Saya pernah menjadi pembaca Tabloid BOLA yang rajin menulis. Bahkan BOLA adalah media cetak pertama yang memuat tulisan saya, tepatnya di rubrik Suara Tifosi pada 2001. Setelah itu berkali-kali tulisan saya dimuat BOLA. Dari awalnya senang dan bangga belaka, lalu sering dapat kaus, topi, hingga sempat dapat honor pula dari rubrik Oposan dan Opini Publik (Harian BOLA). Tentu saya sedih mendengar kabar Tabloid BOLA berhenti terbit. Yang jelas, terima kasih tiada tara untuk BOLA. Keterangan foto : Dua topi suvenir dari Tabloid BOLA pada 2003 dan 2009. Masih banyak kaus dari BOLA yang tersimpan di almari, sebagian besar sudah tidak layak pakai karena selalu jadi favorit. #tabloidbola #tabloidbolapamit#terimakasihtabloidbola
Kamis, 18 Oktober 2018
Kamis, 04 Oktober 2018
Membaca Jalan Pikiran Ibu
Sempat tak kupahami, bahkan hingga
bertahun-tahun kemudian, mengapa ibuku tampak susah memejamkan matanya malam
itu. Sesekali aku mendekatinya dan menanyakan apakah tidak sebaiknya Ibu
beristirahat karena malam telah sangat larut. Seraya tetap berbaring di atas
dipan, beliau sedikit menggelengkan kepalanya belaka tanpa kata. Aku pun
kembali ke kamarku mencoba terlelap, tapi tak bisa begitu saja kendati suasana tengah
begitu senyap. Waktu itu kondisi kesehatan Ibu di rumah cenderung menurun,
hingga dua hari kemudian kami membawanya kembali ke rumah sakit. Kami
melakukannya dengan sedikit terpaksa karena beliau sebenarnya tak ingin pergi
dari tempat tinggalnya. Dan sama sekali tak kuduga bahwa sekian hari sehabis malam
itu, ibuku justru menutup mata selamanya. Sekitar enam tahun kemudian barulah
kutemukan jawaban kala kubaca novel karya Jostein Gaarder -yang telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia- yang berjudul Orange Girl atau Gadis
Jeruk.
Ketika
kepala penuh dengan pikiran berat, orang hanya bisa mengucapkan beberapa patah
kata, atau diam. Ibu hanya diam. Kurenungkan kalimat
yang dituliskan Gaarder dan menghubungkannya dengan peristiwa yang tempo hari
kualami. Justru sebuah pertanyaan baru pun mengemuka dari diriku. Apa yang sebenarnya
paling dikhawatirkan Ibu dan menjadi beban pikiran beliau sebelum wafatnya? Kucoba
membaca jalan pikiran beliau dengan menyusun sejumlah asumsi dalam benakku. Memiliki
dua anak yang masih lajang pada usia yang sudah layak menikah barangkali menjadikan
perasaan ibuku tidak nyaman. Aku tahu, Ibu mencemaskanku sebagai anak bungsu
dan lelaki satu-satunya. Setelah memutuskan berhenti kuliah, aku hanya bekerja
di tempat usaha saudaraku yang masih labil kondisinya. Artinya, masih perlu perjuangan
panjang menuju fase kemapanan. Apalagi sehabis gempa besar melanda kota kami,
tempatku bekerja mengalami banyak kerugian pula. Kami kehilangan sejumlah
konsumen yang mesti menata kembali kehidupannya yang terkoyak akibat gempa. Kakak
iparku sebagai pemimpin tempat usaha kami berinovasi dengan menjual roti dan
jagung bakar. Ada pemasukan yang lumayan selagi bidang usaha utama tempatku
bekerja kian hari semakin sepi. Aku justru memiliki keasyikan tersendiri turut
serta membantu bisnis kuliner kecil-kecilan kami. Selain itu mulai kutekuni
sesuatu yang bisa menjadi wahana baru bagiku menjemput rizki Ilahi, namanya
menulis cerita pendek. Melihat hal-hal yang sudah kulakukan, tampaknya Ibu tak terlampau
meragukan masa depanku lagi.
