Kamis, 18 Oktober 2018

Terima Kasih Tabloid BOLA


Saya pernah menjadi pembaca Tabloid BOLA yang rajin menulis. Bahkan BOLA adalah media cetak pertama yang memuat tulisan saya, tepatnya di rubrik Suara Tifosi pada 2001. Setelah itu berkali-kali tulisan saya dimuat BOLA. Dari awalnya senang dan bangga belaka, lalu sering dapat kaus, topi, hingga sempat dapat honor pula dari rubrik Oposan dan Opini Publik (Harian BOLA). Tentu saya sedih mendengar kabar Tabloid BOLA berhenti terbit. Yang jelas, terima kasih tiada tara untuk BOLA. Keterangan foto : Dua topi suvenir dari Tabloid BOLA pada 2003 dan 2009. Masih banyak kaus dari BOLA yang tersimpan di almari, sebagian besar sudah tidak layak pakai karena selalu jadi favorit. #tabloidbola #tabloidbolapamit#terimakasihtabloidbola

Kamis, 04 Oktober 2018

Membaca Jalan Pikiran Ibu

Sempat tak kupahami, bahkan hingga bertahun-tahun kemudian, mengapa ibuku tampak susah memejamkan matanya malam itu. Sesekali aku mendekatinya dan menanyakan apakah tidak sebaiknya Ibu beristirahat karena malam telah sangat larut. Seraya tetap berbaring di atas dipan, beliau sedikit menggelengkan kepalanya belaka tanpa kata. Aku pun kembali ke kamarku mencoba terlelap, tapi tak bisa begitu saja kendati suasana tengah begitu senyap. Waktu itu kondisi kesehatan Ibu di rumah cenderung menurun, hingga dua hari kemudian kami membawanya kembali ke rumah sakit. Kami melakukannya dengan sedikit terpaksa karena beliau sebenarnya tak ingin pergi dari tempat tinggalnya. Dan sama sekali tak kuduga bahwa sekian hari sehabis malam itu, ibuku justru menutup mata selamanya. Sekitar enam tahun kemudian barulah kutemukan jawaban kala kubaca novel karya Jostein Gaarder -yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia- yang berjudul Orange Girl atau Gadis Jeruk.
Ketika kepala penuh dengan pikiran berat, orang hanya bisa mengucapkan beberapa patah kata, atau diam. Ibu hanya diam. Kurenungkan kalimat yang dituliskan Gaarder dan menghubungkannya dengan peristiwa yang tempo hari kualami. Justru sebuah pertanyaan baru pun mengemuka dari diriku. Apa yang sebenarnya paling dikhawatirkan Ibu dan menjadi beban pikiran beliau sebelum wafatnya? Kucoba membaca jalan pikiran beliau dengan menyusun sejumlah asumsi dalam benakku. Memiliki dua anak yang masih lajang pada usia yang sudah layak menikah barangkali menjadikan perasaan ibuku tidak nyaman. Aku tahu, Ibu mencemaskanku sebagai anak bungsu dan lelaki satu-satunya. Setelah memutuskan berhenti kuliah, aku hanya bekerja di tempat usaha saudaraku yang masih labil kondisinya. Artinya, masih perlu perjuangan panjang menuju fase kemapanan. Apalagi sehabis gempa besar melanda kota kami, tempatku bekerja mengalami banyak kerugian pula. Kami kehilangan sejumlah konsumen yang mesti menata kembali kehidupannya yang terkoyak akibat gempa. Kakak iparku sebagai pemimpin tempat usaha kami berinovasi dengan menjual roti dan jagung bakar. Ada pemasukan yang lumayan selagi bidang usaha utama tempatku bekerja kian hari semakin sepi. Aku justru memiliki keasyikan tersendiri turut serta membantu bisnis kuliner kecil-kecilan kami. Selain itu mulai kutekuni sesuatu yang bisa menjadi wahana baru bagiku menjemput rizki Ilahi, namanya menulis cerita pendek. Melihat hal-hal yang sudah kulakukan, tampaknya Ibu tak terlampau meragukan masa depanku lagi.
Ibu sebenarnya lebih layak mengkhawatirkan kakakku. Sejak lulus SMK belasan tahun silam, ia hanya tinggal di rumah dan nyaris tak pernah bekerja secara serius. Menurut cerita yang pernah kudengar, di masa kecilnya kakakku pernah mengalami beberapa kejadian yang menimbulkan trauma dan membuat pertumbuhan otaknya mengalami gangguan. Usianya sepuluh tahun di atasku, tapi sikap dan tingkah lakunya mungkin seperti lima belas tahun lebih muda dariku. Cuma sesekali ia pernah membantu kakakku yang lain ketika sempat membuka bisnis warung ayam bakar. Namun, ketika usaha tersebut berhenti, kakakku pun hanya bergeming di rumah lagi. Kegiatannya di rumah adalah memasak, membersihkan lantai, dan pekerjaan rumah tangga lainnya. Selebihnya duduk membaca koran dan menonton televisi, acara favoritnya adalah sinetron dan berita selebritis. Selama masih ada Ibu, tentu tiada masalah dengan pemenuhan keperluan sehari-harinya. Kakakku orang yang tahu diri dan beruntunglah ia tidak memiliki hasrat membeli beragam barang. Seperlunya saja ia mengeluarkan uang. 
Aku mengerti bahwa kakakku adalah perempuan yang sebenarnya memiliki mental yang kuat. Masih kuingat benar dialog di antara kami pada sebuah malam. Ketika ibu kami terus terlelap, aku sempat menanyakan opininya apabila beliau akhirnya tutup usia. Dan ternyata jawaban kakakku cukup mengejutkanku.
“Jika itu yang terbaik buat Ibu, aku ikhlas saja. Ketimbang melihat Ibu terus menderita begini.”
Padahal biasanya ia begitu mudah menangis melihat adegan di sinetron serial kesayangannya. Sehabis jawaban terdengar dari kakakku, Ibu ternyata membuka matanya dan mengisyaratkan ingin tahu apa yang kami bicarakan. Maka terjadilah dialog terakhir antara aku dan ibuku dengan disaksikan kakakku.
“Ibu masih punya semangat hidup, kan?” tanyaku.
“Masih, dong,” sahut Ibu tanpa kuduga. Sehabis itu beliau terus menutup matanya, hingga kami membawanya ke rumah sakit. Sempat sekali lagi ibuku membuka matanya dan mengucapkan terima kasih kasih tanpa suara, tepatnya ketika aku pamit pulang, sehabis semalaman menungguinya di kamar rawat inap. Tak lama sesudahnya, Ibu pun hijrah ke alam barzakh.

