17 Tahun Kemudian di Kompas Digital



Setiap karya memiliki jalan cerita tersendiri. Sebagaimana cerpen ini yang kukirim pada 26-8-2019 dan akhirnya baru dimuat di kompas.id pada 12-3-2020, bertepatan dengan hari lahir mendiang ibuku. Alhamdulillah. Terima kasih untuk editor rubrik cerpen kompas.id yang memberi kesempatan untuk karyaku terpajang lagi di situ. Selamat membaca. 



Rabu, 11 Maret 2020

Penjajahan Tipu Daya Berpikir

Setelah era penjajahan teritorial berakhir, Dajjal mengajari penjajahan tipu daya berpikir, yang dengan sendirinya menghasilkan konsep baik-buruk, benar-salah, hebat-konyol, sukses-gagal, mulia-hina sesuai dengar subversi ajaran Dajjal.

(Emha Ainun Nadjib)

Sabtu, 07 Maret 2020

Hidup adalah Kumpulan Perjumpaan

Hidup 
adalah 
perjalanan 
kehilangan. 
Hidup adalah 
kumpulan perpisahan. 

(Joko Pinurbo)



Namun, hidup juga adalah perjalanan mendapatkan dan kumpulan perjumpaan. Maka nikmatilah dengan senyuman dan tawa ceria ketika masih bisa berkumpul bersama sanak saudara, kawan-kawan, dan orang-orang tercinta.

Rabu, 04 Maret 2020

Mengenang Sang Paman


Pamanku sebenarnya sedang tampak sehat di mata sesama manusia, ketika malaikat maut menjemput nyawanya. Bahkan dia tengah berada di luar kota tempat tinggalnya demi menuntaskan tugasnya sebagai bijak bestari. Namun memang apalah daya manusia, tatkala Tuhan sudah memiliki kehendak sendiri untuk salah satu hamba kesayangan-Nya. 

Itulah penutup cerpen berjudul Hari Terakhir demi mengenang seorang paman yang banyak memberi inspirasi dalam hidupku. Pertemuan terakhir kami secara ragawi terjadi pada akhir Maret 2010 dan beliau tutup usia pada 1 Maret 2011. Sembilan tahun sudah pamanku pergi, semoga baik-baik belaka di alam sana. 

Foto tersebut dibuat pada tahun 2000 di Banjarnegara ketika kami berziarah ke makam nenek moyang kami. Dua dekade lalu. 

Senin, 02 Maret 2020

Turut Memperingati SO 1 Maret pada 2020


Turut memeriahkan Peringatan SO 1 Maret pada Minggu (1/3/20) pagi kemarin di kawasan Titik Nol Kilometer Yogyakarta. Biarpun hujan sempat menyapa sebentar, anak-anak tetap bersemangat menyanyikan lagu-lagu bertema perjuangan dan cinta tanah air. Maka mengalunlah Indonesia Pusaka, Tanah Air, Syukur, Aku Anak Indonesia, Garuda Muda, dan Dwi Warna menghangatkan suasana Minggu pagi sehabis hujan.