Ibu sebenarnya lebih layak
mengkhawatirkan kakakku. Sejak lulus SMK belasan tahun silam, ia hanya tinggal
di rumah dan nyaris tak pernah bekerja secara serius. Menurut cerita yang
pernah kudengar, di masa kecilnya kakakku pernah mengalami beberapa kejadian
yang menimbulkan trauma dan membuat pertumbuhan otaknya mengalami gangguan. Usianya
sepuluh tahun di atasku, tapi sikap dan tingkah lakunya mungkin seperti lima
belas tahun lebih muda dariku. Cuma sesekali ia pernah membantu kakakku yang
lain ketika sempat membuka bisnis warung ayam bakar. Namun, ketika usaha
tersebut berhenti, kakakku pun hanya bergeming di rumah lagi. Kegiatannya di
rumah adalah memasak, membersihkan lantai, dan pekerjaan rumah tangga lainnya.
Selebihnya duduk membaca koran dan menonton televisi, acara favoritnya adalah
sinetron dan berita selebritis. Selama masih ada Ibu, tentu tiada masalah
dengan pemenuhan keperluan sehari-harinya. Kakakku orang yang tahu diri dan
beruntunglah ia tidak memiliki hasrat membeli beragam barang. Seperlunya saja
ia mengeluarkan uang.
Aku mengerti bahwa kakakku
adalah perempuan yang sebenarnya memiliki mental yang kuat. Masih kuingat benar
dialog di antara kami pada sebuah malam. Ketika ibu kami terus terlelap, aku
sempat menanyakan opininya apabila beliau akhirnya tutup usia. Dan ternyata
jawaban kakakku cukup mengejutkanku.
“Jika itu yang terbaik
buat Ibu, aku ikhlas saja. Ketimbang melihat Ibu terus menderita begini.”
Padahal biasanya ia
begitu mudah menangis melihat adegan di sinetron serial kesayangannya. Sehabis
jawaban terdengar dari kakakku, Ibu ternyata membuka matanya dan mengisyaratkan
ingin tahu apa yang kami bicarakan. Maka terjadilah dialog terakhir antara aku
dan ibuku dengan disaksikan kakakku.
“Ibu masih punya
semangat hidup, kan?” tanyaku.
“Masih, dong,” sahut
Ibu tanpa kuduga. Sehabis itu beliau terus menutup matanya, hingga kami
membawanya ke rumah sakit. Sempat sekali lagi ibuku membuka matanya dan
mengucapkan terima kasih kasih tanpa suara, tepatnya ketika aku pamit pulang,
sehabis semalaman menungguinya di kamar rawat inap. Tak lama sesudahnya, Ibu
pun hijrah ke alam barzakh.
***
Sekian bulan sepeninggal Ibu, kakakku menerima tawaran bekerja dari kakak tertua kami dan suaminya. Pekerjaannya tidak berat karena organ tubuh yang paling penting digunakan adalah mata dan tangannya, yang tentu mesti disertai kesabaran dan ketelitian. Kakakku bukanlah perempuan yang biasa berpangku tangan, maka kami semua mendukungnya dan percaya ia sanggup melaksanakan tugasnya. Benar saja, kakakku berhasil menjawab tantangan dari saudara-saudaranya. Ia bahkan senantiasa bersemangat sekali saban pagi tiba, berangkat ke tempat kerja dengan mengayuh sepeda, hingga pulang ke rumah menjelang petang.
Kami semua baik-baik
belaka nyatanya hingga kini menginjak sepuluh tahun sejak kepergian Ibu. Apa
yang dikhawatirkan beliau ternyata bukanlah problema krusial bagi kami. Kesulitan
ekonomi memang menjadi masalah yang adakalanya mengemuka. Hal itu tak pernah
terjadi ketika kedua orangtuaku masih ada, juga setelah Ayah meninggal dunia.
Namun, rezeki bisa hadir dari mana saja dan berulang kali hal itu terjadi.
Sehabis gelap selalu ada terang, kemudahan pasti datang menggantikan kesulitan.