***
           

Sekian bulan sepeninggal Ibu, kakakku menerima tawaran bekerja dari kakak tertua kami dan suaminya. Pekerjaannya tidak berat karena organ tubuh yang paling penting digunakan adalah mata dan tangannya, yang tentu mesti disertai kesabaran dan ketelitian. Kakakku bukanlah perempuan yang biasa berpangku tangan, maka kami semua mendukungnya dan percaya ia sanggup melaksanakan tugasnya. Benar saja, kakakku berhasil menjawab tantangan dari saudara-saudaranya. Ia bahkan senantiasa bersemangat sekali saban pagi tiba, berangkat ke tempat kerja dengan mengayuh sepeda, hingga pulang ke rumah menjelang petang.
Kami semua baik-baik belaka nyatanya hingga kini menginjak sepuluh tahun sejak kepergian Ibu. Apa yang dikhawatirkan beliau ternyata bukanlah problema krusial bagi kami. Kesulitan ekonomi memang menjadi masalah yang adakalanya mengemuka. Hal itu tak pernah terjadi ketika kedua orangtuaku masih ada, juga setelah Ayah meninggal dunia. Namun, rezeki bisa hadir dari mana saja dan berulang kali hal itu terjadi. Sehabis gelap selalu ada terang, kemudahan pasti datang menggantikan kesulitan. Tak boleh hilang semangatku menjaga asa dan terus meyakini pertolongan Ilahi bakal hadir senantiasa. Hal-hal positif yang terjadi sehabis ibuku pergi menyadarkanku bahwa bisa jadi itulah jawaban Tuhan atas segala doa perempuan kesayanganku sepanjang hayatnya. Dahulu kala Ibu pasti tak pernah lelah berdoa dan berjuang melakukan apa saja demi kebahagiaan dan kesejahteraan hidup anak keturunannya.
Dalam kesendirian masih banyak hal yang dapat kunikmati sekaligus kusyukuri. Sejumlah kegiatan baru ternyata menghadirkan orang-orang yang berarti dalam hidupku. Di antara mereka terdapat sejumlah perempuan yang sempat menjadi kawan baikku, kendati belum ada yang menjadi kekasihku. Perempuan yang dulu –belasan tahun silam- pernah kucinta dan kupuja, lantas sempat kembali kujumpa, ternyata tak mampu mengembalikan perasaan dari masa lalu. Kami sebatas dekat sesaat, kemudian tiada koneksi lagi sehabis itu. Aku sebatas sempat tertarik pada dua atau tiga nama, tapi tak kunjung merasakan jatuh cinta sebagaimana ketika berusia belasan atau dua puluhan.