Tak boleh hilang semangatku menjaga asa dan terus meyakini pertolongan Ilahi
bakal hadir senantiasa. Hal-hal positif yang terjadi sehabis ibuku pergi
menyadarkanku bahwa bisa jadi itulah jawaban Tuhan atas segala doa perempuan
kesayanganku sepanjang hayatnya. Dahulu kala Ibu pasti tak pernah lelah berdoa
dan berjuang melakukan apa saja demi kebahagiaan dan kesejahteraan hidup anak
keturunannya.
Dalam kesendirian masih
banyak hal yang dapat kunikmati sekaligus kusyukuri. Sejumlah kegiatan baru
ternyata menghadirkan orang-orang yang berarti dalam hidupku. Di antara mereka
terdapat sejumlah perempuan yang sempat menjadi kawan baikku, kendati belum ada
yang menjadi kekasihku. Perempuan yang dulu –belasan tahun silam- pernah
kucinta dan kupuja, lantas sempat kembali kujumpa, ternyata tak mampu
mengembalikan perasaan dari masa lalu. Kami sebatas dekat sesaat, kemudian
tiada koneksi lagi sehabis itu. Aku sebatas sempat tertarik pada dua atau tiga
nama, tapi tak kunjung merasakan jatuh cinta sebagaimana ketika berusia belasan
atau dua puluhan.
***
Sebelum menutup mata selamanya, Ibu
semacam memberikan pesan kepadaku agar senantiasa menjaga perasaan orang lain
dan sudi peduli nasib sesama manusia. Setelah sempat tidak tidur semalaman
sebagaimana terjadi di awal kisah ini, ibuku akhirnya bisa beristirahat saat menjelang
siang hingga petang hari berikutnya. Bu Adi, tetangga dekat kami, menjenguk Ibu
kala beliau tengah terlelap. Begitu ibuku terjaga dari tidurnya dan kuberitahu
tentang kehadiran Bu Adi yang juga merupakan sahabatnya, beliau tampak bermuram
durja. Serta-merta dimintanya aku menelepon tetangga kami agar segera datang
lagi. Aku tidak langsung melaksanakannya dan sempat sedikit beralasan,
barangkali Bu Adi sedang tidur siang. Namun, Ibu setengah memaksaku dan kuturuti
perintahnya.
Belakangan baru
kusadari bahwa Ibu merasa sudah mengecewakan sahabat yang menjenguknya, tapi
gagal menemuinya. Beliau sekadar ingin Bu Adi bisa menjumpainya kala terjaga
agar bisa terobati kekecewaaannya. Begitulah cara ibuku menjaga perasaan orang
lain. Pada hari selanjutnya yang merupakan hari terakhir beliau berada di rumah,
Ibu tiba-tiba menanyakan kabar Javier, anak angkat tetangga depan rumah kami.
“Kasihan Nak Javier,
ibunya sering marah-marah sambil memukuli anak itu,” ujar Ibu sembari menatap
hampa langit-langit kamarnya. Aku sempat terpana belaka mendengarnya. Apa maksud
Ibu bicara seperti itu?
“Iya, memang kasihan sekali
dia. Semoga saja ibunya bisa mengubah sikapnya di masa depan. Lagi pula Javier
masih punya ayah yang baik, kan? Ibu tidak perlu lagi mengkhawatirkan anak itu,”
sahutku mencoba meredakan kegundahan hati ibuku.
Semula tak kupahami,
mengapa manakala kondisi kesehatannya kian melemah, Ibu justru memikirkan anak
tetangga. Namun, begitulah cara beliau menunjukkan kelembutan hatinya yang
tansah peduli siapa saja. Nasihat tersirat ibuku sebelum wafatnya, kuharap
benar aku mampu meneladaninya. Ah, tiba-tiba aku jadi kangen dengan perempuan
kesayanganku yang bertubuh mungil, dengan segala kata-kata, sentuhan lembut, bahasa
tubuh, perangai, maupun tindak tanduknya yang khas. Mudah-mudahan Ibu tenang di
alam sana dan bahagia melihat anak keturunannya saat ini.
# Cerpen ini dimuat di harian Rakyat Sultra edisi Senin, 1 Okober 2018
Rabu, 03 Oktober 2018
Dua Kisah Penghuni Sebuah Rumah
KISAH PERTAMA
Rumah tersebut
semula dihuni oleh sepasang suami istri dengan satu bocah yang merupakan anak
angkat mereka. Sesudah menjalani mahligai rumah tangga selama tujuh belas tahun
tanpa dikaruniai keturunan, Mada dan Susan -yang berusia empat puluhan- memutuskan
mengangkat seorang bayi sebagai anak mereka dari sebuah panti asuhan. Lantaran
mereka berdua sibuk di kantor menjalani lima hari kerja, maka disewalah pembantu
rumah tangga sekaligus pengasuh bagi sang anak yang diberi nama Devo.
“Ma, ingatlah bahwa sekarang
kita punya Devo. Jangan lupa menemaninya setiap di rumah, ” ujar Mada.
”Iya, Mama janji sebelum dan
sesudah kerja pasti ada di dekat Devo. Papa juga mesti kasih perhatian padanya,” sahut Susan.
”Tenang saja, Papa pasti selalu
bersamanya di luar jam kerja.”
Sebentuk sukacita baru
tercipta dalam keluarga tersebut. Mereka jadi lebih kerap bepergian demi
menyenangkan hati si anak semata wayang. Namun, rupanya Mada sebagai ayah lebih
betah mengisi waktunya dengan si bocah. Susan hanya sesekali menikmati
kebersamaannya dengan Devo. Ia seperti sengaja menjaga jarak. Memang
sesungguhnya sejak dahulu ia tak terlampau suka dengan anak kecil. Biarpun demikian,
ia tetap berharap suatu ketika bisa memiliki momongan sendiri. Susan akhirnya tahu
diri dan memilih pasrah mengingat usianya mendekati kepala lima. Toh, sudah ada Devo yang kini menjadi
permata hatinya.
***
Devo tumbuh menjadi anak yang
manis dan lucu. Namun, sebagaimana layaknya bocah kecil yang banyak maunya,
demikian pula dengan anak tersebut. Sementara sang ayah senantiasa senang hati
menanggapi sejuta hasrat anaknya, sang ibu justru kerap lepas kendali
menghadapi polahnya. Susan kerap berteriak-teriak memarahi bocah yang masih
balita itu. Mada selalu mengingatkan istrinya agar lebih sabar, tapi justru dia
yang dicaci maki Susan pula.
“Ma, mestinya kita tambah sayang
pada Devo. Tolonglah, jaga
ucapan dan tindakanmu,” kata Mada.
“Huh, Papa ini kok sabar
sekali, sih? Kalau memang anak kita yang nakal, masa Mama tidak boleh marah?”
jawab Susan dengan nada tinggi. Mada hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat sikap istrinya. Ia mesti
menjadi lelaki yang sangat lapang dada demi menjaga keutuhan keluarga.
Sebuah gempa tektonik dengan
magnitudo yang cukup besar melanda kota pada sebuah Sabtu. Rumah yang dihuni
Mada dan keluarganya mengalami kerusakan cukup parah. Beruntunglah mereka semua
karena sempat berlarian menyelamatkan diri ketika beberapa bagian dari rumah tersebut
runtuh. Mada memutuskan mengungsikan istri dan anaknya ke rumah mertuanya yang kebetulan
terhindar dari bencana, kendati masih berada di kota yang sama. Gempa susulan
masih terjadi dalam ukuran yang lebih kecil hingga sekian pekan kemudian.
Sebulan berselang, barulah Mada bisa memulai perbaikan tempat tinggalnya. Perlu
waktu sekitar tiga bulan untuk melakukan renovasi menyeluruh. Sesudah itu, barulah
keluarga Mada dapat kembali mendiami rumah tersebut.
Empat tahun sudah usia Devo. Sikap
Susan terhadap anaknya ternyata masih belum jua berubah. Anak kecil itu tampak
tertekan saban kali dimarahi ibunya, yang terkadang bahkan disertai pukulan. Lambat
laun Devo mengalami kengerian tersendiri jika berdekatan dengan Susan.
Beruntunglah, masih ada ayahnya yang bersikap lembut melindunginya. Selain itu,
pengasuh Devo telah berulang kali berganti. Mereka yang dipercaya menjaga si
bocah biasanya tidak tahan menghadapi Susan yang kurang ramah dan lebih kerap
marah.