***

Sebelum menutup mata selamanya, Ibu semacam memberikan pesan kepadaku agar senantiasa menjaga perasaan orang lain dan sudi peduli nasib sesama manusia. Setelah sempat tidak tidur semalaman sebagaimana terjadi di awal kisah ini, ibuku akhirnya bisa beristirahat saat menjelang siang hingga petang hari berikutnya. Bu Adi, tetangga dekat kami, menjenguk Ibu kala beliau tengah terlelap. Begitu ibuku terjaga dari tidurnya dan kuberitahu tentang kehadiran Bu Adi yang juga merupakan sahabatnya, beliau tampak bermuram durja. Serta-merta dimintanya aku menelepon tetangga kami agar segera datang lagi. Aku tidak langsung melaksanakannya dan sempat sedikit beralasan, barangkali Bu Adi sedang tidur siang. Namun, Ibu setengah memaksaku dan kuturuti perintahnya.
Belakangan baru kusadari bahwa Ibu merasa sudah mengecewakan sahabat yang menjenguknya, tapi gagal menemuinya. Beliau sekadar ingin Bu Adi bisa menjumpainya kala terjaga agar bisa terobati kekecewaaannya. Begitulah cara ibuku menjaga perasaan orang lain. Pada hari selanjutnya yang merupakan hari terakhir beliau berada di rumah, Ibu tiba-tiba menanyakan kabar Javier, anak angkat tetangga depan rumah kami.
“Kasihan Nak Javier, ibunya sering marah-marah sambil memukuli anak itu,” ujar Ibu sembari menatap hampa langit-langit kamarnya. Aku sempat terpana belaka mendengarnya. Apa maksud Ibu bicara seperti itu?
“Iya, memang kasihan sekali dia. Semoga saja ibunya bisa mengubah sikapnya di masa depan. Lagi pula Javier masih punya ayah yang baik, kan? Ibu tidak perlu lagi mengkhawatirkan anak itu,” sahutku mencoba meredakan kegundahan hati ibuku.
Semula tak kupahami, mengapa manakala kondisi kesehatannya kian melemah, Ibu justru memikirkan anak tetangga. Namun, begitulah cara beliau menunjukkan kelembutan hatinya yang tansah peduli siapa saja. Nasihat tersirat ibuku sebelum wafatnya, kuharap benar aku mampu meneladaninya. Ah, tiba-tiba aku jadi kangen dengan perempuan kesayanganku yang bertubuh mungil, dengan segala kata-kata, sentuhan lembut, bahasa tubuh, perangai, maupun tindak tanduknya yang khas. Mudah-mudahan Ibu tenang di alam sana dan bahagia melihat anak keturunannya saat ini.