Suatu ketika Susan mengeluhkan
dadanya yang sakit pada suaminya. Mada pun membawa istrinya ke dokter. Ternyata hasil diagnosa dokter
menunjukkan bahwa Susan mengalami gangguan jantung. Dengan pengobatan yang
intensif, sakit yang dideritanya diharapkan berangsur sembuh. Namun, takdir
Ilahi tidak berkata demikian. Kondisi tubuh Susan malah cenderung melemah,
sehingga Mada pun berencana memboyongnya ke rumah sakit. Devo tertegun melihat
apa yang terjadi. Ia mendekati ayahnya yang sudah bersiap pergi membawa ibunya.
“Papa, kenapa Mama mesti
dibawa pergi?” tanya Devo.
“Mamamu sakit keras, Nak. Ia mesti
dirawat di rumah sakit supaya lekas sembuh. Kau mau kan, doakan mamamu?” sahut Mada sembari
mengelus-elus kepala anaknya. Devo mengangguk pelan. Entah apa yang berkecamuk di benak dan sanubari sang
bocah.
Sesudah dirawat selama dua pekan,
penyakit yang diderita Susan justru kian parah dan akhirnya ia padam nyawa pada
usia empat puluh sembilan. Mada berusaha mengikhlaskan kepergian istrinya.
Kendati ia sesekali terbebani menghadapi kekerasan hati pasangan hidupnya,
bagaimanapun Susan adalah perempuan kecintaan Mada sepanjang hayatnya. Tetaplah
sedih ditinggal pergi selamanya sang kekasih. Namun, rada terhibur hati Mada
lantaran masih ada Devo yang akan menemani hari-hari berikutnya.
Sehabis
istrinya tiada, Mada bergegas menjual rumah yang telah belasan tahun
ditinggalinya. Terlalu banyak kenangan bersemayam di rumah tersebut dan tak
ingin ia terjebak bersamanya. Mada pun hijrah dari tempat itu bersama Devo yang
berusia hampir lima tahun. Pembeli rumah tersebut adalah seorang warga negara
asing, tapi diatasnamakan orang Indonesia yang sangat dipercayainya.
KISAH KEDUA
Memiliki rumah baru, layaklah jika
segalanya mesti berbeda. Maka rumah yang belum ada setahun diperbaiki sehabis
gempa itu pun dirombak lagi habis-habisan sesuai selera sang pemilik anyar. Perubahan
pun kemudian terjadi bulan demi bulan berjalan. Namun, ketika setahun lebih sudah
berlalu, renovasi barulah selesai. Pemilik anyar pun mulai mendiami rumahnya. Pada saat rumah tersebut belum
ditinggali, proses pembangunan yang tidak sebentar sempat mengusik ketenteraman
tetangga sekitar. Ketika akhirnya usai, bentuk rumah ternyata jadi tak nikmat
dilihat. Bayangkan saja, bagian depan rumah itu didominasi oleh sembilan
jendela sebesar pintu dan satu jendela yang bentuknya berbeda di samping pintu
yang tingginya tak sejajar pula.
Seorang lelaki
tua berkulit putih dan dua lelaki muda berdarah Indonesia -entah siapanya-
tinggal di rumah itu. Dua pemuda tersebut biasanya hanya bertelanjang dada dan
bercelana pendek kala berada di rumah, termasuk ketika keluar menemui ibu
tukang sayur maupun bapak tukang rujak. Berkali sudah mereka mendapat undangan
pertemuan warga dan belum pernah sekali pun mau datang. Bahkan ketika tempo
hari Ketua RT mengantar undangan sekaligus ingin menyapa warga barunya, malah
suara anjingnya belaka yang menyambutnya. Selain itu, barangkali begitu banyak
harta berharga yang tersimpan di dalam rumah. Tampaknya mereka begitu takut
jika ada yang akan bertamu tanpa diundang. Maka mereka pun memasang pagar kokoh
dengan jeruji besi yang tinggi dan rapat. Hal itu membuat rumah tersebut
dilihat dari depan bagaikan penjara belaka.
# Cerpen ini dimuat di litera.co.id sejak 23 September 2018
Langganan:
Postingan (Atom)