# Cerpen ini dimuat di harian Rakyat Sultra edisi Senin, 1 Okober 2018

Rabu, 03 Oktober 2018

Dua Kisah Penghuni Sebuah Rumah

KISAH PERTAMA
Rumah tersebut semula dihuni oleh sepasang suami istri dengan satu bocah yang merupakan anak angkat mereka. Sesudah menjalani mahligai rumah tangga selama tujuh belas tahun tanpa dikaruniai keturunan, Mada dan Susan -yang berusia empat puluhan- memutuskan mengangkat seorang bayi sebagai anak mereka dari sebuah panti asuhan. Lantaran mereka berdua sibuk di kantor menjalani lima hari kerja, maka disewalah pembantu rumah tangga sekaligus pengasuh bagi sang anak yang diberi nama Devo.
“Ma, ingatlah bahwa sekarang kita punya Devo. Jangan lupa menemaninya setiap di rumah, ” ujar Mada.
”Iya, Mama janji sebelum dan sesudah kerja pasti ada di dekat Devo. Papa juga mesti kasih perhatian padanya,” sahut Susan.
”Tenang saja, Papa pasti selalu bersamanya di luar jam kerja.”
Sebentuk sukacita baru tercipta dalam keluarga tersebut. Mereka jadi lebih kerap bepergian demi menyenangkan hati si anak semata wayang. Namun, rupanya Mada sebagai ayah lebih betah mengisi waktunya dengan si bocah. Susan hanya sesekali menikmati kebersamaannya dengan Devo. Ia seperti sengaja menjaga jarak. Memang sesungguhnya sejak dahulu ia tak terlampau suka dengan anak kecil. Biarpun demikian, ia tetap berharap suatu ketika bisa memiliki momongan sendiri. Susan akhirnya tahu diri dan memilih pasrah mengingat usianya mendekati kepala lima. Toh, sudah ada Devo yang kini menjadi permata hatinya.

***
Devo tumbuh menjadi anak yang manis dan lucu. Namun, sebagaimana layaknya bocah kecil yang banyak maunya, demikian pula dengan anak tersebut. Sementara sang ayah senantiasa senang hati menanggapi sejuta hasrat anaknya, sang ibu justru kerap lepas kendali menghadapi polahnya. Susan kerap berteriak-teriak memarahi bocah yang masih balita itu. Mada selalu mengingatkan istrinya agar lebih sabar, tapi justru dia yang dicaci maki Susan pula.
“Ma, mestinya kita tambah sayang pada Devo. Tolonglah, jaga ucapan dan tindakanmu,” kata Mada.
“Huh, Papa ini kok sabar sekali, sih? Kalau memang anak kita yang nakal, masa Mama tidak boleh marah?” jawab Susan dengan nada tinggi. Mada hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat sikap istrinya. Ia mesti menjadi lelaki yang sangat lapang dada demi menjaga keutuhan keluarga.
Sebuah gempa tektonik dengan magnitudo yang cukup besar melanda kota pada sebuah Sabtu. Rumah yang dihuni Mada dan keluarganya mengalami kerusakan cukup parah. Beruntunglah mereka semua karena sempat berlarian menyelamatkan diri ketika beberapa bagian dari rumah tersebut runtuh. Mada memutuskan mengungsikan istri dan anaknya ke rumah mertuanya yang kebetulan terhindar dari bencana, kendati masih berada di kota yang sama. Gempa susulan masih terjadi dalam ukuran yang lebih kecil hingga sekian pekan kemudian. Sebulan berselang, barulah Mada bisa memulai perbaikan tempat tinggalnya. Perlu waktu sekitar tiga bulan untuk melakukan renovasi menyeluruh. Sesudah itu, barulah keluarga Mada dapat kembali mendiami rumah tersebut.   
Empat tahun sudah usia Devo. Sikap Susan terhadap anaknya ternyata masih belum jua berubah. Anak kecil itu tampak tertekan saban kali dimarahi ibunya, yang terkadang bahkan disertai pukulan. Lambat laun Devo mengalami kengerian tersendiri jika berdekatan dengan Susan. Beruntunglah, masih ada ayahnya yang bersikap lembut melindunginya. Selain itu, pengasuh Devo telah berulang kali berganti. Mereka yang dipercaya menjaga si bocah biasanya tidak tahan menghadapi Susan yang kurang ramah dan lebih kerap marah. 
Suatu ketika Susan mengeluhkan dadanya yang sakit pada suaminya. Mada pun membawa istrinya ke dokter. Ternyata hasil diagnosa dokter menunjukkan bahwa Susan mengalami gangguan jantung. Dengan pengobatan yang intensif, sakit yang dideritanya diharapkan berangsur sembuh. Namun, takdir Ilahi tidak berkata demikian. Kondisi tubuh Susan malah cenderung melemah, sehingga Mada pun berencana memboyongnya ke rumah sakit. Devo tertegun melihat apa yang terjadi. Ia mendekati ayahnya yang sudah bersiap pergi membawa ibunya.
“Papa, kenapa Mama mesti dibawa pergi?” tanya Devo.
“Mamamu sakit keras, Nak. Ia mesti dirawat di rumah sakit supaya lekas sembuh. Kau mau kan, doakan mamamu?” sahut Mada sembari mengelus-elus kepala anaknya. Devo mengangguk pelan. Entah apa yang berkecamuk di benak dan sanubari sang bocah.
Sesudah dirawat selama dua pekan, penyakit yang diderita Susan justru kian parah dan akhirnya ia padam nyawa pada usia empat puluh sembilan. Mada berusaha mengikhlaskan kepergian istrinya. Kendati ia sesekali terbebani menghadapi kekerasan hati pasangan hidupnya, bagaimanapun Susan adalah perempuan kecintaan Mada sepanjang hayatnya. Tetaplah sedih ditinggal pergi selamanya sang kekasih. Namun, rada terhibur hati Mada lantaran masih ada Devo yang akan menemani hari-hari berikutnya.
            Sehabis istrinya tiada, Mada bergegas menjual rumah yang telah belasan tahun ditinggalinya. Terlalu banyak kenangan bersemayam di rumah tersebut dan tak ingin ia terjebak bersamanya. Mada pun hijrah dari tempat itu bersama Devo yang berusia hampir lima tahun. Pembeli rumah tersebut adalah seorang warga negara asing, tapi diatasnamakan orang Indonesia yang sangat dipercayainya.


KISAH KEDUA
Memiliki rumah baru, layaklah jika segalanya mesti berbeda. Maka rumah yang belum ada setahun diperbaiki sehabis gempa itu pun dirombak lagi habis-habisan sesuai selera sang pemilik anyar. Perubahan pun kemudian terjadi bulan demi bulan berjalan. Namun, ketika setahun lebih sudah berlalu, renovasi barulah selesai. Pemilik anyar pun mulai mendiami rumahnya. Pada saat rumah tersebut belum ditinggali, proses pembangunan yang tidak sebentar sempat mengusik ketenteraman tetangga sekitar. Ketika akhirnya usai, bentuk rumah ternyata jadi tak nikmat dilihat. Bayangkan saja, bagian depan rumah itu didominasi oleh sembilan jendela sebesar pintu dan satu jendela yang bentuknya berbeda di samping pintu yang tingginya tak sejajar pula.

Seorang lelaki tua berkulit putih dan dua lelaki muda berdarah Indonesia -entah siapanya- tinggal di rumah itu. Dua pemuda tersebut biasanya hanya bertelanjang dada dan bercelana pendek kala berada di rumah, termasuk ketika keluar menemui ibu tukang sayur maupun bapak tukang rujak. Berkali sudah mereka mendapat undangan pertemuan warga dan belum pernah sekali pun mau datang. Bahkan ketika tempo hari Ketua RT mengantar undangan sekaligus ingin menyapa warga barunya, malah suara anjingnya belaka yang menyambutnya. Selain itu, barangkali begitu banyak harta berharga yang tersimpan di dalam rumah. Tampaknya mereka begitu takut jika ada yang akan bertamu tanpa diundang. Maka mereka pun memasang pagar kokoh dengan jeruji besi yang tinggi dan rapat. Hal itu membuat rumah tersebut dilihat dari depan bagaikan penjara belaka.

# Cerpen ini dimuat di litera.co.id sejak 23 September 2018